Rabu, 22 April 2009

Sekejap Bendera Itu Terbalik, Berbulan Rasa Malu Tak Hilang

Saat itu baru saja terjadi euphoria kemenangan SMAN 1 Bogor khususnya Pandawa 16 sebagai juara 2 di Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (lihat tulisan “Kami Bangga Meski Hanya Juara Dua”). Meski tidak terlalu menjadi pembicaraan di sekolah, namun kemenangan itu membentuk kebanggaan bagi kami sebagai anggota Pandawa 16.

Selanjutnya rutinitas sebagai Pandawa 16, tetap dijalankan, latihan rutin sebagai persiapan bagi seleksi Paskibraka Kodya Bogor dan –tentunya- bertugas sebagai penyelenggara upacara bendera tiap Senin di sekolah. Sebenarnya petugas dalam upacara bendera itu dilakukan bergiliran tiap kelas, biasanya tugas itu dibebankan ke kelas 1, misal minggu ini kelas 1-1, minggu depannya 1-2, begitu seterusnya hingga 1-8, kemudian diputar lagi ke 1-1. Namun ada juga satu waktu, tugas itu diberikan kepada Pandawa 16.

Senin pagi ini, giliran Pandawa 16 bertugas, inilah saatnya kami berperan. Kemenangan juara 2 itu masih membayangi kami, di satu sisi, kami sudah saling memahami setiap pergerakan upacara, di sisi lain, ada beban tersendiri jika upacara tidak berjalan lancar. Seperti biasa masing-masing pos petugas telah ditentukan, Ario sebagai komandan, aku, Dika, dan Eri pengibar bendera, Wita dirigen, Trisnawita pembaca protokoler, Ratri pembaca UUD 45, Indri pembaca doa dan Dony menjadi ajudan pembina upacara. Sebenarnya nama petugas secara pasti, aku tidak terlalu ingat, namun yang pasti aku berperan sebagai pengibar bendera khusus yang membentangkan bendera untuk dikibarkan.

Tiga hari berturut-turut kami melakukan latihan, kesulitan klasik muncul, karena kami berselisih waktu masuk sekolah, sebagian masuk pagi sebagian masuk siang. Akhirnya waktu latihan antara jam 12.00 – 13.00 siang. Jam 12.00, anak pagi pulang, sementara jam 13.00 anak siang masuk kelas. Satu jam selama tiga hari kami latihan, rasanya cukup. Karena secara teknis, tidak masalah, hanya tinggal melatih kekompakan. Latihan pun relatif ringan, meski tetap diawasi oleh Agung, Kardinal, Margareth, Ike dan Tuti.

Di Senin pagi itu…

Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di markas Pandawa 16 di sebuah ruang di belakang sekolah. Sesekali aku dan Dika ke lapangan, memastikan tali bendera tidak kusut dan terikat dengan baik. Setelah semua beres, kami melengkapi seragam kami dengan rapi. Celana tetap abu-abu, baju OSIS putih harus lengan panjang, dasi dan topi yang wajib melekat. Jam 7 kurang 15, seluruh siswa dipanggil ke lapangan, Pa Bahrum dan Pa Memen sibuk mengejar-ngejar siswa yang kabur ke Gang Selot menuju warung Pa Ujang dekat SD Polisi.

Jam 7 tepat, upacara dimulai. Kami para petugas siap di pos masing-masing. Ario selaku komandan upacara, sigap berjalan langkah tegap ke tengah-tengah peserta upacara.
“Siaaaapppp…Grakkk…” lantang Ario memberi komando.

Acara demi acara protokoler dilakukan. Hingga sampailah pada pengibaran bendera merah putih. Aku, Dika dan Eri sigap melangkah dibawah komando ku. Dika, pengerek bendera berada di sisi paling kiri, Eri, pembawa bendera berada di tengah, sementara aku, pembentang bendera berada paling kanan sekaligus pemberi komando. Komando kuucapkan pelan, cukup didengar oleh 2 orang rekan pengibar yang lain.

