Rabu, 20 Mei 2009

Wajah Lempeng Penyelamat Nasib Kami

Contek mencontek menjadi kebiasaan yang dianggap wajar bagi para siswa. Salah memang, namun bagaimana lagi, dikala godaan nilai bagus, kesempatan yang ada, dan tentunya kelengahan guru, menjadikan mencontek menjadi kebiasaan dan “keharusan” di kala ulangan. Modus operandi? Tak perlulah aku ceritakan, karena semua pasti sudah tahu akan hal itu.

Suatu hari, dikala ulangan matematika di kelas 2 Physic 3.

Siang itu begitu panas. Waktu menunjukkan jam 1 siang. Sudah terbayang, betapa menyiksanya pelajaran yang diadakan di siang hari, panas, haus dan tentunya mengantuk. Jam pertama, ulangan matematika. Pelajaran matematika saat itu dibimbing oleh Ibu Yuli –rasa hormat kami yang paling tinggi bagi Ibu Yuli. Lain dari ulangan biasa, ulangan matematika ini terdapat dua jenis soal, soal A dan soal B. Soal A khusus untuk murid yang sebelah kanan, soal B khusus untuk murid sebelah kiri di bangku yang sama. Strategi ini bagus untuk menghindari saling contek antar murid di bangku yang sama.

Saat itu aku duduk dengan AS, pemuda berbadan tinggi langsing, berambut modis gaya jamur alias gondrong di atas. Sejak awal, AS sudah merencanakan akan menukar soal B yang dia pegang, dengan soal A dari teman di seberang bangkunya, sehingga, aku dan dia akan sama-sama memegang soal A. Maksudnya tentu saja supaya kami bisa bekerjasama mengerjakan soal A itu. Nanti jika akan dikumpulkan, tinggal ditukar dengan teman dari bangku sebelah itu. Teman di bangku sebelah yang menjadi sasaran penukaran yaitu Riri alias Joely Gloriana, Riri pun sepakat untuk itu.

Singkat kata, soal pun dibagikan.
“Soal A untuk murid di sisi kanan, soal B untuk murid di sisi kiri! Jangan ada yang berani menukar!” lantang Bu Yuli sambil membagi soal. Soal dibagikan dalam kondisi tertutup, satu per satu Bu Yuli membagikan ke setiap anak. Benar-benar guru yang telaten untuk mencegah kecurangan di pihak murid. Semua soal terbagi dalam waktu yang cukup lama. Namun tetap saja ada kelengahan Bu Yuli, yaitu AS ternyata berhasil menukar soal B dengan soal A dari Riri, sehingga aku dan AS di bangku yang sama, memegang soal yang sama, dan akan mempermudah bekerjasama.

Pengerjaan soal berjalan lancar. Belum ada saling contek antara aku dan AS. Soal-soal awal relative bisa diselesaikan. Sebenarnya jikapun sendiri, seluruh soal pasti akan bisa dikerjakan. Namun tetap saja godaan saling lirik tetap ada di akhir ulangan. Bu Yuli berkeliling kelas mengawasi satu per satu para siswa. Semua tertib, hening, dan khusyuk dengan soal masing-masing. Hingga suatu saat, Bu Yuli menghampiri meja kami

Aku tegang melihat Bu Yuli menghampiri kami. Bagaimana jika soal ulangan AS terlihat? Bagaimana jika kami ketahuan? Bagaimana jika…? Entahlah, konsentrasiku langsung buyar, keringat dingin mulai muncul, remang bulu kuduk mulai timbul. Jantungku berdetak keras, sangat keras hingga aku khawatir terdengar oleh Bu Yuli. Kulirik Riri, wajahnya pun terlihat tegang. Kulirik AS. Aku berpikir, apakah AS merasakan yang sama? Namun aku melihat raut muka AS tak berubah sedikitpun, tetap tenang, seolah semuanya biasa. Posisi tangan AS memang tidak lazim, tangannya seolah menyembunyikan sesuatu, bukan contekan, namun menyembunyikan kode soal yang ditukar tadi.

Bu Yuli semakin mendekat, perasaanku semakin tak karuan. Benar saja, Bu Yuli memperhatikan pekerjaan AS. Meski kode soal ditutupi tangan, aku yakin Bu Yuli tahu mengenai soal yang tertukar –atau tepatnya ditukar- itu. Pastinya Bu Yuli hafal dengan seluruh soal yang dia buat.
“Lho, kamu tukar soalnya, ya!”
Akhirnya gelegar bentakan itu muncul dari mulut Bu Yuli. Seluruh siswa spontan bereaksi atas suara gelegar itu dan memandang ke arah kami.
“Engga Bu! Ini soal yang saya dapat.” AS berusaha membela diri
“Ga mungkin, saya sudah bagi soal sesuai meja!”
“Engga Bu, saya dapatnya soal ini.” AS masih keukeuh meyakinkan Bu Yuli.
“Ga mungkin!” bentak Bu Yuli

Seluruh kelas diam. Aku mulai panik. Aku lirik Riri, wajahnya pun terlihat panik. Tak berani kutatap wajah Bu Yuli, aku khawatir wajah panikku akan membongkar penyamaran AS. Aku tertunduk memandangi soal, padahal sama sekali soal itu tidak kubaca, malah semakin lama semakin terlihat buram di mataku.

