Selasa, 17 Februari 2009

Ironi Pramusaji di Sebuah Rumah Makan

Di sebuah rumah makan di Gorontalo, suatu siang.

Lelah kami berkeliling, bertugas, berpresentasi di sekolah-sekolah sehingga kami memutuskan untuk berlabuh di sebuah rumah makan dengan spesialisasi ayam goreng mentega.

Setelah memilih tempat duduk kami bertiga didatangi oleh seorang pelayan rumah makan tersebut. Menu kami baca, memilih, mau makan apa siang ini. Sang pelayan berdiri sambil memegang pulpen dan kertas pesanan, menunggu kami selesai memutuskan.

“Apa bedanya paket ayam goreng super dengan ayam goreng besar?” aku membuka pertanyaan untuk sang pelayan

“Mmm, sebentar ya, Pa” berlalu sang pelayan meninggalkan kami.

“Lho, kok kita malah ditinggal?”salah satu rekanku heran.

Ternyata sang pelayan tadi pergi meninggalkan kami untuk menanyakan pertanyaan kami kepada rekan nya yang lain di belakang.

Tak lama dia datang,

“Kalau yang paket super lebih besar dari paket besar, Pa.” jelas sang pelayan.

“Oh gitu. Kalau ini tahu nya satu porsi ada berapa, ya?” aku bertanya lagi

“Mmm, sebentar ya, Pa” lagi-lagi sang pelayan meninggalkan kami.

“Ini gimana, sih?” rekanku mulai emosi, mungkin juga karena dia lapar.

Tak lama datang lah sang pelayan tadi ditemani oleh seorang pelayan lain.

“Pa, tahunya satu porsi isinya 6 potong.” Teman sang pelayan tadi mencoba menjelaskan.

“Kalau gitu, saya pesan paket super plus satu porsi tahu” pesan ku.

“Kalau paket ikan ini, ada yang super juga?” rekan ku juga mulai ingin memesan.

“Mmm sebentar, ya Pa” Keduanya tampak kebingungan. Sesaat mereka memanggil salah satu rekan mereka yang lain. Jadinya ada tiga pelayan melayani pemesanan kami. Pelayan ketiga menghampiri,

“Ada apa?” tanya pelayan ketiga.

“Ini paket ikannya ada yang super juga, nggak?” rekan ku menjelaskan.

“Wah, saya ga tahu, Pa, saya kan bagian juice dan minuman, bukan bagian makanan!” tukas pelayan ketiga.

Naik pitam kami mendengar jawaban itu. Emosi, geregetan.

“Bukan urusan saya, kamu itu bagian apa! Yang jelas kita mau tanya sebelum pesan, supaya jelas!” tak tertahankan emosi ku meledak. Campur aduk, antara cuaca panas, pelayan yang menyebalkan, dan tentunya lapar!

Tak lama datang orang keempat, tampaknya dia pimpinan rumah makan. Semua beres dengan adanya dia, semua jelas, dan pesanan kami datang sesuai permintaan.

Di perjalanan pulang dari Gorontalo, di pesawat, aku membayangkan kejadian di rumah makan itu. Aku membayangkan kejadian itu menimpa suatu perusahaan, atau menimpa perusahaan tempat kita bekerja. Aku membayangkan aku seorang staff back office, misalnya aku ini staff dari divisi keuangan, dan ada yang bertanya padaku,

“Pa, sebenarnya apa target market produk tempat Bapak bekerja?”

“Oh, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang keuangan, bukan orang marketing!”

Aku membayangkan betapa kecewanya orang yang bertanya, sama kecewanya aku terhadap para pelayan rumah makan tadi. Atau kita balik, seandainya aku orang marketing dan ada yang bertanya kepada ku mengenai produksi,

“Pa, sebetulnya berapa botol per menit, mesin produksi nya bisa menghasilkan produk Bapak?”

“Wah, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang marketing, bukan orang produksi!”

Lagi-lagi, pasti orang itu akan kecewa dengan jawaban kita.

Meski masakan tempat aku makan tadi cukup enak, namun rasa kecewa tetap membekas di hati. Jika aku kembali ke kota itu, belum tentu aku akan mampir ke rumah makan yang sama, pasti rasa kecewa akan teringat kembali.

Meski produk kita bagus, unggul, dan bermanfaat tinggi, rasanya akan sia-sia jika konsumen kecewa akibat jawaban-jawaban tidak bertanggung jawab seperti tadi. Dan jika konsumen sudah kecewa, fatal akibatnya.

Pastinya itulah yang dinamakan marketing oriented. Orientasi yang menempatkan seluruh karyawan dari berbagai bidang sebagai marketer. Tidak hanya bisa menjual, tapi juga mampu menjelaskan seluruh aspek perusahaan jika ada yang bertanya. Orang keuangan bisa menjawab aspek marketing, sebaliknya orang marketing bisa menjawab aspek keuangan.

Semoga bisa bermanfaat.



Bogor, 1 Februari 09