Selasa, 31 Maret 2009

"fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…"

Suatu hari Jumat, istriku mengirim sebuah email, pengantarnya,
“Pap, baca nih buku ini!” sambil mengattach sebuah e-book dalam bentuk PDF. Namun sayang sekali, setelah 4 kali dikirim, file itu tidak bisa dibuka.

Penasaran, aku dan istriku beberapa waktu kemudian ke toko buku Gramedia untuk mencari buku itu. Ternyata ada dan tanpa pikir panjang aku beli. Istriku berkomentar pendek saja,
“Langsung baca halaman 47!” ujar istriku.

Langsung aku baca halaman 47. Ternyata berisi tulisan sang penulis mengenai seorang suami yang rajin shalat, rajin puasa, rajin baca quran, ga pernah keluyuran, pulang kantor tepat waktu, jauh dari alcohol dan jauh dari “main perempuan”, namun ternyata sang istri suatu saat menemukan sms di hp sang suami yang ditujukan kepada seorang perempuan lain yang isinya, “Sayang, kamu lagi ngapain…?”
“Duh, kenapa istriku menyuruh aku membaca halaman ini?” batinku
Seolah menjawab keherananku, istriku segera menukas,
“Cerita itu Pipap banget!” ujarnya dengan senyum yang penuh misteri.
Notes : Pipap = panggilan istriku untukku, sama dengan Papa, Papi, Bapak atau Ayah.

Setelah sedikit perdebatan kecil, tentunya aku menyangkal kalau aku seperti yang ditulis itu, akhirnya istriku tetap pada suatu kesimpulan bahwa,
“Dimana-mana, laki-laki ga ada yang bisa dipercaya! Titik!” tegas, lugas, dan tanpa ragu istriku berkata.

Selanjutnya aku membaca tulisan-tulisan lain sang penulis itu. Sangat bagus, sangat inspiratif dan menggugah. Penulisnya –seorang muslimah taat- benar-benar bisa membawa pembacanya ikut terlarut dalam kisah-kisah perempuan yang disakiti baik secara fisik maupun secara psikis. Namun malam itu, aku tidak selesai membacanya, dan aku putuskan untuk membaca keesokan harinya saat berada di dalam pesawat menuju ke Pekanbaru.

Singkat kata, di dalam pesawat menuju Pekanbaru, aku bersiap meneruskan membaca. Halaman demi halaman ku baca, hingga sampailah pada satu tulisan, berisikan mengenai kehilangan seorang istri akan suaminya yang mendadak meninggal karena kecelakaan. Namun bukan tema tulisannya yang membuat aku bergetar. Terlepas dari simpati ku terhadap sang istri, aku melihat temanya memang banyak terjadi di keseharian.

Justru yang membuat aku tergetar adalah suatu kalimat yang diucapkan sang istri tatkala kehilangan suaminya, yaitu,
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?

Sedetik aku membaca kalimat itu, tercekat langsung hatiku. Merinding, tercenung dan kosong pikiranku. Tak sadar pula, seolah ada kabut menyelimuti mata, ada genangan memenuhinya. Kantung mataku tak mampu menahan genangan itu, dan terbentuklah aliran air mata di pipi.

Ya! Aku menangis. Terus menerus, hingga akhirnya pesawat mendarat dan penumpang turun. Aku membiarkannya mengalir, tak coba kuhapus atau setidaknya kubendung aliran bertambah. Kubiarkan hatiku sesak, kubiarkan tercekat. Kumanjakan pipiku dengan aliran air mata itu, tak berhenti.

Kalimat Al Qur’an surat Ar Rahman itu benar-benar membuatku terhenyak.
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…”sering aku mendengar ayat itu, ketika kecil aku mengaji, ketika mendengar ceramah Maulid Nabi, ketika ceramah Jum’at, dan banyak lagi. Rasanya sering aku mendengar ayat itu. Namun kali ini…
“Apa yang terjadi dengan ku?”

Saat ini sepertinya semua mudah aku dapat. Nikmat Allah benar-benar melimpah ruah. Harta, karier, keluarga, semua aku miliki. Dengan level usiaku saat ini, nikmat itu begitu melimpah ruah. Namun, kapan terakhir aku shalat fardhu di mesjid, kapan terakhir aku bersujud di sepertiga malam, kapan terakhir aku melantunkan ayat-ayat Alquran, kapan terakhir aku mengikuti tauziyah seorang kyai di mesjid, kapan terakhir aku mengajak keluarga untuk shalat berjamaah, kapan…? Sudah lama sekali tidak aku lakukan. Sudah lama!

Berkedok dibalik pernyataan “bekerja juga adalah ibadah”, aku lalai menjalankannya. Ibadah vertikal itu hanya standar aku lakukan, cukup shalat –dan sering terlambat-, membayar zakat, infak, shadaqah! Sudah! Ke mesjid? Cukup setiap shalat Jumat! Benar-benar lalai!

Yang aku heran, ketika tangis itu jatuh, pikiran ku kosong, sama sekali tidak ada penyebab tangis, sama sekali tidak ada pikiran bahwa aku menangis karena aku menyesal tidak menjalankan ibadah vertikal itu dengan baik. Hanya menangis saja, tepat sesaat setelah membaca “fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” Kesadaran akan kelalaian justru baru datang ketika sudah ada di darat dan perjalanan mobil menuju kantor di Pekanbaru.

Ya betul! Aku lalai! Aku menjalankan shalat, tapi lalai!

Mungkin Allah memperingatkanku melalui cara “tangis” itu. Tangis yang tiba-tiba jatuh tanpa tahu sebabnya, tangis yang tiba-tiba mengalir sesaat setelah kalimat itu dibaca. Apakah setelah ini aku akan rajin shalat fardhu di mesjid, rajin bersujud di sepertiga malam, rajin melantunkan ayat-ayat Alqur’an, rajin mengikuti tauziyah, rajin mengajak keluarga shalat berjamaah? Semoga...

Aku harus memulainya sebelum terlambat. Motivasiku hanya satu, yaitu
“fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?”

Pekanbaru, 1 April 09 - “fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…”

Minggu, 29 Maret 2009

Jadi Anak Band di Tahun 90-an

Semua bermula dari iseng. Ketika kelas 1 SMA, mengikuti ospek di camping ground Gunung Bunder Kabupaten Bogor. Iseng-iseng main-main musik, ada Rona dan Pram main gitar, Indra ketuk-ketuk ember, sementara aku dan teman-teman lain teriak-teriak mengikuti nada gitar.

Selepas camping, berawal dari obrolan iseng, terbentuklah sebuah band yang beranggotakan Rona (gitar), Pram (bas), Indra (drum) dan belakangan Didit (gitar) dan Rully (keyboard) ikut bergabung. Aku? Karena aku sama sekali tidak bisa memainkan instrument musik maka didaulatlah aku menjadi vokalis. Suatu jabatan mentereng di sebuah band, namun sebenarnya karena tidak bisa memainkan instrumen musik. Latihan pertama, terus terang kacau balau. Gitar kemana, bas kemana, drum kemana, apalagi vocal, lebih kemana-mana lagi. Kacau. Tapi kami nekat, tetap main band.

Hingga suatu hari aku iseng berbincang-bincang dengan seorang tetangga rumahku. Ternyata dia adalah salah satu gitaris band lumayan ternama di underground Bogor. Spesialisasi mereka adalah lagu-lagu Rolling Stones. Di dunia underground, mereka selalu menjadi band tampilan pamungkas yang artinya, mereka lah yang ditunggu-tunggu penonton.

