Selasa, 28 April 2009

Ajaibnya Persahabatan : Antara Garut - Jogja Dan Air Mata Berpisah

Awal pertemuan kami -tim KKN Desa Ciburial Kecamatan Leles Kabupaten Garut, 10 orang mahasiswa berbagai jurusan di Universitas Padjadjaran- terjadi saat kami dikumpulkan di Lapangan Kecamatan Leles. Sebenarnya pada saat pembekalan beberapa hari sebelumnya, kami diwajibkan berkumpul, namun sepertinya tidak seluruh anggota tim hadir disana. Sehingga, 10 orang hadir lengkap justru pada saat hari pertama kami di desa. Terus terang awalnya aku pesimis bisa akrab dengan rekan-rekan baru di tim KKN. Perkenalan pun hanya dingin-dingin saja, dan tidak ada satupun diantara mereka yang aku kenal dengan baik. Anggota tim kami adalah
1. Yana Haryana alias Ohim, mahasiswa Jurusan Ilmu Penerangan FIKOM, bergaya preman –mungkin memang preman, karena akrab dengan daerah Cicadas dan geng Brigez di Bandung- orang yang super cuek, easy going, dan bersikap dingin. Gawatnya lagi, orang super cuek inilah yang menjadi Ketua Kelompok KKN ini. Aku sempat ragu. Namun keraguan itu terjawab selama dua bulan KKN, karena justru Ohim menjadi Ketua Kelompok yang paling bertanggung jawab bagi tim.
2. Lenny Setyawati, dari Jurusan Antropologi FISIP, perempuan berjilbab yang keras, bergaya militer, berani melawan sesuatu yang tidak sesuai prinsipnya, namun selama 2 bulan KKN, Lenny bisa berperan menjadi ibu bagi semua anggota tim.
3. Eni atau Enyim, mahasiswi Hukum, perempuan berjilbab, pendiam, dingin, bermata tajam, dan selalu berpakaian hitam. Selama dua bulan itu, sikap misterius nya sirna dan justru muncul kecerewetannya, dari dialah muncul istilah “cuni” yang merupakan kependekan dari cunihin (bahasa Sunda kira-kira artinya :genit).
4. Yuyus, perempuan berjilbab, dari Jurusan Biologi FMIPA, dari cara bicaranya yang lamban ala putri Solo (tapi tetep Sunda), dan mendayu-dayu, Yuyus sering menjadi bahan tertawaan, namun ide briliannya seringkali menjadi inspirasi bagi tim.
5. Eva, perempuan berjilbab, mahasiswi Peternakan, sering memberi masukan pada teman, sikapnya yang berprinsip memberikan warna tersendiri bagi tim.
6. Profiawati, anak Sekda Sumedang, dari Jurusan Farmasi, cenderung pendiam, namun tetap baik hati. Bantuan logistik dari orang tuanya sangat membantu tim dalam menjalankan operasional. Thanks, Profi.
7. Sonja Hakim atau Nyonyo, mahasiswi Sastra Jerman, gadis pendiam tapi gaul, selalu tertempel earphone dari walkmannya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik, agak kesulitan menyesuaikan diri di desa itu terutama karena tidak ada TV. Namun lama-lama suasana heboh dari personil tim mampu membuatnya lupa akan TV.
8. Hadian Gumilang atau Dian, mahasiswa Pertanian, bergaya pria metropolis berkultur Sunda, modis, dan penuh celetukan canda tak terduga, dan bilamana mendengar celetukan itu, maka tak habis tawa berderai. Di tasnya selalu tersimpan berbagai perlengkapan kosmetik ala pria metropolis. Jika akan tidur dan bangun pagi, walkman selalu tertempel di telinganya.
9. M. Ridwan alias Iwan, mahasiswa Ekonomi Studi Pembangunan, tipikal pria perkotaan, seringkali terlambat nyambung jika kita mentertawakan suatu hal, namun luar biasa baik hati terutama pada perempuan yang ingin didekatinya.
10. Terakhir, aku, Dindin Suzaridian, mahasiswa Hubungan Internasional, jadi tangan kanan Ohim selaku Wakil Ketua Tim, jadi sansak omelan Lenny jika dia marah, paling banyak dibilang cuni alias cunihin oleh Enyim, paling banyak dibilang “Iiihhhh, Dindin maaahhhh….!” oleh Yuyus dengan gaya putri Solo ala Sunda, paling banyak dikritik oleh Eva dan dibilang, “Dindin, norak ah, kalau gitu caranya!”, paling sering didiamkan oleh Profi, paling sering diajak konsultasi oleh Nyonyo mengenai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia saat itu, paling sering meminta lotion nya Hadian dan mencoba-coba gaya pria metropolisnya, dan paling susah nyambung kalau ngomong dengan Iwan.

Itulah anggota tim KKN saat itu. Dihadapkan pada kesederhanaan desa, minimnya fasilitas informasi, dan karakter yang belum pernah berpadu sebelumnya, menambah pesimismeku akan kompaknya tim ini. Tak ada TV, tak ada kasur empuk, atau kamar mandi permanen. Bagi kami –terutama tim laki-laki- hanya ada tikar di lantai dalam ruangan 1,8 x 3 meter untuk berempat plus tembok yang penuh lumut, kamar mandi yang harus nimba jika ingin mandi, dan jika kami tidur, ujung kepala dengan ujung kaki kami akan saling menempel di tembok berlumut itu. Bagi sebagian orang itu mungkin penderitaan, tapi bagi kami, itu jadi pengalaman meski aawalnya terpaksa.

Tak diduga sebelumnya, di tengah kondisi seperti itu, justru kami menjadi tim yang luar biasa padu, tak pernah berhenti tawa, dan kompak melakukan bedol desa diam-diam untuk pergi ke Jogja! Ya, Jogja, ratusan kilometer dari Garut, tanpa ada warga desa yang tahu, kami menghilang sekitar 5 hari.

Semua berawal dari pembicaraan mengenai rumah dinas orang tua Nyonyo di Banjarnegara. Banjarnegara tidak terlalu jauh ke Jogja, mungkin sekitar 4 jam perjalanan darat. Nyonyo menjanjikan kita bisa menggunakan kendaraan orangtuanya menuju Jogja. Kami nekat pergi meninggalkan desa di tengah malam. Ibu kost keheranan, mengapa pergi semalam ini? Kami katakan bahwa, kami harus mengerjakan tugas besok pagi di Bandung dan membutuhkan waktu 1 minggu untuk menyelesaikannya. Duh! Maafkan kami Ibu, kami telah berbohong.

Total kami menghabiskan 5 hari, termasuk didalamnya perjalanan 8 jam dari Bandung ke Purwokerto. Melelahkan! 8 jam duduk berdesakan di kereta kelas ekonomi, namun menyenangkan. Pagi sekitar jam 9, setiba di Purwokerto, kami melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara menggunakan angkutan umum. Banjarnegara merupakan salah satu area pembangkit listrik tenaga air terbesar di Jawa Tengah, yang memasok listrik di sekitar Jawa Tengah. Ayah dari Nyonyo merupakan petinggi di PLTA tersebut. Jam 12 siang kami tiba di kediaman orang tua Nyonyo, langsung makan, istirahat untuk bersiap menuju petualangan esok hari. Siang hingga malam hari, tak ada yang kami lakukan kecuali bersantai, makan, menonton TV, dan tertawa.

Esok harinya, dengan menggunakan kendaraan keluarga Nyonyo, kami menuju Jogja, berkeliling, menginap di hotel dalam gang seharga 25 ribu per malam. Kami menyewa 2 kamar, untuk laki-laki dan untuk perempuan, berdesakan dalam 1 kamar. Tidak penting hotel mewah, yang penting cukup untuk tidur beberapa jam. Di Jogja kami menikmati hari, seolah turis, kami berkeliling ke pelosok Jogja, dan lupa bahwa kami ini adalah pelarian mahasiswa KKN dari Garut.
Dua hari satu malam kami habiskan di Jogja, tak banyak kami belanja, lagian uang kami pun terbatas, cukup untuk makan dan sedikit oleh-oleh. Namun yang penting kebersamaan luar biasa yang kami dapatkan di sepanjang perjalanan. Kepulangan kami ke tanah Jawa Barat, relative sama, menggunakan kendaraan yang sama, kereta api yang sama, dan kembali ke Garut dengan bis yang sama.

