Kamis, 12 Februari 2009

Woooiiii! Awaaaassss Ada ***!!! Minggiiiiiiirrrrr!!!

BegituMaafkan atas judul yang mungkin tidak senonoh di atas. Maafkan atas penggunaan tiga bintang sebagai alat sensor penulisan. Tapi masalahnya, tidak ada kata-kata lain untuk menggantikan kata-kata tersebut. Sekali lagi : maaf!

Aku keturunan anak kampung di sebuah desa di pinggiran Bogor. Nama desa itu Desa Katulampa, suatu desa yang membuat was-was orang Jakarta, karena di situ terdapat sebuah bendungan yang menjadi indikator banjir di Jakarta. Jika kedalaman di Bendungan Katulampa mulai mengkhawatirkan, maka akan khawatir juga seluruh penduduk Jakarta.

Meski aku berdarah orang Katulampa, namun jarang sekali aku tinggal di desa itu. Sesekali jika liburan, aku bermain dan bermalam di sana.

Pada saat usia 9-11 tahun, merupakan masa-masa bermain mengasyikan bagi ku, bersama para sepupu, keluar masuk hutan desa, mandi di kali, bermain lumpur di sawah, bermain bola di lapangan lumpur, memanjat pohon, dan semua kenakalan anak kampung.

Di antara semua kenakalan itu, ada satu yang paling menyenangkan, yang paling ditunggu-tunggu, dan yang paling sering kami lakukan yaitu :mandi di kali.

Sungai atau kali itu bernama Citonggoh. Jika diartikan secara harfiah adalah air yang berada di atas atau di Utara (Ci = air, tonggoh = atas/utara). Citonggoh pada dasarnya adalah sebuah anak sungai Ciliwung, yang sebelum mengalir ke Jakarta, terpecah menjadi beberapa bagian dan salah satu alirannya mengalir ke desa kami.

Citonggoh menjadi semacam sumber air bagi desa kami. Bukan untuk minum, namun untuk mandi, cuci dan juga kakus. Ketiga kegiatan itu sekaligus bisa dilakukan di sungai yang sama. Jika di satu sisi ada yang mandi, maka bisa jadi di sisi lain ada yang mencuci, atau bahkan di sisi lainnya ada yang –maaf- sedang buang air besar.

Kebiasaan itu sudah menjadi turun temurun di desa kami. Air Citonggoh sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan jernih. Airnya sudah coklat. Tidak ada sampah, namun tetap tidak layak minum.

Bagian air yang mengaliri desa kami merupakan aliran air yang cukup deras, kedalamannya hanya kurang dari 1,5 meter dengan lebar sungai sekitar 5 meter. Namun bagian aliran ini merupakan tempat yang paling strategis untuk berenang. Tidak terlalu banyak batu, tapi juga tidak terlalu dalam.

Kebiasaan di desa kami adalah setiap akan shalat, terutama Zuhur dan Ashar, pasti harus mandi. Sehingga pada waktu shalat tersebut, sungai Citonggoh cenderung ramai. Jadi ada istilah di kalangan penduduk desa, yaitu mandi lohor (zuhur) dan mandi ashar.

Suatu hari pada saat mandi lohor (zuhur).

Setelah puas bermain di hutan dari pagi, terdengar suara azan zuhur dari kejauhan. Bergegas kami –aku dan 4 orang sepupuku- berlari menuju Citonggoh. Bukan untuk berwudhu untuk kemudian shalat Zuhur, tapi hanya untuk sekedar memenuhi tradisi mandi lohor (zuhur). Masalah apakah kita akan shalat ke mesjid, itu soal nanti, tergantung dari ada atau tidaknya Pa Haji. Kalau Pa Haji ada, pasti kami akan dikejar-kejar sambil bawa rotan untuk disuruh shalat, kalau Pa Haji tidak ada, ya lanjut terus main di hutan.