Berbincang dengan sang gitaris, kami memanggilnya Mas Agus, menjadikan wawasan ku tentang nge-band menjadi terbuka. Banyak cerita Mas Agus mengenai dinamika nge-band. Mas Agus sendiri telah 8 tahunan malang melintang di underground Bogor, hanya kesempatan saja yang belum menghampirinya untuk maju ke jenjang rekaman.

Singkat kata, aku dan rekan-rekan, belajar nge-band ke Mas Agus, dan memanfaatkan studio semi permanen di rumah Mas Agus. Banyak sekali kami belajar. Rona dan Didit benar-benar menyerap banyak ilmu bermain gitar, Indra berlatih teknik bermain drum, Rully berlatih mengharmonisasi keyboard dengan instrumen lain dan Pram berjuang membetot bas dengan benar. Aku? Cukup menghafal banyak lagu tanpa banyak latihan vocal, cukup berteriak dan tidak fals.

“Berani manggung, ga?” tawar Mas Agus di suatu siang.
“Manggung? Dimana?” aku bertanya
“Taman Topi. Kita rutin manggung disana, setiap minggu pasti ada acara musik” tambah Mas Agus lagi.

Wow, Taman Topi! Taman Topi sebeneranya adalah semacam taman bermain bagi anak-anak, menyediakan berbagai wahana bermain dan kios makanan. Namun di bagian belakang, terdapat panggung dengan lapangan terbuka yang diperuntukkan bagi para pemain band berunjuk gigi. Kami sendiri waktu itu tidak tahu bagaimana caranya kami bisa manggung di Taman Topi. Namun ternyata kesempatan itu datang. Ternyata Mas Agus dan band nya secara rutin manggung di Taman Topi.

“Mau!” serempak kami menerima tawaran itu. Bergegas kami berlatih, memilih lagu yang pas, dan deg-degan menanti saatnya manggung.

Di malam kami manggung,

Satu per satu band sudah tampil. Semua bagus-bagus, bermain sangat rapi, nyaris tanpa cela. Penonton pun menyambut dengan antusias. Sepertinya setiap band sudah memiliki pendukungnya sendiri. Sehingga setiap band yang manggung, pasti dibarengi dengan goyangan antusias penonton. Malam itu rata-rata setiap band membawakan lagu rock bertempo cepat, keras, dan memancing penonton untuk histeris dan antusias.

“Berikutnya, akan tampil YXZ Band!” berteriak MC memanggil kami untuk manggung. Bergegas kami naik panggung, semua menempati posisi alat musik masing-masing. Pemain gitar, keyboard dan bas, menyamakan nada instrument sementara drum memperbaiki posisi dudukan drum nya. Sementara aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku hampiri mikrofon.
“Tes..tes..” tercekat aku mencoba mikrofon. Gugup aku melihat ratusan orang memandangiku di atas panggung. Mas Agus memberikan isyarat dari bawah panggung agar aku bicara.
“Ngomong…ngomong….!” begitu kira-kira bahasa tubuh Mas Agus dari bawah panggung.

Apa yang harus aku bicarakan? Sama sekali aku tidak ada ide.Aku lihat teman-teman yang lain masih saja berkutat nyetem alat musik mereka.
“Duhh, ayo dong cepetan!” bisikku
“Bentar, masih fals nih! Lu ngomong apa, kek” balas Rona.

Tidak ada jalan lain, aku harus ngomong.
“Mmm..Aaa…Assalamualaikum Wwaa..Warahmatullahi Ww..Wabarakatuh….!” entah kenapa kalimat pertama yang muncul di benakku adalah itu. Mamang ada jawaban “Waalaikum salam” namun sangat sedikit, sangat minoritas, sebagian besar malah cekikikan. Mungkin yang ada di benak mereka adalah
“Emangnya ini majelis ta’lim”.
Tapi aku berpikir apa salahnya salam itu aku ucapkan? Selanjutnya aku berbicara mengenai nama band kami, latar belakang nama itu, dan nama personil. Sumpah! Aku lihat tak ada satupun yang peduli dengan pembicaraan ku. Mungkin aku harusnya berteriak
“Apa kabaaaaaarrrrr……!” dengan suara melengking tinggi.
Mungkin saja, tapi aku tidak ada keberanian untuk itu.

Akhirnya nyetem berakhir, alat musik sudah sinkron, dan saatnya bernyanyi. Lagu pertama My Michelle dari Guns N Roses. Tidak ada sambutan, tidak ada yang goyang, tidak ada tepuk tangan. Semua biasa saja.
“Duh…kok sepi?” batinku
Lagu kedua, Sweet Child O’Mine juga dari Guns N Roses. Sama dengan lagu pertama, semua sepi. Hingga tibalah lagu ketiga. Lagu ketiga ini adalah Every Rose Has Its Thorne dari Poison. Lagu ini sejenis lagu rock melankolis. Tidak mungkin orang akan jingkrak-jingkrak mendengar lagu ini, kecuali orang gila tentunya. Aku sudah putus asa. Lagu terakhir benar-benar hanya sebuah syarat membawakan tiga lagu saja. Tidak ada semangat yang terpancar dari wajah kami.

Intro dimulai dari Didit, dilanjutkan dengan suara vokal ku.

“We’ve both lied silent streaming in the dead of the night, although we’ve both lied close together, we’ve been miles apart on side…” mulai aku bernyanyi dengan gaya melankolis. Berbarengan dengan masuknya vokal ku, sontak muncul pula suara histeris, riuh dari arah penonton, serempak penonton mengangkat tangan, sebagian lagi menyalakan korek gas nya, sambil menggoyangkan tangan kiri ke kanan.

Hebat! Ternyata penonton malah antusias dengan lagu melankolis kami. Ternyata mereka bosan karena dari sore tadi disuguhi lagu keras yang membisingkan telinga. Mereka sepertinya butuh istirahat. Butuh sesuatu yang menyejukkan telinga. Kami menganggap pengalaman pertama manggung kami sukses besar. Setidaknya menurut kami.

Sejak itu, kami memutuskan untuk melanjutkan nge-band. Beberapa kali kami manggung di berbagai event, selain di Taman Topi, kami manggung di berbagai kampus, dan sekolah. Puncaknya adalah ketika kami berhasil meraih Juara 2 dan Juara Favorit Festival Band Antar Sekolah Se-Bogor yang diselenggarakan oleh SMAN 1 Bogor.

Sepanjang SMA kami terus bersatu –kecuali keluarnya Indra digantikan Yose dan agak jarangnya Rully ikut bergabung- terus ngeband sampai kelulusan kami. Disinilah dilema. Ingin terus ngeband atau kuliah. Mas Agus waktu itu bersedia memanajeri kami untuk terus berlanjut ngeband. Bahkan beberapa lagu berupa demotape sudah kami buat. Namun waktu itu kami tidak berani mengambil resiko. Tuntutan orang tua agar kami melanjutkan kuliah, membuyarkan mimpi kami untuk terus ngeband. Kami bubar, dan meneruskan langkah kami masing-masing meraih cita-cita pribadi.

