Senin, 23 Februari 2009

Toleransi Longgar Sebuah Hati

Manado, kota seribu gereja. Kiri kanan dengan jarak yang hampir berdekatan, aku melihat gereja, mulai dari yang permanent dan mewah hingga gereja yang hanya bertembok kayu dan sederhana. Tidak hanya Manado, namun sepertinya sebagian besar Sulawesi Utara, karena ketika berjalan ke arah Kabupaten Minahasa baik Selatan, Barat, Timur, dan Utara, juga ke arah Tomohon dan Tondano, ribuan gereja bertebaran di wilayah itu. Tidak heran karena umat Kristiani baik Katolik, Kristen, Protestan, dan Advent mendominasi jumlah penduduk di Provinsi itu.

Hal lain yang aku lihat, poster caleg yang bertebaran di berbagai pelosok Sulawesi Utara, menampilkan nama-nama yang unik. Wewengkang, Karamoy, Rotinsulu, Manoppo, dan banyak lagi nama-nama unik khas Sulawesi Utara. Kabarnya nama-nama itu akan berbeda-beda tergantung dari nama khas daerah, seperti nama khas Tomohon, Tondano atau Minahasa.

Di samping itu ternyata ketika aku baca di sebuah harian nasional yang membahas mengenai Sulawesi Utara, provinsi itu terbagi menjadi tiga kultur besar yaitu kultur Minahasa, kultur Bolaang Mongondow, dan kultur Sangihe & Talaud. Ketiga kultur tersebut membentuk karakter Sulawesi Utara yang penuh toleransi, mengakui keberagaman, meski didominasi suatu agama tertentu.

Begitu saja bahasan mengenai kedaerahan Sulawesi Utara. Bukan itu yang aku mau bahas. Tidak mengenai agama, tidak mengenai keragaman kultur, dan tidak mengenai foto-foto caleg.

Suatu hari Jumat di Tomohon.

Pagi-pagi kami –aku, si Bos, pemilik distributor, dan supervisor ku- meluncur menuju Tomohon. Berjarak waktu sekitar 1 jam dari Manado. Sesampainya di Tomohon, kami berkeliling pasar, seperti biasa mengunjungi toko-toko, menanyai pemilik toko, melihat produk kompetitor, dan sedikit membeli makanan-makanan khas Tomohon.

Waktu berlalu, tak terasa waktu shalat Jumat tiba. Shalat Jumat dimana, ya? Di Tomohon sepenglihatan ku tidak ada satupun mesjid berdiri. Pukul 11.30 biasanya aku sudah bersiap-siap, nongkrong di mesjid, walaupun bukan berzikir –mungkin malah tidur- tapi aku sudah bersiap melakukan shalat Jumat.

Resah aku memikirkan saat itu, shalat Jumat dimana?

Detik berlalu, dan memang tidak ada tempat untuk shalat Jumat. Tapi sudut hatiku mencoba menoleransi,

“Ah, kan suasananya lain, di sini tidak ada mesjid, dan aku jauh ratusan kilometer dari tempat domisiliku, jadi nanti saja di Jama’ dengan Ashar!” suara hati toleransi itu muncul begitu saja.

Alhasil memang aku jadi tidak shalat Jumat hari itu.

Sorenya, saat di pesawat, saat merenung, saat menyendiri di Seat 15A Garuda, sambil memandang segerombolan awan, aku berpikir,

“Kenapa aku tidak shalat Jumat hari ini? Ok lah, aku tidak shalat Jumat karena tidak ada mesjid di sekitar situ, karena jarak ratusan kilometer dari tempat domisili, karena bisa saja di Jama’ Takhir dengan Ashar. Tapi kenapa hatiku berkata lain? Kenapa ada yang tidak sreg dihatiku saat itu?” kecamuk pertanyaan di hati.

Dulu aku berpendapat, boleh saja shalat di Jama’ dengan kondisi yang memang diperlukan, misal waktu Ashar di pesawat sehingga tidak memungkinkan untuk shalat secara normal. Jikapun waktu itu aku berada jauh ratusan kilometer dari tempat domisili, jika ketemu mesjid, ketemu ruang untuk shalat sebaiknya shalat, tidak perlu di Jama’. Dan aku resah luar biasa ketika aku tidak menemukan ruang atau mesjid untuk shalat.

Namun kenapa rasa resah itu hilang ketika tadi tidak ada ruang untuk shalat Jumat? Kenapa aku seperti tenang-tenang saja ketika tidak ada satupun mesjid yang bisa aku tempati untuk shalat Jumat? Tidak ada lagi rasa resah yang dulu saat aku begitu bela-belain cari tempat shalat.

Ada apa dengan ku ini? Kemana rasa resah itu? Kemana rasa kosong di hati ketika terlewat waktu shalat? Kenapa aku sekarang tenang-tenang saja ketika kehilangan shalat?

Aku mengakui lemahnya hati ini, aku mengakui lemahnya iman ini. Aku sudah terlalu longgar menoleransi hati. Aku ingin kembali merasakan resah ketika kehilangan shalat, aku ingin kembali merasakan sedih luar biasa ketika waktu shalat terlewat. Semua kembali pada diriku, pada hati ini. Bukan pada siapa-siapa, bukan pada ketiadaan mesjid di suatu daerah, bukan pada ketiadaan waktu untuk shalat, bukan pada kesibukan luar biasa yang menyingkirkan waktu shalat. Tapi ada pada diriku, ada pada hatiku, dan ada pada niatku.

Ya Allah, ampuni kelemahan iman ini, aku ingin tobat, meski seringkali salah itu aku ulangi….


Bogor, 23 Februari 2009