Rabu, 20 Mei 2009

Wajah Lempeng Penyelamat Nasib Kami

Contek mencontek menjadi kebiasaan yang dianggap wajar bagi para siswa. Salah memang, namun bagaimana lagi, dikala godaan nilai bagus, kesempatan yang ada, dan tentunya kelengahan guru, menjadikan mencontek menjadi kebiasaan dan “keharusan” di kala ulangan. Modus operandi? Tak perlulah aku ceritakan, karena semua pasti sudah tahu akan hal itu.

Suatu hari, dikala ulangan matematika di kelas 2 Physic 3.

Siang itu begitu panas. Waktu menunjukkan jam 1 siang. Sudah terbayang, betapa menyiksanya pelajaran yang diadakan di siang hari, panas, haus dan tentunya mengantuk. Jam pertama, ulangan matematika. Pelajaran matematika saat itu dibimbing oleh Ibu Yuli –rasa hormat kami yang paling tinggi bagi Ibu Yuli. Lain dari ulangan biasa, ulangan matematika ini terdapat dua jenis soal, soal A dan soal B. Soal A khusus untuk murid yang sebelah kanan, soal B khusus untuk murid sebelah kiri di bangku yang sama. Strategi ini bagus untuk menghindari saling contek antar murid di bangku yang sama.

Saat itu aku duduk dengan AS, pemuda berbadan tinggi langsing, berambut modis gaya jamur alias gondrong di atas. Sejak awal, AS sudah merencanakan akan menukar soal B yang dia pegang, dengan soal A dari teman di seberang bangkunya, sehingga, aku dan dia akan sama-sama memegang soal A. Maksudnya tentu saja supaya kami bisa bekerjasama mengerjakan soal A itu. Nanti jika akan dikumpulkan, tinggal ditukar dengan teman dari bangku sebelah itu. Teman di bangku sebelah yang menjadi sasaran penukaran yaitu Riri alias Joely Gloriana, Riri pun sepakat untuk itu.

Singkat kata, soal pun dibagikan.
“Soal A untuk murid di sisi kanan, soal B untuk murid di sisi kiri! Jangan ada yang berani menukar!” lantang Bu Yuli sambil membagi soal. Soal dibagikan dalam kondisi tertutup, satu per satu Bu Yuli membagikan ke setiap anak. Benar-benar guru yang telaten untuk mencegah kecurangan di pihak murid. Semua soal terbagi dalam waktu yang cukup lama. Namun tetap saja ada kelengahan Bu Yuli, yaitu AS ternyata berhasil menukar soal B dengan soal A dari Riri, sehingga aku dan AS di bangku yang sama, memegang soal yang sama, dan akan mempermudah bekerjasama.

Pengerjaan soal berjalan lancar. Belum ada saling contek antara aku dan AS. Soal-soal awal relative bisa diselesaikan. Sebenarnya jikapun sendiri, seluruh soal pasti akan bisa dikerjakan. Namun tetap saja godaan saling lirik tetap ada di akhir ulangan. Bu Yuli berkeliling kelas mengawasi satu per satu para siswa. Semua tertib, hening, dan khusyuk dengan soal masing-masing. Hingga suatu saat, Bu Yuli menghampiri meja kami

Aku tegang melihat Bu Yuli menghampiri kami. Bagaimana jika soal ulangan AS terlihat? Bagaimana jika kami ketahuan? Bagaimana jika…? Entahlah, konsentrasiku langsung buyar, keringat dingin mulai muncul, remang bulu kuduk mulai timbul. Jantungku berdetak keras, sangat keras hingga aku khawatir terdengar oleh Bu Yuli. Kulirik Riri, wajahnya pun terlihat tegang. Kulirik AS. Aku berpikir, apakah AS merasakan yang sama? Namun aku melihat raut muka AS tak berubah sedikitpun, tetap tenang, seolah semuanya biasa. Posisi tangan AS memang tidak lazim, tangannya seolah menyembunyikan sesuatu, bukan contekan, namun menyembunyikan kode soal yang ditukar tadi.

Bu Yuli semakin mendekat, perasaanku semakin tak karuan. Benar saja, Bu Yuli memperhatikan pekerjaan AS. Meski kode soal ditutupi tangan, aku yakin Bu Yuli tahu mengenai soal yang tertukar –atau tepatnya ditukar- itu. Pastinya Bu Yuli hafal dengan seluruh soal yang dia buat.
“Lho, kamu tukar soalnya, ya!”
Akhirnya gelegar bentakan itu muncul dari mulut Bu Yuli. Seluruh siswa spontan bereaksi atas suara gelegar itu dan memandang ke arah kami.
“Engga Bu! Ini soal yang saya dapat.” AS berusaha membela diri
“Ga mungkin, saya sudah bagi soal sesuai meja!”
“Engga Bu, saya dapatnya soal ini.” AS masih keukeuh meyakinkan Bu Yuli.
“Ga mungkin!” bentak Bu Yuli

Seluruh kelas diam. Aku mulai panik. Aku lirik Riri, wajahnya pun terlihat panik. Tak berani kutatap wajah Bu Yuli, aku khawatir wajah panikku akan membongkar penyamaran AS. Aku tertunduk memandangi soal, padahal sama sekali soal itu tidak kubaca, malah semakin lama semakin terlihat buram di mataku.

“Ga mungkin, saya salah meletakkan soal ini!” tetap lantang Bu Yuli membentak AS, atau mungkin tepatnya membentak aku, AS dan Riri.
“Engga Bu, suer…!” AS tetap berkelit.
“Ga mungkin!”
Dan dengan spontan AS mengacungkan dua jarinya tangan kanannya sehingga membentuk huruf V pertanda bahwa “sumpah” dia tidak menukar soal. Yang membuat aku berdecak adalah wajah AS ketika mengacungkan tanda V itu sangat dingin, tanpa ekspresi panik, tenang, penuh keyakinan. Seandainya saat itu AS dites menggunakan lie detector aku yakin dia akan lolos dari intrograsi.

Sejenak kulihat mulai ada keraguan di wajah Bu Yuli tatkala melihat ekspresi lempeng AS.
“Kamu pindah duduknya, tuker dengan dia!” Bu Yuli memerintahkan AS bertukar duduk dengan Riri.
“Saya ga mau toleransi lagi kalau ada yang berani berbuat curang!” lantang Bu Yuli berbicara ditujukan ke seluruh kelas.

AS bertukar duduk dengan Riri, sehingga aku sekarang duduk bersebelahan dengan Riri dengan soal yang berbeda. Bu Yuli berlalu kembali ke mejanya dengan wajah kesal. Kesal karena tidak berhasil membongkar penyamaran AS juga kesal karena ada siswa yang mencoba berbuat curang meski beliau tak bisa membuktikannya.

Sejenak aku lirik AS, AS pun demikian. Melirikku dengan tatapan plong. Fiuh…lega. Wajah lempeng itu memang menyelamatkan nasib kami.

Banjarmasin, 15 Mei 09 – jika ingin nyontek, latihlah wajah lempeng Anda…