Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Mungkin jika kita mendengar ungkapan itu pada saat ini, komentar yang muncul adalah, “Kayak guru SD aja, nih!” atau “Kayak Ibu atau Bapak gua aja!” atau banyak komentar lain sejenis yang bernada sama. Tapi jika kita renungkan, sebenarnya makna ungkapan tadi teramat dalam. Ada juga yang menyebut cita-cita itu suatu mimpi. Banyak penulis membuat buku mengenai mimpi. Tak perlu disebutkan siapa, pastinya pembaca tahu siapa saja penulis ternama itu.
Berikut beberapa tulisan ringan mengenai cita-cita atau –sebut saja- mimpi.
Renungan 1
Suatu hari seorang kerabat keluargaku membutuhkan seorang supir untuk keluarga mereka. Keluarga ini baru saja membeli mobil –bekas memang- untuk kepentingan antar jemput putra putri mereka sekolah, kursus, dan keperluan lain. Kebetulan suami istri dari keluarga ini sama-sama bekerja, sehingga kedua putra putri mereka diasuh oleh babysitter dan membutuhkan supir untuk mengantar mereka beraktivitas. Kebetulan aku punya kenalan seorang supir, aku coba tawarkan kenalanku tersebut ke keluarga kerabatku tadi.
Namun sebelumnya, aku tidak mau gegabah, tidak mau sembarangan menawarkan orang. Aku perlu menginterview calon supir ini. Aku merasa bertanggung jawab akan apa yang dilakukan orang ini jika diterima menjadi supir pribadi di sana. Syukur-syukur jika kinerjanya bagus, jika tidak, tentunya aku yang menanggung malu. Singkat kata, aku panggil calon supir pribadi tadi, sebut saja namanya S. Pertanyaan standar interview kerja aku berikan padanya, mulai dari profil pribadi, kelengkapan SIM dan KTP, hingga pengalaman kerja. Ternyata selama ini, dia berpengalaman cukup lama jadi supir angkot dan supir toko bangunan. Mobil yang selama ini dibawa tentunya tidak se”mewah” mobil pribadi yang akan dibawanya nanti, demikian pula dengan cara mengendarainya.
Aku mulai ragu, cukup telatenkah dia membawa mobil pribadi? Ya sudahlah, dicoba saja. Semoga cocok. Namun bukan itu yang membuatku tersenyum, justru pernyataan terakhirnya padaku sebelum dia pergi, yaitu,
“Semoga saya diberi kesempatan, Pa, karena cita-cita saya dari dulu adalah menjadi supir pribadi!” ujarnya mantap penuh harap.
Aku tersenyum mendengarnya. ”Segitu sajakah cita-citanya?” batinku. Memang benar, pendidikannya tidak cukup memadai untuk menjadi seorang yang memiliki profesi mapan lainnya. Namun tentunya ada cita-cita lain yang jauh lebih tinggi, lebih memotivasi, dan lebih ambisius dibanding supir pribadi. Ataukah itu cita-cita ambisius yang boleh diimpikan oleh seseorang berpendidikan SMP seperti dia?
Renungan 2
Aku punya adik sepupu, perempuan, usianya saat itu 15 tahun, kelas 3 SMP. Dia –bersama seluruh kerabat keluargaku yang lain- tinggal di salah satu desa di daerah Katulampa Bogor. Suatu hari, disela-sela kesibukanku bekerja, aku mendatangi desaku itu. Sekedar untuk bersilaturahmi sambil menikmati kembali masa kecilku di desa. Secara kebetulan adik sepupuku ada disana, kami saling bicara, menanyakan kabar masing-masing. Nama adik sepupuku itu Y.
“Aa sehat?” ujar Y
“Alhamdulillah!” ujarku singkat
Beberapa dialog basa-basi terjadi antara kami. Hingga sampailah pada suatu pembicaraan mengenai pendidikan terakhir Y.
“Kelas berapa sekarang” tanyaku
“Kelas 3 SMP”jawabnya
“Wah, sebentar lagi SMA, dong!”
“Engga ah, ga mau nerusin ke SMA!”
“Lho, kenapa?” kaget aku mendengar keengganannya masuk SMA.
Di desa itu memang warganya tidak terlalu mementingkan pendidikan, apalagi perempuan. Jika diukur demografi, sedikit sekali warga desa itu berpendidikan SMA, selebihnya SMP, bahkan SD pun tak lulus.
“Soalnya, Y pengen jadi penjaga toko di Pasar Bogor, katanya cukup sampai SMP aja!” polos Y menjawab pertanyaanku.
Duh, penjaga toko? Pola pikir “penjaga toko cukup sampai SMP” itu menyebabkan Y hanya mau bersekolah sampai SMP? Berkali-kali aku coba meyakinkan agar dia melanjutkan ke SMA, toh soal biaya, bisa ada banyak yang akan membantu. Namun “mimpi” menjadi penjaga toko itulah menghancurkan segalanya, menghancurkan kelanjutan sekolahnya, bahkan mengubur kesempatan dirinya untuk menikmati jenjang pendidikan lebih tinggi.
Renungan 3
Anaku –Aidan- punya banyak cita-cita. Cita-cita yang dia punya pun berganti-ganti. Tergantung dari mainan apa yang saat itu dia sukai. Namun semua cita-cita yang diungkapkan membuatku berdoa, “Duh, semoga cita-cita itu hanya sekedar omongan anak balita!” Cita-cita yang dia ungkapkan memang “aneh-aneh” setidaknya menurutku.
Aidan sangat menyukai kereta api, sudah “belasan gerbong” kereta api mainan dibeli, dirangkai satu per satu sehingga berjalan memanjang di atas rel. Seringkali aku mengajaknya naik KRL Bogor – Jakarta –tentunya di hari Sabtu- sekedar untuk memberikan pengalaman padanya naik kereta. Sepanjang jalan, matanya tidak terpejam sedikitpun karena begitu menikmati naik kereta api. Suatu hari, di tangah perjalanan KRL, Aidan berdialog denganku.
“Pap, kereta paling depan itu apa namanya?” tanyanya
“Itu namanya lokomotif, yang menarik kereta, disitu ada masinisnya.” jawabku lengkap, dengan maksud agar Aidan tidak lagi bertanya, karena saat itu aku mengantuk dan ingin tidur.
“Masinis itu apa?” tanyanya lagi, memang anak kecil selalu ingin bertanya.
“Masinis itu supir kereta api!”jawabku sekenanya.
Beberapa saat Aidan terdiam, sambil terus matanya memperhatikan jalan, sampai tiba-tiba dia berkata,
“Pap, nanti kalau aku sudah besar, aku mau jadi masinis kereta api, ya!” lugas Aidan berkata.
Hah! Masinis kereta api? Duh, dengan segala hormat pada profesi masinis, aku berharap Aidan jangan jadi masinis kereta api. “Pilihlah cita-cita yang lain, Idan!” batinku.
Namanya juga anak kecil, aku anggap cita-cita itu sekedar khayalan dia akan mainan yang dimilikinya. Terbukti beberapa waktu kemudian, cita-cita itu berubah. Saat itu, mainan kesukaannya memang berganti, dari kereta api ke truk container. Sehingga dengan lugas pula Aidan berkata,
“Pap, kalau aku besar, aku mau jadi supir truk container, ya!” ujarnya
Hah! Duh…Idan..Idan…
Bogor, 2 Mei 2009 – sebuah mimpi di Hari Pendidikan Nasional.
Sabtu, 02 Mei 2009
Langganan:
Postingan (Atom)