Senin, 01 Juni 2009

Nasionalisme Sederhana Seorang Anak Bangsa

“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…”

Bait pertama lagu Indonesia Pusaka itu begitu sarat makna. Ismail Marzuki merangkai lirik dan nadanya dengan penuh penghayatan.. Sejak SD aku kenal lagu itu, namun baru kali ini lagu itu berkesan khusus.

Adalah Agnes Monica yang menyanyikan lagu itu dengan indah dalam sebuah acara di bertajuk Festival of Life di Garuda Wisnu Kencana di Bali. Acara itu merupakan acara memperingati tahun pertama di 50 tahun kedua persahabatan Indonesia – Jepang. Acara disusun dengan sangat megah dengan mengedepankan seni kontemporer.

“Indonesia sejak dulu kala, slalu dipuja-puja bangsa..” lantang Agnes Monica melanjutkan suaranya. Disini aku mulai merasakan getaran aneh. Mendengar bait demi bait yang Agnes Monica nyanyikan membuatku merinding. Rasa merinding itu semakin kentara ketika bait reffrein dinyanyikan. “Di sana, tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata..”

Sempurnalah rasa merinding itu. Sebenarnya lagu ini sudah sering aku dengar, sejak SD ratusan kali lagu ini diperdengarkan. Namun kenapa kali ini berbeda? Kenapa kali ini menimbulkan rasa merinding luar biasa? Kenapa kali ini seolah nasionalismeku bangkit? Pikiranku menerawang ke beberapa jam sebelumnya, tatkala aku dan tim berlari pontang panting mempertahankan kejayaan produk yang kami usung. Sore itu memang luar biasa bagi aku dan tim. Luar biasa lelah baik fisik maupun mental.

Berawal dari sebuah kesalahan yang –kami akui- kami lakukan. Aku sebagai salah satu pimpinan tim memang yang paling bertanggung jawab untuk kesalahan itu. Sebenarnya ada contingency plan yang kami lakukan, namun memang tidak banyak menolong. Gawatnya lagi pimpinan tertinggi perusahaan –berkewarganegaraan Jepang- ikut hadir di sana dan memeriksa kerja kami. Mengetahui adanya kesalahan, spontan sang pimpinan marah, sifatnya yang relative temperamen memang sudah biasa aku hadapi. Termasuk murkanya yang dilampiaskan di hadapan ratusan orang di sekitar.

Seperti yang aku tulis di atas, kelelahan kami adalah kelelahan ganda. Kelelahan fisik, yaitu kami bersembilan (aku, Suhendar, Budi, Sigit, M. Noor, Asari, Andin, Merry dan Dikky) dibantu oleh tim lokal Bali berjumlah sekitar 14 orang harus mengangkut 230 karton Pocari Sweat (berat per karton nya sekitar 9kg) dengan menaiki 75 anak tangga, dilanjutkan dengan berjalan mengangkutnya sekitar 100 meter menuju venue dan membagikannya ke 3000 kursi yang mirip kursi stadion sepakbola, berundak tinggi ke atas. Semua itu harus dikerjakan dalam waktu 45 menit, karena sebanyak itulah waktu disediakan oleh panitia.

Kemudian kelelahan mental karena kami melakukan itu semua dibawah tekanan dan murka sang pimpinan. Jika kita mengenang masa awal kita kuliah, dimana kakak kelas kita meng-ospek kita dengan teriakan-teriakan, maka itulah yang kami alami sore itu. Bedanya adalah, kami diperlakukan seperti itu dibawah pandangan miris ratusan orang di sekitar.

Benak kami memang jadi bertanya-tanya, kenapa seperti ini perlakuan pada kami. Kami mengerti bahwa kami melakukan kesalahan fatal, kami menyadari itu sesadar-sadarnya. Namun, apakah ini solusi instant saat itu? Akibatnya memang semua konsep yang kami rencanakan buyar, semua rencana dan ide mandek. Semua bermuara pada ketakutan akan murka lebih lanjut jika kami menjalankan ide kami dan dianggap salah oleh pimpinan.

Namun –seperti orang bijak berkata- segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Hikmah yang kami dapat adalah
1. Kontrol berganda harus terus dilakukan
Ketika sebuah konsep dan rencana kerja tiba pada sebuah implementasi lapangan, maka tidak ada pilihan bagi sebuah tim agar mengecek berulang-ulang kinerja lapangan sehingga semua berjalan sesuai rencana
2. Berpikir tenang dan jernih bukan berarti bertindak santai
Ketika menemukan adanya suatu masalah mendesak, memang diperlukan pemikiran jernih. Namun bukan berarti pemikiran jernih dilakukan dengan santai, sikap panik tetap diperlukan, sikap panik membuat kita bertindak cepat, bertindak sigap untuk menyelesaikan masalah, tapi tetap berpikir jernih.
3. Pentingnya mengalami kerja di bawah tekanan
Seringkali kita dihadapkan pada persyaratan ketika melamar kerja, yaitu :mampu bekerja di bawah tekanan. Mungkin inilah makna sebenarnya persyaratan itu. Kami sudah melewati fase bekerja di bawah tekanan tersebut. Luluskah kami? Belum tentu, karena mungkin kami akan tetap menghadapi hal yang sama di kemudian hari.
4. Pentingnya kejernihan hati dan pikiran di bawah tekanan
Dengan tekanan yang begitu keras, kami harus bisa berpikir jernih, harus bisa bertindak menggunakan hati. Hal ini diperlukan tatkala kita harus berargumen menjelaskan logika berpikir kita dibawah tekanan. Meski akhirnya konsep yang ditawarkan ditolak karena murkanya, namun setidaknya tawaran konsep kita tidak buyar begitu saja hanya karena rasa takut.

Kira-kira itulah hikmah yang bisa aku renungkan. Aku tetap berkomitmen untuk memajukan perusahaan, karena walau bagaimanapun juga di perusahaan inilah aku bernaung dan mencari nafkah. Segala yang aku alami tidak akan menumbuhkan sikap negative, namun justru memunculkan selaksa hikmah di dada, setidaknya untuk saat ini.

Selain itu, tidak saja hikmah yang aku rasakan. Ada yang lain yang tiba-tiba muncul seketika. Apa itu? Entah kenapa, di malam ketika Agnes Monica melantunkan lagu “Indonesia Pusaka” seolah muncul nasionalismeku, muncul rasa merinding, bahkan salah seorang rekan mengaku matanya berkaca-kaca tatkala mendengarkan lagu itu. Apakah karena aku dan tim mengalami tekanan luar biasa dari pimpinan yang notabene adalah orang asing? Ataukah karena lirik dan lagu luar biasa karya Ismail Marzuki dan dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Agnes Monica. Entahlah. Mungkin ini hanya sebuah nasionalisme sederhana yang muncul di hati seorang anak bangsa.

Denpasar, 24 Mei 09 – demi sebuah nasionalisme sederhana.