Rona, mengambil kuliah di STPDN, kini menjadi salah satu pejabat teras di Pemda Subang, Didit, mengambil kuliah arsitektur di Itenas Bandung, kini menjadi salah seorang arsitek handal di Bandung, Pram mengambil kuliah di Universitas Borobudur Jakarta, kini menjadi eksekutif muda di sebuah perusahaan di Jakarta, Rully aku agak lost contact, namun bertemu di facebook dan bekerja di perusahaan otomotif Daimler Chrysler. Indra dan Yose, aku tidak tahu mereka dimana, tidak ada kabar berita, sementara aku mengambil kuliah di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, bercita-cita sebagai diplomat tapi gagal, akhirnya terdampar di bidang sales suatu produk minuman isotonik bermerk Pocari Sweat.

Alhamdulillah, kami sudah menjalani hidup ini dengan cita-cita kami sendiri. Meski saat ini jauh, namun kami tetap saling berkomunikasi. Entah apakah YXZ Band akan kembali bersatu, kami tidak tahu.

Bogor, 21 Maret 09 – Dipersembahkan untuk anak-anak band tahun 90-an di Bogor

Kamis, 26 Maret 2009

Kami Bangga Meski Hanya Juara Dua

Beberapa waktu lalu, seorang sahabat bernama Ario, memposting foto-foto ketika kami mengikuti kegiatan Lomba Ketangkasan Baris Berbaris tahun 1990 di Balaikota Bogor. Melihat foto itu, ingatan ku menerawang ke 19 tahun yang lalu, dimana aku begitu aktif dalam kegiatan itu. Bahkan sempat menjadi ketua organisasi baris berbaris tersebut yang bernama PANDAWA 16.

PANDAWA 16 adalah sebuah organisasi yang berkegiatan dalam bidang kewiraan dan baris berbaris. Tujuannya selain melatih disiplin tentunya juga meraih prestasi. Biasanya ukuran prestasi ditentukan oleh keberhasilan di Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (selanjutnya disingkat LKBB) dan seberapa banyak personilnya yang maju ke level kotamadya, provinsi, bahkan nasional sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka).

Awal aku masuk PANDAWA 16, langsung disibukkan dengan latihan untuk LKBB tersebut. Beberapa rekan tergabung dalam pasukan LKBB ini yaitu Ario selaku komandan, aku, Dony, Dika, Radit, Zaki, Yosi, Era, Wieta, Wita, Fitri, Susi, Ratri, Nora (Ochang), Indri, Eri dan dibantu oleh beberapa kakak kelas yaitu Ican dan Susi.

Latihan intensif dilakukan terus menerus. Para instruktur seperti Kardinal, Agung, Ike, Tuti, juga terkadang hadir para senior seperti Kang Andy Julius. Latihan benar-benar berat dan menyita waktu. Selama sekitar 2 bulan latihan dilakukan. Kesulitan muncul ketika jadwal sekolah anggota pasukan berbeda, ada sebagian masuk pagi sebagian lagi masuk siang. Akhirnya disiasati dengan mengambil 2 jam terakhir kelas pagi dan 2 jam awal kelas siang. Namun seminggu terakhir, latihan semakin intensif menjadi dari pagi sampai sore dengan sama sekali meninggalkan pelajaran.

Hari H pertandingan.

Seluruh SMA se-Bogor berkumpul di Balaikota. Semua sekolah telah siap dengan ketegapan, kedisiplinan dan formasi masing-masing. SMAN 3 dan SMAN 4 menjadi tim yang sangat diunggulkan dalam LKBB tahun ini. Sementara SMAN 1 sama sekali tidak diunggulkan karena memang organisasinya saja baru terbentuk 2 tahun.

Aku tidak ingat, kami mendapat giliran nomor berapa. Yang jelas kami baru tampil setelah makan siang. Sebenarnya tidak masalah bagi kami, namun yang menjadi sedikit runyam adalah kondisi hujan yang mengguyur kota Bogor membuat lapangan beralas keramik tempat pertandingan menjadi licin. Hujan baru mengguyur di siang hari, sehingga beruntunglah para peserta yang tampil pagi karena lapangan masih belum licin terguyur hujan.

“Hayo, siap…siap, habis ini giliran kita!” berteriak Kardinal menginstruksikan agar kami bersiap. Kami akan tampil setelah peserta yang sekarang sedang tampil ini. Bersiap kami membentuk barisan, semua pakaian dirapikan, dari ujung kaki ke ujung rambut, semua seragam, termasuk sepatu dan kaus kaki.

“Peserta berikutnya, SMA Negeri 1 Bogor!” MC mengumumkan akan tampilnya kami. Langsung disambut sorak sorai penonton yang adalah para pendukung kami. Kami terharu karena puluhan siswa SMAN 1 telah hadir mendukung kami.
“Siaaaaappppp…Graakkkk!” berteriak Ario mengomandani pasukan
“Langkah tegap, majuuuu..jalan!”

Kami maju dengan tegap ke tengah lapangan. Tampang kami terlihat tegang, tanpa senyum, dan pandangan tajam. Bukan karena kami gugup, namun memang diharuskan seperti itu. Rasanya tidak mungkin baris berbaris dilakukan dengan cengengesan.

Formasi demi formasi berjalan lancar, ditimpali dengan tepuk riuh penonton ketika gerakan indah kami pertunjukkan. Hingga satu waktu tibalah pada formasi terakhir. Formasi ini mengharuskan pasukan bubar terlebih dahulu, menyebar ke seluruh penjuru lapangan. Bubar ke seluruh penjuru ini dilakukan sambil berlari, untuk kemudian dipanggil kembali untuk membentuk formasi terakhir. Bisa dibayangkan betapa was-was nya kami karena harus berlari dengan menggunakan sepatu relative licin di atas lapangan keramik yang baru saja diguyur hujan.

Benar saja, ketika kami bubar sambil berlari, di ujung sebelah kanan, terdengar bunyi orang terjatuh. Tidak terlalu keras. Namun cukup mengagetkan karena dibarengi dengan jerit penonton yang melihat jatuhnya salah satu anggota pasukan karena terpeleset. Ternyata salah satu anggota pasukan yang jatuh itu adalah Wita. Sejenak aku melirikkan mata ke sudut kanan, aku melihat Wita sedang berusaha berdiri dan kembali ke formasi semula.
“Hmm, syukurlah tidak terjadi apa-apa!” batinku.
Namun tak urung teriakan penonton membuat kami grogi, membuat sedikit goyah mental kami.
“Sudah…sudah... kembali fokus…ga ada apa-apa..ga ada apa-apa…!” dari pinggir area Kang Andy Julius membisikkan kata-kata kepada beberapa orang diantara kami. Selanjutnya kami tampil seperti biasa, memang jadi agak canggung karena khawatir kami kembali terjatuh seperti halnya Wita.

15 menit kami tampil, serasa sangat singkat. Akhirnya penampilan kami berakhir. Memang bukan penampilan kami terbaik, namun menjadi tonggak sejarah keikutsertaan kami di LKBB. Kami tidak yakin dengan prestasi yang akan kami ukir. Untuk sekedar tampil bagus saja kami sudah cukup bangga.

Tibalah saat pengumuman.

“Pemenang ketiga….SMAN 2 Bogor!” MC berteriak ditimpali jerit histeris penonton.
Wah, SMAN 2 juara 3, berarti semakin tipis peluang kami. Karena waktu itu kami hanya berharap berada di juara 3. Apalagi dengan beberapa formasi yang kami sendiri tidak yakin akan keindahannya dan ditambah dengan terjatuhnya Wita.

“Pemenang kedua…SMAN 1 Bogor!” gemuruh penonton menyambut kemenangan kami sebagai juara 2. Aku melongo,
“Juara 2? Kok bisa?” batinku bertanya.

