Minggu, 10 Mei 2009

Ikatan Erat Itu Bernama Phy3 1993

Pertengahan tahun 1991, kenaikan kelas dari kelas 1 ke kelas 2. Ada yang masuk kelas Fisika, Biologi, dan Sosial. Semua tergantung minat dan tentunya kecocokan nilai di rapot. Setelah melalui pemikiran panjang, batinku mengatakan Sosial, tapi akhirnya karena satu dan lain hal, aku memilih Fisika.

Di hari pertama sekolah, langsung diumumkan nama-nama di setiap kelas. Aku terdaftar di Physic3. Banyak nama yang aku sudah kenal namun juga tidak sedikit yang belum. Sempat beredar kabar, kalau beberapa teman dari berbagai kelas hendak mengajukan proposal ke dewan guru untuk pindah kelas. Motivasi mereka pindah kelas disebabkan kesamaan hobi yang mereka miliki. Misal beberapa teman yang jago basket, ingin berada dalam satu kelas, sehingga akan terbentuk tim basket yang kuat dan akan menjadi jawara di class meeting. Aku heran dengan ide itu, kalau para jagoan basket bergabung di satu kelas, dimana semangat kompetisinya, karena pastinya nanti akan terus menang.

Selanjutnya memang tidak ada yang pindah kelas dan inilah, Physic3 dengan keberagaman siswa siswi dari berbagai latar belakang. Awal-awal di kelas memang menjadi serba canggung, komunikasi hanya terjadi antara yang sudah kenal. Aku lupa awalnya, namun tiba-tiba aku sebangku dengan seorang siswa berkacamata, selalu terlihat serius, dan dia seperti siswa pintar yang kutu buku dan hobinya belajar. Dia adalah Dwi Trisno Susanto. Aku tidak kenal sebelumnya, namun dengan duduk sebangku malah persahabatan kami berdua berlanjut hingga saat ini.

Meski aku di kelas Fisika, namun aku gagap Fisika, juga Biologi apalagi Kimia. Agak lumayan di Matematika, namun istimewa di Sejarah. Terbayang, kan, betapa salah jurusannya aku saat itu. Tapi, Dwi lah penolongku, bukan…bukan…, aku bukan diajari Fisika oleh Dwi, tapi saat ulangan Dwi rela memberikan contekannya padaku, sehingga aku bisa lolos di berbagai ujian. Thanks, Dwi…

Sepanjang perjalanan, kelas memang mengalami berbagai dinamika. Ketua kelas pertama adalah Didit Heryadi, anak band, gondrong tanggung, meski berusaha berwibawa, tapi tetap “ga ja’im”. Ketua kelas kedua (di kelas 3) adalah Ahmad Yunianto, pemuda berkacamata, pendiam, tidak terlihat adanya wibawa, malah mungkin dia merasa terjebak untuk jadi ketua kelas. Sebagai suatu dinamika, kelas terbagi menjadi tiga bagian, sayap kiri, dimotori oleh beberapa siswa seperti Colino, Parto, Donny, Ferry, juga sang ketua kelas Ahmad. Ada sayap tengah, seperti Azwar, Anang, Didit, Wowo, Yadi, I’I dan beberapa anak lain. Juga pastinya ada sayap kanan, dengan salah satu anggotanya adalah Andi, Ican, Sidik, Dwi, dan aku.

Siswi perempuan? Rata-rata mereka duduk di depan sampai tengah, kecuali satu perempuan yang selalu di belakang, berpindah-pindah tiap sayap, kadang di kiri, tengah, bisa juga di kanan, yaitu Memes. Sebenarnya ada juga kelompok-kelompok kecil terbentuk, seperti kelompok Keluarga Van Danoe yang terdiri dari Ican, Dwi, aku, Fitri, Wieta, dan Kenny. Namun pengelompokan itu tidak serta merta menjadikan kelas terbagi menjadi beberapa strata, semua sama, semua bercanda, semua saling melindungi, tidak hanya sekedar sahabat, tapi layak disebut saudara.

Kelas Physic3 ini juga dihuni oleh banyak pengurus OSIS, dan beberapa pengurus organisasi intra sekolah lain. Sehingga pernah suatu waktu, ketika ada suatu kegiatan yang melibatkan banyak organisasi intra sekolah, kelas Physic3 benar-benar sepi dan hanya dihuni kurang dari sepuluh siswa. Kebandelan masing-masing anak di Physic3 ini pun memiliki kesan tersendiri, ada Ferry Cugito, anak sok iye (lihat catatan di Facebook, Murid Sok Iye vs Guru Sok Galak), ada tukang menyembunyikan tas (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 1), ada juga peristiwa menyembunyikan motor (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 2) dan juga kisah sekelompok anak band (lihat catatan Jadi Anak Band di Tahun 90an).

Soal prestasi akademis? Ada beberapa orang peserta olimpiade Fisika dan Matematika yang dimotori oleh si jenius Lukman Azis sampai kepada peserta olimpiade bahasa Inggris (bo’ongan) yang dimotori oleh Sidiq Rizaldi (lihat catatan Olimpiade Bahasa Inggris, Emang Ada?). Memang siswa terbaik di akhir masa sekolah tidak direbut oleh anggota kelas ini, namun nama-nama jenius kelas cukup menggetarkan dunia pendidikan di SMAN 1 saat itu.