“Ga mungkin, saya salah meletakkan soal ini!” tetap lantang Bu Yuli membentak AS, atau mungkin tepatnya membentak aku, AS dan Riri.
“Engga Bu, suer…!” AS tetap berkelit.
“Ga mungkin!”
Dan dengan spontan AS mengacungkan dua jarinya tangan kanannya sehingga membentuk huruf V pertanda bahwa “sumpah” dia tidak menukar soal. Yang membuat aku berdecak adalah wajah AS ketika mengacungkan tanda V itu sangat dingin, tanpa ekspresi panik, tenang, penuh keyakinan. Seandainya saat itu AS dites menggunakan lie detector aku yakin dia akan lolos dari intrograsi.

Sejenak kulihat mulai ada keraguan di wajah Bu Yuli tatkala melihat ekspresi lempeng AS.
“Kamu pindah duduknya, tuker dengan dia!” Bu Yuli memerintahkan AS bertukar duduk dengan Riri.
“Saya ga mau toleransi lagi kalau ada yang berani berbuat curang!” lantang Bu Yuli berbicara ditujukan ke seluruh kelas.

AS bertukar duduk dengan Riri, sehingga aku sekarang duduk bersebelahan dengan Riri dengan soal yang berbeda. Bu Yuli berlalu kembali ke mejanya dengan wajah kesal. Kesal karena tidak berhasil membongkar penyamaran AS juga kesal karena ada siswa yang mencoba berbuat curang meski beliau tak bisa membuktikannya.

Sejenak aku lirik AS, AS pun demikian. Melirikku dengan tatapan plong. Fiuh…lega. Wajah lempeng itu memang menyelamatkan nasib kami.

Banjarmasin, 15 Mei 09 – jika ingin nyontek, latihlah wajah lempeng Anda…

Sabtu, 16 Mei 2009

Nuansa Gang Selot di Resepsi Pernikahan Yolla dan Hans.

“Din, datang ya ke resepsi pernikahanku, tgl 16 Mei 09 nanti!” sebuah offline message Yahoo! Messenger masuk sekitar akhir April 2009.
“Tuh, aku tag juga undangannya di facebook!” lanjutnya lagi.

Yup! Yolla Chintya, teman lama, di SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor, mengundangku di acara pernikahannya. Lama aku tidak berjumpa Yolla sejak kami lulus 1993. Yolla melanjutkan karir menjadi pramugari dan saat ini bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di Dubai. Alhamdulillah, ternyata jodohnya pun –meski berasal dari Indonesia- juga bekerja di perusahaan yang sama. Aku menduga, pernikahan itu akan dilaksanakan di Dubai, tempat dimana dia bekerja sekarang.

Mengundang ke Dubai? Tidak mungkin lah aku bisa hadir!

Segera aku lihat undangan yang di-tag itu. Ternyata resepsi diadakan di Bogor, tepatnya di Sport Club Taman Padjadjaran. Segera aku tandai tanggal itu. Alhamdulillah, tanggal tersebut aku belum ada acara, meski sebelumnya ada jadwal pelatihan supervisor namun acara itu batal, sehingga insyaallah aku hadir.

16 Mei 2009

Sebenarnya ada 2 undangan untukku hari itu. Yang pertama, undangan informal jam 10.00 pagi di Gang Selot, acara ngumpul-ngumpul yang diprakarsai oleh Colino dan Erlan. Ingin rasanya aku datang ke acara itu. Maklum acara ngumpul-ngumpul seperti itu pasti akan selalu menyenangkan. Namun karena pagi itu aku ada sesuatu yang harus dilakukan bersama keluarga, maka aku batal hadir. Yang kedua, tentunya undangan formal resepsi pernikahan Yolla dan Hans. Untuk acara undangan resepsi ini aku sudah berjanji untuk hadir.

Malam itu aku dan keluarga bersiap-siap. Standar pakaian kondangan, batik dan celana warna gelap. Tak lupa aku menghubungi Ntik (Paramashanti) yang kebetulan sedang berada di Indonesia. Jauh-jauh hari memang kami sudah janjian akan datang bersamaan ke resepsi pernikahan Yolla. Jam 19.30 aku dan keluarga menjemput Ntik. Karena jarak yang sangat dekat, tidak sampai 5 menit, kami sudah tiba di tempat resepsi pernikahan itu.