Pengumuman juara 1 tidak lagi kami hiraukan, karena kami yakin pastinya SMAN 4 yang saat itu sedang merajai dunia baris berbaris se-Bogor. Kami berpelukan, bersalaman, saling mengucap selamat. Kami bangga meski hanya juara 2. Prestasi itu merupakan prestasi pertama PANDAWA16. Kami sebagai angkatan 2 sejak terbentuknya PANDAWA 16, berbangga hati, karena meski baru 2 tahun berdiri, namun kami mampu memberikan sesuatu untuk sekolah.

Satu hal yang perlu menjadi catatan disini adalah Ario, sang komandan, sempat berkaul, apabila SMAN 1 mampu meraih 3 besar, maka dia akan mengepel lantai halaman balaikota. Nah, kaul itu sampai sekarang belum terlaksana. Kita tunggu saja, kapan Ario akan mengepel lantai halaman balaikota.

Setelah itu, aku dengar PANDAWA 16 banyak juga memberikan prestasi membanggakan, pernah juga juara 1 LKBB, mengirimkan siswa sebagai Paskibraka ke tingkat Jawa Barat, bahkan pernah mengirimkan siswa ke tingkat nasional selaku pembawa bendera pusaka saat pengibaran bendera di istana negara.

Saat ini aku yakin PANDAWA 16 masih ada. Masih dilanjutkan oleh adik-adik kelas yang peduli akan kelangsungan organisasi ini. Terakhir aku mengunjungi acara yang diadakan PANDAWA 16 sekitar 14 tahun yang lalu saat aku masih kuliah. Itupun dibarengi misi pribadi untuk pendekatan ke salah satu adik kelas yang saat ini menjadi istriku. Kebetulan istriku ini pernah mewakili SMAN 1 Bogor sebagai Paskibraka ke tingkat Jawa Barat. Ternyata jodohku pun berasal dari PANDAWA 16.

Bogor – 21 Maret 09 – Kupersembahkan untuk para sahabat seperjuangan di PANDAWA 16 seluruh angkatan.

Minggu, 22 Maret 2009

Di Mesjid Itu Aku Bersujud

Pantai Uleulhue. Pantai yang indah, dengan biru laut yang memanjakan mata.

Siapa pun tidak menyangka bahwa laut seindah ini mampu menunjukkan amuk luar biasa, menyapu semua yang dilewatinya, dan merenggut ratusan ribu nyawa rakyat Aceh.

Luka tsunami memang masih kental bersemayam di hati rakyat Aceh. Pantai Uleulheu ini membuktikan hal itu

Puing-puing rumah di pinggir pantai yang berjarak sekitar 200meter dari pantai, masih terlihat berserakan. Rumah-rumah yang hanya kerangka beton masih jelas terlihat.dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya.

Tepatnya bukan dibiarkan begitu saja, tapi memang sudah tidak ada yang mengakui sebagai pemilik, mengingat seluruh keluarga pemilik rumah itu mungkin saja sudah hapus tersapu gelombang tsunami. Yang konon katanya berkecapatan setara pesawat Boeing 737 saat terbang di ketinggian 30ribu kaki!

Kehidupan rakyat di tepi pantai Uleulheu memang tidak pernah sama lagi. Tidak pernah bisa lagi mengembalikan kehidupan sebelum tsunami ke masa kini. Semua pasti berubah. Hanya tinggal kita tunggu saja bagaimana sikap rakyat Aceh -dan kita- menghadapi perubahan itu

Adalah satu mesjid bernama Baiturrahim –bukan Baiturrahman yang menjadi mesjid besar kebanggaan rakyat Aceh- terletak tepat di bibir pantai Uleulhue. Jarak dari garis pantai hanya sekitar 10 sampai 20 meter. Mesjid inilah yang menjadi bangunan pertama yang menghadap pantai.

Namun mesjid ini menjadi istimewa tatkala menjadi satu-satunya bangunan yang selamat dari sapuan tsunami.

Luar biasa!

Mengingat posisi mesjid ini yang tepat di pinggir pantai, dan melihat seluruh rumah di belakang dan sisi kiri kanan mesjid porak poranda rata dengan tanah, rasanya mustahil mendapati mesjid ini masih utuh kokoh berdiri tidak kurang suatu apa.

Banyak mitos atau setidaknya omongan dari mulut ke mulut yang beredar mengenai peristiwa tsunami yang menghantam mesjid ini.

Jika kita membayangkan air laut terbelah dan menyelamatkan Nabi Musa dan umatnya dari kejaran Firaun, maka itulah yang terjadi dengan mesjid itu. Gelombang tsunami tiba-tiba terbelah ketika melewati mesjid itu. Air seolah-olah hanya merembes di halaman mesjid tanpa sedikit pun menghancurkan bangunan mesjid.

Mitos, kabar burung, atau apapun itu, beredar luas di kalangan rakyat Aceh. Namun apapun yang sebenarnya terjadi, adalah suatu kenyataan bahwa mesjid itu sama sekali tidak hancur diterjang tsunami.

Dan saat ini.

Aku shalat di mesjid itu. Aku bayangkan berada di mesjid itu ketika tsunami, aku bayangkan betapa takutnya aku, betapa kecil aku di hadapan amukan alam, panik dan tak mampu berkata bahkan untuk sebait zikir. Aku perhatikan setiap sudut mesjid, semua utuh, meski memang ada bekas renovasi, sebuah renovasi kecil yang sama sekali tidak mengganggu keaslian bangunan.

Di sudut luar mesjid, ada sumur berukuran diameter sekitar 2 meter, yang mengalirkan air tawar dengan kedalaman kurang lebih 2-3 meter (aku perlu konfirmasi lagi mengenai kebenaran data ini). Namun yang mengagumkan adalah bagaimana mungkin ada air tawar di lahan pasir yang hanya berjarak 5 meter dari garis pantai? Dari mana air itu berasal? Lagi-lagi aku harus menggali lebih dalam mengenai kelanjutan informasi ini.

Yang jelas berbagai keajaiban sudah terjadi di mesjid ini. Keajaiban yang hanya bisa terjawab oleh kesadaran akan adanya Dzat yang lebih tinggi, Maha Sempurna, Maha
Penjaga Alam, Maha Penggenggam Segala Sesuatu.

Menyadari itu, tunduk segenap hatiku, luruh segenap kalbuku, dan mengalir telaga air mata ku. Tak sanggup aku menghadapiMu kelak, tak mampu aku mempertanggunjawabkan perbuatanku saat nanti, gentar aku membayangkan jika saat itu tiba untukku.

Ampuni aku, ya Allah, aku hanyalah selemah-lemahnya iman…


Banda Aceh, Januari 09

Selasa, 17 Maret 2009

Persahabatan Erat Bagai Kembar Siam Dempet Kepala

Pertemuan aku dan Harry (atas izin yang bersangkutan, nama asli dicantumkan) berawal ketika masa perkenalan kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen PPM di kawasan Menteng. Kami duduk berdekatan, tanpa disengaja.

“Harry” ujarnya
“Dindin” ucapku

Jabat tangan erat, dan itulah awal persahabatan. Sebenarnya, hampir seluruh kelas merupakan teman dekat. Namun jika diperhatikan, memang terbentuk kelompok-kelompok kecil yang memang sengaja dibentuk sebagai bagian dari tugas kuliah. Aku dan Harry memang selalu berada dalam satu kelompok bersama-sama dengan Fajar, Andi, Didi, Mas Don, dan terkadang Moses ikut bergabung.

