Sabtu, 21 Februari 2009

Beda Tipis Antara Halal dan Haram di Negeri Seberang

Aku baru saja pindah dari kantor ku yang lama ke kantor yang sekarang ini. Sebenarnya jenis pekerjaannya sama, hanya produk yang berbeda. Tentu saja kulturnya pun berbeda. Dulu aku bekerja di perusahaan nasional, sekarang di perusahaan multinasional berlatar belakang Jepang.

Aku masuk 16 Agustus 04, sebagai orang baru, tentunya menghadapi budaya baru, budaya perusahaan Jepang.

Belum 3 bulan aku bekerja, tepatnya Oktober 2004, saat nikmat-nikmatnya menjalankan puasa Ramadhan, bos Jepang ku memerintahkan aku menemaninya ke Jepang. Dan kita akan menjamu 3 tamu dari Indonesia yang juga adalah klien ku yang selalu terkait pekerjaan dengan ku.

Ke Jepang? Belum pernah aku menginjakkan kaki di sana, jangankan Jepang, keluar negeri saja aku belum pernah, bahkan passport pun tidak punya.

Singkat cerita, berangkatlah aku ke Jepang, sebuah negeri sempurna jika dilihat dari sisi duniawi, namun jika dari sisi mentalitas religius, belum tentu!

Bos ku benar-benar peduli dengan para tamu termasuk juga peduli pada ku –meski aku bukan tamu- yang sangat concern pada makanan halal ataupun haram. Agak sulit mendapatkan makanan yang murni halal di sana. Apalagi jika dikaitkan dengan makanan halal versi Muslim berdasarkan syariah yang murni dan konsekuen. Dimana halal tersebut tidak hanya makanan mengandung babi atau tidak, tapi lebih dalam lagi, seperti media memasak yang bebas babi, atau ketika menyembelih pun harus sesuai syariah. Dari ketentuan dasar itu saja, aku ragu makanan halal beredar luas di Jepang.

Ok lah, tidak mengandung babi, tapi sendok sayurnya mungkin pernah dipakai untuk menyendok babi, atau ketika menyembelih ayam, dilakukan asal potong dan tanpa baca bismillah. Sulit aku rasa jika kita ingin mencari makanan halal di Jepang.

Suatu waktu, tatkala melepas lelah setelah berkeliling Tokyo, aku, si Bos, dan tiga orang tamu melepas lelah di sebuah kedai makan. Konon kabarnya, kedai itu menyediakan berbagai makanan khas Osaka, sekitar 2 jam perjalanan dari Tokyo. Osaka ini adalah juga kabarnya kampung halaman si Bos. Salah satu makanan khas Osaka yang dihidangkan itu adalah Okonomiyaki.

Memasak Okonomiyaki, menggunakan wajan datar yang unik, wajan datar itu berada di tengah meja tempat kami singgahi. Satu ruangan kedai itu terdiri dari 10 meja, dengan kursi yang terdiri dari 6 kursi di setiap mejanya. Wajan datar tadi berada tepat di tengah meja, sehingga kita menyaksikan langsung proses memasak itu. Okonomiyaki yang dibuat disesuaikan dengan jumlah orang yang duduk, sehingga setiap 1 orang akan mendapat jatah 1 Okonomiyaki.

Cara memasak Okonomiyaki, mirip dengan memasak martabak. Adonan terigu ditebar melingkar di wajan datar, ditunggu hingga setengah matang, kemudian ditaburi topping yang terdiri dari daging, taburan bawang, dan daun-daunan yang aku tidak kenal. Topping itu begitu penuh, sehingga melebihi ketebalan adonan terigu yang mendasari Okonomiyaki.

Bos ku –dalam bahasa Jepang- bebicara ke pramusaji kedai itu, kira-kira artinya adalah,

“Buatkan 6 Okonomiyaki, yang 5 topping babi, yang 1 topping ayam” ujar si Bos.

Satu topping ayam pastinya diperuntukkan bagi ku yang satu-satunya Muslim di meja itu.

“Terima kasih, Bos, dikau begitu perhatian padaku!” batinku.

Tapi…

Tidak semudah itu mendapatkan makanan halal di Jepang, itu yang mesti aku waspadai.