Aku mengira, resepsi ini akan diadakan di sebuah gedung pertemuan. Namun dugaanku meleset. Ternyata wahana Sport Club disulap menjadi sebuah konsep resepsi pernikahan. Kolam renang menjadi pusat area resepsi, dihiasi bunga yang mengambang di atasnya, sementara lilin-lilin kecil berjejer melingkari pinggir kolam renang. Singgasana mempelai terdapat di ujung kanan, hiburan musik organ dan gitar terdapat di pojok dekat pintu masuk resepsi. Para tamu dipersilakan mengitari kolam sambil menikmati hidangan dan musik yang ditayangkan.

Aku dan keluarga, juga Ntik dan putrinya (Aya) segera menghampiri mempelai untuk memberikan selamat. Kedua mempelai tampak bahagia, senyum terus, dan tak berhenti mematut gaya untuk berfoto. Kamipun berfoto sebentar, kemudian –tentunya- makan.
“Ayo, ke sebelah sana makannya!” ujar Yolla. “Ada makanan Gang Selot, lho!”
Makanan Gang Selot? Oh, mungkin makanan sejenis yang ada di Gang Selot, bukan pedagang Gang Selot yang dibawa kesini, pikirku.

Namun dugaanku meleset. Aku kaget ketika pertama kulihat Mamang Doclang yang biasa mangkal di Gang Selot.
“Lho, Mang, kok disini?” tanyaku dalam bahasa Sunda.
“Iya, Neng, banyak kok yang lain, tuh ada siomay, toge goreng, es doger, es kelapa jeruk juga.” Jawab si Mamang Doclang.
Benar saja, aku melihat Abang Siomay, Mamang Toge Goreng, Bapak Tua Es Kelapa Jeruk, Mamang Es Doger, dan beberapa pedagang informal lain yang mangkal di Gang Selot. Yang tidak ada di resepsi itu adalah Warung si Joni! He..he..tentu saja tidak ada. Ngapain di resepsi pernikahan ada warung kelontong!

Satu per satu aku nikmati hidangan Gang Selot itu. Tak biasanya aku makan sebanyak itu di malam hari. Namun ini hidangan Gang Selot, tak mungkin aku lewatkan. Seolah balas dendam karena siang harinya aku batal menghadiri undangan ngumpul dari Erlan dan Colino di Gang Selot. Kucicipi doclang, siomay, toge goreng, es jeruk kelapa dan es doger. Tak peduli lagi aku dengan janji diet di malam hari. Hidangan Gang Selot membuatku luluh. Terima kasih Yolla dan Hans karena menghadirkan konsep unik di resepsi pernikahannya berupa hidangan Gang Selot.

Beberapa teman pada saat itu aku temui, selain Ntik, ada Assa Juliati Fumike, Linda, dan Tia. Sebelumnya beberapa teman juga hadir, namun segera undur diri karena ada keperluan lain. Sekilas reuni kami lakukan di sana, berfoto, ngobrol, dan tentu saja reuni dengan hidangan Gang Selot. Aku bersyukur, meski batal menghadiri acara ngumpul di Gang Selot, namun malam ini hidangan Gang Selot aku nikmati juga.

Untuk Yolla dan Hans, selain ucapan terima kasih atas konsep Gang Selotnya, aku dan keluarga mengucapkan selamat menempuh hidup baru, insyaallah sakinah, mawaddah, warahmah, dan “cetaklah” putra putri saleh dan salehah penerus agama dan bangsa. Amin.

Bogor, 16 Mei 2009 – sakinah, mawaddah, warahmah untuk Yolla dan Hans.

Minggu, 10 Mei 2009

Ikatan Erat Itu Bernama Phy3 1993

Pertengahan tahun 1991, kenaikan kelas dari kelas 1 ke kelas 2. Ada yang masuk kelas Fisika, Biologi, dan Sosial. Semua tergantung minat dan tentunya kecocokan nilai di rapot. Setelah melalui pemikiran panjang, batinku mengatakan Sosial, tapi akhirnya karena satu dan lain hal, aku memilih Fisika.

Di hari pertama sekolah, langsung diumumkan nama-nama di setiap kelas. Aku terdaftar di Physic3. Banyak nama yang aku sudah kenal namun juga tidak sedikit yang belum. Sempat beredar kabar, kalau beberapa teman dari berbagai kelas hendak mengajukan proposal ke dewan guru untuk pindah kelas. Motivasi mereka pindah kelas disebabkan kesamaan hobi yang mereka miliki. Misal beberapa teman yang jago basket, ingin berada dalam satu kelas, sehingga akan terbentuk tim basket yang kuat dan akan menjadi jawara di class meeting. Aku heran dengan ide itu, kalau para jagoan basket bergabung di satu kelas, dimana semangat kompetisinya, karena pastinya nanti akan terus menang.