Namun memang ada keistimewaan jika melihat aku dan Harry. Orang bilang kami berdua mirip baik secara fisik maupun secara kelakuan. Ada perbedaan mendasar, yaitu ada tahi lalat cukup menyolok di pipi kanan Harry, mirip tahi lalat Rano Karno, hanya saja Rano Karno di dagu. Kabarnya tahi lalat itu bisa berpindah-pindah sesuai keinginan Harry. Sementara itu soal kegantengan memang harus diakui bahwa lebih ganteng…Harry.

Kami memang sama-sama berasal dari Sunda, cara bicara kami yang “nyunda” pun dikatakan mirip. Secara kebetulan memang kemana-mana kami selalu bersama. Satu kelompok belajar, ke kantin, ke perpustakaan, duduk bersebelahan, shalat bersama, yang tidak hanya ke toilet bersama dan pulang ke rumah yang berbeda.

Seringkali sampai larut malam bahkan dinihari, ketika kami mengerjakan tugas kelompok, kami pun selalu bersama.

Suatu sore, pasca seharian kuliah, pasca pengetatan dasi yang mencekik dan pasca kerapian pura-pura di dalam kelas.

Seperti biasa kami –sebagian anggota kelas- nongkrong di ujung lapangan parkir kampus. Di situ berjajar penjual ketoprak, mie ayam, somay, gorengan dan berbagai makanan sektor informal lainnya. Di tempat itu menjadi ajang ngobrol, curhat, tertawa bebas, dan tentunya isi perut setelah seharian kuliah. Dasi dilonggarkan, bahkan dicopot, baju dilepas keluar, tanpa beban. Soal tugas besok? Pikirkan nanti!

Aku memilih memesan ketoprak, makanan khas Betawi, campuran toge, bihun, tahu, lontong yang diguyur bumbu kacang. Tanpa bermaksud untuk sama, ternyata Harry pun memesan ketoprak.

“Bang, ketoprak nya satu!” pesanku

“Dua, Bang!” tambah Harry

“Tapi ga pake bawang goreng!” ujarnya.

Menunggu kami di bangku panjang khas penjual ketoprak, di bangku itu kami hanya berdua, teman-teman yang lain bertebaran di sekitar. Ngobrol ngalor ngidul menghilangkan kepenatan kuliah seharian penuh dan menikmati udara pengap sore hari d Jakarta.

“Ini ketopraknya” ujar si Abang Penjual Ketoprak.

“Oh ya!” serempak kami menerima ketoprak itu

“Lho, kok, gua pake bawang goreng!”protes Harry

“Oh, maaf, maaf, saya lupa, saya ganti, ya!” ramah si Abang Penjual Ketoprak

“Udah..udah , bawangnya buat gua!” ujar ku

“Ok deh, ga apa-apa, Bang, Makasih, ya” ujar Harry ke si Abang Penjual Ketoprak

Dimulailah transfer bawang goreng dari piring ketoprak Harry ke piring ku. Cara transfer nya adalah meletakkan dua piring kami di bangku panjang saling bersebelahan, aku ambil satu per satu bawang goreng di piring ketoprak Harry, dan kepala kami saling menunduk memperhatikan proses transfer bawang goreng tadi.

Tiba-tiba,

“Ya ampuuunnnn, kalian ini benar-benar seperti anak kembar! Makan aja sepiring berdua!” salah satu teman ternyata memperhatikan tingkah laku kami.

“Iya, dari jauh keliatan bener-bener anak kembar. Kembar siam dempet kepala!” teman kami yang lain ikut berkomentar.

Ternyata tanpa sadar tingkah laku kami memang diperhatikan. Kami memang menjadi tertawa sendiri, proses transfer bawang goreng itu memang menjadi unik, menjadi tonggak bersejarah kami dimana kami disebut kembar siam dempet kepala. Karena dari jauh kami terlihat seperti sedang makan sepiring berdua, yang saling menunduk dan menempel kepalanya, benar-benar mirip sepasang anak kembar siam dempet kepala.

Saat ini, kami berdua memang jarang bertemu, namun komunikasi via telepon, email atau facebook tetap intens dilakukan. Biasanya kami memang bertemu, setidaknya setahun sekali. Pertemuan kami, tidak hanya sebagai seorang sahabat, tapi juga pertemuan dua keluarga besar dari kami masing-masing. Alhamdulillah, meski kembar siam dempet kepala itu sudah dipisahkan, namun kekeluargaan tetap berlanjut hingga sekarang.

Bogor, 7 Maret 09 – Untuk Seorang Sahabat, Harry Septarama
suzaridian.blogspot.com

Selasa, 10 Maret 2009

Hukuman Bagi Atlet Pingpong Dadakan di Kelas

Kelas 2 Phy3 SMAN1 Bogor, sedang marak-maraknya permainan pingpong. Permainan pingpong itu dilakukan di dalam kelas, tidak menggunakan meja, net, atau bet pingpong biasa, tapi permainan pingpong dadakan yang dirancang khusus di kelas. Meja pingpong dirancang dari dua buah meja kelas yang dibariskan merata, net nya diambil dari penggaris kayu di kelas yang diletakkan melintang di tengah meja, sementara bet nya adalah bet alami yang melekat di tubuh yaitu telapak tangan. Satu-satunya unsur pingpong asli hanyalah bola pingpong yang telah disiapkan oleh beberapa teman maniak olahraga ini.

Adalah Ican (atas izin orang yang bersangkutan, nama jelas dituliskan disini) yang menjadi maniak olahraga ini. Di setiap kesempatan, Ican selalu memainkannya. Saat istirahat, saat pelajaran kosong, bahkan jika perlu saat pelajaran berlangsung bola pingpong pun dimainkannya. Jika tidak ada teman yang diajak bermain pingpong, Ican pun menyusun meja menghadap dan merapat tembok, dan tetap bermain pingpong melawan tembok, istilah yang digunakannya adalah,

“Gua lagi maen shadow pingpong!” ujarnya

Suatu hari, saat pelajaran Kimia di laboratorium Mantarena.

Lazimnya pelajaran di laboratorium baik Kimia maupun Biologi, kami menggunakan ruang laboratorium di Mantarena, tempat SMAN 2 belajar. Tempat itu cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki, sekitar 2 km. Jika pun naik angkot, sangat tidak layak, karena akan ditempuh dengan jalan yang macet dan lamban.

Kami biasa berjalan berbondong-bondong menuju lab, bersama, tertawa.

Sesampai di lab, ruangan masih sangat kosong, tidak ada siapapun di sana, hanya ada kami sekitar 6 orang yang lebih dulu tiba. Segera kami ambil tempat, tentunya paling belakang, dan langsung mengenakan jas lab. Jas lab tentunya anda tahu, sejenis jas panjang terusan sampai ke betis, berwarna putih, dengan dua kantung di kiri dan kanan jas. Meski jas itu berkancing, tapi tidak pernah kami mengancingkan jas tersebut, kami biarkan saja jas itu terbuka melambai ditiup angin.

Cukup lama kami menunggu, bosan. Pak Y, guru kimia, pun belum tiba. Bukan karena terlambat, tapi memang karena kami datang terlalu pagi. Demi membunuh kebosanan, Ican mulai beraksi. Bermodal bola pingpong dikantungnya, dia segera menarik satu meja lab paling depan ke tengah kelas. Meja lab itu memang berbeda dengan meja biasa di kelas, meja lab itu memanjang 2 kali lipat meja kelas biasa, sehingga setiap meja bisa dihuni oleh 4 siswa sekaligus.

