Minggu, 22 Maret 2009

Di Mesjid Itu Aku Bersujud

Pantai Uleulhue. Pantai yang indah, dengan biru laut yang memanjakan mata.

Siapa pun tidak menyangka bahwa laut seindah ini mampu menunjukkan amuk luar biasa, menyapu semua yang dilewatinya, dan merenggut ratusan ribu nyawa rakyat Aceh.

Luka tsunami memang masih kental bersemayam di hati rakyat Aceh. Pantai Uleulheu ini membuktikan hal itu

Puing-puing rumah di pinggir pantai yang berjarak sekitar 200meter dari pantai, masih terlihat berserakan. Rumah-rumah yang hanya kerangka beton masih jelas terlihat.dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya.

Tepatnya bukan dibiarkan begitu saja, tapi memang sudah tidak ada yang mengakui sebagai pemilik, mengingat seluruh keluarga pemilik rumah itu mungkin saja sudah hapus tersapu gelombang tsunami. Yang konon katanya berkecapatan setara pesawat Boeing 737 saat terbang di ketinggian 30ribu kaki!

Kehidupan rakyat di tepi pantai Uleulheu memang tidak pernah sama lagi. Tidak pernah bisa lagi mengembalikan kehidupan sebelum tsunami ke masa kini. Semua pasti berubah. Hanya tinggal kita tunggu saja bagaimana sikap rakyat Aceh -dan kita- menghadapi perubahan itu

Adalah satu mesjid bernama Baiturrahim –bukan Baiturrahman yang menjadi mesjid besar kebanggaan rakyat Aceh- terletak tepat di bibir pantai Uleulhue. Jarak dari garis pantai hanya sekitar 10 sampai 20 meter. Mesjid inilah yang menjadi bangunan pertama yang menghadap pantai.

Namun mesjid ini menjadi istimewa tatkala menjadi satu-satunya bangunan yang selamat dari sapuan tsunami.

Luar biasa!

Mengingat posisi mesjid ini yang tepat di pinggir pantai, dan melihat seluruh rumah di belakang dan sisi kiri kanan mesjid porak poranda rata dengan tanah, rasanya mustahil mendapati mesjid ini masih utuh kokoh berdiri tidak kurang suatu apa.

Banyak mitos atau setidaknya omongan dari mulut ke mulut yang beredar mengenai peristiwa tsunami yang menghantam mesjid ini.

Jika kita membayangkan air laut terbelah dan menyelamatkan Nabi Musa dan umatnya dari kejaran Firaun, maka itulah yang terjadi dengan mesjid itu. Gelombang tsunami tiba-tiba terbelah ketika melewati mesjid itu. Air seolah-olah hanya merembes di halaman mesjid tanpa sedikit pun menghancurkan bangunan mesjid.

Mitos, kabar burung, atau apapun itu, beredar luas di kalangan rakyat Aceh. Namun apapun yang sebenarnya terjadi, adalah suatu kenyataan bahwa mesjid itu sama sekali tidak hancur diterjang tsunami.

Dan saat ini.

Aku shalat di mesjid itu. Aku bayangkan berada di mesjid itu ketika tsunami, aku bayangkan betapa takutnya aku, betapa kecil aku di hadapan amukan alam, panik dan tak mampu berkata bahkan untuk sebait zikir. Aku perhatikan setiap sudut mesjid, semua utuh, meski memang ada bekas renovasi, sebuah renovasi kecil yang sama sekali tidak mengganggu keaslian bangunan.

Di sudut luar mesjid, ada sumur berukuran diameter sekitar 2 meter, yang mengalirkan air tawar dengan kedalaman kurang lebih 2-3 meter (aku perlu konfirmasi lagi mengenai kebenaran data ini). Namun yang mengagumkan adalah bagaimana mungkin ada air tawar di lahan pasir yang hanya berjarak 5 meter dari garis pantai? Dari mana air itu berasal? Lagi-lagi aku harus menggali lebih dalam mengenai kelanjutan informasi ini.

Yang jelas berbagai keajaiban sudah terjadi di mesjid ini. Keajaiban yang hanya bisa terjawab oleh kesadaran akan adanya Dzat yang lebih tinggi, Maha Sempurna, Maha
Penjaga Alam, Maha Penggenggam Segala Sesuatu.

Menyadari itu, tunduk segenap hatiku, luruh segenap kalbuku, dan mengalir telaga air mata ku. Tak sanggup aku menghadapiMu kelak, tak mampu aku mempertanggunjawabkan perbuatanku saat nanti, gentar aku membayangkan jika saat itu tiba untukku.

Ampuni aku, ya Allah, aku hanyalah selemah-lemahnya iman…


Banda Aceh, Januari 09