Kamis, 12 Februari 2009

Ulang Tahun - Sebuah Renungan dari Tahun ke Tahun

Ini bisa saja terjadi pada siapapun, laki-laki maupun perempuan. Tidak hanya aku. Tapi untuk sekedar berbagi, ini kisah dari tahun ke tahun.

Ulang tahun usia 1
Pada usia ini, pesta ulang tahun dilakukan atas inisiatif orang tua. Tidak mungkin anak umur 1 tahun minta ulang tahunnya di pestakan. Pada usia ini jalanpun masih tertatih-tatih. Jauh-jauh hari sudah belajar cara meniup lilin. Fuh..fuh..fuh.. biasanya lilinnya sulit mati, kalaupun lilinnya mati, lebih disebabkan karena muncratan ludah yang menimpa api di lilin.

Ulang tahun usia 2
Hampir sama dengan ulang tahun usia 2, namun dengan cara jalan yang tidak lagi tertatih-tatih. Sayangnya pada saat akan tiup lilin, justru tertidur dan terpaksa para tamu pesta yang didominasi orang dewasa menunggu, dan makan siang terlebih dahulu. Acara tiup lilin baru akan dilakukan setelah bangun kurang lebih 2 jam kemudian.

Ulang tahun usia 3
Mulai mengerti apa artinya pesta ulang tahun. Diadakan pesta di rumah, biasanya –setelah tiup lilin- lebih fokus membongkar kado pemberian dan memainkannya jika ada kado mainan yang menarik perhatiannya. Ucapan selamat para tamu? Biasanya tidak lagi dihiraukannya

Ulang tahun usia 4 - 5
Masalah tiup lilin sudah tidak lagi menjadi masalah. Tidak perlu air ludah muncrat untuk mematikannya. Sudah pula fasih menyanyikan lagu ulang tahun. Para tamu pun sudah didominasi anak-anak seusianya. Di masa kini, bagi orang tua yang mampu, akan mengadakan acara ulang tahun anaknya di sebuah restoran siap saji

Ulang tahun usia 6 – 12
Pada usia Sekolah Dasar ini, acara ulang tahun tidak lagi di sekolah. Belum pernah aku menemukan acara ulang tahun yang diadakan di kelas SD. Kalaupun ada, itupun spontanitas yang datangnya dari sang guru. Cukup menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama dan mengucapkan selamat. Di rumah? Biasanya tetap ada undangan pesta, dengan para tamu teman-teman sekolah. Undangan nya tertulis
“Datang ya ke pesta ku!”

Ulang tahun usia 13
Usia ABG, masa SMP, ulang tahun biasanya dilakukan dengan mentraktir teman-teman sekolah. Tidak semua teman, tapi hanya teman dekat saja. Si anak berpikir bahwa daripada uangnya buat pesta lebih baik buat beli sesuatu yang jadi hobinya misal beli kaset. Di usia ini mulai menyukai seorang perempuan, naksir, ngeceng. Dan akan sangat surprise sekali ketika si gadis yang disukai mengirimkan kartu ucapan kecil yang bertuliskan,
”Selamat ulang tahun, ya”

Ulang tahun usia 14
Inilah ulang tahun yang untuk pertama kalinya mendapat kado dari pacar. Bisa saja kan usia 14 sudah punya pacar? Kado itu mungil berpita warna merah muda. Isinya mungkin tidak seberapa, namun yang berarti adalah kata pengantar kado itu,
“Selamat ulang tahun, ya, semoga kamu makin sayang sama aku”