Benar saja, memasak Okonomiyaki tadi tepat dilakukan di depanku. Pertama, satu gelas besar isi adonan terigu, disebar menjadi enam lingkaran berdiameter 15 cm di atas wajan datar berlapis minyak yang panas. Gelas besar tadi diisi oleh daging yang telah dipotong kotak-kotak, diaduk dengan sejenis minyak, dan ditaburkan merata di 5 adonan dasar Okonomiyaki tadi.

Lho kok cuma 5? Seakan mengerti dengan keherananku, si Bos berkata,

“Yang lima ini babi, nanti yang ayam menyusul” ujar si Bos

Tak lama setelah daging babi tadi ditabur, disusul potongan daging ayam dimasukkan ke gelas besar yang sama, diaduk dengan sendok yang sama dan menggunakan minyak yang sama. Setelah diaduk beberapa saat, langsung ditabur ke satu adonan Okonomiyaki yang konon adalah jatahku.

Lengkap sudah 6 Okonomiyaki matang terhidang di atas meja, 5 topping daging babi, 1 topping daging ayam. Menggunakan gelas adonan yang sama, sendok yang sama, wajan datar yang sama, dan dijejerkan berdekatan satu sama lain. Bisakah dikatakan halal? Syariah Islam di belahan bumi manapun akan mengatakan tidak halal. Namun apa yang bisa aku perbuat. Tidak aku makan? Konsekuensinya aku akan membuat tersinggung si Bos dan tentunya jadi lapar. Aku makan? Jelas haram. Berarti ada unsur haram yang aku masukkan ke perut ku.

Akhirnya, dengan banyak pertimbangan, dengan sikap menjaga perasaan si Bos, dan tentunya dengan segala kelemahan iman, aku lahap memakan Okonomiyaki topping ayam jatahku. Lahap sekali, seolah tidak ada beban haram didalamnya. Dalam otakku hanya satu, aku tahu ini haram, ini salah, namun kalau aku tidak menikmatinya, aku rugi dua kali. Rugi karena makan makanan haram dan rugi karena tidak bisa menikmatinya.

Ampuni aku, ya Allah….


Bogor, 22 Februari 09

Murid “Sok Iyee…” vs Guru “Sok Galak”

Ini kisah tentang sahabat ku

Namanya F, pemuda berperawakan sedang, tidak terlalu kurus, berpembawaan selalu ceria seolah tidak pernah ada masalah dalam hidupnya.

Kebiasaan unik F ini adalah selalu berbicara dengan logat Betawi, padahal setitik pun tidak ada darah Betawi dalam dirinya. Bahkan tempat tinggalnya -tidak jauh dari ku- yaitu di sekitar pinggiran Bogor yang sehari-hari berbicara dengan Bahasa Sunda yang cenderung kasar.

Logat Betawi yang sangat sering dia gunakan adalah “Iyee…” dengan gaya seperti Mandra atau Si Doel di sinetron. Apapun atau siapa pun yang mengajukan pertaan konfirmatif atau biasa disebut “yes no question” yang diajukan, akan dijawabnya enteng dengan “Iyee…”

Kami –dan juga beberapa guru- sudah terbiasa dengan gaya seperti itu. Kami menikmati gaya itu. Kami merasa terhibur dengan gaya seperti itu.

Suatu hari, datang guru baru di kelas kami. Namanya Pa B

“Siap, beri salam!” Lantang ketua kelas kami, D, memimpin aba-aba salam.

“Slamat siang, Pa!” Serempak pula kami memberikan salam kepada Pa B

“Slamat siang!” Lantang pula Pa B menjawab, tidak hanya lantang, tapi tegas, lugas, dan menggelegar.

Kami cukup kaget mendengarnya, bahkan salah satu teman perempuan, setengah terlonjak dari duduknya mendengar gelegar suara Pa B.

“Di kelas ini saya mau buat aturan main!” gelegar suara itu muncul lagi.

Aturan main? Sibuk dalam hati kami bertanya. Kelas benar-benar hening, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik, tak ada gerutuan, bahkan untuk bernafas pun kalau bisa ditahan dulu.