Selanjutnya memang tidak ada yang pindah kelas dan inilah, Physic3 dengan keberagaman siswa siswi dari berbagai latar belakang. Awal-awal di kelas memang menjadi serba canggung, komunikasi hanya terjadi antara yang sudah kenal. Aku lupa awalnya, namun tiba-tiba aku sebangku dengan seorang siswa berkacamata, selalu terlihat serius, dan dia seperti siswa pintar yang kutu buku dan hobinya belajar. Dia adalah Dwi Trisno Susanto. Aku tidak kenal sebelumnya, namun dengan duduk sebangku malah persahabatan kami berdua berlanjut hingga saat ini.

Meski aku di kelas Fisika, namun aku gagap Fisika, juga Biologi apalagi Kimia. Agak lumayan di Matematika, namun istimewa di Sejarah. Terbayang, kan, betapa salah jurusannya aku saat itu. Tapi, Dwi lah penolongku, bukan…bukan…, aku bukan diajari Fisika oleh Dwi, tapi saat ulangan Dwi rela memberikan contekannya padaku, sehingga aku bisa lolos di berbagai ujian. Thanks, Dwi…

Sepanjang perjalanan, kelas memang mengalami berbagai dinamika. Ketua kelas pertama adalah Didit Heryadi, anak band, gondrong tanggung, meski berusaha berwibawa, tapi tetap “ga ja’im”. Ketua kelas kedua (di kelas 3) adalah Ahmad Yunianto, pemuda berkacamata, pendiam, tidak terlihat adanya wibawa, malah mungkin dia merasa terjebak untuk jadi ketua kelas. Sebagai suatu dinamika, kelas terbagi menjadi tiga bagian, sayap kiri, dimotori oleh beberapa siswa seperti Colino, Parto, Donny, Ferry, juga sang ketua kelas Ahmad. Ada sayap tengah, seperti Azwar, Anang, Didit, Wowo, Yadi, I’I dan beberapa anak lain. Juga pastinya ada sayap kanan, dengan salah satu anggotanya adalah Andi, Ican, Sidik, Dwi, dan aku.

Siswi perempuan? Rata-rata mereka duduk di depan sampai tengah, kecuali satu perempuan yang selalu di belakang, berpindah-pindah tiap sayap, kadang di kiri, tengah, bisa juga di kanan, yaitu Memes. Sebenarnya ada juga kelompok-kelompok kecil terbentuk, seperti kelompok Keluarga Van Danoe yang terdiri dari Ican, Dwi, aku, Fitri, Wieta, dan Kenny. Namun pengelompokan itu tidak serta merta menjadikan kelas terbagi menjadi beberapa strata, semua sama, semua bercanda, semua saling melindungi, tidak hanya sekedar sahabat, tapi layak disebut saudara.

Kelas Physic3 ini juga dihuni oleh banyak pengurus OSIS, dan beberapa pengurus organisasi intra sekolah lain. Sehingga pernah suatu waktu, ketika ada suatu kegiatan yang melibatkan banyak organisasi intra sekolah, kelas Physic3 benar-benar sepi dan hanya dihuni kurang dari sepuluh siswa. Kebandelan masing-masing anak di Physic3 ini pun memiliki kesan tersendiri, ada Ferry Cugito, anak sok iye (lihat catatan di Facebook, Murid Sok Iye vs Guru Sok Galak), ada tukang menyembunyikan tas (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 1), ada juga peristiwa menyembunyikan motor (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 2) dan juga kisah sekelompok anak band (lihat catatan Jadi Anak Band di Tahun 90an).

Soal prestasi akademis? Ada beberapa orang peserta olimpiade Fisika dan Matematika yang dimotori oleh si jenius Lukman Azis sampai kepada peserta olimpiade bahasa Inggris (bo’ongan) yang dimotori oleh Sidiq Rizaldi (lihat catatan Olimpiade Bahasa Inggris, Emang Ada?). Memang siswa terbaik di akhir masa sekolah tidak direbut oleh anggota kelas ini, namun nama-nama jenius kelas cukup menggetarkan dunia pendidikan di SMAN 1 saat itu.

Aku? Alhamdulillah, aku yang benci Fisika, Kimia, dan Biologi, cukup bisa bertahan di kelas itu, tentunya dengan bala bantuan contekan jika ulangan. Puncak prestasiku di kelas adalah menduduki ranking 47 dari 48 siswa! Luar biasa! Yang aku tak tahu sampai saat ini adalah siapa yang menduduki rangking 48, karena aku akan menyalaminya dan mengajaknya foto bersama.