Ulang tahun usia 15
Di usia ini pacarnya sudah berbeda. Karena satu dan lain hal, pacar pertama tadi putus dan berganti ke pacar yang lain. Mirip dengan ulang tahun usia 14 tadi, kado dari pacar menjadi hal terpenting di usia ini. Oh ya, selain itu, diadakan acara makan-makan bersama teman-teman dekat. Sementara ada pertemuan khusus dengan sang pacar di suatu tempat dengan ritual menyerahkan kado mungil –yang tetap berpita. Tak penting apa isi kado, yang penting adalah kata-kata,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 16
Masa SMA seperti ini, ulang tahun diritualkan dengan mentraktir teman-teman. Makin banyak teman, makin banyak pula uang yang dikeluarkan. Namun ada lagi ritual konyol yang seolah menjadi tradisi, yaitu diguyur dengan campuran berbagai minuman, plus air cucian penjual mie ayam, plus telor busuk. Sadis! Persiapan jangka panjang sudah dilakukan teman-teman, dan dirahasiakan sampai hari H. Biasanya akan terjadi balas dendam, karena hal yang sama akan dilakukan pada siapapun yang ulang tahun. Di tahun ini, tetap pacar yang sama memberikan kado khusus, tetap bukan kado mewah, tetap dengan kata-kata pengantar,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 17
Katanya ini masa spesial. Beberapa teman lain yang ulang tahun, khusus mengundang teman lain untuk ke rumah, ada pesta khusus, ruangan disetting seperti diskotik, mulai ada acara dance, dan potong kue dengan potongan pertama diserahkan kepada yang tersayang. Aku? Alhamdulillah tidak melakukan itu. Ritualnya sama dengan usia 16, hanya saja melibatkan teman yang lebih banyak. Dan tetap dengan pacar yang sama, dan tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 18
Mirip usia 17, namun tidak lagi ada traktir berlebihan. Kembali ke teman-teman dekat dan yang pasti tetap dengan pacar yang sama dengan kado istimewa, namun ditambah kata-kata,
“Kalau nanti kamu kuliah, masih kah kamu sayang sama aku?”

Ulang tahun usia 19
Masa kuliah di Bandung, teman-teman baru, ritual utama : traktir teman dekat. Ulang tahun pertama jauh dari pacar, di hari ulang tahun ucapan selamat hanya dilakukan via telepon. Dengan ucapan,
“Selamat ulang tahun, ya. Aku kangen!”
Kado dari sang pacar baru diserahkan beberapa minggu kemudian. Di tahun ini pula mulai ada beberapa secret admirer, yang tiba-tiba memberikan kado khusus di hari itu. Ucapannya sederhana, tak ada yang berlebihan, hanya,
“Selamat ulang tahun, ya”
Ibu datang di hari ulang tahun itu, dan aku pun berkata,
“Mama, minta uang tambahan dong, buat traktir teman?”

Ulang tahun usia 20
Ritual standar, makan-makan dengan teman dekat. Sang pacar telah pergi, tak tahan karena jauh ditinggal. Pacar baru menjelang dan kadopun datang. Kado nya pun tetap sederhana, tak ada yang mewah, namun dengan tulisan,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 21
Teman-teman semakin sedikit yang menyadari hari ulang tahun itu. Kalau bukan kita yang traktir makan, mereka tidak tahu kalau kita ulang tahun. Pacar di usia 20 tidak bertahan lama. Kembali datang pacar baru. Kali ini pacaran yang lebih serius, mungkin pengalaman kegagalan sebelumnya. Kado pun datang dari sang pacar. Tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 22 – 24
Hampir mirip, tetap dengan teman-teman kuliah, di Universitas maupun di Magister, kita yang traktir barulah mereka tahu kita ulang tahun. Pacar tetap sama, karena mulai serius menjalin hubungan ke taraf yang lebih tinggi. Tetap dengan ungkapan,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun usia 25 - 27
Ulang tahun pertama di saat kerja. Tidak ada traktir mentraktir. Ucapan selamat hanya datang dari Ibu, dan –tentunya pacar. Sementara di kantor, cukup bagi-bagi 2 kotak kue tart, yang dipotong-potong dan cukup untuk 48 orang. Kado dari pacar? Tetap ada. Dan tetap,
“Aku sayang kamu”

Ulang tahun 28
Ulang tahun pertama setelah menikah. Ucapan selamat pertama datang dari istri (yang pacaran sejak usia 22 tadi), di saat bangun tidur di pagi hari, dilengkapi dengan kecupan mesra di pipi dan –tentunya- bibir. Kadot etap ada. Namun ucapan sayang langsung diucapkan lisan,
“I love you”
Dan tetap juga bagi-bagi kue untuk teman-teman di kantor

Ulang tahun 29-33
Di usia ini hampir sama kejadiannya. Tetap istri yang pertama kali mengucapkan selamat, tetap dengan kecupan di pipi dan bibir, dan tentunya ditambah dengan ciuman dari kedua mutiara kecil yang berlari memeluk saat pulang kantor. Ucapan dari Ibu dilakukan lewat telepon, dan terkadang mengirimkan kue tart hasil buatan sendiri. Beberapa teman dekat mengirimkan selamat melalu SMS. Kado biasanya datang dari istri. Itupun sudah mulai jarang. Kado pun diberikan sesuai permintaan. Ketika jalan-jalan di mal, terkadang tercetus lah kata-kata,
“Kamu mau kado apa, nanti aku belikan” tanya sang istri

Tetap dengan pernyataan indah,

“I love you”

Ulang tahun usia 34
Secara ritual dan pelaksanaan, sebenarnya tetap sama dengan usia 29-33. Tetap istri yang pertama kali mengucap selamat, tetap dengan kecupan, pelukan, dan “i love you” nya. Tetap Ibu yang menelepon melalui HP. Tetap SMS dari teman. Namun yang membedakan adalah tanggal ulang tahun relatif terpublikasi, karena sudah tercantum di facebook, milis, atau media maya lain, dan jauh-jauh hari sudah diingatkan di sudut media tersebut. Sejak jauh-jauh hari pula beberapa teman kuliah mengkoordinasi kumpul-kumpul dengan dalih reuni.