Berondongan aturan main diluncurkan Pa B terhadap kami. Sebenarnya aturan main yang biasa saja, standar, tidak ada yang istimewa. Misalnya, apabila guru sedang berbicara, tidak ada murid yang berbicara sendiri-sendiri, atau tidak ada yang nyontek ketika ulangan, atau harus aktif ketika sessi diskusi, atau tidak terlambat masuk kelas, dsb, dsb, dsb.

Standar! Itu memang sudah kewajiban murid, bukan?

Kelas masih hening.

Berondongan selanjutnya lebih banyak menceritakan asal muasal Pa B. Ternyata Pa B sebelumnya mengajar di salah satu kota di Provinsi Riau di Pulau Sumatera. Cerita berlanjut, lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi beliau. Misal, bagaimana beliau menghadapi murid sekolah yang mengacungkan golok ketika nilai ulangannya jelek, atau bagaimana beliau menghadapi keroyokan orang tua murid yang anaknya tidak naik kelas, dsb, dsb, dsb.

Cerita-cerita tersebut cenderung menunjukkan keangkeran sekolah tempat beliau mengajar dulu dan menunjukkan heroisme beliau dalam menghadapinya.

Hening kami mendengar. Terpukau? Rasanya tidak juga. Bahkan aku berfikir, untuk apa beliau menceritakan hal itu kepada kami? Untuk menggertak? Rasanya tidak mempan, ya.

“Jadi, semua jelas ya?”

“Semua harus ikuti aturan main yang kita sepakati tadi!”

“Mengerti?” Sebuah pertanyaan konfirmatif diajukan oleh Pa B.

Serempak seluruh murid menjawab,

“Mengerti!”

Namun, setengah detik setelah kata-kata “Mengerti” diluncurkan, muncullah jawaban yang sangat familiar di telinga kami, jawaban yang selama ini kami anggap lucu, jawaban selalu dijawab oleh orang yang sama, yaitu,

“Iyeee….!” Temanku F menjawab!

Keluar dari jalur jawaban teman sekelas, pindah dari keharusan jawaban yang diinginkan Pa B, dan lantang menyaingi kerasnya keserempakan jawaban sekelas!

Cekikikan sekelas menahan tawa, saling berbisik, saling pandang, dan saling bingung.

“Diam!” bentak Pa B

Hening….

“Siapa itu yang jawab!”

“Saya, Pa” F menunjukkan tangan.

Pa B mendekati F yang duduk di bagian belakang di sayap kiri kelas.

“Kenapa kamu menjawab seperti itu!”

F terdiam. Menunduk. Bukan tidak mau menjawab, tapi memang tidak tahu harus menjawab apa.

“Kamu tahu, jawaban seperti itu adalah jawaban tidak sopan!”

“Jawaban kampungan!”

“Tidak pantas dilontarkan seorang yang mengaku berpendidikan!”

Berondongan pernyataan keluar dari mulut Pa B. F hanya tertunduk, tak berani memandang. Sudut hatinya mungkin menyesal.

“Saya minta kamu tidak mengulangi lagi jawaban seperti itu!”

“Mengerti!”

Dan F menjawab.

Sebuah jawaban yang menggoncangkan kelas, yang mengagetkan seluruh isi kelas, yang membuat seisi kelas tak kan pernah melupakan hari itu adalah,

“Iyyeeeee…!”

Gemuruh kelas berdentam, derai tawa mengalir bak air bah, tak tertahankan, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik. Semua lepas, tertawa, tergelak, tak peduli dengan keangkeran Pa B, tak peduli dengan aturan main Pa B!

Sekilas aku melihat Pa B, dia pun ternyata tertawa, setidaknya tersisa sungging senyum di bibirnya. Aku yakin Pa B pun terhibur pada saat itu, terhibur dengan tingkah laku F, terlepas beban angker dari pundaknya, bebas, tak bersisa.

Sejak saat itu, Pa B menjadi guru favorit kami, menjadi guru terdekat kami, bahkan lebih dekat dari wali kelas kami. Saat study tour, alih-alih tidur di kamar para guru, Pa B justru menginap di cottage kami. Berkumpul, tertawa bebas, seperti layaknya seorang teman.