Aku? Alhamdulillah, aku yang benci Fisika, Kimia, dan Biologi, cukup bisa bertahan di kelas itu, tentunya dengan bala bantuan contekan jika ulangan. Puncak prestasiku di kelas adalah menduduki ranking 47 dari 48 siswa! Luar biasa! Yang aku tak tahu sampai saat ini adalah siapa yang menduduki rangking 48, karena aku akan menyalaminya dan mengajaknya foto bersama.

Di akhir kelas tiga, kami harus mulai menentukan arah hidup kami, kemana kami akan melanjutkan kuliah. Setiap orang punya pilihan dan itu berarti saatnya berpisah. Hari-hari terakhir menjadi hari yang mengesankan bagi kami. Pasca Ebtanas, meski tak ada pelajaran apapun, kami tetap berkumpul, tertawa, bercanda. Seolah enggan kami melepaskan waktu sedetik saja untuk jauh satu sama lain, enggan beranjak sekejap saja dari ruang kelas, dan enggan memalingkan muka dari bangunan kuno yang ikut mendidik kami.

Seperti lazimnya sebuah komunitas yang akan berpisah, kami sepakat untuk mengadakan perpisahan kelas. Bertempat di salah satu villa di Puncak, kami berkumpul di sana. Tidak semua 48 siswa hadir, namun tidak mengurangi kebersamaan kami. Acara puncaknya adalah ketika kami menyalakan api unggun, berdiri melingkar, dan saling mengungkapkan rasa haru akan kehilangan. Hati kami seolah sepakat bahwa meski kami berpisah, namun tidak akan pernah benar-benar berpisah. Karena persahabatan itu ada di hati yang tak mungkin sirna hanya karena jarak.

Acara api unggun diawali dengan pidato dari Didit Heryadi selaku ketua kelas pertama, sepertinya agak enggan Didit bicara. Tak biasanya memang. Biasanya Didit akan sigap jika diminta bicara, namun saat itu Didit terlihat gagap, tercekat, kelu, dan hanya mengucapkan beberapa patah kata tersendat,
“Wa..walau..pun kita ber…jauhan…, tapi kita sepakat…untuk tidak saling melupakan…!”terlihat jelas air mata mengalir di pipinya, seiring itu, air mata kelas pun menggenang dan mengalir membasahi pipi. Tak ada yang mampu menahan genangan air mata itu.

Selanjutnya Ahmad Yunianto selaku ketua kelas terakhir, didaulat untuk bicara. Dalam senggukannya, sebenarnya Ahmad menolak, namun tuntutan jabatan memaksa dia bicara. Setali tiga uang dengan Didit, lidahnya pun kelu, tak mampu bicara selain,
“Se..moga sukses…buat teman-teman semua…, insyaallah kita tetap dipertemukan!” begitu kira-kira ucapan Ahmad. Ucapan itu semakin menenggelamkan suasana malam itu, angin Puncak yang dingin menambah kebekuan hati dan tak mampu dihangatkan oleh genangan air mata yang membasahi pipi.

Acara api unggun ditutup dengan saling bersalaman, saling berkeliling menyalami satu per satu di antara kami. Pelukan erat saling ditautkan, sangat erat, menyesakkan dada, seolah enggan terlepas. Aku benar-benar tak mampu menguasai hati, air mata seolah tak habis mengalir saat kupeluk teman-teman laki-laki dan kusalami erat teman-teman perempuan. Saking terharunya aku, aku salah ucap ketika menyalami seseorang. Diawali dengan keliling bersalaman, aku tiba di barisan perempuan, di mataku kulihat Rina menjulurkan tangan menerima jabatku. Dalam senggukan, aku berkata,
“Rina, maafin gua ya, kita akan ketemu lagi, kan?” ujarku lirih
Namun apa yang aku dengar benar-benar di luar dugaan,
“Heh, ini bukan Rina, ini Kenny, gimana sih, lu!” ujar Kenny sedikit membentak.
Ternyata aku salah orang, namun kejadiannya menjadi lucu karena aku dan Kenny tertawa sambil tetap menangis mengalirkan air mata.

Saat itu, kami sepakat untuk tetap menjaga silaturahmi, tetap akan terus menjaga ikatan ini. Di tahun-tahun selanjutnya kami tetap sepakat bertemu, berkumpul. Ajang buka puasa bersama menjadi momen tahunan yang wajib kami hadiri. Selanjutnya karena sebagian besar diantara kami sudah memiliki keluarga, maka ajang buka puasa bersama diganti menjadi halal bil halal, namun dengan tetap dalam koridor reuni. Istimewanya, sejak kami lulus tahun 1993 sampai saat kami masih bernafas saat ini, kami tetap saling berkumpul dalam ajang satu tahun sekali tersebut., Tidak pernah satu kalipun acara itu absen dari jadwal kami. Memang tidak semua 48 siswa bisa berkumpul, namun tetap tidak mengurangi kebersamaan kami. Jika dihitung-hitung berarti kami telah bereuni sebanyak 16 kali sejak 16 tahun lalu kami berpisah.

Insyaallah, kami tak bisa dipisahkan.

Palembang, 4 Mei 09 : demi sebuah ikatan bernama Phy3 1993