“But anyway, thank you my friends!”

Ulang tahun usia 35, 36, dst, dst, dst?
Entahlah! Belum bisa diceritakan disini, karena belum pernah. Hanya bisa berdoa, semoga usia-usia ke depan, tetap akan mengalami masa ulang tahun hingga Allah SWT mengizinkan. Tetap bersyukur akan usia yang diberikan. Tetap berdoa semoga diberikan usia yang bermanfaat. Tetap istighfar karena yang pasti jatah usia kita akan berkurang.


Bogor, 13 Februari 2009 – Di Saat Usia 34…

Woooiiii! Awaaaassss Ada ***!!! Minggiiiiiiirrrrr!!!

BegituMaafkan atas judul yang mungkin tidak senonoh di atas. Maafkan atas penggunaan tiga bintang sebagai alat sensor penulisan. Tapi masalahnya, tidak ada kata-kata lain untuk menggantikan kata-kata tersebut. Sekali lagi : maaf!

Aku keturunan anak kampung di sebuah desa di pinggiran Bogor. Nama desa itu Desa Katulampa, suatu desa yang membuat was-was orang Jakarta, karena di situ terdapat sebuah bendungan yang menjadi indikator banjir di Jakarta. Jika kedalaman di Bendungan Katulampa mulai mengkhawatirkan, maka akan khawatir juga seluruh penduduk Jakarta.

Meski aku berdarah orang Katulampa, namun jarang sekali aku tinggal di desa itu. Sesekali jika liburan, aku bermain dan bermalam di sana.

Pada saat usia 9-11 tahun, merupakan masa-masa bermain mengasyikan bagi ku, bersama para sepupu, keluar masuk hutan desa, mandi di kali, bermain lumpur di sawah, bermain bola di lapangan lumpur, memanjat pohon, dan semua kenakalan anak kampung.

Di antara semua kenakalan itu, ada satu yang paling menyenangkan, yang paling ditunggu-tunggu, dan yang paling sering kami lakukan yaitu :mandi di kali.

Sungai atau kali itu bernama Citonggoh. Jika diartikan secara harfiah adalah air yang berada di atas atau di Utara (Ci = air, tonggoh = atas/utara). Citonggoh pada dasarnya adalah sebuah anak sungai Ciliwung, yang sebelum mengalir ke Jakarta, terpecah menjadi beberapa bagian dan salah satu alirannya mengalir ke desa kami.

Citonggoh menjadi semacam sumber air bagi desa kami. Bukan untuk minum, namun untuk mandi, cuci dan juga kakus. Ketiga kegiatan itu sekaligus bisa dilakukan di sungai yang sama. Jika di satu sisi ada yang mandi, maka bisa jadi di sisi lain ada yang mencuci, atau bahkan di sisi lainnya ada yang –maaf- sedang buang air besar.

Kebiasaan itu sudah menjadi turun temurun di desa kami. Air Citonggoh sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan jernih. Airnya sudah coklat. Tidak ada sampah, namun tetap tidak layak minum.

Bagian air yang mengaliri desa kami merupakan aliran air yang cukup deras, kedalamannya hanya kurang dari 1,5 meter dengan lebar sungai sekitar 5 meter. Namun bagian aliran ini merupakan tempat yang paling strategis untuk berenang. Tidak terlalu banyak batu, tapi juga tidak terlalu dalam.

Kebiasaan di desa kami adalah setiap akan shalat, terutama Zuhur dan Ashar, pasti harus mandi. Sehingga pada waktu shalat tersebut, sungai Citonggoh cenderung ramai. Jadi ada istilah di kalangan penduduk desa, yaitu mandi lohor (zuhur) dan mandi ashar.

Suatu hari pada saat mandi lohor (zuhur).