Sampai saat ini Pa B masih menjadi guru di SMU di sekolah kami. Aku yakin beliau makin berpengalaman menghadapi murid-murid seperti kami, makin mengerti mengatasi murid-murid seperti kami, dan makin dihargai oleh para muridnya.

Sahabatku F? Percaya atau tidak, dia sekarang berprofesi sebagai guru!

Ya! Guru!

Jika hukum karma itu memang ada, maka inilah mungkin karma yang menimpa F. Tapi aku yakin, F mampu menghadapi murid-muridnya yang “sok iyee..”, sok slengekan, cuek, lucu dan bandel. Aku yakin itu, karena toh F pun seperti itu dulu.

Sukses Pa B, engkau berjasa besar mencetak manusia-manusia unggul dari SMA kami.

Sukses F, engkau pun berkesempatan menjadi pencetak manusia-manusia unggul dari sekolah mu.


Gorontalo, 27 Januari 09

Tragedi 3 : Dikhitan!

Seperti diceritakan di Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!, aku mengalami trauma mendalam terhadap jarum suntik. Sampai saat ini. Jika ada pilihan lain, sebaiknya tidak ada satu jarum pun yang harus menusuk anggota tubuh ku.

Usia 9 tahun, saatnya dikhitan! Sudah terlalu “tua” untuk ukuran anak di kampung ku. Di kampung ku, usia 4-6, anak-anak sudah dikhitan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Jelas harus dikhitan karena itu kewajiban bagi laki-laki Muslim di manapun.

Cara dikhitan di kampungku masih menggunakan cara-cara tradisional. Tak ada dokter tak ada bius. Semua menggunakan “bacaan” khusus sehingga si anak tidak sama sekali merasakan sakit dan lekas pulih dalam waktu singkat. Pemotongan dilakukan cukup dengan pisau setajam mungkin berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Satu-satunya alat medis adalah cairan penisilin yang akan dioleskan ke luka khitan selama masa luka itu belum kering. Masalah steril, tidak pernah jadi masalah. Bertahun –mungkin berabad- cara itu digunakan, namun belum pernah ada kejadian adanya infeksi atau efek negative apapun. Setidaknya sepanjang yang aku tahu.

Beberapa minggu sebelum dikhitan, perasaanku campur aduk. Takut dan senang campur aduk. Trauma kejepit retsleting masih menghantuiku. Apalagi godaan para sepupu yang sudah lebih dulu dikhitan.Semua membuat ku takut, galau, dan terpikir untuk ditunda saja.

Tapi tak mungkin ditunda. Acara khitanan sudah disetting rapi oleh Bapak. Sudah siap dijalankan.

Di saat hari H.

Pagi hari aku sudah mandi, sudah didandani, sarung lengkap dengan baju koko. Pakai sarung tanpa celana, sehingga ketika dkhitan, “pemotongan” akan relative lebih mudah. Seluruh badan ku terasa lemas. Rasa takut itu makin menjadi. Kehadiran seluruh kerabat kampung membuatku semakin gentar. Suara zikir sebelum mulai dikhitan membuatku semakin merinding.Aku hanya duduk terdiam, tanpa ekspresi dan –katanya- terlihat pucat.

“Ayo, Din, kita ke ruang depan” Ibu memecah lamunanku

Aku terhenyak. Pasrah digiring Ibu ke ruang depan. Di ruangan itu aku melihat puluhan orang bersorban putih duduk bersila. Berzikir dan membaca shalawat nabi. Gumam zikir dan shalawat itu bagiku terdengar seolah genderang perang yang bergemuruh di sebuah ajang peperangan. Bergemuruh saling bersahutan dengan cepatnya degup jantung pada diriku.

Aku melihat di tengah ruangan beberapa eksemplar surat yasin tergeletak, beberapa piring berisikan kue dan rokok. Aku juga melihat di paling tengah, ada sebuah piring yang terlihat berbeda dari piring yang lain. Sekilas piring itu seperti kosong, namun jika diperhatikan sebenarnya ada sebuah suntikan –atau seperti suntikan- tersimpan di atas piring tersebut.

Hah! Suntikan!