Di Garut kami kembali ke rutinitas biasa, mengikuti ritme kehidupan Desa Ciburial, tanpa ada warga yang tahu jika kami baru saja selesai bertualang ratusan kilometer dari Garut. Petualangan di Jogja itulah menjadi puncak keakraban kami. Momen penting persahabatan seumur jagung 10 orang dari latar belakang berbeda dan belum pernah kenal satu sama lain sebelumnya.

Tak terasa KKN berakhir, ada rasa bahagia karena tugas kami selesai, ada rasa haru tatkala meninggalkan desa terutama ibu kost, ada rasa “hilang” saat kami bersepuluh harus berpisah. Ternyata 60 hari cukup bagi kami untuk saling dekat, cukup bagi kami untuk merasa sama, sama-sama menderita, sama-sama bahagia, dan sama-sama haru. Tak terasa pula air mata menggenang, bahkan jatuh menetes, mengalir hangat memanjakan pipi.

Bogor, 25 April 09 – untuk 10 orang itu...

Senin, 27 April 2009

Pengamen Cantik Idola Para Penumpang

Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta – Bogor banyak menyimpan cerita. Berbagai kisah kehidupan terjadi di sana. Selain warna warni penumpang, KRL juga dipenuhi serba serbi pencari nafkah, mulai dari pedagang asongan, pengemis, dan –tentu saja- pengamen. Khusus pengamen, memang dimaksudkan menjual jasa menghibur penumpang demi beberapa gelintir uang logam yang dimasukan ke dalam kantong permen.

Pengamen juga sangat beragam, mulai dari anak kecil bermodalkan kecrekan tutup botol yang dirangkai di kayu kecil, atau pemuda bermodalkan gitar lusuh penuh stiker Iwan Fals, atau seorang ibu yang bermodalkan sound system gendong dan bernyanyi seolah-olah berada di karaoke, atau juga sekelompok pemuda yang membawa peralatan band lengkap meski tetap sederhana.

Biasanya, pengamen yang lumayan menghibur adalah sekelompok anak muda dengan peralatan band lengkap, karena selain cara bermusik yang relatif serius, mereka juga memainkan lagu-lagu terupdate yang dikenal luas saat itu. Pengamen kecrekan? Mohon maaf, seringkali malah mereka bernyanyi tidak karuan. Pengamen gitar tunggal? Maaf juga, main gitarnya seringkali asal-asalan dan fals, mungkin disesuaikan dengan stiker Iwan FALS yang tertempel di gitar mereka. Pengamen karaoke? Selain terkadang fals, juga suara sound system nya yang tidak bisa balance dan berisik luar biasa.

Di semester akhir aku kuliah, aku tidak lagi kost di Cikini. Aku lebih memilih pergi pulang, Bogor –Jakarta menggunakan –tentunya- KRL Kelas Ekonomi. Pada saat itu, sudah tidak ada lagi kuliah kelas dari jam 8.00 pagi hingga 17.00 sore. Ke kampus bisa lebih santai, setiap hari berangkat jam 9.00 pulang jam 15.00, sehingga terhindar dari berjubelnya penumpang KRL yang mewarnai setiap hari.

Setiap pagi di KRL, tak sadar aku selalu menunggu-nunggu hadirnya sekelompok pengamen dengan alat musik lengkap di KRL. Sekelompok pengamen itu terdiri dari dua orang pemain gitar, satu orang pemain bas betot, dan satu orang pemain drum kecil yang hanya terdiri dari dua buah sner dan satu simbal. Vokalisnya biasanya merangkap bermain gitar. Mereka bermain dengan apik, sound yang rapi, dan lagu-lagu hits saat itu. Satu hal yang menjadi istimewa adalah salah satu pemain gitarnya adalah seorang perempuan cantik, berkulit putih, berperawakan relatif tinggi, dengan lesung pipit yang muncul tatkala perempuan itu tersenyum.

Mereka selalu muncul di sekitar Stasiun Citayam, mereka muncul saat penumpang tidak terlalu sesak, sehingga peralatan band mereka bisa masuk dengan leluasa. Ketika mereka masuk gerbong, aku melihat penumpang lain pun seolah menyambut gembira kedatangan mereka, tak jarang ada penumpang –biasanya laki-laki- yang bertepuk tangan dan bersiul menggoda atas kehadiran mereka.

Ketika bernyanyi, penumpang pun terdiam menikmati penampilan mereka. Yang tadinya ngobrol, rela menghentikan obrolannya untuk sejenak melihat mereka bernyanyi. Khusus para penumpang laki-laki, tentunya mereka menikmati kecantikan sang perempuan pemain gitar. Lagu demi lagu hits mereka bawakan seolah tak terasa. Tak jarang penumpang meminta tambahan lagu di luar lagu yang mereka bawakan. Meski tidak setiap hari aku melihat mereka bermain, namun setidaknya 3 kali dalam seminggu aku bisa melihat mereka bernyanyi.

Satu hal yang cukup cerdas mereka lakukan adalah dengan mengutus si perempuan cantik pemain gitar untuk mengedarkan kantong permen ke penumpang. Dan akibatnya memang bertumpuklah uang seribuan –bahkan limaribuan- di kantong permen yang diedarkan. Godaan dan colekan menjadi hal biasa baginya. Namun aku melihat perempuan itu tetap bisa menjaga dirinya dengan tidak menanggapi godaan-godaan itu.

“Neng, namanya siapa?”

Atau

“Neng, rumahnya dimana?”

Atau

“Neng, ntar Abang anter pulang ya?”

Begitu sapaan-sapaan nakal dari para penumpang pria mencoba menggoda. Tak jarang juga aku melihat tangan jahil penumpang yang mencoba memegang tangan si perempuan cantik pemain gitar itu ketika mengedarkan kantong perman. Namun teman-teman band nya yang lain pun terlihat melindunginya.

“Maaf, Bang, kita cuma mau nyari nafkah halal. Maaf, ya Bang.” dengan sopan teman-teman pemain band lain melindunginya. Penumpang pun segan dibuatnya.

Akupun spontan menyediakan uang seribu rupiah –kalau limaribu, duh waktu itu masih terlalu besar bagiku untuk diberikan kepada pengamen- untuk ikut berpartisipasi menghargai jerih payah mereka. Selain karena penghargaan atas keindahan musik mereka, juga karena aku menghargai upaya mereka untuk tidak hanya berdiam diri dan menganggur di rumah. Dan tentunya juga karena perempuan cantik pemain gitar itu. He..he..

Aku juga melihat keseriusan mereka dalam mencari nafkah, mereka bernyanyi sungguh-sungguh, tidak asal bunyi, tidak sekedar bernyanyi asal-asalan untuk kemudian minta uang. Rasanya itu perlu penghargaan lebih layak dibanding pengamen lain yang terlihat beda tipis antara benar-benar mengamen, mengemis, atau bahkan memalak.

Semoga saja hasil jerih payah mereka bisa bermanfaat dan tentunya digunakan untuk kebaikan. Amin

Bogor, 19April 2009 – untuk para seniman di KRL Jakarta – Bogor.

Minggu, 26 April 2009

Bapak Tua Itu Tiada Henti Mencari Nafkah

Suatu hari, 10 tahun yang lalu di Kereta Api Kelas Ekonomi Bogor – Jakarta

Hari itu aku berangkat kuliah agak siang. Di akhir masa kuliah ini, ke kampus hanya untuk bimbingan atau mencari bahan untuk thesis. Jadi tidak terikat waktu dan hanya tergantung dari jadwal dosen pembimbing.

