Minggu, 26 April 2009

Bapak Tua Itu Tiada Henti Mencari Nafkah

Suatu hari, 10 tahun yang lalu di Kereta Api Kelas Ekonomi Bogor – Jakarta

Hari itu aku berangkat kuliah agak siang. Di akhir masa kuliah ini, ke kampus hanya untuk bimbingan atau mencari bahan untuk thesis. Jadi tidak terikat waktu dan hanya tergantung dari jadwal dosen pembimbing.

Aku naik kereta yang jam 9an –waktu tepatnya aku lupa-, beli karcis dan ambil gerbong paling belakang. Aku ambil tempat duduk yang dekat pintu dengan maksud, jika penumpang penuh, maka aku akan dengan mudah keluar jika telah sampai tujuan.

Tak lama, datang seorang bapak tua, usia sekitar 70an (bapak tua itu sendiri lupa akan usianya), membawa karung besar yang digendong di punggungnya. Tertatih bapak tua itu menaiki kereta, yang tangga masuknya cukup tinggi, dengan reflek aku mengulurkan tangan untuk menarik bapak tua itu masuk ke kereta. Bapak tua itu tersenyum,

“Terima kasih, Dik” ujarnya.

Note : semua dialog dengan bapak tua itu dilakukan dalam bahasa Sunda, untuk kepentingan umum, aku terjemahkan ke bahasa Indonesia

Bapak tua itu mengambil tempat di sebelahku. Penumpang saat itu masih sepi, hanya beberapa gelintir saja di gerbong itu, sehingga penumpang masih bebas memilih duduk, selain itu juga jam itu bukanlah jam sibuk untuk jalur Bogor – Jakarta.

Karung yang digotong tadi dimasukannya ke kolong kursi kereta. Saking besarnya karung itu, kolong kursi kereta tidak mampu menutupinya, sehingga karung tersebut agak menonjol keluar kursi dan menyebabkan kaki kami –aku dan bapak tua itu- agak diselonjorkan ke depan.

“Mau kemana, Dik?” bapak tua itu memulai pembicaraan.
“Mau ke Gondangdia, Pa?” ujarku pendek. Sebenarnya aku tipe orang yang enggan berbicara dengan orang yang belum aku kenal, jadi ketika bapak tua itu mengajak bicara, aku sekenanya saja menanggapi.
“Kerja atau kuliah?” tanyanya lagi
“Kuliah, Pa” jawabku.
“Oh begitu” pendek bapak tua itu menanggapi.
Untungnya, bapak tua itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan “kuliah dimana?”, “jurusan apa?”, aku akan sangat kerepotan menjelaskannya, karena tempat kuliah ku memang relatif jarang diketahui orang.

Kereta berjalan, sesuai jadwal.

Tak lama, aku merasakan ada yang aneh di bawah kakiku. Aku lihat ke kolong kursi, dan ternyata keanehan berasal dari karung yang dibawa si bapak tua. Karung itu bergerak-gerak. Seperti ada sesuatu yang meloncat-loncat di dalamnya. Ular, kah itu? Entah kenapa pikiran ku langsung mengarah ke adanya ular. Ku beranikan diri bertanya ke bapak tua itu, padahal sejak dari awal kereta berjalan aku tidak berbicara apapun dengannya selain dialog awal tadi.

“Apa ini, Pa?” tanyaku sambil menunjuk karung yang “meloncat-loncat” tadi.
“Oh, ini isinya kodok! Masih hidup, kok, makanya mereka meloncat-loncat” ringan saja si bapak tua itu menjawab.
“Kodok? Buat apa, Pa?” tanyaku heran

Bercerita lah si bapak tua. Ternyata di dalam karung itu, setidaknya ada 20 ekor kodok seukuran telapak tangan orang dewasa. Kodok-kodok itu akan dijual ke rumah makan khusus masakan China yang menjual menu swikee. Kodok-kodok itu ditangkap 2 atau 3 hari sebelumnya, oleh si bapak tua itu sendiri di area persawahan di sekitar kampungnya.

Bapak tua itu seminggu sekali ke Jakarta, tepatnya daerah Kota, untuk menjual kodok-kodok itu. Rata-rata dia membawa 15-25 kodok di karungnya. Dijual seharga –harga dulu- Rp. 3000,- per ekor. Aku tidak tahu pasti kebenaran harga ini, si bapak tua itu menjawabnya pun juga tidak dengan jelas dan meyakinkan. Jika pun benar, maka seminggu rata-rata bapak tua itu mendapatkan antara 45 – 75 ribu rupiah.

Bapak tua itu juga bercerita, kalau sehari-hari bekerja serabutan, selain mencari kodok, bapak tua itu berkeliling bermodalkan arit, menawarkan diri untuk memotong rumput di halaman rumah tetangga sekitar. Apa saja dia lakukan untuk mencari uang. Anak dan istri? Anaknya yang laki-laki juga bekerja, menjadi kuli bangunan, yang mesti menunggu adanya proyek pembangunan, baru bisa mendapat uang. Anak yang perempuan, menjadi ibu rumah tangga, sesekali menjadi buruh cuci, sementara suaminya juga menjadi kuli bangunan. Sang istri, tetap menjadi ibu rumah tangga. Mereka semua tinggal dalam satu rumah petak di salah satu daerah di pinggiran Bogor.

“Bapak, kok, masih saja bekerja seperti ini?” tanyaku.

Cerita bapak tua itu kembali mengalir. Bapak tua itu tidak mau menyusahkan anak-anaknya yang kondisi ekonominya pun belum mapan. Dia harus bekerja jika ingin uang. Apapun dia lakukan untuk menghidupi –setidaknya- dia dan istrinya.

Tanpa terasa, mendengar cerita si bapak tua, aku terlewat turun di Stasiun Gondangdia. Karena kepalang tanggung, aku putuskan untuk mengikuti si bapak tua ke Stasiun Kota. Beruntung saat itu tidak ada pemeriksaan karcis, karena karcisku hanya sampai Gondangdia.

Sesampai di Stasiun Kota, aku berpamitan dengan si bapak tua. Beliau melanjutkan menggendong karung berisi kodok ke sebuah restoran di daerah Kota. Tetap dengan tertatih-tatih, si bapak tua menggendong karung itu, terus berjalan di tengah terik matahari. Aku hanya memperhatikan dari jauh. Pikiran ku melayang, sekelebatan muncul berbagai sosok bapak tua lain, yang hanya menadahkan tangan di lampu merah untuk mengemis atau yang hanya meminta-minta dari pintu ke pintu rumah. Bukankah lebih baik tangan di atas daripada di bawah? Bukankah ikhtiar sesungguhnya akan lebih mulia jika dilakukan dengan bekerja? Entahlah, aku tidak ahli dalam hal ini. Yang jelas, rasa hormatku setinggi-tingginya bagi bapak tua penjual kodok itu. Bukan menjual kodok yang aku bahas, tapi perjuangan bapak tua itu yang mampu menggetarkan hatiku, dimana meski usia renta sekalipun, bapak tua itu tidak mau tinggal diam dan menyerah pada nasib.

Jakarta, 17 April 2009 – untuk sebuah perjuangan tiada akhir