Tegang aku dibuatnya! Apa yang akan dilakukan dengan suntikan itu? Sambil duduk bersila, pandangan ku tak lepas dari suntikan itu. Aku berharap pandangan ku salah. Ingatan ku melayang ke beberapa bulan sebelumnya, dimana aku “disiksa” oleh 4 pria perawat kekar, disuntik beberapa kali oleh dokter yang kejam, dan menyisakan trauma sampai saat ini.

Dan pagi itu aku harus berurusan dengan suntikan? Apa kaitannya dengan dikhitan? Selama ini tak ada info apapun mengenai proses suntik dalam khitan ini. Bayangan ku melayang, apakah aku akan disuntik di alat vital ku, di perut ku, atau dimana? Apa pun itu pasti akan sakit.

Entah apa yang aku pikirkan.

Tiba-tiba tanpa diduga siapapun, aku berdiri, dan secepat kilat berlari kencang ke arah kebun pala milik kakek. Aku lari sekencang mungkin. Yang ada di pikiran ku saat itu adalah lari, lari, lari! Menghindar dari jarum suntik, tak mau lagi berurusan dengan jarum suntik, tak peduli meski aku batal dikhitan.

Terus aku berlari, hingga sampai di kebun pala kakek. Aku melihat ke belakang, orang-orang bersorban putih itu mengejar ku. Namun ketika kembali melihat ke depan, orang-orang bersorban putih yang lain juga mengejar ku. Aku terkepung di kebun itu. Berlari kesana kemari, menghindar dari hadangan orang. Mirip pemain American Football yang menghindari hadangan pemain lawan. Atau mungkin lebih mirip seekor ayam yang sedang dikejar dan akan dipotong oleh sekelompok orang lapar.

Terus aku berlari, menghindar, berkelit, sampai akhirnya ada tangan keras dan kasar yang menangkap ku dari belakang, membopongku dengan keras, sehingga tangan dan kaki ku tak sempat lagi meronta. Tak tahu lagi apa yang terjadi, selain karena kondisi ku setengah tak sadar –mungkin karena lelah berlari- juga karena ada tangan besar lain yang menutupi pandanganku. Gelap!

Ketika tangan itu sudah membuka, mata ku bebas memandang, aku mendapati selangkangan ku berdarah, ujung kemaluanku mengalir darah. Ternyata “pemotongan” khitan itu sudah terjadi. Tanpa ada rasa, tanpa ada sakit sedikit pun!

“Kapan dipotongnya?” itu berkecamuk di kepala ku.

Dengan tangis –bukan karena sakit, tapi karena shock- aku dibopong kembali ke ruang tengah, ditidurkan, diberi minum. Berhamburan lah orang-orang menghampiriku. Mungkn pikiran mereka pun campur aduk, sedih, miris, dan pasti tertawa terbahak. Lucu melihat kekonyolan ku di kebun pala tadi.

Semua orang bertanya, semua orang ingin tahu, semua orang penasaran.

“Kenapa Dindin lari?”

Belakangan aku baru tahu, bahwa suntikan di atas piring itu tidaklah benar-benar suntikan. Tidak ada jarumnya, hanya batang suntikan yang berisi air penisilin yang akan disemprotkan sesaat setelah khitan dilakukan.

Memang yang namanya trauma itu begitu dahsyat. Begitu sempurna mengecilkan hati, menggetarkan rasa. Bahkan sampai saat ini pun, masih menyisa. Maka dari itu, sampai saat ini, aku takut disuntik!

Bogor, 14 Februari 09

Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!

Umur 8 tahun aku belum disunat. Sudah cukup terlalu tua untuk ukuran anak-anak kampung ku. Makanya kalau berenang di kali, aku agak malu, soalnya hanya aku yang belum disunat.

Saat itu Idul Adha, tahun 1983, di Palembang.

Shalat Id, menikmati ketupat, sudah, itu saja kegiatan keluarga saat Idul Adha di Palembang, tak ada keluarga lain yang dikunjungi, hanya kami berlima di rumah.

Saat disuapi ketupat, aku kebelet pipis. Tapi alih-alih ke toilet, aku malah ke kebun depan dan pipis di pinggir pohon.