Di akhir kelas tiga, kami harus mulai menentukan arah hidup kami, kemana kami akan melanjutkan kuliah. Setiap orang punya pilihan dan itu berarti saatnya berpisah. Hari-hari terakhir menjadi hari yang mengesankan bagi kami. Pasca Ebtanas, meski tak ada pelajaran apapun, kami tetap berkumpul, tertawa, bercanda. Seolah enggan kami melepaskan waktu sedetik saja untuk jauh satu sama lain, enggan beranjak sekejap saja dari ruang kelas, dan enggan memalingkan muka dari bangunan kuno yang ikut mendidik kami.

Seperti lazimnya sebuah komunitas yang akan berpisah, kami sepakat untuk mengadakan perpisahan kelas. Bertempat di salah satu villa di Puncak, kami berkumpul di sana. Tidak semua 48 siswa hadir, namun tidak mengurangi kebersamaan kami. Acara puncaknya adalah ketika kami menyalakan api unggun, berdiri melingkar, dan saling mengungkapkan rasa haru akan kehilangan. Hati kami seolah sepakat bahwa meski kami berpisah, namun tidak akan pernah benar-benar berpisah. Karena persahabatan itu ada di hati yang tak mungkin sirna hanya karena jarak.

Acara api unggun diawali dengan pidato dari Didit Heryadi selaku ketua kelas pertama, sepertinya agak enggan Didit bicara. Tak biasanya memang. Biasanya Didit akan sigap jika diminta bicara, namun saat itu Didit terlihat gagap, tercekat, kelu, dan hanya mengucapkan beberapa patah kata tersendat,
“Wa..walau..pun kita ber…jauhan…, tapi kita sepakat…untuk tidak saling melupakan…!”terlihat jelas air mata mengalir di pipinya, seiring itu, air mata kelas pun menggenang dan mengalir membasahi pipi. Tak ada yang mampu menahan genangan air mata itu.

Selanjutnya Ahmad Yunianto selaku ketua kelas terakhir, didaulat untuk bicara. Dalam senggukannya, sebenarnya Ahmad menolak, namun tuntutan jabatan memaksa dia bicara. Setali tiga uang dengan Didit, lidahnya pun kelu, tak mampu bicara selain,
“Se..moga sukses…buat teman-teman semua…, insyaallah kita tetap dipertemukan!” begitu kira-kira ucapan Ahmad. Ucapan itu semakin menenggelamkan suasana malam itu, angin Puncak yang dingin menambah kebekuan hati dan tak mampu dihangatkan oleh genangan air mata yang membasahi pipi.

Acara api unggun ditutup dengan saling bersalaman, saling berkeliling menyalami satu per satu di antara kami. Pelukan erat saling ditautkan, sangat erat, menyesakkan dada, seolah enggan terlepas. Aku benar-benar tak mampu menguasai hati, air mata seolah tak habis mengalir saat kupeluk teman-teman laki-laki dan kusalami erat teman-teman perempuan. Saking terharunya aku, aku salah ucap ketika menyalami seseorang. Diawali dengan keliling bersalaman, aku tiba di barisan perempuan, di mataku kulihat Rina menjulurkan tangan menerima jabatku. Dalam senggukan, aku berkata,
“Rina, maafin gua ya, kita akan ketemu lagi, kan?” ujarku lirih
Namun apa yang aku dengar benar-benar di luar dugaan,
“Heh, ini bukan Rina, ini Kenny, gimana sih, lu!” ujar Kenny sedikit membentak.
Ternyata aku salah orang, namun kejadiannya menjadi lucu karena aku dan Kenny tertawa sambil tetap menangis mengalirkan air mata.

Saat itu, kami sepakat untuk tetap menjaga silaturahmi, tetap akan terus menjaga ikatan ini. Di tahun-tahun selanjutnya kami tetap sepakat bertemu, berkumpul. Ajang buka puasa bersama menjadi momen tahunan yang wajib kami hadiri. Selanjutnya karena sebagian besar diantara kami sudah memiliki keluarga, maka ajang buka puasa bersama diganti menjadi halal bil halal, namun dengan tetap dalam koridor reuni. Istimewanya, sejak kami lulus tahun 1993 sampai saat kami masih bernafas saat ini, kami tetap saling berkumpul dalam ajang satu tahun sekali tersebut., Tidak pernah satu kalipun acara itu absen dari jadwal kami. Memang tidak semua 48 siswa bisa berkumpul, namun tetap tidak mengurangi kebersamaan kami. Jika dihitung-hitung berarti kami telah bereuni sebanyak 16 kali sejak 16 tahun lalu kami berpisah.

Insyaallah, kami tak bisa dipisahkan.

