Kamis, 19 Februari 2009

Apa Bedanya Aku Dengan Dia?

Suatu saat di Kendari.

Pada saat itu aku hendak menunggu boarding pesawat di sebuah lounge bandara. Aku masuk lounge, menunjukkan boarding pass dan tanpa basa-basi dari si penjaga lounge, aku langsung duduk di salah satu sudut sofa. Si penjaga lounge itu benar-benar acuh, tak peduli akan kehadiranku. Sendirian aku membuat teh panas tanpa gula, sendirian aku mencari gelas untuk air putih, dan sendirian aku sibuk mencari colokan untuk listrik laptop ku. Si penjaga lounge? Tetap acuh….!

Beberapa saat kemudian, masuklah 4 orang bule ke lounge itu, mereka berpakaian casual, tidak tampak sebagai seorang pekerja kerah putih seperti yang ditemui di Jakarta. Mereka lebih terlihat seperti sekelompok turis yang hendak kembali ke negaranya seusai menikmati liburan di Kendari.

Yang mengejutkan dan membuat jengkel adalah, ketika para bule itu masuk, si penjaga lounge sontak menyambut, memberikan senyum termanis, dan mempersilakan duduk di sofa terbaik di lounge itu. Tidak hanya itu, bahkan mengantarkan hingga semua bule itu duduk, menawarkan sesuatu,

“Would you like tea or coffee?” ujarnya

dan langsung menyediakan asbak serta merapikan meja dimana sofa mereka duduki.

Dari sudut lain aku hanya memandangi mereka. Memandangi si penjaga lounge, dan miris berkata dalam hati,

“Apa bedanya orang bule itu dengan aku?” bisikku dalam hati.

Aku masuk ke dalam lounge yang sama, aku menaiki pesawat yang sama, kelas tiketnya pun aku lihat sama-sama ekonomi, lantas, kenapa aku mendapat perlakuan berbeda? Si penjaga lounge itu seperti menganggap aku ini hanya bikin penuh lounge dan tidak memberikan keuntungan apapun untuknya. Inikah yang dinamakan keramahtamahan orang Indonesia? Sebuah keramahtamahan salah kaprah yang diterapkan secara naïf oleh seseorang yang mengaku bekerja di bidang customer service.

Di kesempatan lain, di Uluwatu, Bali.

Seperti biasa, jika aku terjun ke lapangan, aku melakukan market survey, suatu prosedur standar di dunia sales yang dilakukan siapapun jika terjun ke lapangan. Apa yang biasanya aku lakukan? Aku datangi toko-toko, melihat keberadaan produk yang aku jual, membandingkannya dengan kompetitor, melihat kecenderungan konsumen, berbicara dengan pemilik toko, dan tentu saja “cuci mata”

Saat itu di Uluwatu, aku melakukan hal yang sama. Bedanya adalah, saat itu atasan ku ikut bersama ku didampingi juga dengan rekan dari distributor. Setelah puas melakukan market survey di Uluwatu, kami bersama menuju sekumpulan karang yang memecah ombak di ujung Uluwatu.

Meski bukan hari libur, namun keramaian Uluwatu tetap luar biasa, tentunya didominasi para turis asing baik dari Asia maupun Eropa & Amerika.

Di suatu sudut Uluwatu, aku melihat sepasang orang bule sedang berfoto. Sepertinya mereka suami istri –setidaknya itu anggapan baik sangka ku- yang sedang berbulan madu di Bali. Mereka saling foto, terkadang sang pria memfoto si wanita, demikian juga sebaliknya. Hingga satu saat, sepertinya mereka ingin berfoto berdua. Tak kurang akal, mereka meletakkan kamera digital mereka di atas sebuah tong sampah, memanfaatkan teknologi automatic photograph, mereka sibuk meletakkan kamera digital nya di atas tong sampah.

Usaha mereka kelihatannya tidak mudah. Permukaan tong sampah tidak rata, sehingga berkali-kali kamera digital itu hampir jatuh. Dan berkali-kali pula mereka gagal berfoto bersama.

Aku dan atasanku melihat peristiwa itu.

“Eh, kita bantuin, yuk!” ajak atasanku

“Boleh, Pa” jawab ku

Serentak kami dan salah satu rekan distributor menghampiri sepasang bule itu.

“Let me take the picture for you!” atasanku mulai menawarkan diri.

Sepasang bule itu terlihat kebingungan. Terdiam. Saling pandang.

“Kenapa mereka terlihat ragu?” pikir ku

“How much?” si bule pria bertanya kepada kami sambil menjentikan telunjuk dan ibu jari sebagai simbol uang.

Oh, ternyata mereka berpikir kita akan meminta uang atas jasanya mengambil foto atas mereka. Benar-benar miris aku atas peristiwa itu.

Sebegitu hinakah bangsa ini sehingga ketika kita akan tulus menolong, dianggap ada pamrih di baliknya.

Benar-benar sebuah paradoks!
Ada seorang anak bangsa yang ramah berlebihan terhadap orang asing dengan berkedok customer service, sehingga rela mendiskriminasi bangsa sendiri pada saat melayani di sebuah lounge.

Ada seorang bule yang menghina anak bangsa yang hendak tulus menolong dengan tuduhan ada pamrih uang di balik ketulusan itu.

Benar-benar sebuah paradoks!

Bagaimana menurut Anda?


Makassar, 18 Februari 2009