Ican menarik meja itu ke tengah. Tanpa aba-aba dan perintah, beberapa rekan ikut membantu menggeser. Semua paham.

“It’s pingpong time!” tersenyum semua yang hadir.

Setting meja pingpong telah siap, penggaris panjang telah berubah fungsi menjadi net. Ican mencari lawan.

“Siapa yang mau lawan gua!” tantang Ican.

“Yup, sini lawan gua!” salah seorang teman menerima tantangan Ican.

Bermainlah mereka berdua. Seru. Diselingi teriakan jika salah satu berhasil mematikan langkah lawannya. Kami menyaksikan pertandingan itu dari tempat kami duduk. Beberapa siswa mulai berdatangan, mengambil tempat duduk masing-masing. Teman-teman putri yang biasa duduk paling depan terpaksa menunda duduknya, karena meja terdepan telah disulap menjadi arena pingpong.

Tak sadar, waktu belajar semakin dekat, pertandingan pingpong semakin seru, kelas semakin ramai. Hingga tanpa disadari Ican –yang memang membelakangi pintu kelas- Pak Y masuk. Sontak semua siswa kembali duduk, demikian juga lawan pingpong Ican.

“Hei, kok udahan! Ayo main lagi!” alih-alih berhenti bermain dan duduk, Ican malah berteriak menantang lawan.

“Ada apa ini!” menggelegar suara Pak Y, marah.

Sontak Ican kaget dan sepintas terlihat wajahnya memucat. Kelas terdiam. Perlahan Ican mundur dan menggeser meja lab dan mengembalikannya ke tempat semula.

“Ini laboratorium, bukan arena pingpong!” bentak Pak Y.

Pak Y adalah guru yang ramah dan baik hati, sangat jarang kami melihatnya marah. Malah mungkin baru kali ini kami melihat beliau marah. Ican tertunduk lesu, bulir keringat menetes di dahinya. Sekilas Ican melirik ke arah kami, minta bantuan mungkin. Kami terdiam, tak bisa membantu, dalam hati kami berkata,

“Sori Can, lu tanggung sendiri aja, ya, jangan bawa-bawa kita!”

Prinsip kami adalah, ketika teman senang kami ikut senang, namun ketika teman sedih, kami pun ikut…senang!

“Maju sini!” bentak Pak Y

Perlahan Ican maju ke tengah kelas.

“Kamu scout jump 20 kali, menghadap tembok! Cepat!” perintah Pak Y.

Scout jump adalah semacam bentuk olahraga dengan cara dua tangan dikaitkan di belakang kepala, kemudian meloncat jongkok berdiri. Scout jump sebenarnya dilakukan dalam konteks olahraga, namun ini pastinya konteks dihukum.

Dimulailah hukuman scout jump itu. Meloncat-loncat dengan tangan dikaitkan di belakang kepala dan menghadap tembok. Kami cekikikan di belakang. Bukan karena hukuman bagi Ican, tapi karena Ican mengenakan jas lab ketika scout jump. Meloncat naik turun, melambai-lambaikan jas labnya. Dari belakang, jika melihat Ican scout jump, mirip sekali jika kita melihat Batman sedang dihukum scout jump. Melambai-lambai sayapnya…


Balikpapan 5 Maret 09 – dipersembahkan untuk seorang sahabat, Ican.

Rabu, 04 Maret 2009

Lagu Sendu Dikala Bahagia

bebeSemasa SMP, aku cukup aktif di organisasi. Salah satu organisasi yang aku ikuti adalah Vocal Group atau Paduan Suara atau apa pun namanya itu.

Latihan rutin kami lakukan, baik ada event maupun tidak. Target utama adalah masuk TVRI –saat itu merupakan TV Station satu-satunya di Indonesia- di acara khusus vocal group sekolah. Target itu memang tidak pernah tercapai, meski sudah mendaftar berulangkali.

Berbagai lagu kami coba, lagu Chrisye, Vina Panduwinata, atau lagu-lagu wajib perjuangan. Lagu yang tidak pernah kami coba hanya lagu-lagu Betharia Sonata, Ratih Purwasih, atau Endang S Taurina. Kata guru vocal kami,

“Penghayatan lagu jenis itu sangat sulit untuk dilakukan!”

Dari semua lagu yang kami latih, ada satu lagu yang sangat kami kuasai. Jika kami membawakan lagu itu, maka anggukan puas terpancar dari guru vocal kami. Lagu itu adalah salah satu lagu Chrisye berjudul “Kisah Cintaku” yang saat ini dinyanyikan kembali dengan gaya pop oleh Peterpan.

Lagu melankolis itu justru menjadi penyemangat kami berlatih. Ketika mulai latihan, lagu itulah yang pertama kami nyanyikan, untuk sekedar menyemangati latihan kami, dan meyakinkan kami bahwa kami bisa bernyanyi bagus.

Latihan, latihan, dan latihan.

Tidak ada tanda-tanda akan ada panggilan dari TVRI, atau suatu festival, atau sekedar event yang bisa kami jadikan ajang untuk menjajal panggung. Meski seragam vocal group sudah kami siapkan, namun belum sekali pun seragam itu digunakan, kecuali hanya untuk dicoba, untuk mengukur sempit atau tidaknya baju.

Hingga suatu hari,

“Hei, salah satu guru kita, akan menikahkan putrinya minggu depan. Gimana kalau kita mengisi acara pernikahan itu?” Bersemangat guru vocal kami mengajak.

“Kita minta waktunya untuk satu lagu saja! Gimana?” Guru vocal kami makin bersemangat.

Tanpa pikir panjang, kami serempak menjawab,

“OK!”

Daripada latihan terus, ga ada pengalaman manggung, maka dengan semangat kami menerima tawaran itu. Tidak ada bayaran –sama sekali tidak terpikir bayaran oleh kami- yang penting bisa manggung!

Satu lagu kesempatan yang diberikan kepada kami. Tidak mungkin rasanya kami menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Tidak mungkin kami membawakan lagu Maju Tak Gentar di pesta pernikahan, kan? Nanti dikira menyindir sang pengantin.

Lantas lagu apa? Tidak lain tidak bukan, lagu yang paling kami kuasai, lagu yang paling PD jika kami bawakan, yaitu : Kisah Cintaku dari Chrisye.

Di kala hari H acara pernikahan. Kami siap pagi-pagi sekali. Undangan jam 11 siang, pengantin datang jam 11.10, namun kami sudah hadir di gedung jam 8 pagi. Lengkap dengan seragam dan sisiran rambut rapi bagi para anggota vocal group putra dan make up sederhana bagi para anggota vocal group putri.

Detik demi detik, menunggu. Jadwal kami tampil sebenarnya jam 12.00 siang, namun 4 jam menunggu dari jam 8 serasa 4 hari bagi kami. Tak sabar! Tapi apalah artinya 4 jam jika dibandingkan dengan penantian manggung kami selama ini.

Jam 12.10, MC mengumumkan penampilan kami. Ya! Ini saatnya!

Berbaris rapi menuju panggung di sisi kiri gedung bersebelahan dengan panggung sang mempelai. Hormat serempak kami lakukan, disusul dengan tepuk tangan dari para tamu undangan. Kedua mempelai pun ikut memperhatikan penampilan kami, karena pada saat yang bersamaan belum lagi ada tamu yang menyelamati mereka.