Palembang, 4 Mei 09 : demi sebuah ikatan bernama Phy3 1993

Sabtu, 09 Mei 2009

Ada Senyum Di Tengah Rasa Sakit

Seperti diceritakan oleh Paramashanti Oktarianto

Mama : Ntik, Papa sakit, diabetesnya kambuh lagi, mesti masuk rumah sakit!

Pesan singkat di offline message Yahoo Messenger itu mengagetkanku. Duh, Papa masuk rumah sakit. Ingin rasanya aku terbang ke Bogor saat itu juga, menemui Papa dan ikut merawat. Tapi aku di Nagoya, ribuan kilometer jauhnya dari Bogor. Seandainya ini Jakarta, cukup dengan taksi, dalam 1 jam aku sudah sampai di Bogor. Seandainya ini Bandung, cukup dengan travel, dalam 3 jam aku sudah sampai di Bogor. Offline Message itu terkirim 5 menit yang lalu, berarti belum lama, segera aku meraih telepon untuk melakukan sambungan internasional ke Mama. Belum sempat aku memencet nomor, telepon itu sudah berbunyi. Mama! Tertulis di layer telepon.

“Halo, Mama, Assalamualaikum! Papa gimana? Sekarang udah masuk rumah sakit? Kadar gulanya berapa? Rumah sakit mana?” setengah panik aku bertanya semua hal pada Mama, seolah aku ingin mendapatkan semua jawaban pertanyaan itu dalam satu kalimat dari Mama.

“Walaikumsalam, hei..hei… kamu nanya kok ga berhenti-berhenti! Papa udah masuk PMI Bogor, udah di VVIP, udah dirawat sama dokter ahlinya. Kamu ga usah panik, insyaallah Papa ga apa-apa.” tenang Mama menjelaskan semua.
“Ntik, mau pulang Ma!” setengah menangis aku merajuk pada Mama
“Engga…engga, ga usah. Ga apa-apa kok, kamu di sana aja.” ujar Mama
“Sekarang gimana keadaan Papa?” lanjut ku
“Udah dikontrol sama dokter, luka gangren nya agak parah, udah pendarahan dan ada nanah, jadi mesti di operasi.” Mama menjelaskan detil di telepon.

“Aku pulang, ya Ma!” tetap saja aku merajuk. Aku tak lagi mampu berpikir, yang ada di pikiranku hanya pulang.Tak peduli dengan kerjaan di lab, tak peduli dengan janji bimbingan dengan sensei, tak peduli! Aku ingin pulang! Titik!
“Engga usah, Sayang! Papa ga apa-apa, udah kamu ga usah khawatir, berdoa aja, nanti Mama kabarin setiap dua kali sehari, lewat chatt aja ya!” lagi-lagi Mama mencoba menghibur

Pembicaraan berakhir, aku sedikit tenang setelah Mama telepon, namun tetap tidak bisa lagi konsentrasi dengan pekerjaanku. Untungnya bagian penting telah aku selesaikan kemarin, untungnya tadi malam aku begadang sampai subuh untuk menyelesaikannya. Hari itu aku tak tahu mesti mengerjakan apa, laptop aku nyalakan terus, YM aku aktifkan terus, sesekali ada sapaan dari beberapa teman, sedikit aku chatt dengan mereka sekedar untuk melupakan kekhawatiran. Tiba-tiba masuk chatt dari Mama, segera ku buka dan membaca.

Chatt ku dengan Mama lebih banyak diisi mengenai kondisi Papa. Secara umum kondisinya stabil, diabetes memang sulit diobati, semua akan tergantung pengawasan terhadap makanan dan kondisi psikologis. Alhamdulillah, Papa seorang dokter sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Namun ada cerita unik yang diceritakan Mama mengenai sakitnya Papa. Kira-kira begini ceritanya.

Masuk rumah sakit PMI, ternyata kamarnya penuh, terutama kamar VVIP yang memang diinginkan oleh keluarga. Namun tidak bisa ditawar lagi, Papa harus masuk rumah sakit. Rumah sakit lain? Tidak! Karena dokter yang menangani Papa berpraktek di PMI. Untuk sementara –sambil menunggu kamar kosong- Papa ditempatkan di ICU selama kurang lebih 2 jam. Beruntung karena 2 jam kemudian, ada kamar VVIP kosong, ditinggalkan oleh pasien sebelumnya yang telah sembuh. Setelah menunggu proses sterilisasi ruangan, Papa masuk dan istirahat sambil menunggu pemeriksaan lanjutan.

Pada saat di ruangan, ditunggui oleh Mama dan Kakak-kakak, tiba-tiba datang seseorang ke ruangan itu, mengetuk pintu,
“Assalamualaikum.” ujarnya
“Waalaikumsalam” serempak keluarga menjawab.

