Sabtu, 28 Februari 2009

In Memoriam Sony Gunawan (1974 – 1999)

(Dipersembahkan untuk rekan di SMPN 1 & SMAN 1 Bogor
Dan Jurusan Hubungan Internasional Univ, Padjadjaran)

“Hai, saya Sony…”

Itu kalimat ketika aku pertama berkenalan dengan Sony Gunawan alias Sogun di kelas 1D SMPN 1 Bogor. Kami duduk sebangku, merasa senasib karena sama-sama berasal dari SD di luar Bogor. Sebagian besar teman di kelas sudah mengenal satu sama lain karena berasal dari SD yang sama di sekitar Bogor. Waktu itu aku dari Semarang sementara Sogun dari Padang.

Nama Sogun merupakan kependekan dari Sony Gunawan. Kenapa? Karena di kelas 1D setidaknya ada 2 lagi nama Sony, yaitu Sony (saja) dan M. Sonny. Sehingga untuk membedakan mereka bertiga, kami memanggil Sony untuk Sony (saja), Sogun untuk Sony Gunawan, dan untuk M. Sonny kami akrab memanggilnya : Pa***! (untuk alasan privacy saya tidak tuliskan di sini)

Pertemanan kami berdua berlanjut sampai ke SMA Negeri 1 Bogor, dan semakin dekat ketika kami sama-sama mengambil Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran Bandung. Tidak hanya itu, kami pun tinggal satu atap di tempat kos yang sama dengan hanya perbedaan tembok saja.

Lulus! Dan kami pun berpisah. Kami lulus hampir bersamaan. Kata-kata perpisahan Sogun ketika aku meninggalkan Bandung adalah,

”Din, kita jadi diplomat sama-sama, ya, atau setidaknya kita cari tempat kerja yang sama!”

”Ok, gua tunggu!” Optimis aku menjawab.

Namun niat itu tidak berjalan mulus. Krisis Ekonomi 1998! Dan semua buyar!

Departemen Luar Negeri menutup penerimaan diplomat baru, bahkan memanggil pulang sebagian diplomatnya demi efisiensi. Parahnya lagi, pekerjaan pun sulit aku dapat sehingga aku memutuskan untuk kembali bersekolah.

Sogun? Terdengar kabar bahwa Sogun sakit dan harus dioperasi untuk menghilangkan kanker yang menggerogoti tubuh bagian leher menuju rahangnya. Kabarnya lagi kanker itu sudah mencapai stadium 4. Sama sekali aku tidak pernah membayangkan kanker stadium 4 menyerang Sogun.

Pasca operasi, aku menjenguk Sogun. Aku mendapati Sogun dalam kondisi yang sangat kurus. Bekas luka operasi di sekitar rahang kanan menimbulkan luka besar menganga, sehingga ada semacam daging tumbuh yang membesar dan memanjang di sekitar rahang. Jika dilihat sekilas, seolah Sogun sedang menjepit bola sebesar 2 kepalan tangan antara rahang dan bahu kanannya.

Lebih mengejutkan lagi ketika aku mendapati cara makan Sogun. Tahu, tempe, dan beberapa jenis sayuran dalam kondisi direbus, disatukan dalam blender dan dibuat seperti juice. Diminum dengan cara disedot menggunakan sedotan.

Gila! Aku tahu persis bagaimana ”dahsyat” nya Sogun makan. Tapi saat itu satu gelas juice tahu, tempe dan sayur pun tidak habis setengahnya disedot. Bagaimana mungkin menyedot juice, kalau lidah untuk bicara pun sepertinya sudah tidak mampu lagi digerakkan? Bicara pun lebih dominan menggunakan isyarat yang banyak aku tidak mengerti.

Berbagai cara dilakukan, cara medis, cara alternatif, apapun! Dan akhirnya memang harus berujung di rumah sakit. Tak berapa lama, Sogun kembali masuk rumah sakit.

Jarak dekat antara tempat aku kuliah dengan RSPAD Gatot Subroto tempat Sogun dirawat, memudahkan ku untuk setiap hari berkunjung ke rumah sakit.

Hingga suatu hari di rumah sakit.

”Gun, gua balik dulu, ya. Besok ga kesini, mungkin baru lusa, gua mau ke Bogor, udah lama ga pulang. Lu baek-baek, lusa gua ke sini”

Anggukan Sogun melepas kepulangan ku.

3 jam kemudian, saat baru satu langkah aku keluar dari angkot menuju rumah di Bogor, HP ku berdering.

”Ya, Do!” jawabku atas telepon Edo sahabatku yang lain.

”Din, lu sekarang juga mesti ke sini, mesti ke rumah sakit!”

”Engga, Do, gua lagi di Bogor. Lusa baru ke rumah sakit!”

”Engga, harus sekarang! Sogun koma!”

Astaghfirullah! Koma!

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari, sebentar pamit dengan Ibu, dan kabur kembali ke Jakarta.

Setiba di rumah sakit aku melihat Sogun hanya terpejam, selang oksigen masih terpasang di mulut. Nafasnya naik turun seiring dengan detak jantung yang terpampang di monitor. Menurut keluarga, Sogun sudah hidup dari mesin, jika mesin ini dicabut, berarti selesai sudah. Bacaan Yasin sudah berkumandang di ruangan. Beberapa teman terlihat komat kamit membaca doa masing-masing. Aku hanya diam, berat rasanya aku baca Yasin, karena –menurutku- baca Yasin berarti aku mengakui bahwa Sogun telah tiada.

Di tengah kepasrahan, keluarga memutuskan semua alat dicabut. Dalam hitungan detik, tepat jam 24.00, detak jantung di layar monitor terlihat perlahan berhenti, nafas mulai menghilang, seiring dengan suara syahadat yang dibisikkan di telinga dan takbir yang semakin lantang diteriakkan.

Innalillahi wa Innailaihi Rajiuun.

Sogun tiada! Tepat jam 24.00.

Tak sanggup aku menerima ini. Aku hanya duduk terjajar di tembok selasar rumah sakit. Menelungkupkan kepala di antara kedua lutut. Aku sama sekali tidak bisa berkata apa. Lidah ku kelu, bahkan hati ku pun tak mampu, selain berkata,

”Gun, Gun, lu bilang kita mau sama-sama jadi diplomat! Lu bilang kita mau nyari tempat kerja yang sama! Kenapa jadinya lu sekarang pergi duluan?”

Itu saja yang sanggup aku katakan saat itu, tak ada yang lain, bahkan untuk sekedar sebait doa.

Sogun, saat ini 10 tahun terbaring di alam kubur sana.

”Insyaallah surga bagi mu, Gun! Insyaallah 2 tahun penderitaan mu melawan kanker, meluruhkan dosa-dosa mu!”

”Aku pasti menyusul, entah kapan? Dan aku pun ingin surga seperti ingin mu!”

”Amin!”


Bogor, 2 Januari 2009 - In Memoriam Sony Gunawan (1974 – 1999)