Keyboard dibunyikan, intro dimulai, masuklah kalimat-kalimat lagu dari kami,

“Di malam yang sesunyi ini
Aku sendiri, tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari
Dia telah pergi
Tinggalkan diriku”

Pada bait ini, perasaanku mulai tak enak. Mengapa para tamu undangan banyak yang cekikikan, tersenyum simpul, dan berbicara satu sama lain?

Bait reffrein,

“Mengapa terjadi, kepada diriku
Aku tak percaya, kau telah tiada
Haruskah ku pergi, tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa dengan mu”

Sesaat setelah reffrein ini selesai, dan masuk interlude lagu dari keyboard, aku baru menyadari,

“Hei, ini kan lagu kematian! Ini kan lagu tentang seseorang yang ditinggal mati kekasihnya!”

“Gawat! Salah lagu, nih! Mendingan Maju Tak Gentar, mungkin ya?”

Konsentrasi ku buyar. Bait berikutnya ku lakukan hampir tanpa suara, meski teman-teman yang lain tetap bersemangat. Aku memperhatikan sekitar, masih banyak yang cekikikan, saling bisik, dan mengulum senyum. Sang mempelai pun begitu, mereka terlihat tersenyum melihat kami, sambil melayani tamu undangan yang memberi selamat.

Guru vocal kami acuh saja, tetap memberi aba-aba dengan semangat, seolah tidak menyadari sikap para tamu undangan. Atau mungkin memang tidak tahu, karena dia membelakangi tamu undangan saat memimpin kami bernyanyi.

Selesai manggung, kami turun kembali ke belakang. Semua lega, semua gembira karena akhirnya berhasil memberikan penampilan terbaik. Aku juga lega, bukan karena berhasil memberikan penampilan terbaik, tapi karena berakhir juga lagu itu kami nyanyikan Aku ingin cepat-cepat mengakhiri lagu ini, karena buatku, lagu ini benar-benar tidak cocok untuk sebuah acara pernikahan.

Benar-benar sebuah lagu sendu dikala bahagia.

Jangan-jangan sang mempelai mengira kita mendoakan mereka untuk berpisah!



Makassar, 6 Januari 09.

Selasa, 03 Maret 2009

Serius Amat Bercandanya (Bagian 2 dari 2 tulisan)

, Kejahilan berupa “penghilangan” barang memang mewabah di setiap kelas. Semua kelas mengalami peristiwa ini. Bahkan “penghilangan” barang terjadi antar kelas, barang di kelas yang satu bisa disembunyikan di kelas yang lain. Bahkan “penghilangan” bisa lebih kreatif karena menyangkut barang-barang lintas kelas yang ditempatkan di tempat parkir seperti motor.

Cerita ini merupakan cerita C, pelaku dan saksi mata langsung kejadian ini, disampaikan secara lisan, dan aku mencoba menuliskannya. Begini ceritanya.

Adalah E, teman kelas sebelah, kelas Phy 4. Jam 12 siang, E tiba di sekolah mengendarai motor barunya. Ya motor baru jenis bebek –lupa aku tipenya- masih kinclong dan berplat nomor masih gress.

“Woi baru nih!” hampir serempak segelintir anak-anak Phy3 yang sedang nongkrong di koridor kelas menyambut kedatangan E.

“Ah, punya bokap gua!” senyum simpul penuh kebanggaan terpancar dari wajah E.

Tertawa semua orang, namun tak disangka oleh siapa pun bahwa akan ada ide gila yang menyebabkan peristiwa terheboh di sore harinya.

Sekitar jam 15.00, kelas Phy3 tak ada guru pengajar, sehingga spontan –meski ketua kelas memutuskan dengan takut-takut- kelas dibubarkan. Kondisi hujan lebat di luar, membuat semua orang mati gaya.

“Percuma nih, hujan, ga bisa ngapa-ngapain!” begitu kira-kira di pikiran kami.

Namun kondisi itu menjadi satu ide brilian yang jahat.

“Eh, kita umpetin motor si E yuk!” C yang pencetus ide brilian sekaligus jahat itu.

Semua saling pandang. Ide “penghilangan” motor bukan ide sembarangan, agak sulit direalisasikan sekaligus menantang. Namun semua sepakat untuk merealisasikannya. Dimulailah aksi itu, motor E digeser perlahan-lahan. Namun benar-benar tak mudah. Tidak mudah menggeser motor yang diparkir dalam keadaan terkunci, salut untuk para pencuri motor yang dengan mudah menghilangkan motor orang!

“Kita gotong aja ini motor!” C memberi ide

“Yuk!” semua sepakat akan ide itu, sehingga terlihatlah 5 pemuda putih abu-abu menggotong motor E secara perlahan dan memasukkannya ke kelas Phy3 yang sudah kosong. Kelas ditutup dengan sempurna, sehingga selain ke 5 orang ini, tak ada yang tahu motor itu dibawa kemana. Suasana di sekolah pun sepi, karena kelas-kelas belum bubar, hanya 5 gelintir pemuda itu saja. Anak-anak Phy3 yang lain sudah bubar entah kemana.

“Teeeetttttt….!” Bunyi bel sekolah membahana tepat jam 5 sore. Bunyi yang sangat tidak nyaman untuk didengar sekaligus membahagiakan. Kelima pemuda tadi masih setia menunggu di koridor kelas, tidak lain hanya untuk menyaksikan reaksi E ketika menyadari hilangnya motor baru itu.

E keluar kelas Phy4, tanpa ada rasa curiga, tetap tertawa dan dengan gagah menuju tempat parker motor, dan,

“Lho motor gua mana!” kaget terpancar dari wajah E

Kaget para siswa yang sedang lewat, panik, heboh, kasak-kusuk. Kelima pemuda ini masih nongkrong dan melihat dari jauh, pura-pura bersikap biasa. Beberapa saat kehebohan berlangsung, kelima pemuda ini menghampiri.

“Ada apa, E!” C mulai bersandiwara dengan wajah lempengnya.

“Coba cari ke depan!”

“Tadi dikunci ga?”

Berbagai pertanyaan “ga penting” dilontarkan kelima pemuda ini. Tak lama muncul Pa Bahrum, yang menerima laporan dari salah satu siswa mengenai hilangnya motor E.

Deg! Berdegup jantung C melihat kedatangan Pa Bahrum,

“Kok jadi ada Pa Bahrum?” begitu kira-kira kekhawatiran hati C.

“Gawat, nih!” keempat pemuda lain pun ikut tercekat.

Banyak murid dikerahkan Pa Bahrum mencari motor E, dicari ke depan Musholla, ke koridor pinggir, ke Gang Selot, ke parkiran mobil. Tak satupun berhasil menemukan. Jelas tidak akan ketemu, karena tidak ada satupun menyangka motor itu ada di dalam kelas! E sudah tidak karuan, mukanya merah padam, dan dilanjutkan dengan tangis yang pecah dan meledak. Jelas E khawatir, karena motor baru bapak nya “dihilangkan” olehnya.

Ditengah kekhawatiran kelima pemuda ini, memang ada 1 orang yang mencoba menetralisir dengan memberikan petunjuk keberadaan motor. Mungkin keberadaan Pa Bahrum membuat orang ini cukup gentar.

“Gua rasa ada yang jail, E, coba lu cari di kelas, siapa tahu diumpetin di sana.” sok bijak pemuda ini bertutur.