Ternyata ada seseorang yang didampingi ajudannya, menjenguk Papa. Mama mengenal orang itu yang tak lain adalah Bapak Diani Budiarto, Walikota Bogor. Mama heran,
“Lho, kok Pa Walikota datang menjenguk?” batinnya.
“Eh, maaf, kok yang sakit bukan Bapak A, ya?” bertanya Pak Walikota.
“Oh mungkin sudah pulang, Pa, tadi sebelum kami masuk.” Mama mencoba menjelaskan.
“Wah iya ya, terlambat saya, tapi tidak apa-apa, saya jenguk Bapak aja, Bapak sakit apa?” lanjut Pa Walikota. Dan akhirnya pembicaraan berlanjut, agak lama Pa Walikota “menjenguk” dan ngobrol dengan Papa. Alhamdulillah, di hari pertama Papa masuk rumah sakit sudah dijenguk oleh orang nomor satu di Kota Bogor.

Diakhir “kunjungan” Pa Walikota,
“Baik, saya pamit dulu Pa Bambang, insyaallah Bapak cepat sembuh, jangan lama-lama di sini.” ujarnya
“Terima kasih, Pa” jawab Papa
“Ini ada sekedarnya dari saya” Pa Walikota menyelipkan amplop saat bersalaman dengan Papa.
“Eh ga usah, Pa, kok jadi ngerepotin!” ujar Papa
“Ga apa-apa Pa, insyaallah berkah!” ujar Pa Walikota sambil meninggalkan ruangan.
“Terima kasih, Pa” serempak keluarga menjawab

Sekeluarga tersenyum mengingat peristiwa tadi. Diawali ketidaksengajaan, Pa Walikota “menjenguk” Papa, mengobrol cukup lama, dan terakhir menyelipkan amplop. Luar biasa hari ini, Allah SWT mengirimkan hiburan bermakna sehingga ada senyum di tengah rasa sakit Papa.

Bogor, 26 April 09 – Papa harus sembuh…

Sabtu, 02 Mei 2009

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit!

Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Mungkin jika kita mendengar ungkapan itu pada saat ini, komentar yang muncul adalah, “Kayak guru SD aja, nih!” atau “Kayak Ibu atau Bapak gua aja!” atau banyak komentar lain sejenis yang bernada sama. Tapi jika kita renungkan, sebenarnya makna ungkapan tadi teramat dalam. Ada juga yang menyebut cita-cita itu suatu mimpi. Banyak penulis membuat buku mengenai mimpi. Tak perlu disebutkan siapa, pastinya pembaca tahu siapa saja penulis ternama itu.

Berikut beberapa tulisan ringan mengenai cita-cita atau –sebut saja- mimpi.

Renungan 1
Suatu hari seorang kerabat keluargaku membutuhkan seorang supir untuk keluarga mereka. Keluarga ini baru saja membeli mobil –bekas memang- untuk kepentingan antar jemput putra putri mereka sekolah, kursus, dan keperluan lain. Kebetulan suami istri dari keluarga ini sama-sama bekerja, sehingga kedua putra putri mereka diasuh oleh babysitter dan membutuhkan supir untuk mengantar mereka beraktivitas. Kebetulan aku punya kenalan seorang supir, aku coba tawarkan kenalanku tersebut ke keluarga kerabatku tadi.

Namun sebelumnya, aku tidak mau gegabah, tidak mau sembarangan menawarkan orang. Aku perlu menginterview calon supir ini. Aku merasa bertanggung jawab akan apa yang dilakukan orang ini jika diterima menjadi supir pribadi di sana. Syukur-syukur jika kinerjanya bagus, jika tidak, tentunya aku yang menanggung malu. Singkat kata, aku panggil calon supir pribadi tadi, sebut saja namanya S. Pertanyaan standar interview kerja aku berikan padanya, mulai dari profil pribadi, kelengkapan SIM dan KTP, hingga pengalaman kerja. Ternyata selama ini, dia berpengalaman cukup lama jadi supir angkot dan supir toko bangunan. Mobil yang selama ini dibawa tentunya tidak se”mewah” mobil pribadi yang akan dibawanya nanti, demikian pula dengan cara mengendarainya.

Aku mulai ragu, cukup telatenkah dia membawa mobil pribadi? Ya sudahlah, dicoba saja. Semoga cocok. Namun bukan itu yang membuatku tersenyum, justru pernyataan terakhirnya padaku sebelum dia pergi, yaitu,
“Semoga saya diberi kesempatan, Pa, karena cita-cita saya dari dulu adalah menjadi supir pribadi!” ujarnya mantap penuh harap.
Aku tersenyum mendengarnya. ”Segitu sajakah cita-citanya?” batinku. Memang benar, pendidikannya tidak cukup memadai untuk menjadi seorang yang memiliki profesi mapan lainnya. Namun tentunya ada cita-cita lain yang jauh lebih tinggi, lebih memotivasi, dan lebih ambisius dibanding supir pribadi. Ataukah itu cita-cita ambisius yang boleh diimpikan oleh seseorang berpendidikan SMP seperti dia?