Kubuka retrsleting celana, dan cuurrr pipislah aku. Pada saat itu aku tidak menggunakan celana dalam. Sehingga langsung bisa cuurrr sesaat setelah buka celana. Selesai pipis, celana aku tarik kembali, retsleting aku tutup kembali.

Tapi kok retsletingnya agak seret. Aku paksakan tarik, dan

“Aww…..!” aku menjerit kesakitan.

Aku merasakan ada yang sakit, perih. Kenapa ini?

Ternyata p**** ku kejepit retsleting!

Sontak aku berteriak!

“Whoaaaaa…!”

Seketika seisi rumah heboh.

“Dindin kejepit retsleting!” gempar seisi rumah

Bapak segera bertindak. Diguntingnya celana ku. Sehingga hanya menyisakan kepala retsleting yang menggantung di p**** ku. Layaknya anting-anting yang menggantung di telinga.

Tidak berhasil mencabut, aku dibawa ke rumah sakit. Masuk UGD. Aku berontak, karena takut, karena panic di UGD rumah sakit. Saking berontaknya, aku tidak mau dibaringkan di ranjang, aku ingin lari. Tapi empat orang perawat pria berbadan besar memegangiku. Kedua tanganku ditarik keatas, disatukan dan dipegang oleh satu perawat pria. Kakiku bernasib sama, disatukan dan dipegang erat oleh satu perawat.

Kepalaku bernasib lebih tragis. Sepasang tangan besar menekan kepalaku dengan bertumpu pada kening. Sehingga kepala ku sama sekali bisa bergerak. Siksaan belum selesai, perut dan dadaku ditekan keras oleh satu orang perawat pria lain. Sesak dan tersengal aku berusaha nafas.

Sebegitu berontak nya kah aku, sehingga 4 algojo itu bersamaan mengekangku?

Selanjutnya tak kalah mengerikan. Aku lihat seorang dokter sedang memainkan jarum suntik. Menguji nya dengan cara menjentikkan jarinya ke alat suntik yang dipegangnya. Akan diapakan aku? Aku paling takut disuntik! Dan kenapa pula aku harus disuntik?

Dan jusss, rasa sakit di perut bagian bawah ku. Aku disuntik di perut, tidak tahu berapa kali aku disuntik, karena yang kurasa hanyalah cengkeraman para perawat berbadan kekar, dan tusukan berkali-kali disekitar perut dan pangkal paha.

Takut, panik, sakit.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak bisa lagi merasakan bagian perut ke bawah. Mungkin karena akibat suntikan. Mungkin itu semacam suntik bius lokal di daerah perut.

Beberapa saat kemudian, cengkeraman para perawat berbadan besar itu mengendur, dilepasnya tangan, kaki, tindihan di dada dan kepala. Ada apa ini? Ternyata semua sudah usai. Kepala retsleting itu sudah tidak lagi menjepit. Sudah lepas. Lega.

Plong rasanya aku terbebas dari siksaan tadi. Namun rasa sakit itu masih ada. Sakit secara fisik akibat tindihan, cengkeraman, dan suntikan. Dan juga sakit secara mental, bahkan parahnya lagi meninggalkan trauma mendalam sampai saat ini.

Sampai saat ini aku takut disuntik, jika ada cara lain, lebih baik cara lain saja. Jika ada kegiatan donor darah, aku menghindar, bukan karena sombong, tapi karena takut jarum yang menusuk dan menghisap darah ku.

Seorang teman,menawariku suntik vitamin C, katanya bagus untuk kulit, aku mau saja kulit ku jadi bagus, tapi tidak dengan cara disuntik.

Benar-benar hari kelabu yang membawa trauma seumur hidup.

Bogor, 7 Februari 09

Tragedi 1 : Tembaga Sebesar Setengah Kuku Kelingking, Tertelan!

Usia 7 tahun, usia penuh keingintahuan. Segala macam dicoba, dieksperimen, berulang-ulang. Usia itu aku berada di Palembang, mengikuti orang tua dalam penempatan dinasnya di sana.

Rumah tempat kami tinggal, sekaligus juga gudang tempat penyimpanan barang berupa retsleting dan komponen-komponennya yang akan dijual di pasar. Bapak bertugas sebagai tenaga penjualan untuk barang-barang tersebut di Sumatera Selatan.