Aku naik kereta yang jam 9an –waktu tepatnya aku lupa-, beli karcis dan ambil gerbong paling belakang. Aku ambil tempat duduk yang dekat pintu dengan maksud, jika penumpang penuh, maka aku akan dengan mudah keluar jika telah sampai tujuan.

Tak lama, datang seorang bapak tua, usia sekitar 70an (bapak tua itu sendiri lupa akan usianya), membawa karung besar yang digendong di punggungnya. Tertatih bapak tua itu menaiki kereta, yang tangga masuknya cukup tinggi, dengan reflek aku mengulurkan tangan untuk menarik bapak tua itu masuk ke kereta. Bapak tua itu tersenyum,

“Terima kasih, Dik” ujarnya.

Note : semua dialog dengan bapak tua itu dilakukan dalam bahasa Sunda, untuk kepentingan umum, aku terjemahkan ke bahasa Indonesia

Bapak tua itu mengambil tempat di sebelahku. Penumpang saat itu masih sepi, hanya beberapa gelintir saja di gerbong itu, sehingga penumpang masih bebas memilih duduk, selain itu juga jam itu bukanlah jam sibuk untuk jalur Bogor – Jakarta.

Karung yang digotong tadi dimasukannya ke kolong kursi kereta. Saking besarnya karung itu, kolong kursi kereta tidak mampu menutupinya, sehingga karung tersebut agak menonjol keluar kursi dan menyebabkan kaki kami –aku dan bapak tua itu- agak diselonjorkan ke depan.

“Mau kemana, Dik?” bapak tua itu memulai pembicaraan.
“Mau ke Gondangdia, Pa?” ujarku pendek. Sebenarnya aku tipe orang yang enggan berbicara dengan orang yang belum aku kenal, jadi ketika bapak tua itu mengajak bicara, aku sekenanya saja menanggapi.
“Kerja atau kuliah?” tanyanya lagi
“Kuliah, Pa” jawabku.
“Oh begitu” pendek bapak tua itu menanggapi.
Untungnya, bapak tua itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan “kuliah dimana?”, “jurusan apa?”, aku akan sangat kerepotan menjelaskannya, karena tempat kuliah ku memang relatif jarang diketahui orang.

Kereta berjalan, sesuai jadwal.

Tak lama, aku merasakan ada yang aneh di bawah kakiku. Aku lihat ke kolong kursi, dan ternyata keanehan berasal dari karung yang dibawa si bapak tua. Karung itu bergerak-gerak. Seperti ada sesuatu yang meloncat-loncat di dalamnya. Ular, kah itu? Entah kenapa pikiran ku langsung mengarah ke adanya ular. Ku beranikan diri bertanya ke bapak tua itu, padahal sejak dari awal kereta berjalan aku tidak berbicara apapun dengannya selain dialog awal tadi.

“Apa ini, Pa?” tanyaku sambil menunjuk karung yang “meloncat-loncat” tadi.
“Oh, ini isinya kodok! Masih hidup, kok, makanya mereka meloncat-loncat” ringan saja si bapak tua itu menjawab.
“Kodok? Buat apa, Pa?” tanyaku heran

Bercerita lah si bapak tua. Ternyata di dalam karung itu, setidaknya ada 20 ekor kodok seukuran telapak tangan orang dewasa. Kodok-kodok itu akan dijual ke rumah makan khusus masakan China yang menjual menu swikee. Kodok-kodok itu ditangkap 2 atau 3 hari sebelumnya, oleh si bapak tua itu sendiri di area persawahan di sekitar kampungnya.

Bapak tua itu seminggu sekali ke Jakarta, tepatnya daerah Kota, untuk menjual kodok-kodok itu. Rata-rata dia membawa 15-25 kodok di karungnya. Dijual seharga –harga dulu- Rp. 3000,- per ekor. Aku tidak tahu pasti kebenaran harga ini, si bapak tua itu menjawabnya pun juga tidak dengan jelas dan meyakinkan. Jika pun benar, maka seminggu rata-rata bapak tua itu mendapatkan antara 45 – 75 ribu rupiah.

Bapak tua itu juga bercerita, kalau sehari-hari bekerja serabutan, selain mencari kodok, bapak tua itu berkeliling bermodalkan arit, menawarkan diri untuk memotong rumput di halaman rumah tetangga sekitar. Apa saja dia lakukan untuk mencari uang. Anak dan istri? Anaknya yang laki-laki juga bekerja, menjadi kuli bangunan, yang mesti menunggu adanya proyek pembangunan, baru bisa mendapat uang. Anak yang perempuan, menjadi ibu rumah tangga, sesekali menjadi buruh cuci, sementara suaminya juga menjadi kuli bangunan. Sang istri, tetap menjadi ibu rumah tangga. Mereka semua tinggal dalam satu rumah petak di salah satu daerah di pinggiran Bogor.

“Bapak, kok, masih saja bekerja seperti ini?” tanyaku.

Cerita bapak tua itu kembali mengalir. Bapak tua itu tidak mau menyusahkan anak-anaknya yang kondisi ekonominya pun belum mapan. Dia harus bekerja jika ingin uang. Apapun dia lakukan untuk menghidupi –setidaknya- dia dan istrinya.

Tanpa terasa, mendengar cerita si bapak tua, aku terlewat turun di Stasiun Gondangdia. Karena kepalang tanggung, aku putuskan untuk mengikuti si bapak tua ke Stasiun Kota. Beruntung saat itu tidak ada pemeriksaan karcis, karena karcisku hanya sampai Gondangdia.

Sesampai di Stasiun Kota, aku berpamitan dengan si bapak tua. Beliau melanjutkan menggendong karung berisi kodok ke sebuah restoran di daerah Kota. Tetap dengan tertatih-tatih, si bapak tua menggendong karung itu, terus berjalan di tengah terik matahari. Aku hanya memperhatikan dari jauh. Pikiran ku melayang, sekelebatan muncul berbagai sosok bapak tua lain, yang hanya menadahkan tangan di lampu merah untuk mengemis atau yang hanya meminta-minta dari pintu ke pintu rumah. Bukankah lebih baik tangan di atas daripada di bawah? Bukankah ikhtiar sesungguhnya akan lebih mulia jika dilakukan dengan bekerja? Entahlah, aku tidak ahli dalam hal ini. Yang jelas, rasa hormatku setinggi-tingginya bagi bapak tua penjual kodok itu. Bukan menjual kodok yang aku bahas, tapi perjuangan bapak tua itu yang mampu menggetarkan hatiku, dimana meski usia renta sekalipun, bapak tua itu tidak mau tinggal diam dan menyerah pada nasib.

Jakarta, 17 April 2009 – untuk sebuah perjuangan tiada akhir

Sabtu, 25 April 2009

Emansipasi Di Gerbong KRL

Hari Jumat itu betul-betul sengsara bagiku. Kuliah dari jam 8.00 sampai jam 17.00 dibarengi dengan flu berat yang aku alami, ditambah dengan sedikit demam, hidung mampet, kepala pusing, dan yang pasti ngantuk berat karena obat flu yang aku telan.

Jam 17.00 kuliah berakhir. Tanpa basa basi aku langsung kabur. Aku ingin pulang. Sebenarnya bisa saja aku kembali ke tempat kost dan beristirahat di sana, tidur sepuasnya. Namun entah kenapa, aku ingin pulang, ingin tidur di kasur empuk rumah, ingin makan masakan Ibu, dan –untuk menghilangkan flu- minta dikeroki Ibu.

Biasanya jika dalam keadaan sehat, aku ke Stasiun Gondangdia untuk menumpang KRL kelas ekonomi. Namun saat itu aku ingin tidur, ingin istirahat sejenak, suatu hal yang tak mungkin aku lakukan di KRL kelas ekonomi pada jam sibuk itu. Maka dari itu aku bersegera ke Stasiun Gambir untuk menumpang Kereta Pakuan, kelas bisnis, agak mahal memang, tapi tak mengapa, yang penting bisa tidur.

