Minggu, 29 Maret 2009

Jadi Anak Band di Tahun 90-an

Semua bermula dari iseng. Ketika kelas 1 SMA, mengikuti ospek di camping ground Gunung Bunder Kabupaten Bogor. Iseng-iseng main-main musik, ada Rona dan Pram main gitar, Indra ketuk-ketuk ember, sementara aku dan teman-teman lain teriak-teriak mengikuti nada gitar.

Selepas camping, berawal dari obrolan iseng, terbentuklah sebuah band yang beranggotakan Rona (gitar), Pram (bas), Indra (drum) dan belakangan Didit (gitar) dan Rully (keyboard) ikut bergabung. Aku? Karena aku sama sekali tidak bisa memainkan instrument musik maka didaulatlah aku menjadi vokalis. Suatu jabatan mentereng di sebuah band, namun sebenarnya karena tidak bisa memainkan instrumen musik. Latihan pertama, terus terang kacau balau. Gitar kemana, bas kemana, drum kemana, apalagi vocal, lebih kemana-mana lagi. Kacau. Tapi kami nekat, tetap main band.

Hingga suatu hari aku iseng berbincang-bincang dengan seorang tetangga rumahku. Ternyata dia adalah salah satu gitaris band lumayan ternama di underground Bogor. Spesialisasi mereka adalah lagu-lagu Rolling Stones. Di dunia underground, mereka selalu menjadi band tampilan pamungkas yang artinya, mereka lah yang ditunggu-tunggu penonton.

Berbincang dengan sang gitaris, kami memanggilnya Mas Agus, menjadikan wawasan ku tentang nge-band menjadi terbuka. Banyak cerita Mas Agus mengenai dinamika nge-band. Mas Agus sendiri telah 8 tahunan malang melintang di underground Bogor, hanya kesempatan saja yang belum menghampirinya untuk maju ke jenjang rekaman.

Singkat kata, aku dan rekan-rekan, belajar nge-band ke Mas Agus, dan memanfaatkan studio semi permanen di rumah Mas Agus. Banyak sekali kami belajar. Rona dan Didit benar-benar menyerap banyak ilmu bermain gitar, Indra berlatih teknik bermain drum, Rully berlatih mengharmonisasi keyboard dengan instrumen lain dan Pram berjuang membetot bas dengan benar. Aku? Cukup menghafal banyak lagu tanpa banyak latihan vocal, cukup berteriak dan tidak fals.

“Berani manggung, ga?” tawar Mas Agus di suatu siang.
“Manggung? Dimana?” aku bertanya
“Taman Topi. Kita rutin manggung disana, setiap minggu pasti ada acara musik” tambah Mas Agus lagi.

Wow, Taman Topi! Taman Topi sebeneranya adalah semacam taman bermain bagi anak-anak, menyediakan berbagai wahana bermain dan kios makanan. Namun di bagian belakang, terdapat panggung dengan lapangan terbuka yang diperuntukkan bagi para pemain band berunjuk gigi. Kami sendiri waktu itu tidak tahu bagaimana caranya kami bisa manggung di Taman Topi. Namun ternyata kesempatan itu datang. Ternyata Mas Agus dan band nya secara rutin manggung di Taman Topi.

“Mau!” serempak kami menerima tawaran itu. Bergegas kami berlatih, memilih lagu yang pas, dan deg-degan menanti saatnya manggung.

Di malam kami manggung,

Satu per satu band sudah tampil. Semua bagus-bagus, bermain sangat rapi, nyaris tanpa cela. Penonton pun menyambut dengan antusias. Sepertinya setiap band sudah memiliki pendukungnya sendiri. Sehingga setiap band yang manggung, pasti dibarengi dengan goyangan antusias penonton. Malam itu rata-rata setiap band membawakan lagu rock bertempo cepat, keras, dan memancing penonton untuk histeris dan antusias.

“Berikutnya, akan tampil YXZ Band!” berteriak MC memanggil kami untuk manggung. Bergegas kami naik panggung, semua menempati posisi alat musik masing-masing. Pemain gitar, keyboard dan bas, menyamakan nada instrument sementara drum memperbaiki posisi dudukan drum nya. Sementara aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku hampiri mikrofon.
“Tes..tes..” tercekat aku mencoba mikrofon. Gugup aku melihat ratusan orang memandangiku di atas panggung. Mas Agus memberikan isyarat dari bawah panggung agar aku bicara.
“Ngomong…ngomong….!” begitu kira-kira bahasa tubuh Mas Agus dari bawah panggung.

Apa yang harus aku bicarakan? Sama sekali aku tidak ada ide.Aku lihat teman-teman yang lain masih saja berkutat nyetem alat musik mereka.
“Duhh, ayo dong cepetan!” bisikku
“Bentar, masih fals nih! Lu ngomong apa, kek” balas Rona.