Tak sabar kami berlari. Masih 10 meter dari sungai, kami sudah melucuti pakaian kami. Melucuti semua, telanjang bulat. Dan setiba di pinggir sungai, langsung meloncat dan byurr…

Makin tinggi loncatan, makin keras kami terhempas ke sungai. Bisa jadi akibat loncatan kami tenggelam di satu sudut sungai dan baru muncul beberapa detik kemudian di sudut lainnya. Tidak peduli kami dengan kebersihan air. Yang kami lakukan cuma sekedar untuk bersenang-senang.

Beberapa saat kami asyik berenang, salah satu sepupu ku berada di kawasan sungai tertinggi, maksudnya adalah dia ingin meloncat dari tempat tertinggi tersebut. Namun justru karena dia berada di tempat tertinggi itu lah, makanya dia bisa melihat ada apa saja kegiatan di sungai bagian atas.

Dan tiba-tiba dia berteriak, “

“Wooooiiiii, awaaaaasssss, ada ***! Mingggiiiiiiiiir!”

Sontak kami berempat yang berada di bawah, segera berenang ke tepi, dan segera naik.

Benar saja, tidak berapa lama kemudian, saat kami menunggu di pinggir sungai –dalam keadaan telanjang bulat tentu saja- mengalirlah segerombolan –maaf- kotoran manusia di depan kami. Kami berempat hanya nyengir menyaksikan pemandangan itu. Sama sekali tidak merasa jijik, biasa saja, karena itu pemandangan sehari-hari kami saat berenang di Citonggoh.

Setelah segerombolan –maaf, sekali lagi maaf- kotoran manusia tadi lewat dan dirasa sudah cukup jauh dari pandangan, maka serempak kami kembali meloncat ke sungai, kembali berenang bebas, seolah tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.

Padahal jika ditimbang-timbang, betapa joroknya sungai Citonggoh. Jijik. Karena air yang sama digunakan untuk mandi –juga sikat gigi-, mencuci, dan sebagai kakus. Jika ditimbang-timbang lagi, bisa saja aku terkena penyakit kulit, bisa saja aku terkena penyakit perut, karena pada saat meloncat, terkadang ada seteguk dua teguk air Citonggoh terminum oleh ku.

Tapi ternyata semua baik-baik saja. Tidak sekalipun aku sakit karena Citonggoh. Satu-satunya sakit ku adalah ketika tumitku belah dua karena menginjak beling di dasar Citonggoh. Sampai kini cacat karena beling itu masih ada, seolah-olah tumitku jadi punya lesung pipit.

Citonggoh saat ini, 23 tahun kemudian.

Sudah tidak ada lagi yang mandi di Citonggoh, ada 2 kemungkinan, pertama, masyarakat desa sudah sadar kesehatan dan mandi dari PAM atau air sumur, kedua, Citonggoh memang sudah tidak layak lagi disebut sungai.

Aku lihat Citonggoh sudah menyusut drastis, lebarnya hanya tinggal 1 meter, kedalaman tak lebih dari 80cm. Memang tidak pantas disebut sungai, lebih pantas jika disebut selokan.

Pembangunan pemukiman yang pesat, turut andil dalam mempersempit ruang gerak air Citonggoh. Tidak hanya itu, hutan, kebun, dan sawah tempat kami bermain dulu pun, sekarang sudah menjadi tempat hunian. Hutan, kebun dan sawah itu sekarang ditanami beton, dipupuki semen, dan dihiasi genteng. Tidak lagi nyaman untuk sekedar menghirup udara segar dari hutan.

Kondisi itu merupakan representasi dari kondisi alam Indonesia pada umumnya. Desa kami seperti menjadi miniatur Indonesia dimana sungai, hutan, kebun, dan sawah tergerus oleh kepentingan manusia.

Kasihan anak2 ku kelak, tidak sempat merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon. Bahkan katanya, kalau anak kita ingin merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon, ada wahana yang dibangun untuk itu, dan itu harus bayar!


Gorontalo, 29 Januari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar