Beberapa waktu yang lalu, di saat yang hampir bersamaan, datang dua email dari dua rekan berbeda. Keduanya mengeluhkan hal yang sama, tapi dengan latar belakang berbeda.
Email teman pertama, pagi sekitar jam 10an :”Duh! Gua asli bosen! Bosen dengan kerjaan sekarang! Kayaknya kerjaannya cuma segitu aja. Kemampuan gua ga berkembang! Frustrasi gua”
Email teman kedua, malam sekitar jam 10an juga :
“Din, gua jobless nih! Udah lama nganggur! Gua butuh uang buat anak-anak gua! Kalau gini terus, bisa frustrasi gua!”
Kedua teman itu mengeluhkan hal yang sama. Keduanya frustrasi. Keduanya berada pada ambang batas kebosanan. Meskipun keduanya berada pada latar belakang yang berbeda. Yang satu frustrasi karena pekerjaannya membosankan, yang lain frustrasi karena tidak punya pekerjaan.
Apa yang harus aku jawab atas keluhan mereka?
Aku langsung teringat salah satu episode talkshow di sebuah TV swasta ternama. Aku sempat menyaksikan acara itu, tidak sampai selesai, namun aku beruntung karena mendapat sebuah pernyataan berharga dari sang bintang tamu, yaitu :
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Spontan aku balas email mereka dengan kalimat itu. Tidak banyak penjelasan aku berikan, aku hanya meminta untuk dibaca dan dipahami dengan interpretasi masing-masing.
Renungan ku menerawang pada diriku sendiri. Mungkin kah aku mengalami hal seperti yang dialami mereka? Apa yang aku lakukan jika menjadi mereka? Akankah aku bertahan?
Terawang itu mendadak sontak buyar manakala aku menyadari bahwa akupun berhak dan bisa mengambil hikmah dari kalimat itu. Mengulang ku coba memahami lagi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
“Sekarang! Lihat aku!” begitu sisi hati ku berbicara. Bekerja seolah tak berbatas waktu. Seperti mesin yang hanya overhaul 6 bulan sekali. Bekerja 3 shift tanpa henti. Ya itulah aku jika aku boleh menganalogikan. Bekerja Senin – Jumat, diluar kota, jauh dari keluarga, keliling area, menggunakan transportasi udara, dan penuh resiko.
Di suatu malam, sepulang aku dari sebuah kota, jam 23.30.
Aku lihat istri dan anak-anak sudah tidur.
Aku lihat anak pertama ku. Sudah besar dia sekarang. Lebih besar dari usianya. Aku teringat ketika dia bayi, aku berjanji mengajarinya naik sepesa roda dua. Aku ingin dia bisa mengendarai sepeda roda dua atas didikan ku. Namun apa yang terjadi, dia sekarang sudah bisa mengendarai sepeda roda dua tanpa aku mengetahuinya. Dia belajar sendiri. Tanpa bantuan siapa pun, hanya baby sitter nya yang mengawasinya dari jauh. Sesal aku dibuatnya.
Aku lihat anak kedua ku. Cantik sekali. Mirip ibunya. Aku yakin kelak dia dewasa, banyak pria yang datang ke rumah untuk mendekatinya. Dan aku berjanji akan menjaganya agar dia tidak sakit hati seperti halnya sakit hatinya perempuan karena ulahku. Ketika anak kedua ku lahir, aku pun berjanji, kelak aku ingin mengajarinya membaca doa, setidaknya membaca doa untuk ibu dan bapak. Sebuah doa sederhana yang bermakna dalam untuk keselamatan aku dan istriku kelak di akhirat nanti. Namun apa yang terjadi, anak keduaku sudah dengan fasih membaca doa itu. Tanpa aku yang berada di sampingnya. Lagi-lagi sesal aku dibuatnya.
Aku lihat istriku. Di dalam pejamnya kurasakan lelah. Setiap hari selama seminggu –kecuali Sabtu Minggu- istriku seakan single parent, yang membesarkan anak sendirian, memberikan nafkah dengan bekerja, dan mendidik segala sesuatu yang diperlukan anak. Pernyataan cinta via sms rasanya belum cukup untuk mengobati kelelahan itu. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah aku menyakiti hatinya lagi, tidak akan pernah ada khianat yang akan aku lakukan, dan tidak akan pernah hatiku sanggup untuk berpaling.
Melihat ketiga kilau mutiara ku itu , membuatku luluh, membuatku ingin berhenti berjalan, ingin rasanya mematikan mesin ini, shut down, dan kemudian menggantinya dengan romantisme dan sense of art untuk mereka. Mesin ini perlu overhaul atau mungkin sudah tidak ingin lagi beroperasi. Sudah terlalu banyak kehilanganku akan saat-saat bersama mereka. Saat-saat yang tak mungkin kembali dan hanya aku dapatkan dari sekedar cerita bukan pengalaman pribadi. Aku tidak tahu bagaimana sensasi mengajari anakku mengendarai sepeda roda dua, aku tidak tahu bagaimana nikmatnya mendengar anakku lancar membaca doa, dan aku juga tidak tahu bagaimana indahnya lelah ketika sibuk bermain bersama anak-anak.
Apakah aku harus berhenti? Renungan ku kembali ke kalimat tadi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Aku bisa saja berhenti dan mati, namun apakah itu jalan terbaik? Rasanya aku tidak perlu mati, mesin ini tak perlu shut down, harus tetap beroperasi. Karena dengan berjalannya mesin ini, maka akan memberikan kehidupan bagi sekitar. Aku tetap harus hidup, tetap melangkah, tetap berkiprah, dan tetap maju. Aku melakukan itu bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk orang sekitar. Untuk istriku, untuk anak-anakku dan untuk siapa pun yang bisa mengambil makna dari kiprahku.
Banda Aceh, Januari 09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sungguh menggugah.... lo ternyata masih dindin yang gw inget di bayangan gw....
BalasHapusthx ud mengingatkan untuk selalu mensyukuri hidup dan selalu terus 'ingin' hidup...