E pun tersadar. Dia benar-benar baru “ngeh” jika diantara seluruh kelas, ada satu ruang kelas yang tertutup rapat yaitu Phy3. Berlari E menghampiri kelas Phy3, dibuka pintunya dan,

“Hah, ini motor gua! Siapa yang taruh sini!”teriak E memecah kekhawatiran orang. Semua lega, semua cekikikan. Tawa muncul membahana, bukan hanya karena motor itu ditemukan, tapi tawa karena kelucuan-kelucuan dalam proses “penghilangan” itu. Banyak yang kagum karena kenekatan itu, banyak yang marah karena bikin susah, banyak dan banyak juga yang maklum karena merasa itu hal biasa, toh sering juga “penghilangan” terjadi.

“Siapa yang taruh motor ini disini!” galak Pa Bahrum bertanya.

Dengan takut, C menjawab ragu,

“Saya, Pa.”

“Kamu ikut saya ke kantor, siapa lagi!” Pa Bahrum tahu persis tidak mungkin motor sebesar itu digeser sendirian masuk kelas.

“Saya, Pa” serempak keempat pemuda lain tunjuk tangan.

Digiringlah kelima pemuda itu ke kantor guru, diceramahi, dinasihati, dan tentunya dibentak. Kelima pemuda itu memang minta maaf pada E, namun sampai beberapa hari berikutnya E memang mengalami trauma. Agak waspada jika membawa motor.

Sementara kelima pemuda ini, tetap jahil, tetap konyol, dan tetap mencari mangsa “penghilangan” lain yang tentunya bobotnya lebih ringan. Bisa dikatakan proses “penghilangan” motor sampai sekarang menjadi semacam masterpiece mereka, layaknya David Copperfield yang berhasil menghilangkan Tugu Monas.

Bogor, 1 Maret 09

Minggu, 01 Maret 2009

Serius Amat Bercandanya (bagian 1 dari 2 tulisan)

Bercanda masa SMA sudah biasa. Disinilah gudang konyol, gudang canda, dan gudang iseng tempat tawa meledak, gelak tercipta, tangis terharu, juga marah membuncah. Semua sudah biasa dilakukan. Berbagai ide jahil berkecamuk di otak para pemuda berseragam putih abu-abu ini.

Salah satu kebiasaan jahil di kelas saat itu adalah beberapa orang sepakat menyembunyikan barang milik teman yang lain. Bisa tas, sepatu, buku, apapun. Tempat disembunyikan pun tidak hanya di lingkungan kelas, bisa saja dsembunyikan ke kelas sebelah, ke kantin, ke semak-semak di lorong pinggir kelas, kemana saja, selama itu tersembunyi dan tak mudah ditemukan. Cara menyembunyikan sangat sederhana, biasanya ada satu orang pemicu, dia yang memiliki ide menyembunyikan, akan mengambil secara diam-diam barang salah satu teman, kemudian menggesernya perlahan ke teman sebelah, teman sebelah pun –meski tidak dikoordinasi dulu- sudah paham bahwa ini saatnya “hide and seek game”. Terus berestafet sampai ke orang terakhir yang berkewajiban menyembunyikan ke suatu tempat.

Korban “penghilangan” tidak orang tertentu saja, bisa siapa saja, bisa jadi orang yang jadi penginisiator “penghilangan”, suatu saat akan jadi korban. Makanya ketika di kelas ketika kita konsentrasi memperhatikan didikan dari guru, kita pun harus tetap berkonsentrasi dengan barang-barang yang kita miliki.

Terkadang, barang yang dihilangkan akan tergantung dari kebiasaan orang itu, misal si S, yang sering melepas sepatu di kelas dan duduk bersila di kursi kelas, maka dia akan paling sering kehilangan sepatu. Atau si C yang selalu bawa motor ke sekolah dan menaruh kunci motornya sembarangan di meja, maka hampir pasti kunci motor itu lah korban berikutnya, Atau T, yang selalu mengenakan jaket trendi baik panas maupun dingin, dan menggantungkannya di sandaran kursi, pasti menjadi salah satu korban “penghilangan” juga.

Suatu hari yang panas, di saat kelas 2 dan masuk siang.

Az –seorang pemuda mungil berkulit legam nan jenius- selalu punya kebiasaan menggantungkan tas nya di sandaran kursi. Tas itu relatif unik, karena hanya berupa tas berbahan kain terpal, dibawa dengan cara disangkutkan ke bahu menyilang dari bahu kiri ke pinggang kanan. Kalau dari jauh, mirip ibu-ibu yang akan pergi kondangan dan mengenakan selendang. Tas itu hanya berisi secukupnya, tidak ada buku berlebihan, tidak ada tempat pensil lengkap, tidak ada alat tulis lain, cukup buku yang digunakan hanya untuk hari itu dan satu buah pulpen. Cukup.

Meskipun demikian dengan pembawaan yang sederhana, Az menjadi siswa yang luar biasa cerdas, salah satu jenius Fisika, dan menjadi tempat bertanya.

Hari itu, Az menjadi korban “penghilangan” tas tersebut. Entah siapa yang punya ide jahil. Aku sudah menjadi pihak ke sekian yang menerima tas si Az. Spontan aku ikut terlibat, ikut celingak celinguk untuk mencari orang yang diestafetkan. Kuestafetkan ke rekan sebelah, terus berjalan, sampai akhirnya orang yang terakhir pun bingung.

“Mau dikemanain lagi, nih!” berbisik orang terakhir pemegang tas itu bingung.

Kami di barisan belakang kasak kusuk tak karuan. Mau disembunyikan dimana, lagi?

Akhirnya seorang teman –C- punya ide brillian

“Sini..sini..” bisik C.

Ditaruhnya tas itu di kolong meja.

“Lho, kok kolong meja!” semua pandangan protes kepada C,

“Jangan yang gampang ketemu!” spontan semua melotot kea rah C

Namun ide itu benar-benar brilian, C mengambil tas teman yang lain, milik An. Tas An berukuran besar, berupa tas ransel gendong di punggung layaknya sang pendaki gunung. Sangat cocok dengan profil An yang berbadan tinggi besar, gemuk, dan berpembawaan tenang cenderung pendiam.

Tanpa sepengetahuan An, C mengambil tasnya dan memasukkan tas Az ke tas ransel An.

“Jenius! Brilian! Kreatif!” cekikikan kami di belakang. Benar-benar ide fantastis yang belum ada sebelumnya. Menyembunyikan tas Az ke dalam tas An, tanpa sedikitpun diketahui oleh keduanya.

Pelajaran berlalu seperti biasa seolah tanpa ada peristiwa apapun. Yang jelas Az panik mendapati tasnya sudah raib. An pun ikut tertawa melihat kepanikan Az, namun tertawa biasa tanpa sadar bahwa tas Az ada didalam tasnya. Bahkan di tengah kepasrahan, Az mulai malas mencari tasnya. Uniknya mereka bertiga, Az, An, dan C, pulang bersama satu angkot karena jurusan pulang mereka yang berdekatan. Jadi orang yang kehilangan tas, yang menghilangkan tas dan yang tak sadar menyimpan tas Az, berjalan bersama beriringan.

Keesokannya memang terjadi kericuhan, An kaget mendapati tasnya ada tas Az, Az marah ke An karena mengira tas itu disembunyikan An, sementara C, cukup mesem-mesem tanpa rasa bersalah. Bisa dibayangkan, Az yang kecil berseteru mulut dengan An yang tinggi, gemuk dan besar. Layaknya Asterix sedang memarahi Obelix.

Benar-benar unik, benar-benar bercanda yang serius.


Bogor, 28 Februari 09