Selasa, 31 Maret 2009

"fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…"

Suatu hari Jumat, istriku mengirim sebuah email, pengantarnya,
“Pap, baca nih buku ini!” sambil mengattach sebuah e-book dalam bentuk PDF. Namun sayang sekali, setelah 4 kali dikirim, file itu tidak bisa dibuka.

Penasaran, aku dan istriku beberapa waktu kemudian ke toko buku Gramedia untuk mencari buku itu. Ternyata ada dan tanpa pikir panjang aku beli. Istriku berkomentar pendek saja,
“Langsung baca halaman 47!” ujar istriku.

Langsung aku baca halaman 47. Ternyata berisi tulisan sang penulis mengenai seorang suami yang rajin shalat, rajin puasa, rajin baca quran, ga pernah keluyuran, pulang kantor tepat waktu, jauh dari alcohol dan jauh dari “main perempuan”, namun ternyata sang istri suatu saat menemukan sms di hp sang suami yang ditujukan kepada seorang perempuan lain yang isinya, “Sayang, kamu lagi ngapain…?”
“Duh, kenapa istriku menyuruh aku membaca halaman ini?” batinku
Seolah menjawab keherananku, istriku segera menukas,
“Cerita itu Pipap banget!” ujarnya dengan senyum yang penuh misteri.
Notes : Pipap = panggilan istriku untukku, sama dengan Papa, Papi, Bapak atau Ayah.

Setelah sedikit perdebatan kecil, tentunya aku menyangkal kalau aku seperti yang ditulis itu, akhirnya istriku tetap pada suatu kesimpulan bahwa,
“Dimana-mana, laki-laki ga ada yang bisa dipercaya! Titik!” tegas, lugas, dan tanpa ragu istriku berkata.

Selanjutnya aku membaca tulisan-tulisan lain sang penulis itu. Sangat bagus, sangat inspiratif dan menggugah. Penulisnya –seorang muslimah taat- benar-benar bisa membawa pembacanya ikut terlarut dalam kisah-kisah perempuan yang disakiti baik secara fisik maupun secara psikis. Namun malam itu, aku tidak selesai membacanya, dan aku putuskan untuk membaca keesokan harinya saat berada di dalam pesawat menuju ke Pekanbaru.

Singkat kata, di dalam pesawat menuju Pekanbaru, aku bersiap meneruskan membaca. Halaman demi halaman ku baca, hingga sampailah pada satu tulisan, berisikan mengenai kehilangan seorang istri akan suaminya yang mendadak meninggal karena kecelakaan. Namun bukan tema tulisannya yang membuat aku bergetar. Terlepas dari simpati ku terhadap sang istri, aku melihat temanya memang banyak terjadi di keseharian.

Justru yang membuat aku tergetar adalah suatu kalimat yang diucapkan sang istri tatkala kehilangan suaminya, yaitu,
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?

Sedetik aku membaca kalimat itu, tercekat langsung hatiku. Merinding, tercenung dan kosong pikiranku. Tak sadar pula, seolah ada kabut menyelimuti mata, ada genangan memenuhinya. Kantung mataku tak mampu menahan genangan itu, dan terbentuklah aliran air mata di pipi.

Ya! Aku menangis. Terus menerus, hingga akhirnya pesawat mendarat dan penumpang turun. Aku membiarkannya mengalir, tak coba kuhapus atau setidaknya kubendung aliran bertambah. Kubiarkan hatiku sesak, kubiarkan tercekat. Kumanjakan pipiku dengan aliran air mata itu, tak berhenti.

Kalimat Al Qur’an surat Ar Rahman itu benar-benar membuatku terhenyak.
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…”sering aku mendengar ayat itu, ketika kecil aku mengaji, ketika mendengar ceramah Maulid Nabi, ketika ceramah Jum’at, dan banyak lagi. Rasanya sering aku mendengar ayat itu. Namun kali ini…
“Apa yang terjadi dengan ku?”

Saat ini sepertinya semua mudah aku dapat. Nikmat Allah benar-benar melimpah ruah. Harta, karier, keluarga, semua aku miliki. Dengan level usiaku saat ini, nikmat itu begitu melimpah ruah. Namun, kapan terakhir aku shalat fardhu di mesjid, kapan terakhir aku bersujud di sepertiga malam, kapan terakhir aku melantunkan ayat-ayat Alquran, kapan terakhir aku mengikuti tauziyah seorang kyai di mesjid, kapan terakhir aku mengajak keluarga untuk shalat berjamaah, kapan…? Sudah lama sekali tidak aku lakukan. Sudah lama!

Berkedok dibalik pernyataan “bekerja juga adalah ibadah”, aku lalai menjalankannya. Ibadah vertikal itu hanya standar aku lakukan, cukup shalat –dan sering terlambat-, membayar zakat, infak, shadaqah! Sudah! Ke mesjid? Cukup setiap shalat Jumat! Benar-benar lalai!

Yang aku heran, ketika tangis itu jatuh, pikiran ku kosong, sama sekali tidak ada penyebab tangis, sama sekali tidak ada pikiran bahwa aku menangis karena aku menyesal tidak menjalankan ibadah vertikal itu dengan baik. Hanya menangis saja, tepat sesaat setelah membaca “fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” Kesadaran akan kelalaian justru baru datang ketika sudah ada di darat dan perjalanan mobil menuju kantor di Pekanbaru.

Ya betul! Aku lalai! Aku menjalankan shalat, tapi lalai!

Mungkin Allah memperingatkanku melalui cara “tangis” itu. Tangis yang tiba-tiba jatuh tanpa tahu sebabnya, tangis yang tiba-tiba mengalir sesaat setelah kalimat itu dibaca. Apakah setelah ini aku akan rajin shalat fardhu di mesjid, rajin bersujud di sepertiga malam, rajin melantunkan ayat-ayat Alqur’an, rajin mengikuti tauziyah, rajin mengajak keluarga shalat berjamaah? Semoga...

Aku harus memulainya sebelum terlambat. Motivasiku hanya satu, yaitu
“fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?”

Pekanbaru, 1 April 09 - “fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…”