Renungan 2
Aku punya adik sepupu, perempuan, usianya saat itu 15 tahun, kelas 3 SMP. Dia –bersama seluruh kerabat keluargaku yang lain- tinggal di salah satu desa di daerah Katulampa Bogor. Suatu hari, disela-sela kesibukanku bekerja, aku mendatangi desaku itu. Sekedar untuk bersilaturahmi sambil menikmati kembali masa kecilku di desa. Secara kebetulan adik sepupuku ada disana, kami saling bicara, menanyakan kabar masing-masing. Nama adik sepupuku itu Y.
“Aa sehat?” ujar Y
“Alhamdulillah!” ujarku singkat
Beberapa dialog basa-basi terjadi antara kami. Hingga sampailah pada suatu pembicaraan mengenai pendidikan terakhir Y.
“Kelas berapa sekarang” tanyaku
“Kelas 3 SMP”jawabnya
“Wah, sebentar lagi SMA, dong!”
“Engga ah, ga mau nerusin ke SMA!”
“Lho, kenapa?” kaget aku mendengar keengganannya masuk SMA.
Di desa itu memang warganya tidak terlalu mementingkan pendidikan, apalagi perempuan. Jika diukur demografi, sedikit sekali warga desa itu berpendidikan SMA, selebihnya SMP, bahkan SD pun tak lulus.
“Soalnya, Y pengen jadi penjaga toko di Pasar Bogor, katanya cukup sampai SMP aja!” polos Y menjawab pertanyaanku.

Duh, penjaga toko? Pola pikir “penjaga toko cukup sampai SMP” itu menyebabkan Y hanya mau bersekolah sampai SMP? Berkali-kali aku coba meyakinkan agar dia melanjutkan ke SMA, toh soal biaya, bisa ada banyak yang akan membantu. Namun “mimpi” menjadi penjaga toko itulah menghancurkan segalanya, menghancurkan kelanjutan sekolahnya, bahkan mengubur kesempatan dirinya untuk menikmati jenjang pendidikan lebih tinggi.

Renungan 3
Anaku –Aidan- punya banyak cita-cita. Cita-cita yang dia punya pun berganti-ganti. Tergantung dari mainan apa yang saat itu dia sukai. Namun semua cita-cita yang diungkapkan membuatku berdoa, “Duh, semoga cita-cita itu hanya sekedar omongan anak balita!” Cita-cita yang dia ungkapkan memang “aneh-aneh” setidaknya menurutku.

Aidan sangat menyukai kereta api, sudah “belasan gerbong” kereta api mainan dibeli, dirangkai satu per satu sehingga berjalan memanjang di atas rel. Seringkali aku mengajaknya naik KRL Bogor – Jakarta –tentunya di hari Sabtu- sekedar untuk memberikan pengalaman padanya naik kereta. Sepanjang jalan, matanya tidak terpejam sedikitpun karena begitu menikmati naik kereta api. Suatu hari, di tangah perjalanan KRL, Aidan berdialog denganku.
“Pap, kereta paling depan itu apa namanya?” tanyanya
“Itu namanya lokomotif, yang menarik kereta, disitu ada masinisnya.” jawabku lengkap, dengan maksud agar Aidan tidak lagi bertanya, karena saat itu aku mengantuk dan ingin tidur.
“Masinis itu apa?” tanyanya lagi, memang anak kecil selalu ingin bertanya.
“Masinis itu supir kereta api!”jawabku sekenanya.
Beberapa saat Aidan terdiam, sambil terus matanya memperhatikan jalan, sampai tiba-tiba dia berkata,
“Pap, nanti kalau aku sudah besar, aku mau jadi masinis kereta api, ya!” lugas Aidan berkata.
Hah! Masinis kereta api? Duh, dengan segala hormat pada profesi masinis, aku berharap Aidan jangan jadi masinis kereta api. “Pilihlah cita-cita yang lain, Idan!” batinku.

Namanya juga anak kecil, aku anggap cita-cita itu sekedar khayalan dia akan mainan yang dimilikinya. Terbukti beberapa waktu kemudian, cita-cita itu berubah. Saat itu, mainan kesukaannya memang berganti, dari kereta api ke truk container. Sehingga dengan lugas pula Aidan berkata,
“Pap, kalau aku besar, aku mau jadi supir truk container, ya!” ujarnya

Hah! Duh…Idan..Idan…

Bogor, 2 Mei 2009 – sebuah mimpi di Hari Pendidikan Nasional.