Di Gambir, ngantri tiket, menunggu Kereta Pakuan. Tidak lama Kereta Pakuan datang. Untuk masuk gerbong ternyata agak berdesakan. Harapan untuk bisa duduk dan tidur sepertinya mulai menipis. Namun perjuangan ku yang ngotot dan merangsek masuk gerbong, ternyata berbuah hasil. Aku langsung menemukan kursi kosong. Kursi satu-satunya yang kosong di gerbong itu. Aku langsung duduk dan mengambil posisi tidur.

Ternyata memang Kereta Pakuan itu menjadi penuh. Selain karena penumpang dari Stasiun Kota, juga karena membludaknya penumpang dari Stasiun Gambir. Banyak penumpang terpaksa berdiri, sebagian menggelar koran sebagai alas duduk di lantai gerbong. Posisi kursi di Kereta Pakuan Kelas Bisnis berbeda dengan KRL Kelas Ekonomi. JIka posisi kursi KRL Kelas Ekonomi, memanjang dari ujung gerbong satu ke ujung gerbong lainnya, sehingga posisi duduk penumpang berada pada masing-masing sisi gerbong, sementara itu Kereta Pakuan posisi kursinya menghadap ke depan, dengan jok empuk dan setiap kursi dihuni oleh 2 orang penumpang, mirip kursi di kereta mewah Argo jurusan Bandung, Jogja, atau Surabaya. Posisi duduk ku berada di sisi lorong, sehingga para penumpang yang berdiri akan bersender di kursiku dengan memandang iri kepada para penumpang yang duduk termasuk aku.

Secara kebetulan, para penumpang yang bersandar dan berdiri dekat kursi dudukku adalah para pekerja perempuan muda. Mereka saling berbicara dan becanda dengan keras di sisiku. Aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan tidur. Namun suara canda mereka semakin keras, semakin mengganggu. Yang membuat aku sangat terganggu adalah ketika mereka berbicara,

“Nih cowok egois banget sih, malah tidur, bukannya ngasih tempat buat cewek!” ketus mereka berbicara antar sesama.

Aku membuka mata, aku yakin yang dimaksud mereka adalah aku. Aku lihat mereka satu persatu. Mereka balas menatap, mungkin mereka menyangka aku akan bereaksi dengan memberikan tempat bagi mereka. Tapi, maaf ya, tidak ada tempat untuk kalian. Aku lelah, aku flu, aku ingin tidur! Aku lanjutkan tidurku, semakin lelap semakin tak peduli.

“Maaf, aku tak bisa memberikan tempat ku untuk kalian!” demikian batinku sebelum tidur.

“Kalian adalah perempuan-perempuan muda yang sehat tak kurang suatu apa. Kalian yang berteriak emansipasi demi kesetaraan derajat dengan laki-laki, namun mengapa kalian ingin diistimewakan ketika kalian tidak memperoleh duduk di kereta?”

Mungkin itu yang berkecamuk di pikiran ku saat itu. Mohon maaf bagi para kaum feminis, bagi para kaum perempuan, mohon maaf sekali atas sikap ku itu. Mungkin lain soal jika aku sedang dalam kondisi sehat, lain soal jika yang berdiri itu adalah perempuan hamil, lain soal jika yang berdiri itu laki-laki atau perempuan jompo, atau lain soal jika yang berdiri itu seseorang dengan kondisi khusus yang butuh kursi untuk duduk. Tapi aku melihat dengan jelas bahwa para perempuan itu dalam keadaan tidak kurang suatu apa.

Sepanjang perjalanan 45 menit Stasiun Gambir ke Bogor memang cukup lumayan untuk menikmati tidur di saat flu seperti itu. Setiba di Bogor, aku tidak langsung turun. Aku biarkan seluruh penumpang di gerbong untuk turun lebih dulu. Para perempuan yang bersender di kursi ku pun turun terlebih dulu. Sebelum turun kami saling menatap. Tatapan mereka sepertinya penuh kebencian. Seolah-olah ingin berkata keras padaku,

“Huh! Dasar cowok egois!”

Bogor, 19 April 2009

Happening Art Di Gerbong Kereta : Sebuah Karya Seni Unik, Sebuah Kritik Sosial, Atau Sekedar Mencari Nafkah?

Tahun 1998, menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa ini, gelombang reformasi, kerusuhan Mei, hingga peralihan kekuasaan mewarnai perjalanan bangsa. Namun bukan itu yang aku ceritakan, ini hanya sebuah kisah sederhana di atas gerbong kereta.

Sekitar pertengahan Juli 1998.

Saat itu awal aku kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen PPM di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sebenarnya aku mengambil kost di daerah Cikini, namun seminggu sekali aku pulang ke Bogor. Biasanya aku pulang Jumat malam atau Sabtu pagi.

Sabtu pagi, jam 8an, seperti biasa, pulang ke Bogor menggunakan kereta api Jakarta – Bogor kelas ekonomi, naik dari Stasiun Gondangdia. Suasana di stasiun relatif sepi, kereta api yang aku tumpangi pun juga sepi. Selain karena arus balik Jakarta-Bogor, juga karena hari Sabtu memang bukan jam sibuk. Kereta berjalan normal, terkadang sangat cepat, namun otomatis melambat saat berhenti di sebuah stasiun.

Setiba di Stasiun Depok, seluruh kursi terisi penuh, segelintir penumpang hanya berdiri, namun tidak sesak seperti ketika jam sibuk. Masih ada ruang berjalan di tengah gerbong, baik bagi para penjual, pengemis, maupun pengamen. Seiring dengan masuknya beberapa penumpang di gerbong yang kutumpangi, masuklah seorang pemuda berperawakan tinggi, kurus, berambut gondrong, dan bersorot mata tajam. Sorot mata tajam itu didukung pula oleh celak mata yang menghias mata bagian bawahnya.

Kereta kembali berjalan.

Tiba-tiba pemuda tadi berdiri di tengah-tengah gerbong,

“Reformasi!”

Mimik mukanya terlihat serius, dibarengi kepalan kedua tangan, tangan kanan terkepal keatas, tangan kiri mengepal erat dibawah. Ternyata pemuda itu sedang membaca puisi atau mungkin maksudnya melakukan happening art di atas kereta. Teriakan demi teriakan dilakukan pemuda itu. Dengan gaya mirip pembacaan puisi atau deklamasi di acara 17an. Aku tidak ingat, apa saja kata-kata yang diteriakkan dalam puisi itu. Yang jelas temanya mengenai perjuangan mahasiswa, kesengsaraan rakyat, dan cercaan terhadap koruptor.

Sesekali tangannya bergerak-gerak mirip sang maestro Rendra membaca puisi, mata tajam melotot menatap para penumpang, rambut panjangnya dibiarkan berantakan menutupi wajahnya tatkala kepalanya bergerak kencang menoleh dari satu mata penumpang ke mata penumpang yang lain.

Hingga suatu saat, pemuda itu berlutut. Berteriak setengah merintih, seolah merasakan penderitaan rakyat. Berlutut itu sepertinya menjadi akhir dari pembacaan puisi pemuda itu, karena nada pembacaan puisi semakin lama semakin rendah seiring tertunduknya kepala pemuda itu saat berlutut.

Namun pertunjukan tidak hanya sampai disitu. Saat berlutut dan menunduk, ternyata pemuda itu melanjutkan pertunjukannya dengan bersujud. Apa yang dilakukannya? Diluar dugaan, diluar logika berpikir orang, dan diluar segala kewajaran pertunjukan di kereta api, ternyata pemuda tadi tidak sekedar bersujud. Pemuda itu sedang menjilati lantai kereta api!

Lantai kereta api yang penuh debu, bekas injakan orang, bahkan mungkin juga najis senajis-najisnya itu dijilatinya. Sepertinya jilatan lidah di lantai gerbong itu membentuk sebuah lukisan. Ya benar, beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit, kembali berdiri tegak mengepal, sambil berteriak,

”Reformasi!”