Karena setengah rumah setengah gudang, maka di sekitar rumah kami bertebaran barang-barang jualan Bapak, tercecer, terserak sembarangan, termasuk benda-benda kecil komponen retsleting.

Aku sering iseng ikut bermain di gudang, ikut mengumpulkan limbah retsleting, sebenarnya tujuannya untuk dibersihkan dan dibuang, namun kenyataannya malah tambah ngacak-ngacak. Sering pula benda limbah itu aku bawa dan aku buat mainan.

Salah satu benda yang aku jadikan mainan adalah topstop, suatu istilah di dunia pe-retsleting-an, yaitu berupa tembaga berbentuk U yang besarnya tergantung dari besar retsleting, biasanya sebesar setengah kuku kelingking orang dewasa. Fungsinya adalah untuk menghentikan kepala retrsleting agar tidak bablas ketika kita membuka atau menutup retsleting. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan dibayangkan, kalaupun tidak, ya sudah, toh bukan itu inti masalahnya.

Suatu hari, habis bermain, iseng aku memainkan topstop tadi. Topstop yang aku pegang berukuran sedang, tidak besar, tapi bukan yang terkecil. Aku memainkannya dalam posisi tiduran, mungkin memang akan tertidur, sambil dua jari ku memainkan topstop.

Entah apa yang ada di pikiran ku, topstop itu aku gunakan untuk menggaruk hidung bagian bawah. Mungkin karena berbentuk U, jadi ujung-ujung U itu aku gunakan untuk menggaruk. Tindakan sembrono!

Benar saja, ketika menggaruk, topstop itu terlepas dari tangan ku, dan terasa masuk ke hidung! Gawat!

Sontak aku terduduk! Mata melotot, topstop itu terasa masuk di tenggorokan ku, tersangkut! Aku coba batuk, tapi malah memperburuk keadaan. Topstop itu semakin masuk dan terasa mengalir di tenggorokan, terus terasa seolah aku sedang menelan sesuatu, menelan obat, atau permen, atau apa pun itu. Rasa menelan itu berakhir dan sepertinya benda tadi sudah bersemayam di perut ku, di pencernaan ku.

Aku shock! Tidak menangis, tapi bingung harus berbuat apa. Aku tetap diam, tetap melotot. Ibu ku melihat raut muka itu,

“Ada apa, Din?”

Aku diam. Kali ini aku berpikir, mau jujur atau tidak? Jujur? Tidak?

Kalau jujur, pasti aku dimarahi, kalau tidak jujur, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ku?

Tapi justru diam ku, membuat Ibu makin penasaran bertanya,

“Ada apa!” Keras Ibu bertanya.

“Mmm, ketelen ini….” Ragu aku menjawab sambil menunjukkan sisa topstop lain yang tadi aku mainkan.

“Hah!” Panik Ibu berteriak.

“Bapaaaaakkkkkk! Dindin nelen besi…..!!!!” Makin panik Ibu teriak.

Panik Ibu, sampai-sampai beliau bilang aku menelan besi. Ini kan bukan besi, ini topstop bahannya tembaga. Lain, kan?

Datanglah segerombolan orang dari gudang, tidak hanya Bapak, tapi orang-orang yang bekerja di gudang ikut penasaran akan apa yang terjadi. Tanpa tanya, Bapak memukul-mukul punggung ku, mungkin maksudnya supaya “besi” tadi masih tersangkut di tenggorokan dan keluar lewat mulut.

Tapi itu sia-sia.

Jelas aku rasakan benda itu masuk mengalir ke tenggorokan, sampai ke perut, persis rasanya kalau menelan permen bulat-bulat.

Setelah itu tidak ada tindakan medis bagi ku, meski aku was-was, tapi melihat kedua orang tuaku santai saja, jadi ya ikut santai. Mungkin sampai saat ini benda itu masih bersarang di perut ku, mungkin juga sudah tidak. Tapi setidaknya sampai saat ini tidak ada keluhan apapun pada diriku. Semoga tidak ada keluhan juga untuk masa yang akan datang.

Bogor, 1 Februari 2009