Rabu, 30 Desember 2009

Jadi Salesman? Ga Mau!

”Mas, cariin saya kerjaan, dong!” seorang adik sepupu yang baru saja lulus S1 dari sebuah universitas di Bandung suatu saat menelepon saya.
”Boleh! Kamu kirim CV kamu aja!” jawab saya, ”ada banyak lowongan di perusahaan saya, divisi sales lagi banyak butuh karyawan, tuh!” lanjut saya lagi.
”Hah! Sales! Jadi Salesman, dong! Ga mau, ah!” ujarnya lagi di ujung telepon sana.

Usai pembicaraan, saya termenung. Membayangkan mengapa begitu terperanjatnya sepupu saya itu ketika ditawari untuk bekerja jadi salesman. Seakan salesman itu pekerjaan kelas rendah, pekerjaan bagi orang yang ga ada kerjaan, bahkan dihindari karena dianggap mengganggu ketenangan orang. Memang diakui, profesi salesman bukan menjadi profesi yang dicita-citakan oleh seseorang. Belum pernah saya menemukan seorang anak yang menjawab “Mau Jadi Salesman” ketika ditanya cita-citanya. Kebanyakan anak-anak, menjawab jadi dokter, insinyur, atau profesi lain yang jauh mentereng.

Saya pun mencoba introspeksi diri. Lamunan saya terlempar ke tahun 2000 dimana karena kesulitan memperoleh pekerjaan, saya akhirnya menerima pekerjaan sebagai salesman. Ada keterpaksaan dalam keputusan itu. Ada sesuatu keengganan menjalankannya. Bahkan dari awal sudah ada niat untuk pindah kerja dan mencari profesi yang lebih mentereng. Namun seiring berjalannya waktu, saya seakan terbius, jatuh cinta, dan enggan berpisah dari profesi ini.

Apa yang menyebabkan saya menekuni profesi salesman? Ada beberapa faktor yang saya yakini merubah pola pikir saya. Pertama, profesi salesman merupakan ujung tombak perusahaan, divisi sales lah satu-satunya divisi yang menghasilkan uang bagi perusahaan. Sebagus apapun produk, sehebat apapun strategi marketing, seunik apapun iklan, akan sia-sia jika tidak ada divisi sales yang mendistribusikan produk tersebut ke berbagai saluran distribusi. Bisa dibayangkan betapa vitalnya divisi sales dan tim yang terlibat didalamnya, tanpa adanya mereka, bisa dikatakan perusahaan itu lumpuh. Divisi ini ibarat kaki-kaki perusahaan yang bisa membuat perusahaan berlari. Kedua, profesi salesman ternyata mempunyai masa depan yang cerah bagi yang tekun menjalaninya. Banyak contoh para pimpinan perusahaan, presdir, CEO mengawali karirnya dari salesman, banyak contoh pengusaha papan atas juga berawal dari seorang salesman. Hal ini bisa dimengerti karena profesi salesman memungkinkan seseorang menguasai lapangan, mengerti permintaan pasar, dan terlatih oleh tempaan mental yang kuat di pasar. Ketiga, profesi salesman ternyata menjanjikan income yang lebih besar dibandingkan divisi lain dengan level yang sama. Income salesman berasal dari tidak hanya gaji pokok bulanan, namun juga dari insentif yang didapat dari hasil penjualan. Keempat, tidak hanya income bisa didapat lebih banyak, namun juga pengalaman, pengetahuan, relasi dan jaringan sosial, dan info lain yang akan bermanfaat bagi pengembangan diri kita. Semua itu akan sangat bermanfaat kelak dalam penentuan karir, baik karir profesional di sebuah perusahaan maupun karir jika kita ingin berwirausaha.

Itulah sedikit alasan yang membuat saya bertahan di profesi ini hingga saat ini. Saya meyakini bahwa keputusan saya untuk tetap terjun di dunia sales tidak salah, saya meyakini bahwa apa yang terjadi selama saya di divisi sales akan sangat bermanfaat bagi saya kelak. Buat saya, profesi salesman bukan lagi profesi kepepet, bukan lagi profesi obralan karena mudah diterima di perusahaan, bukan lagi profesi yang tidak membanggakan, tapi justru bisa menjadi salah satu anak tangga menuju kesuksesan.