Bisa dibayangkan betapa kotornya lidah si pemuda itu. Aku lihat hasil lukisannya. Ternyata semacam lukisan wajah seorang pria berpeci. Entah wajah siapa yang dimaksud, namun aku berasumsi, wajah itu adalah wajah mantan Presiden Suharto (alm).

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemuda itu berbuat nekat seperti ini, yang pertama, dia melakukannya benar-benar mengatasnamakan seni yang unik, kedua, dia melakukannya karena ingin mengungkapkan kritik sosial atas kesengsaraan rakyat, ketiga, dia melakukannya karena memang ingin mencari uang alias mengamen dalam bentuk yang lain.

Aku –lagi-lagi- berasumsi bahwa pemuda itu melakukan aksinya karena gabungan ketiga hal tadi, yaitu menyampaikan kritik sosial dengan menunjukkan seni yang unik demi mencari uang. Mengapa begitu? Karena setelah pertunjukan, pemuda itu mengeluarkan sekantong plastik bekas bungkus permen dan mengedarkannya ke penumpang untuk diisi uang.

Setelah semua penumpang diedari kantong plastik, pemuda itu berpindah gerbong dan sayup-sayup aku mendengar suara teriakan dari gerbong sebelah,

“Reformasi!”

Dan aku hanya bisa tersenyum membayangkan pemuda itu harus menjilati seluruh 8 gerbong demi sebuah kritik sosial melalui seni yang unik demi mencari uang.

Bogor, 18 April 09 – untuk para pejuang nafkah di gerbong kereta

Jumat, 24 April 2009

Keramahan Datang Dari Ketulusan Hati

Pekerjaanku yang menuntut untuk selalu keluar kota, membuat frekuensi naik pesawat menjadi relatif tinggi. Hampir semua maskapai skala nasional pernah aku tumpangi, membuat aku bisa membandingkan pelayanan setiap maskapai. Selain faktor keselamatan, masalah keramahan para kru pesawat menjadi daya tarik tersendiri.

Suatu pagi, saat menaiki pesawat dari Maskapai A dari Jakarta menuju Jogjakarta.

Aku menaiki pesawat dari Maskapai A, aku selalu mendapati keramahan dari para pramugari, pramugara, serta para kru dari maskapai ini. Aku perhatikan mereka adalah para kru senior baik dari sisi pengalaman maupun dari sisi usia. Jika melihat para pramugarinya, mereka terlihat sangat menarik dengan senyum mengembang tatkala menyambut penumpang. Mereka tidak lagi muda, namun tetap terlihat menarik dengan pakaian seragam yang cukup elegan yang mereka kenakan.

Ketika memasuki pesawat, selalu ada sapaan,

“Selamat pagi, Pa, selamat datang.” ramah menyapa seluruh penumpang satu per satu tentunya tidak lepas dengan senyum mengembang yang tulus dari hati.

Ketika menuju kursi duduk pun, sudah siap para pramugari lain yang menyambut dengan perkataan,

“Nomor berapa kursinya, Pa?” tetap dengan keramahannya.

“Oh nomor itu masih di belakang, Pa, silakan, nanti dibantu oleh rekan saya di sana.” Keramahan berlanjut hingga kita duduk.

Belum lagi kesigapan para pramugari itu membantu penumpang menempatkan barang bawaannya di luggage bin di atas kursi penumpang. Jika luggage bin di atasnya sudah penuh, mereka pun sigap mencarikan tempat lain sebagai alternatif menyimpan barang. Kenyamanan pun menjadi nilai tambah bagi maskapai ini bagi para penumpang. Memang agak mahal dibanding maskapai lain, namun faktor keselamatan dan kenyamanan, ternyata tetap menjadi pilihan.

Di hari yang lain, saat menaiki pesawat dari Maskapai B dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Pagi-pagi sekali –jam 5 subuh- aku sudah berada di bandara untuk menuju suatu kota. Kali ini aku menaiki pesawat Maskapai B untuk menuju kota tersebut. Tak ada pilihan lain, hanya maskapai itu yang melayani jalur tersebut..

Jam 5.45 pagi, penumpang sudah dipanggil untuk boarding, alhamdulillah tepat waktu. Namun ternyata ketepatan waktu boarding itu bukan awal yang baik. Saat memasuki pesawat, aku mendapati 2 orang pramugari berdiri di dalam pesawat dekat pintu masuk. Pramugari satu sedang sibuk membenahi rambutnya sambil matanya melihat sebuah catatan –mungkin manifest penumpang- di meja kecil di depannya, pramugari satu lagi berdiri mematung di dekat pintu, dengan maksud menyambut penumpang, namun dengan wajah kaku, cemberut, dan tanpa senyum. Alih-alih mengucapkan selamat pagi, para pramugari itu malah sibuk sendiri atau berdiri mematung tanpa ekspresi. Di dalam pesawat setidaknya ada 2 lagi pramugari, namun setali tiga uang, mereka pun nyaris tanpa senyum.

Peristiwa berikutnya makin mengenaskan, aku melihat seorang bapak yang kerepotan membawa 2 tas, yang satu koper yang satu kresek besar, kesulitan mencari luggage bin yang kosong. Dan yang membuat kaget adalah ketika salah satu pramugari menyuruh bapak itu untuk ke belakang untuk mencari luggage bin kosong, dengan cara yang ketus dan setengah membentak,

“Bapak bawa aja barang-barangnya ke belakang sana, masih ada yang kosong!” ketus dia berkata, tanpa ada upaya mengantar si bapak.

Sebenarnya secara fisik, tidak ada yang salah dengan para pramugari itu. Mereka cantik, muda, dan berpenampilan menarik. Setiap laki-laki pasti tidak akan bosan melihat penampilan mereka. Hanya saja, kecantikan, usia muda, dan penampilan menarik itu menjadi tidak ada artinya ketika mereka tidak bisa menunjukan keramahan setidaknya melalui senyum yang tulus dan sikap yang hangat bagi penumpang.

Jika dibandingkan, Maskapai A dengan Maskapai B, memang orang lebih akan memilih Maskapai A. Kecuali masalah harga tiket yang mahal –harga tiket Maskapai A bisa 2 atau 3 kali lipat Maskapai B- maka penumpang lebih baik memilih Maskapai A. Sebenarnya bagi Maskapai B, tidak akan sulit menjaring penumpang. Justru seharusnya para kru udara bisa menjadi nilai tambah bagi mereka, asalkan mereka menambahkan satu hal yaitu keramahan yang datang dari ketulusan hati.

Menurutku, keramahan dari ketulusan hati, tidak memerlukan biaya besar bagi perusahaan. Dengan harga lebih murah yang ditetapkan Maskapai B saja sudah cukup bagi mereka untuk menampilkan keramahan. Tidak perlu biaya khusus. Tidak perlu menaikkan harga. Karena senyum keramahan yang tulus dari hati merupakan investasi sangat murah bagi Maskapai B sebagai cara untuk menjaring penumpang.

Bogor, 19 April 09

Rabu, 22 April 2009

Sekejap Bendera Itu Terbalik, Berbulan Rasa Malu Tak Hilang

Saat itu baru saja terjadi euphoria kemenangan SMAN 1 Bogor khususnya Pandawa 16 sebagai juara 2 di Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (lihat tulisan “Kami Bangga Meski Hanya Juara Dua”). Meski tidak terlalu menjadi pembicaraan di sekolah, namun kemenangan itu membentuk kebanggaan bagi kami sebagai anggota Pandawa 16.

