Minggu, 12 April 2009

Gang Selot : dari Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Hingga Bakso Si Black

Sebuah Sabtu pagi di penghujung Maret 2009

Seperti biasa, rutinitas hari Sabtu, aku mengantarkan kedua anakku ke sekolah, satu di TK, satu di playgroup. Aku dan istriku, kami berdua secara rutin setiap Sabtu menjalani ritual antar mengantar ini. Dua jam kemudian mereka kembali kami jemput. Sambil menunggu dua jam itu berakhir, biasanya kami berdua mencari tempat-tempat makan pinggir jalan untuk memenuhi sarapan pagi. Bisa ke Taman Kencana, Lapangan Parkir Bogor Permai, atau di mana saja tempat yang biasa menjual makanan di sector informal ini.

“Kemana kita?” ujarku pagi itu. Memang agak membingungkan tatkala harus menentukan pilihan tak terencana.
“Gang Selot, yuk!” tiba-tiba istriku melontarkan ide yang tak biasa. Memang sejak ritual antar mengantar terjadi, kami tidak pernah makan di Gang Selot. Tak pernah terpikir ide itu sebelumnya.

Meluncurlah kami ke Gang Selot. Sedikit kesulitan mencari parkir, karena ternyata sekarang mobil dilarang parkir di depan SMPN dan SMAN 1 Bogor. Akhirnya kami parkir di kompleks perbankan di sebelah Balaikota Bogor. Cukup berjalan sekitar 100m maka sampailah kami di Gang Selot.

“Hmmm, Gang Selot!” batinku. Aku berada di sini antara 1987-1993, dari SMPN 1 sampai SMAN 1. Gang Selot menjadi saksi mata bagi berbagai peristiwa di kedua sekolah itu.

Aku berjalan perlahan, melihat di barisan depan ada Warung Joni. Warung segala ada, dari mulai alat tulis, alat jahit, sampai ke peniti. Aku ingat ketika SMP, bajuku robek tepat di bagian ketiak, sementara saat itu aku bertugas menjadi pengerek bendera. Mana mungkin aku mengerek bendera jika ketiak ku terlihat kemana-mana. Akhirnya aku menghampiri Warung Joni dan ternyata ada peniti, sehingga untuk sementara ketiak ku aman dari penglihatan orang.

Di sebelahnya ada Bapak Penjual Gorengan. Yang menjadi ciri khas dari gorengan ini adalah Tahu Slawi. Gorengan yang hanya terdiri dari setengah potong tahu kuning yang diisi gumpalan sagu. Makan Tahu Slawi ini akan lebih enak jika dicocol dengan saus sambal. Tahu Slawi ini sebenarnya relatif alot dan kenyal jika dikunyah. Butuh kunyahan hingga 32 kali jika ingin menelannya dengan sempurna. Jadi manfaat Tahu Slawi ini –selain rasanya enak- juga bisa digunakan untuk senam muka.

Di sebelahnya lagi ada Bapak dan Ibu (atau tepatnya Kakek dan Nenek) penjual es campur. Ciri khasnya adalah Es Kelapa Jeruk (atau Es Jeruk Kelapa?), berupa Es Jeruk yang ditambahi kelapa muda atau Es Kelapa Muda yang dicampur jeruk? Entahlah. Sama saja, kan rasanya? Ada juga penjual Es Doger. Es krim ala Sunda, berisi kelapa parut, alpukat diiris, dengan es yang sudah bergula kemudian diguyur saus warna merah manis.

Kemudian ada penjual Doclang, sejenis makanan yang terdiri dari ketupat, tahu, kentang rebus, diguyur bumbu kacang dan ditaburi kerupuk. Diantara semua, Doclang ini adalah favoritku. Sayang sekali, pagi itu Doclang belum buka. Katanya agak siang. Namun sampai saat ini Bapak Penjual Doclang masih sama dengan Bapak Penjual Doclang 16 tahun yang lalu. Ada juga Bakso Si Black. Aku tak tahu kenapa dipanggil si Black. Apakah yang menjual berkulit hitam? Pagi itu istriku membeli bakso ini. Dan rasanya masih sama dengan rasa bakso 16 tahun yang lalu.

Bergerak kemudian ada penjual mie ayam, somay, dan es campur yang dijual si Ibu. Semua yang aku sebut diatas, masih dihuni oleh para penjual yang sama. Mereka masih bertahan. Mereka menyaksikan para siswa datang dan pergi. Meski tak hafal nama, namun mereka mengenal wajah para siswa sejak belasan –bahkan puluhan- tahun lalu sampai saat ini.