Tidak ada jalan lain, aku harus ngomong.
“Mmm..Aaa…Assalamualaikum Wwaa..Warahmatullahi Ww..Wabarakatuh….!” entah kenapa kalimat pertama yang muncul di benakku adalah itu. Mamang ada jawaban “Waalaikum salam” namun sangat sedikit, sangat minoritas, sebagian besar malah cekikikan. Mungkin yang ada di benak mereka adalah
“Emangnya ini majelis ta’lim”.
Tapi aku berpikir apa salahnya salam itu aku ucapkan? Selanjutnya aku berbicara mengenai nama band kami, latar belakang nama itu, dan nama personil. Sumpah! Aku lihat tak ada satupun yang peduli dengan pembicaraan ku. Mungkin aku harusnya berteriak
“Apa kabaaaaaarrrrr……!” dengan suara melengking tinggi.
Mungkin saja, tapi aku tidak ada keberanian untuk itu.

Akhirnya nyetem berakhir, alat musik sudah sinkron, dan saatnya bernyanyi. Lagu pertama My Michelle dari Guns N Roses. Tidak ada sambutan, tidak ada yang goyang, tidak ada tepuk tangan. Semua biasa saja.
“Duh…kok sepi?” batinku
Lagu kedua, Sweet Child O’Mine juga dari Guns N Roses. Sama dengan lagu pertama, semua sepi. Hingga tibalah lagu ketiga. Lagu ketiga ini adalah Every Rose Has Its Thorne dari Poison. Lagu ini sejenis lagu rock melankolis. Tidak mungkin orang akan jingkrak-jingkrak mendengar lagu ini, kecuali orang gila tentunya. Aku sudah putus asa. Lagu terakhir benar-benar hanya sebuah syarat membawakan tiga lagu saja. Tidak ada semangat yang terpancar dari wajah kami.

Intro dimulai dari Didit, dilanjutkan dengan suara vokal ku.

“We’ve both lied silent streaming in the dead of the night, although we’ve both lied close together, we’ve been miles apart on side…” mulai aku bernyanyi dengan gaya melankolis. Berbarengan dengan masuknya vokal ku, sontak muncul pula suara histeris, riuh dari arah penonton, serempak penonton mengangkat tangan, sebagian lagi menyalakan korek gas nya, sambil menggoyangkan tangan kiri ke kanan.

Hebat! Ternyata penonton malah antusias dengan lagu melankolis kami. Ternyata mereka bosan karena dari sore tadi disuguhi lagu keras yang membisingkan telinga. Mereka sepertinya butuh istirahat. Butuh sesuatu yang menyejukkan telinga. Kami menganggap pengalaman pertama manggung kami sukses besar. Setidaknya menurut kami.

Sejak itu, kami memutuskan untuk melanjutkan nge-band. Beberapa kali kami manggung di berbagai event, selain di Taman Topi, kami manggung di berbagai kampus, dan sekolah. Puncaknya adalah ketika kami berhasil meraih Juara 2 dan Juara Favorit Festival Band Antar Sekolah Se-Bogor yang diselenggarakan oleh SMAN 1 Bogor.

Sepanjang SMA kami terus bersatu –kecuali keluarnya Indra digantikan Yose dan agak jarangnya Rully ikut bergabung- terus ngeband sampai kelulusan kami. Disinilah dilema. Ingin terus ngeband atau kuliah. Mas Agus waktu itu bersedia memanajeri kami untuk terus berlanjut ngeband. Bahkan beberapa lagu berupa demotape sudah kami buat. Namun waktu itu kami tidak berani mengambil resiko. Tuntutan orang tua agar kami melanjutkan kuliah, membuyarkan mimpi kami untuk terus ngeband. Kami bubar, dan meneruskan langkah kami masing-masing meraih cita-cita pribadi.

Rona, mengambil kuliah di STPDN, kini menjadi salah satu pejabat teras di Pemda Subang, Didit, mengambil kuliah arsitektur di Itenas Bandung, kini menjadi salah seorang arsitek handal di Bandung, Pram mengambil kuliah di Universitas Borobudur Jakarta, kini menjadi eksekutif muda di sebuah perusahaan di Jakarta, Rully aku agak lost contact, namun bertemu di facebook dan bekerja di perusahaan otomotif Daimler Chrysler. Indra dan Yose, aku tidak tahu mereka dimana, tidak ada kabar berita, sementara aku mengambil kuliah di Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, bercita-cita sebagai diplomat tapi gagal, akhirnya terdampar di bidang sales suatu produk minuman isotonik bermerk Pocari Sweat.

Alhamdulillah, kami sudah menjalani hidup ini dengan cita-cita kami sendiri. Meski saat ini jauh, namun kami tetap saling berkomunikasi. Entah apakah YXZ Band akan kembali bersatu, kami tidak tahu.

Bogor, 21 Maret 09 – Dipersembahkan untuk anak-anak band tahun 90-an di Bogor