Selanjutnya rutinitas sebagai Pandawa 16, tetap dijalankan, latihan rutin sebagai persiapan bagi seleksi Paskibraka Kodya Bogor dan –tentunya- bertugas sebagai penyelenggara upacara bendera tiap Senin di sekolah. Sebenarnya petugas dalam upacara bendera itu dilakukan bergiliran tiap kelas, biasanya tugas itu dibebankan ke kelas 1, misal minggu ini kelas 1-1, minggu depannya 1-2, begitu seterusnya hingga 1-8, kemudian diputar lagi ke 1-1. Namun ada juga satu waktu, tugas itu diberikan kepada Pandawa 16.

Senin pagi ini, giliran Pandawa 16 bertugas, inilah saatnya kami berperan. Kemenangan juara 2 itu masih membayangi kami, di satu sisi, kami sudah saling memahami setiap pergerakan upacara, di sisi lain, ada beban tersendiri jika upacara tidak berjalan lancar. Seperti biasa masing-masing pos petugas telah ditentukan, Ario sebagai komandan, aku, Dika, dan Eri pengibar bendera, Wita dirigen, Trisnawita pembaca protokoler, Ratri pembaca UUD 45, Indri pembaca doa dan Dony menjadi ajudan pembina upacara. Sebenarnya nama petugas secara pasti, aku tidak terlalu ingat, namun yang pasti aku berperan sebagai pengibar bendera khusus yang membentangkan bendera untuk dikibarkan.

Tiga hari berturut-turut kami melakukan latihan, kesulitan klasik muncul, karena kami berselisih waktu masuk sekolah, sebagian masuk pagi sebagian masuk siang. Akhirnya waktu latihan antara jam 12.00 – 13.00 siang. Jam 12.00, anak pagi pulang, sementara jam 13.00 anak siang masuk kelas. Satu jam selama tiga hari kami latihan, rasanya cukup. Karena secara teknis, tidak masalah, hanya tinggal melatih kekompakan. Latihan pun relatif ringan, meski tetap diawasi oleh Agung, Kardinal, Margareth, Ike dan Tuti.

Di Senin pagi itu…

Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di markas Pandawa 16 di sebuah ruang di belakang sekolah. Sesekali aku dan Dika ke lapangan, memastikan tali bendera tidak kusut dan terikat dengan baik. Setelah semua beres, kami melengkapi seragam kami dengan rapi. Celana tetap abu-abu, baju OSIS putih harus lengan panjang, dasi dan topi yang wajib melekat. Jam 7 kurang 15, seluruh siswa dipanggil ke lapangan, Pa Bahrum dan Pa Memen sibuk mengejar-ngejar siswa yang kabur ke Gang Selot menuju warung Pa Ujang dekat SD Polisi.

Jam 7 tepat, upacara dimulai. Kami para petugas siap di pos masing-masing. Ario selaku komandan upacara, sigap berjalan langkah tegap ke tengah-tengah peserta upacara.
“Siaaaapppp…Grakkk…” lantang Ario memberi komando.

Acara demi acara protokoler dilakukan. Hingga sampailah pada pengibaran bendera merah putih. Aku, Dika dan Eri sigap melangkah dibawah komando ku. Dika, pengerek bendera berada di sisi paling kiri, Eri, pembawa bendera berada di tengah, sementara aku, pembentang bendera berada paling kanan sekaligus pemberi komando. Komando kuucapkan pelan, cukup didengar oleh 2 orang rekan pengibar yang lain.

Tibalah kami di depan tiang bendera, aku dan Dika, saling membantu melepas ikatan tali bendera di tiang. Dika sesekali mendongak melihat kerapian tali di tiang. Setelah dirasa rapi, Dika menyerahkan tali itu kepadaku dengan sigap. Tali kuambil, dan kurangkaikan satu per satu dengan ikatan di bendera yang dibawa Eri. Aku sempat ragu-ragu dengan tali yang diikatkan ke bendera,
“Benarkah tali ini sesuai dengan ujung bendera yang seharusnya?” batinku ragu.
Aku heran sendiri, kenapa aku ragu? Inikan sudah biasa, sudah beberapa kali aku lakukan, baik di upacara sesungguhnya maupun di latihan. Entahlah, pagi itu konsentrasi ku buyar, aku jadi ragu-ragu akan ikatan itu. Sepertinya Eri menyadari ini, dengan berbisik Eri berkata,
“Din, ga salah tuh!” bisik Eri
“Bener, ah!” jawabku, juga dengan berbisik.

Dika terdiam memperhatikan perdebatan kecil kami, Dika memang berada di sisi yang lain, yang tak bisa secara langsung melihat ikatan tali itu.
“Din, salah! Copot lagi, ulangi!” Eri makin keras berbisik, terlihat dia agak kesal karena aku tidak menuruti perkataannya.
Aku benar-benar ragu-ragu. Namun saat terakhir, aku meyakinkan diri. Aku tidak pedulikan bisikan Eri, aku mengikuti perkataan para instruktur,
“Pokoknya kamu harus yakin!” begitu biasanya para instruktur mengajari kami.

Eri tampak kesal, sepertinya dia yakin aku salah.
“Udah, kita tarik aja, udah kelamaan nih!” mataku kuarahkan ke Eri dan Dika. Dika mengangguk, Eri juga, namun dengan anggukan yang ragu-ragu.
Kutarik bendera seiring langkah mundur sekitar tiga langkah ke belakang. Ada teknik khusus dalam membentangkan bendera, seperti jepitan jari yang khas, langkah mundur yang terukur, dan jarak bentangan yang pas agar bendera tidak lepas. Bersamaan dengan langkah mundur itu kubentangkan tangan untuk menarik bendera, dan ternyata…

Bendera tidak terbentang! Malah jadi terbelit dan membentuk huruf X. Terdengar beberapa jeritan kecil dari arah peserta upacara. Mungkin mereka pun kaget dengan terbelitnya bendera. Melihat itu, sigap Ario memberi komando,
“Balik kanaaaannnnn…grakkk…”teriak Ario, komando itu merupakan perintah standar jika terjadi sesuatu pada saat pengibaran.

Setelah peserta upacara balik kanan, aku sibuk membetulkan bendera, namun sepertinya agak rumit, karena belitan itu sangat parah akibat salah ikat ujung tali dengan ujung bendera yang aku lakukan. Betul bisikan Eri tadi, tapi memang aku tidak mau mendengarkan, sehingga fatal akibatnya.

Sesaat setelah peserta balik kanan, sekonyong-konyong muncul dari barisan dengan berlari kencang ke arah kami, seorang perempuan, kakak kelas dari angkatan 91, bermaksud memperbaiki belitan bendera. Si kakak sigap memperbaiki, aku hanya bengong menyaksikan si kakak sedang merapikan bendera.
“Masih salah aja, malu-maluin!” begitu bisiknya kepadaku. Aku terhenyak sesaat.
“Udah, nih, ayo kibarkan!” sambil kembali ke barisan, si kakak kelas sempat berbisik keras ke arahku.

Karena bantuan si kakak, aku telah membentangkan bendera dengan benar. Aku berteriak,
“Bendera siap!” teriak ku ke arah Ario.
“Balik kanaaaannnn…grakkk…”Ario memberi komando.

Selanjutnya pengibaran berjalan lancar. Bendera tepat sampai di ujung tiang pada saat lagu Indonesia Raya berakhir. Dika memang piawai memadukan gerakan pengibaran dengan lagu Indonesia Raya. Upacara selesai sekitar 40 menit kemudian. Namun bagi ku tidak sampai disitu. Aku malu. Aku penyebab terbelitnya bendera. Pandangan orang seolah mencibir,
“Katanya jagoan baris berbaris, ngibarin bendera aja kebelit!” sepertinya itu yang berkecamuk di kepalaku. Berhari-hari rasa malu itu tak kunjung sirna. Bahkan berminggu dan bulan berikutnya, peristiwa itu terbayang terus.

Namun itulah dinamika, tidak selamanya kemenangan akan diraih. Mungkin aku saat itu sombong, takabur, merasa bahwa segalanya akan mudah dan tidak perlu konsentrasi. Dan ternyata akibatnya sangat fatal!