Dan yang pasti, justru akan muncul kalimat, "Jadi salesman? Mau!"

Denpasar, 30 Desember 2009

Rabu, 09 Desember 2009

Bernyanyi Cicak di Kandang Buaya

Tulisan ini tidak bermaksud terlibat dalam polemik tingkat tinggi antara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tulisan ini jauh dari keinginan untuk berpihak dalam polemik tersebut.

Di suatu hari Minggu, saya mengantar Idan –putra pertama saya- ke sebuah acara ulang tahun teman sekelasnya di SD. Hanya saya yang mengantar, karena pada saat yang bersamaan, istri saya harus menjaga putri kedua saya yang sedang sakit. Sejak awal saya diberi tahu bahwa yang berulang tahun adalah putri seorang pejabat tinggi kepolisian di kota Bogor. Tidak terbayang di benak saya, bagaimana jika seorang putri pejabat tinggi polisi merayakan ulang tahunnya. Tidak ada persiapan pakaian rapi yang saya kenakan, hanya kaos, celana jeans dengan sendal selop berbahan karet saja.

Ketika tiba di acara ulang tahun, nuansa kemeriahan ulang tahun memang sudah tampak. Di depan rumah menjelang pintu masuk, sudah berjaga-jaga belasan polisi berseragam lengkap dengan motor patrolinya yang berjejer rapi. Parkir mobil pun diarahkan ke tempat tertentu oleh seorang polisi khusus yang –mungkin- ditugasi mengelola ketertiban parkir. Memasuki halaman rumah, telah siap sederet polisi wanita (polwan) berseragam batik dan safari menjaga buku tamu, sembari mempersilakan para tamu ke tempat yang telah ditentukan. Anak-anak memasuki wilayah arena bermain, sementara para orang tua pengantar duduk di deretan kursi menghadap panggung acara.

Rumah dinas yang berhalaman cukup luas telah disulap menjadi arena bermain lengkap, mulai dari kolam bola besar berbahan balon tiup, mini golf, wahana ketangkasan menembak, dan kolam pancing. Hidangan yang tersaji pun cukup lengkap, ada hidangan prasmanan khusus para tamu dewasa, juga nasi ayam goreng tepung dalam kotak bermerk ternama, serta minuman berbahan susu fermentasi bermerk terkenal. Selain itu, sepertinya orang tua si anak yang berulang tahun ini ingin pula mengajarkan putrinya untuk berbagi, karena di bagian belakang tampak puluhan anak berpakaian muslim dan muslimah dari sebuah –sepertinya- panti asuhan muslim tertentu.

Saya duduk mengawasi Idan bermain, tampak gembira karena bertemu dengan banyak teman sekolahnya. Sesekali saya ngobrol dengan orang di sisi kiri dan kanan saya yang juga orang tua yang mengantar. Sesekali para polwan muda tersenyum pada saya sembari mempersilakan saya untuk mencicipi hidangan pembuka yang telah disediakan. Saya melihat sebagian besar tamu adalah juga para pejabat kepolisian di kota Bogor. Itu terlihat dengan sikap hormat khas kepolisian dari para polisi dan polwan tadi ketika para tamu tersebut memasuki halaman rumah.

“Hayo, adik-adik, kita mulai acaranya, kita kumpul, yuk, disini!” teriak sang MC memanggil anak-anak yang masih sibuk bermain. MC itu memang pintar menarik perhatian anak-anak, selain karena memang lucu, juga ngocol, atraktif dan tentunya interaktif. MC itu mampu membius penonton untuk sama-sama tertawa, bernyanyi dan terlibat dalam acara itu. Tak terkecuali para orang tua yang menyaksikan dari belakang.
“Hayo, siapa yang mau nyanyi…?” tanyanya dengan hebohnya
“Saya…!!!” berlomba-lomba anak-anak itu menunjukkan tangan mereka. Apalagi dengan iming-iming hadiah bagi siapa yang berani maju untuk bernyanyi. Satu per satu anak bernyanyi ke depan, setiap anak yang maju pasti di”goda” oleh sang MC, mengomentari setiap lagu yang mereka bawakan. Komentar-komentar yang lucu itulah yang mengundang gelak tawa penonton termasuk para orang tua. Saya akui, MC ini pintar membawakan acara.