Kini Gang Selot secara fisik tampak berbeda. Terlihat lebih permanen dengan bangunan sederhana beratap seng. Namun terlihat lebih gelap karena dibangun juga tembok tinggi untuk memisahkan antara SMPN 1 dengan Gang Selot. Selain itu ada beberapa tambahan penjual seperti menjual Soto Mie, Ice Blender, Bubur Ayam, dan Penjual Majalah & Koran.

Satu per satu aku datangi para penjual makanan yang kukenal tadi. Kusapa mereka. Alhamdulillah mereka masih kenal aku. Meski tak hafal nama, namun mereka sepertinya cukup familiar dengan wajahku. Setiap ketemu mereka selalu berkata,
“Eh, Neng, kumaha? Damang? Tos gaduh putra sabaraha?”
Yang artinya kira-kira,
“Eh, Dik, gimana? Sehat? Sudah punya anak berapa?”
Sebutan “Neng” memang menjadi ciri khas Sunda Bogor yaitu penyebutan orang yang lebih tua kepada anak muda baik laki-laki maupun perempuan. Sebutan itu hanya ada di Bogor. Di daerah Sunda yang lain, “Neng” hanya untuk perempuan.

Gang Selot memang menjadi saksi bisu kelakuan para siswa siswi SMPN dan SMAN 1 Bogor. Saksi bisu itu dilengkapi saksi hidup para penjual makanan minuman yang sekarang masih ada. Gang Selot bisa tahu si A jadian dengan si B, atau si C lagi marahan dengan si D, atau si E yang sudah putus dengan si F. Gang Selot juga tahu siapa yang sedang ulang tahun, karena rata-rata acara traktir mentraktir kala ulang tahun dilakukan di Gang Selot. Selain itu acara guyur mengguyur saat ultah juga melibatkan Gang Selot, karena air untuk mengguyur biasanya diambil dari air bekas cucian piring dari Gang Selot.

Gang Selot juga menjadi pelindung bagi siswa yang kabur dari kelas atau siswa yang kabur saat upacara bendera. Meski Pak Bahrum dan tim guru SMAN 1 atau Pak Bejo (Alm) dan tim guru SMPN 1 seringkali mengejar para siswa yang kabur itu, namun Gang Selot hingga terus jalan ke SD Polisi, menjadi jalur aman untuk kabur. Gang Selot pula menjadi tempat nongkrong para siswa hingga berlama-lama. Sejak pulang sekolah hingga sore menjelang. Atau sejak pagi hingga masuk sekolah di siangnya.

Gang Selot seperti menjadi ruang kelas kedua bagi para siswa. Sebuah ruang kelas yang justru sangat lengkap, karena selain tersedianya makanan dan minuman, Gang Selot menyediakan para “guru” yang bisa menjadi teman sangat akrab, para “guru” yang sampai saat ini aku lihat masih berjuang menyediakan makanan dan minuman bagi para siswa.

Sedikit aku berbicara dengan mereka. Ternyata didapat info bahwa, anak-anak zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Dulu, sangat banyak siswa yang nongkrong di Gang Selot, sehingga mereka mengenal satu persatu para siswa. Namun saat ini, berlama-lama nongkrong jarang dilakukan. Mereka hanya makan dan minum, kemudian sudah. Tak ada dialog, tak ada kedekatan, tak ada kesaksian kisah cinta dan tak ada “chemistry” yang terjadi.

Hal ini aku bisa pahami, mungkin memang karena kesibukan belajar para siswa saat ini yang berbeda dengan masa lalu, atau mungkin para siswa itu lebih suka nongkrong di mal yang bertebaran luas di Bogor. Entahlah, benar atau tidak, aku hanya menduga.

Gang Selot riwayat mu kini. Entah sampai kapan akan bertahan. Pengelolaan tempatnya memang lebih professional. Ada manajemen dari pihak kelurahan yang mengatur. Ada upaya untuk melanjutkan usaha sector informal ini.

Semoga Gang Selot tetap memberi penghidupan layak bagi para penjualnya dan tetap menjadi saksi bisu berbagai kisah di lingkungan para siswanya. Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Mie Ayam, Bakso si Black dan Somay, siapapun yang pernah menjadi siswa siswi SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor, akan selalu mengenang dan membayangkan rasa makanan dan minuman itu di lidah.

Bogor, 28 Maret 09 – untuk para alumnus SMPN dan SMAN 1 Bogor
Bisa juga dilihat di suzaridian.blogspot.com