Kupang, 21 April 09 – untuk sahabatku para petugas upacara bendera…

Minggu, 19 April 2009

Gadis Desa Itu Memang Pintar Menyanyi

Tahun 1996, masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Garut.

Menurut dosen, KKN sebenarnya bertujuan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah untuk masyarakat dan juga mendekatkan mahasiswa kepada masyarakat. Jika diterapkan secara murni dan konsekuen memang tujuan itu akan sangat mulia. Apapun jurusan si mahasiswa, penerapan ilmu kepada masyarakat, memang bisa dilakukan melalui KKN ini.

Aku sendiri pada awalnya bingung bidang ilmu apa yang akan aku terapkan di tempat KKN, tidak mungkin rasanya memberikan materi ilmu Hubungan Internasional kepada para penduduk desa. Namun akhirnya aku putuskan untuk mengajar Bahasa Inggris ke anak-anak SD di desa itu.

Desa tempat KKN ku bernama Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.sekitar 90 menit perjalanan dari Bandung jika menggunakan bis umum. Aku beruntung karena desa itu tidak terlalu jauh ke pedalaman. Desa itu benar-benar di pinggir jalan raya Bandung – Garut. Cukup berjalan kaki sekitar 150 meter, sudah sampailah kita di tugu pusat desa.

Kami sekelompok KKN berjumlah 10 orang, yaitu aku, Nana (alias Ohim), Iwan, Hadian, Lenny, Yuyus, Enyim, Sonya, dan Profi, dan Eva. Kami semua berasal dari latar belakang jurusan berbeda. Selama 2 bulan aku di Desa Ciburial, pekerjaan ku jadi guru Bahasa Inggris. Jam 7 pagi aku berangkat mengajar, pulang jam 10, selanjutnya luntang lantung teu puguh (luntang lantung ga jelas). Terkadang aku ikut ke ladang tembakau, ke sawah, main bola, main voli, sampai ikut latihan menyanyi dangdut. Kesibukan bertambah menjelang tujuh belasan dan Maulid Nabi Muhammad SAW, karena pada dua acara itu, dirayakan lebih besar dari biasanya.

Suatu hari di perayaan Maulid Nabi.

Perayaan Maulid Nabi dilaksanakan berbagai acara, berbagai perlombaan, baik yang melibatkan anak-anak sampai orang dewasa. Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah lomba menyanyi untuk kategori dewasa, baik pria maupun wanita. Pemuda dan pemudi desa berbondong-bondong mengikuti lomba ini, dari yang memang berbakat menyanyi maupun yang berada pada level asal bunyi. Tugasku saat itu adalah –bersama 2 rekan KKN yang lain- menjadi juri lomba menyanyi kategori dewasa tersebut.

Adalah Eneng –sebut saja begitu, karena memang begitu dia dipanggil dan aku sama sekali lupa nama aslinya- biduan desa itu. Usianya masih 15 tahun, cantik, dengan jilbab dan busana muslim yang selalu melekat di tubuhnya. Eneng adalah putri pertama Pak Adad Musyadad, seorang petinggi desa dan orang yang dianggap paling berpengaruh se-Ciburial. Eneng dikenal sebagai biduan desa bersuara emas. Eneng lah langganan juara setiap acara Maulid Nabi ataupun tujuhbelasan.

Singkat kata, tibalah saat Eneng tampil. Suara sorak menyambut Eneng. Dengan percaya diri Eneng menyanyikan bait demi bait lagu, lancar, tanpa cela. Suara lengking tinggi begitu jernih terdengar. Sound system desa yang kurang optimal, tidak mengurangi kejernihan suara Eneng. Berturut-turut dua lagu dibawakan, sorak penonton tak henti bergemuruh, juri pun –termasuk aku- terpesona karenanya. Aku memberikan nilai nyaris sempurna untuk Eneng. Aku lihat dua juri yang lain pun demikian. Hasil penilaian kami diserahkan kepada panitia untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan. Aku yakin dari sudut manapun, Eneng akan menjadi juara.

Setelah semua peserta tampil, tibalah saat pengumuman, saat yang ditunggu-tunggu para peserta. Aku sendiri mendengarkan pengumuman dari warung minum beberapa puluh meter dari panggung. Aku pikir, untuk apa aku dengarkan pengumuman, toh yang akan menang pastinya Eneng. Dan lagi, pengumuman pemenang itu akan pasti terdengar dari warung tempat ku minum.

“Dan juara 1 untuk kategori wanita dewasa adalah….Ucu….!” begitu teriak MC mengumumkan pemenang.

“Hah, Ucu! Kok bukan Eneng…?” batinku

Bergegas aku meninggalkan warung.

“Teh, nanti saya bayar, ya, ada yang penting nih!” ucapku ke si Teteh penjual minuman.

Setiba di dekat panggung, aku melihat Eneng sedang menangis sesenggukan di salah satu rumah di sekitar situ. Aku menemui dua rekan juriku. Kelihatannya mereka kebingungan juga, karena mereka pun memberikan nilai nyaris sempurna. Kedua juri rekanku mengira aku memberikan nilai buruk untuk Eneng, sehingga secara rata-rata nilai Eneng berada di luar 10 besar sekalipun. Aku mencoba konsolidasi dengan para juri. Aku panggil panitia penghitung nilai.

Dan ternyata, ada kesalahan penghitungan oleh panitia. Nilai Eneng yang dijumlah hanya dari dua juri, sementara secara rata-rata dibagi tiga. Jelaslah nilai Eneng menjadi sangat kecil. Pontang panting aku merekap ulang nilai, aku panggil seluruh panitia, aku minta mereka merekap ulang, dan membatalkan kemenangan Ucu dan menggantinya dengan kemenangan Eneng. Dari sudut mata kulihat Eneng memperhatikan “perjuangan” ku. Eneng ikut berharap cemas akan apa yang aku sedang usahakan. Walau bagaimana pun, pastinya malu jika mengetahui bahwa dirinya kalah setelah sekian lama terus juara.

Benarlah adanya, nilai Eneng –setelah dihitung ulang- menempati posisi teratas. Bahkan jarak nilainya sangat jauh dibandingkan juara 2 –yaitu Ucu. Pengumuman ulang dilakukan, dan pemenangnya memang Eneng. Alhamdulillah, memang keadilan itu tetap ada, kesalahan diperbaiki, dan yang berhaklah yang menang.

Saat ini, 13 tahun kemudian.

Sering aku melintas Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, saat aku bertugas ke wilayah Garut dan Tasikmalaya. Namun tak ada keberanian aku mendatangi desa itu. Entahlah, hanya tak ada keberanian. Rasanya tak enak, ketika mendapati kita datang ke sana setelah 13 tahun melupakannya. Tentunya Eneng, dan banyak gadis muda lainnya, saat ini sudah mendapati kebahagiaan bersama keluarga mereka, atau para pemuda desa itu sudah berkiprah dan berperan banyak bagi keluarga. Insyaallah.

Jakarta, 23 Maret 09 – untuk para pejuang desa

Minggu, 12 April 2009

Gang Selot : dari Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Hingga Bakso Si Black

Sebuah Sabtu pagi di penghujung Maret 2009

Seperti biasa, rutinitas hari Sabtu, aku mengantarkan kedua anakku ke sekolah, satu di TK, satu di playgroup. Aku dan istriku, kami berdua secara rutin setiap Sabtu menjalani ritual antar mengantar ini. Dua jam kemudian mereka kembali kami jemput. Sambil menunggu dua jam itu berakhir, biasanya kami berdua mencari tempat-tempat makan pinggir jalan untuk memenuhi sarapan pagi. Bisa ke Taman Kencana, Lapangan Parkir Bogor Permai, atau di mana saja tempat yang biasa menjual makanan di sector informal ini.

“Kemana kita?” ujarku pagi itu. Memang agak membingungkan tatkala harus menentukan pilihan tak terencana.
“Gang Selot, yuk!” tiba-tiba istriku melontarkan ide yang tak biasa. Memang sejak ritual antar mengantar terjadi, kami tidak pernah makan di Gang Selot. Tak pernah terpikir ide itu sebelumnya.