“Hayo..siapa lagi, nih, yang mau nyanyi….?” untuk ketiga kalinya sang MC menantang keberanian bernyanyi.
“Saya..!”lagi-lagi puluhan tangan mengacung tinggi minta ditunjuk bernyanyi. Dan terpilihlah Idan untuk maju bernyanyi.
“Ya, kamu maju!” ujar sang MC
“Nama kamu siapa?” tanyanya lagi
“Idan!”
Berbagai komentar dilontarkan sang MC pada Idan, apalagi badan Idan yang relatif besar dibanding yang lain dikomentari lucu oleh sang MC
“Ok, Idan, kamu mau nyanyi apa?”
“Mau nyanyi Cicak Di Dinding!” lantang Idan menjawab.

Namun jawaban Idan itu memang mengagetkan, seketika penonton dewasa terdiam mendengarnya, hanya bisik-bisik kasak kusuk sambil tersenyum simpul. Sang MC pun seolah kaget dan tak mampu mencairkan suasana akibat jawaban Idan. Sang MC seperti gelagapan tak tahu harus mengomentari apa agar suasana lucu tetap terjalin.
“Oh...OK..ya udah..kamu mulai nyanyi...!” ujarnya datar
Bernyanyilah Idan dengan lantang, menggunakan mikrofon sehingga suaranya terdengar di seantero ruangan acara ulang tahun. Anak-anak lain seakan tidak peduli –karena memang tidak mengerti- malah ikut bernyanyi, tetap ceria, tetap tertawa. Lain halnya dengan para orang tua, para tamu undangan –yang notabene adalah para pejabat polisi- yang terlihat terdiam, tak bisa berkomentar selain kasak kusuk bisik-bisik antar mereka.

Saya sendiri terdiam di deretan penonton dewasa. Saya mencoba melihat raut muka para tamu, celingukan melirik sana sini. Dan memang tetap nuansanya berbeda ketika Idan bernyanyi dibanding anak-anak yang lain. Sang MC pun yang sebelumnya ikut bertepuk tangan, ikut bernyanyi, dan mengajak anak-anak lain bernyanyi, tampak terdiam. Sementara tuan rumah, sang bapak pejabat polisi beserta istri, tampak tersenyum tipis melihat Idan bernyanyi.
“Hap…lalu ditangkap!” berakhirlah Idan bernyanyi. Sang MC pun tidak berani berkomentar, segera mengambil kado kecil, menyerahkan pada Idan, dan berkata,
“Ya, terimakasih, ya, sekarang kamu boleh duduk!” tak ada komentar lain

Acara demi acara berlanjut, kembali heboh, kembali ceria. Hingga saatnya kami pulang, saya gandeng tangan Idan keluar menuju tempat parkir. Terlihat bapak tuan rumah pejabat polisi ramah menyalami para tamu yang pamit. Saya dan Idan pun menghampiri beliau, bersalaman dan berpamitan.
“Pak, terima kasih, kami pulang dulu.” ujar saya ramah
“Oh iya, terima kasih ya.” balas bapak pejabat polisi itu tak kalah ramah
Idan pun spontan mengulurkan tangan bersalaman
“Oh...ini yang tadi nyanyi Cicak, ya...wah..suaranya bagus, ya...hebat!” puji bapak pejabat polisi itu. Namun pujian itu di telinga saya terdengar getir.Di satu sisi memang memuji suara bernyanyi Idan, di sisi lain memuji keberanian Idan bernyanyi “Cicak”. Insyaallah bapak pejabat polisi itu memang memuji tulus pada Idan. Toh namanya juga anak-anak.

Peristiwa Minggu siang itu memang membuat senyum siapapun yang mendengar kisahnya. Idan –dan puluhan anak lain- pastinya tidak mengerti makna cicak yang dinyanyikan Idan. Namun memang istilah “cicak” bisa membuat gatal di telinga ketika kita dihadapkan pada peristiwa perseteruan antara KPK vs Polri yang diibaratkan Cicak vs Buaya.

Itulah Idan, bernyanyi cicak di kandang buaya.


Di atas langit Sumatera – 5 Desember 2009