Tibalah kami di depan tiang bendera, aku dan Dika, saling membantu melepas ikatan tali bendera di tiang. Dika sesekali mendongak melihat kerapian tali di tiang. Setelah dirasa rapi, Dika menyerahkan tali itu kepadaku dengan sigap. Tali kuambil, dan kurangkaikan satu per satu dengan ikatan di bendera yang dibawa Eri. Aku sempat ragu-ragu dengan tali yang diikatkan ke bendera,
“Benarkah tali ini sesuai dengan ujung bendera yang seharusnya?” batinku ragu.
Aku heran sendiri, kenapa aku ragu? Inikan sudah biasa, sudah beberapa kali aku lakukan, baik di upacara sesungguhnya maupun di latihan. Entahlah, pagi itu konsentrasi ku buyar, aku jadi ragu-ragu akan ikatan itu. Sepertinya Eri menyadari ini, dengan berbisik Eri berkata,
“Din, ga salah tuh!” bisik Eri
“Bener, ah!” jawabku, juga dengan berbisik.

Dika terdiam memperhatikan perdebatan kecil kami, Dika memang berada di sisi yang lain, yang tak bisa secara langsung melihat ikatan tali itu.
“Din, salah! Copot lagi, ulangi!” Eri makin keras berbisik, terlihat dia agak kesal karena aku tidak menuruti perkataannya.
Aku benar-benar ragu-ragu. Namun saat terakhir, aku meyakinkan diri. Aku tidak pedulikan bisikan Eri, aku mengikuti perkataan para instruktur,
“Pokoknya kamu harus yakin!” begitu biasanya para instruktur mengajari kami.

Eri tampak kesal, sepertinya dia yakin aku salah.
“Udah, kita tarik aja, udah kelamaan nih!” mataku kuarahkan ke Eri dan Dika. Dika mengangguk, Eri juga, namun dengan anggukan yang ragu-ragu.
Kutarik bendera seiring langkah mundur sekitar tiga langkah ke belakang. Ada teknik khusus dalam membentangkan bendera, seperti jepitan jari yang khas, langkah mundur yang terukur, dan jarak bentangan yang pas agar bendera tidak lepas. Bersamaan dengan langkah mundur itu kubentangkan tangan untuk menarik bendera, dan ternyata…

Bendera tidak terbentang! Malah jadi terbelit dan membentuk huruf X. Terdengar beberapa jeritan kecil dari arah peserta upacara. Mungkin mereka pun kaget dengan terbelitnya bendera. Melihat itu, sigap Ario memberi komando,
“Balik kanaaaannnnn…grakkk…”teriak Ario, komando itu merupakan perintah standar jika terjadi sesuatu pada saat pengibaran.

Setelah peserta upacara balik kanan, aku sibuk membetulkan bendera, namun sepertinya agak rumit, karena belitan itu sangat parah akibat salah ikat ujung tali dengan ujung bendera yang aku lakukan. Betul bisikan Eri tadi, tapi memang aku tidak mau mendengarkan, sehingga fatal akibatnya.

Sesaat setelah peserta balik kanan, sekonyong-konyong muncul dari barisan dengan berlari kencang ke arah kami, seorang perempuan, kakak kelas dari angkatan 91, bermaksud memperbaiki belitan bendera. Si kakak sigap memperbaiki, aku hanya bengong menyaksikan si kakak sedang merapikan bendera.
“Masih salah aja, malu-maluin!” begitu bisiknya kepadaku. Aku terhenyak sesaat.
“Udah, nih, ayo kibarkan!” sambil kembali ke barisan, si kakak kelas sempat berbisik keras ke arahku.

Karena bantuan si kakak, aku telah membentangkan bendera dengan benar. Aku berteriak,
“Bendera siap!” teriak ku ke arah Ario.
“Balik kanaaaannnn…grakkk…”Ario memberi komando.

Selanjutnya pengibaran berjalan lancar. Bendera tepat sampai di ujung tiang pada saat lagu Indonesia Raya berakhir. Dika memang piawai memadukan gerakan pengibaran dengan lagu Indonesia Raya. Upacara selesai sekitar 40 menit kemudian. Namun bagi ku tidak sampai disitu. Aku malu. Aku penyebab terbelitnya bendera. Pandangan orang seolah mencibir,
“Katanya jagoan baris berbaris, ngibarin bendera aja kebelit!” sepertinya itu yang berkecamuk di kepalaku. Berhari-hari rasa malu itu tak kunjung sirna. Bahkan berminggu dan bulan berikutnya, peristiwa itu terbayang terus.

Namun itulah dinamika, tidak selamanya kemenangan akan diraih. Mungkin aku saat itu sombong, takabur, merasa bahwa segalanya akan mudah dan tidak perlu konsentrasi. Dan ternyata akibatnya sangat fatal!

Kupang, 21 April 09 – untuk sahabatku para petugas upacara bendera…