Meluncurlah kami ke Gang Selot. Sedikit kesulitan mencari parkir, karena ternyata sekarang mobil dilarang parkir di depan SMPN dan SMAN 1 Bogor. Akhirnya kami parkir di kompleks perbankan di sebelah Balaikota Bogor. Cukup berjalan sekitar 100m maka sampailah kami di Gang Selot.

“Hmmm, Gang Selot!” batinku. Aku berada di sini antara 1987-1993, dari SMPN 1 sampai SMAN 1. Gang Selot menjadi saksi mata bagi berbagai peristiwa di kedua sekolah itu.

Aku berjalan perlahan, melihat di barisan depan ada Warung Joni. Warung segala ada, dari mulai alat tulis, alat jahit, sampai ke peniti. Aku ingat ketika SMP, bajuku robek tepat di bagian ketiak, sementara saat itu aku bertugas menjadi pengerek bendera. Mana mungkin aku mengerek bendera jika ketiak ku terlihat kemana-mana. Akhirnya aku menghampiri Warung Joni dan ternyata ada peniti, sehingga untuk sementara ketiak ku aman dari penglihatan orang.

Di sebelahnya ada Bapak Penjual Gorengan. Yang menjadi ciri khas dari gorengan ini adalah Tahu Slawi. Gorengan yang hanya terdiri dari setengah potong tahu kuning yang diisi gumpalan sagu. Makan Tahu Slawi ini akan lebih enak jika dicocol dengan saus sambal. Tahu Slawi ini sebenarnya relatif alot dan kenyal jika dikunyah. Butuh kunyahan hingga 32 kali jika ingin menelannya dengan sempurna. Jadi manfaat Tahu Slawi ini –selain rasanya enak- juga bisa digunakan untuk senam muka.

Di sebelahnya lagi ada Bapak dan Ibu (atau tepatnya Kakek dan Nenek) penjual es campur. Ciri khasnya adalah Es Kelapa Jeruk (atau Es Jeruk Kelapa?), berupa Es Jeruk yang ditambahi kelapa muda atau Es Kelapa Muda yang dicampur jeruk? Entahlah. Sama saja, kan rasanya? Ada juga penjual Es Doger. Es krim ala Sunda, berisi kelapa parut, alpukat diiris, dengan es yang sudah bergula kemudian diguyur saus warna merah manis.

Kemudian ada penjual Doclang, sejenis makanan yang terdiri dari ketupat, tahu, kentang rebus, diguyur bumbu kacang dan ditaburi kerupuk. Diantara semua, Doclang ini adalah favoritku. Sayang sekali, pagi itu Doclang belum buka. Katanya agak siang. Namun sampai saat ini Bapak Penjual Doclang masih sama dengan Bapak Penjual Doclang 16 tahun yang lalu. Ada juga Bakso Si Black. Aku tak tahu kenapa dipanggil si Black. Apakah yang menjual berkulit hitam? Pagi itu istriku membeli bakso ini. Dan rasanya masih sama dengan rasa bakso 16 tahun yang lalu.

Bergerak kemudian ada penjual mie ayam, somay, dan es campur yang dijual si Ibu. Semua yang aku sebut diatas, masih dihuni oleh para penjual yang sama. Mereka masih bertahan. Mereka menyaksikan para siswa datang dan pergi. Meski tak hafal nama, namun mereka mengenal wajah para siswa sejak belasan –bahkan puluhan- tahun lalu sampai saat ini.

Kini Gang Selot secara fisik tampak berbeda. Terlihat lebih permanen dengan bangunan sederhana beratap seng. Namun terlihat lebih gelap karena dibangun juga tembok tinggi untuk memisahkan antara SMPN 1 dengan Gang Selot. Selain itu ada beberapa tambahan penjual seperti menjual Soto Mie, Ice Blender, Bubur Ayam, dan Penjual Majalah & Koran.

Satu per satu aku datangi para penjual makanan yang kukenal tadi. Kusapa mereka. Alhamdulillah mereka masih kenal aku. Meski tak hafal nama, namun mereka sepertinya cukup familiar dengan wajahku. Setiap ketemu mereka selalu berkata,
“Eh, Neng, kumaha? Damang? Tos gaduh putra sabaraha?”
Yang artinya kira-kira,
“Eh, Dik, gimana? Sehat? Sudah punya anak berapa?”
Sebutan “Neng” memang menjadi ciri khas Sunda Bogor yaitu penyebutan orang yang lebih tua kepada anak muda baik laki-laki maupun perempuan. Sebutan itu hanya ada di Bogor. Di daerah Sunda yang lain, “Neng” hanya untuk perempuan.

Gang Selot memang menjadi saksi bisu kelakuan para siswa siswi SMPN dan SMAN 1 Bogor. Saksi bisu itu dilengkapi saksi hidup para penjual makanan minuman yang sekarang masih ada. Gang Selot bisa tahu si A jadian dengan si B, atau si C lagi marahan dengan si D, atau si E yang sudah putus dengan si F. Gang Selot juga tahu siapa yang sedang ulang tahun, karena rata-rata acara traktir mentraktir kala ulang tahun dilakukan di Gang Selot. Selain itu acara guyur mengguyur saat ultah juga melibatkan Gang Selot, karena air untuk mengguyur biasanya diambil dari air bekas cucian piring dari Gang Selot.

Gang Selot juga menjadi pelindung bagi siswa yang kabur dari kelas atau siswa yang kabur saat upacara bendera. Meski Pak Bahrum dan tim guru SMAN 1 atau Pak Bejo (Alm) dan tim guru SMPN 1 seringkali mengejar para siswa yang kabur itu, namun Gang Selot hingga terus jalan ke SD Polisi, menjadi jalur aman untuk kabur. Gang Selot pula menjadi tempat nongkrong para siswa hingga berlama-lama. Sejak pulang sekolah hingga sore menjelang. Atau sejak pagi hingga masuk sekolah di siangnya.

Gang Selot seperti menjadi ruang kelas kedua bagi para siswa. Sebuah ruang kelas yang justru sangat lengkap, karena selain tersedianya makanan dan minuman, Gang Selot menyediakan para “guru” yang bisa menjadi teman sangat akrab, para “guru” yang sampai saat ini aku lihat masih berjuang menyediakan makanan dan minuman bagi para siswa.

Sedikit aku berbicara dengan mereka. Ternyata didapat info bahwa, anak-anak zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Dulu, sangat banyak siswa yang nongkrong di Gang Selot, sehingga mereka mengenal satu persatu para siswa. Namun saat ini, berlama-lama nongkrong jarang dilakukan. Mereka hanya makan dan minum, kemudian sudah. Tak ada dialog, tak ada kedekatan, tak ada kesaksian kisah cinta dan tak ada “chemistry” yang terjadi.

Hal ini aku bisa pahami, mungkin memang karena kesibukan belajar para siswa saat ini yang berbeda dengan masa lalu, atau mungkin para siswa itu lebih suka nongkrong di mal yang bertebaran luas di Bogor. Entahlah, benar atau tidak, aku hanya menduga.

Gang Selot riwayat mu kini. Entah sampai kapan akan bertahan. Pengelolaan tempatnya memang lebih professional. Ada manajemen dari pihak kelurahan yang mengatur. Ada upaya untuk melanjutkan usaha sector informal ini.

Semoga Gang Selot tetap memberi penghidupan layak bagi para penjualnya dan tetap menjadi saksi bisu berbagai kisah di lingkungan para siswanya. Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Mie Ayam, Bakso si Black dan Somay, siapapun yang pernah menjadi siswa siswi SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor, akan selalu mengenang dan membayangkan rasa makanan dan minuman itu di lidah.

Bogor, 28 Maret 09 – untuk para alumnus SMPN dan SMAN 1 Bogor
Bisa juga dilihat di suzaridian.blogspot.com