Setelah puas bermain di hutan dari pagi, terdengar suara azan zuhur dari kejauhan. Bergegas kami –aku dan 4 orang sepupuku- berlari menuju Citonggoh. Bukan untuk berwudhu untuk kemudian shalat Zuhur, tapi hanya untuk sekedar memenuhi tradisi mandi lohor (zuhur). Masalah apakah kita akan shalat ke mesjid, itu soal nanti, tergantung dari ada atau tidaknya Pa Haji. Kalau Pa Haji ada, pasti kami akan dikejar-kejar sambil bawa rotan untuk disuruh shalat, kalau Pa Haji tidak ada, ya lanjut terus main di hutan.

Tak sabar kami berlari. Masih 10 meter dari sungai, kami sudah melucuti pakaian kami. Melucuti semua, telanjang bulat. Dan setiba di pinggir sungai, langsung meloncat dan byurr…

Makin tinggi loncatan, makin keras kami terhempas ke sungai. Bisa jadi akibat loncatan kami tenggelam di satu sudut sungai dan baru muncul beberapa detik kemudian di sudut lainnya. Tidak peduli kami dengan kebersihan air. Yang kami lakukan cuma sekedar untuk bersenang-senang.

Beberapa saat kami asyik berenang, salah satu sepupu ku berada di kawasan sungai tertinggi, maksudnya adalah dia ingin meloncat dari tempat tertinggi tersebut. Namun justru karena dia berada di tempat tertinggi itu lah, makanya dia bisa melihat ada apa saja kegiatan di sungai bagian atas.

Dan tiba-tiba dia berteriak, “

“Wooooiiiii, awaaaaasssss, ada ***! Mingggiiiiiiiiir!”

Sontak kami berempat yang berada di bawah, segera berenang ke tepi, dan segera naik.

Benar saja, tidak berapa lama kemudian, saat kami menunggu di pinggir sungai –dalam keadaan telanjang bulat tentu saja- mengalirlah segerombolan –maaf- kotoran manusia di depan kami. Kami berempat hanya nyengir menyaksikan pemandangan itu. Sama sekali tidak merasa jijik, biasa saja, karena itu pemandangan sehari-hari kami saat berenang di Citonggoh.

Setelah segerombolan –maaf, sekali lagi maaf- kotoran manusia tadi lewat dan dirasa sudah cukup jauh dari pandangan, maka serempak kami kembali meloncat ke sungai, kembali berenang bebas, seolah tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.

Padahal jika ditimbang-timbang, betapa joroknya sungai Citonggoh. Jijik. Karena air yang sama digunakan untuk mandi –juga sikat gigi-, mencuci, dan sebagai kakus. Jika ditimbang-timbang lagi, bisa saja aku terkena penyakit kulit, bisa saja aku terkena penyakit perut, karena pada saat meloncat, terkadang ada seteguk dua teguk air Citonggoh terminum oleh ku.

Tapi ternyata semua baik-baik saja. Tidak sekalipun aku sakit karena Citonggoh. Satu-satunya sakit ku adalah ketika tumitku belah dua karena menginjak beling di dasar Citonggoh. Sampai kini cacat karena beling itu masih ada, seolah-olah tumitku jadi punya lesung pipit.

Citonggoh saat ini, 23 tahun kemudian.

Sudah tidak ada lagi yang mandi di Citonggoh, ada 2 kemungkinan, pertama, masyarakat desa sudah sadar kesehatan dan mandi dari PAM atau air sumur, kedua, Citonggoh memang sudah tidak layak lagi disebut sungai.

Aku lihat Citonggoh sudah menyusut drastis, lebarnya hanya tinggal 1 meter, kedalaman tak lebih dari 80cm. Memang tidak pantas disebut sungai, lebih pantas jika disebut selokan.

Pembangunan pemukiman yang pesat, turut andil dalam mempersempit ruang gerak air Citonggoh. Tidak hanya itu, hutan, kebun, dan sawah tempat kami bermain dulu pun, sekarang sudah menjadi tempat hunian. Hutan, kebun dan sawah itu sekarang ditanami beton, dipupuki semen, dan dihiasi genteng. Tidak lagi nyaman untuk sekedar menghirup udara segar dari hutan.

Kondisi itu merupakan representasi dari kondisi alam Indonesia pada umumnya. Desa kami seperti menjadi miniatur Indonesia dimana sungai, hutan, kebun, dan sawah tergerus oleh kepentingan manusia.

Kasihan anak2 ku kelak, tidak sempat merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon. Bahkan katanya, kalau anak kita ingin merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon, ada wahana yang dibangun untuk itu, dan itu harus bayar!


Gorontalo, 29 Januari 09