Beberapa catatan mengenai kejujuran ini.
Catatan 1
Suatu saat di Botani Square Bogor.
“Pap, aku mau popcorn!” Idan –anak laki-laki ku- merengek minta dibelikan popcorn di lantai Lower Ground di Botani Square. Biasanya memang Idan dibelikan popcorn bermerk Act II yang langsung diolah di microwave dan dalam 3 menit sudah bisa dinikmati.
“Nanti saja belinya, kalau kita mau pulang!” janjiku pada Idan.
Idan manggut, lanjutlah kami berdua berkeliling mal. Sampai masa bosan berkeliling, kami masuk ke Pasar Swalayan Giant untuk membeli beberapa titipan istriku. Di Giant kami melihat satu standing booth yang menjual popcorn yang dikemas kotak kertas dan plastik. Kemasannya menarik dan Idan pun tergiur,
“Pap, beli popcorn itu saja!” Idan mulai meminta
“Jangan yang itu, popcorn yang itu ga enak! Enakan yang di bawah! Yang ini gulanya beracun!” kilahku pada Idan.
Popcorn itu memang kurang enak dibanding yang dijual di bawah, yang biasa kami beli. Idan pun setuju, dan kami meninggalkan standing booth tadi.
Berkeliling kami ke pelosok Giant, membeli berbagai keperluan, dan tibalah kami kembali ke standing booth penjual popcorn tadi. Spontan, tanpa diduga, Idan berteriak dengan lantang tepat di depan SPG penjual popcorn,
“Pap, jangan popcorn ini ya! Popcorn ini ga enak! Enakan yang dibawah! Yang ini gulanya beracun” lantang Idan berteriak, membahana ke seantero lorong standing booth penjual popcorn itu, terdengar sampai ke telinga siapapun di situ termasuk si penjual popcorn.
Mbak si penjual popcorn terlihat cemberut, parahnya lagi beberapa ibu yang berencana beli popcorn mengembalikan popcorn itu dan pergi menjauh. Ada yang tetap membawa popcornnya namun menyimpannya sembarangan di rak yang lain. Teriakan Idan benar-benar menjatuhkan mental si penjual, dan membuat aku salah tingkah. Segera aku menjauh, menggiring Idan ke tempat yang lebih aman.
Anak-anak memang jujur.
Catatan 2
Suatu saat di TK Akbar kelas TK B
Seperti biasa setiap Sabtu, jadwalku mengantar jemput Idan. Biasanya bersama istri, namun saat itu kami berbagi tugas, aku menjemput Idan, istriku menjemput Kekey –anak keduaku.
Saat bengong menunggu di depan pintu masuk kelas, Ibu Kepala Sekolah menghampiri.
“Apa kabar, Pa?” sapa Ibu Kepala Sekolah
“Baik Bu.” jawabku
“Tumben sendirian?” Ibu Kepala Sekolah berkata
“Iya, bagi tugas sama ibunya.” jawab ku basa-basi
Tidak lama Idan muncul,
“Paaappppp!” teriaknya heboh.
“Nah ini Idan!” ujar Ibu Kepala Sekolah.
“Idan mana kacamata Oakley nya, katanya baru dibeliin kacamata Oakley sama Pipap?” ujar Ibu Kepala Sekolah.
Hah! Kacamata Oakley? Tahu darimana Ibu Kepala Sekolah mengenai kacamata Oakley?
Beberapa hari sebelumnya aku memang membeli kacamata Oakley di dekat stadion Sempaja Samarinda. Pada saat itu aku sedang bertugas di PON Kaltim, cuaca panas, sehingga sangat penting jika aku menggunakan kacamata hitam. Kacamata Oakley itu palsu, aku membelinya pun hanya seharga 15ribu rupiah. Bandingkan dengan Oakley asli yang bisa 1 jutaan lebih.
Aku memang berkata kepada Idan,
“Idan ini kacamata Oakley buat Idan, harganya 15ribu!” ujar ku
Mungkin kata-kata itu benar-benar melekat di otaknya dan disampaikan ke seluruh antero sekolah, sampai Ibu Kepala Sekolah pun tahu.
“Iya, Idan kemarin cerita, katanya Pipapnya baru beli kacamata Oakley yang harganya 15ribuan!” begitu Ibu Kepala Sekolah berkata.
Aduh! Kalau kacamata Oakley nya sih ga masalah, tapi kenapa diungkapkan juga harga 15ribuannya?
Anak-anak memang jujur.
Catatan 3
Sejak kecil, sejak usia 1 tahun, Idan telah didoktrin dan dicekoki minuman tertentu tempat di mana aku bekerja. Wajar rasanya jika aku sebagai orang tua, mendoktrin anaknya agar hanya mengkonsumsi produk tempat aku bekerja. Bukannya Idan tidak mau dengan minuman lain, tapi aku selalu –dengan jahatnya- mengatakan bahwa minuman lain itu bahaya, ga boleh diminum. Suatu black campaign dari seorang bapak terhadap anaknya.
Doktrin itu memang cukup berhasil, dimana Idan hanya mau mengkonsumsi minuman tempat aku bekerja saja, dengan dalih yang lain bahaya
Suatu hari di ADA Swalayan Bogor.
Idan aku ajak jalan-jalan. Tidak ada yang dibeli, hanya window shopping di lorong ADA Swalayan Bogor. Mengambil hanya seperlunya, karena memang tidak ada yang diniatkan untuk dibeli. Idan mengambil beberapa makanan ringan, namun diam-diam aku mengembalikannya ke rak semula.
Sampailah kami ke lorong minuman kemasan, diantaranya terpajang minuman tempat aku bekerja. Idan mengambil beberapa botol dan disimpan di keranjang. Kali ini tidak aku kembalikan ke rak, karena aku rela jika Idan mengkonsumsi minuman itu.
“Pap, minuman-minuman yang ini BERBAHAYA, ya!” sontak Idan berteriak sambil menunjuk sederetan minuman kemasan mulai dari yang berbahan teh maupun karbonasi.
Teriakan keras, yang aku yakin seluruh orang di lorong minuman mendengar teriakan itu. Beberapa SPG yang sedang merapikan produk-produk minuman yang dituduh Idan berbahaya tadi, mendelik, cemberut ke arahku, wajahnya menunjukkan protes keras. Beberapa pembeli yang sedang melihat-lihat mendadak ikut menatapku dan mengambil salah satu minuman yang telah masuk keranjangnya dan memeriksa kandungan yang ada dalam kemasan minuman itu.
Sepertinya para pengunjung yang mendengar teriakan Idan, mulai termakan kata-kata Idan, dan mulai tidak percaya terhadap minuman yang mereka beli.
Aduh! Idan! Tanpa banyak bicara aku bawa Idan keluar, membayar dengan cepat dan kabur secepatnya.
Hmm…lagi-lagi, anak-anak memang jujur.
Palangkaraya, 24 Februari 09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hi..hi.. Idan itu lucu ya, suaranya stereo kali ya sampe orang2 pada denger. Lagian pipapnya juga sih, ngasih doktrin yang ngejatuhin produk lain.
BalasHapusYaah nanya anak kecil, jujur banget...
hahaha..like father like sons...idan cerminan pipap nya tuh...
BalasHapuswah bahaya nih...
BalasHapusbisa bisa semua produk jatuh nama gara gara idan.
coba cari penjelasan lain yang lebih tepat.