Minggu, 19 April 2009

Gadis Desa Itu Memang Pintar Menyanyi

Tahun 1996, masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Garut.

Menurut dosen, KKN sebenarnya bertujuan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah untuk masyarakat dan juga mendekatkan mahasiswa kepada masyarakat. Jika diterapkan secara murni dan konsekuen memang tujuan itu akan sangat mulia. Apapun jurusan si mahasiswa, penerapan ilmu kepada masyarakat, memang bisa dilakukan melalui KKN ini.

Aku sendiri pada awalnya bingung bidang ilmu apa yang akan aku terapkan di tempat KKN, tidak mungkin rasanya memberikan materi ilmu Hubungan Internasional kepada para penduduk desa. Namun akhirnya aku putuskan untuk mengajar Bahasa Inggris ke anak-anak SD di desa itu.

Desa tempat KKN ku bernama Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.sekitar 90 menit perjalanan dari Bandung jika menggunakan bis umum. Aku beruntung karena desa itu tidak terlalu jauh ke pedalaman. Desa itu benar-benar di pinggir jalan raya Bandung – Garut. Cukup berjalan kaki sekitar 150 meter, sudah sampailah kita di tugu pusat desa.

Kami sekelompok KKN berjumlah 10 orang, yaitu aku, Nana (alias Ohim), Iwan, Hadian, Lenny, Yuyus, Enyim, Sonya, dan Profi, dan Eva. Kami semua berasal dari latar belakang jurusan berbeda. Selama 2 bulan aku di Desa Ciburial, pekerjaan ku jadi guru Bahasa Inggris. Jam 7 pagi aku berangkat mengajar, pulang jam 10, selanjutnya luntang lantung teu puguh (luntang lantung ga jelas). Terkadang aku ikut ke ladang tembakau, ke sawah, main bola, main voli, sampai ikut latihan menyanyi dangdut. Kesibukan bertambah menjelang tujuh belasan dan Maulid Nabi Muhammad SAW, karena pada dua acara itu, dirayakan lebih besar dari biasanya.

Suatu hari di perayaan Maulid Nabi.

Perayaan Maulid Nabi dilaksanakan berbagai acara, berbagai perlombaan, baik yang melibatkan anak-anak sampai orang dewasa. Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah lomba menyanyi untuk kategori dewasa, baik pria maupun wanita. Pemuda dan pemudi desa berbondong-bondong mengikuti lomba ini, dari yang memang berbakat menyanyi maupun yang berada pada level asal bunyi. Tugasku saat itu adalah –bersama 2 rekan KKN yang lain- menjadi juri lomba menyanyi kategori dewasa tersebut.

Adalah Eneng –sebut saja begitu, karena memang begitu dia dipanggil dan aku sama sekali lupa nama aslinya- biduan desa itu. Usianya masih 15 tahun, cantik, dengan jilbab dan busana muslim yang selalu melekat di tubuhnya. Eneng adalah putri pertama Pak Adad Musyadad, seorang petinggi desa dan orang yang dianggap paling berpengaruh se-Ciburial. Eneng dikenal sebagai biduan desa bersuara emas. Eneng lah langganan juara setiap acara Maulid Nabi ataupun tujuhbelasan.

Singkat kata, tibalah saat Eneng tampil. Suara sorak menyambut Eneng. Dengan percaya diri Eneng menyanyikan bait demi bait lagu, lancar, tanpa cela. Suara lengking tinggi begitu jernih terdengar. Sound system desa yang kurang optimal, tidak mengurangi kejernihan suara Eneng. Berturut-turut dua lagu dibawakan, sorak penonton tak henti bergemuruh, juri pun –termasuk aku- terpesona karenanya. Aku memberikan nilai nyaris sempurna untuk Eneng. Aku lihat dua juri yang lain pun demikian. Hasil penilaian kami diserahkan kepada panitia untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan. Aku yakin dari sudut manapun, Eneng akan menjadi juara.

Setelah semua peserta tampil, tibalah saat pengumuman, saat yang ditunggu-tunggu para peserta. Aku sendiri mendengarkan pengumuman dari warung minum beberapa puluh meter dari panggung. Aku pikir, untuk apa aku dengarkan pengumuman, toh yang akan menang pastinya Eneng. Dan lagi, pengumuman pemenang itu akan pasti terdengar dari warung tempat ku minum.

“Dan juara 1 untuk kategori wanita dewasa adalah….Ucu….!” begitu teriak MC mengumumkan pemenang.

“Hah, Ucu! Kok bukan Eneng…?” batinku

Bergegas aku meninggalkan warung.

“Teh, nanti saya bayar, ya, ada yang penting nih!” ucapku ke si Teteh penjual minuman.

Setiba di dekat panggung, aku melihat Eneng sedang menangis sesenggukan di salah satu rumah di sekitar situ. Aku menemui dua rekan juriku. Kelihatannya mereka kebingungan juga, karena mereka pun memberikan nilai nyaris sempurna. Kedua juri rekanku mengira aku memberikan nilai buruk untuk Eneng, sehingga secara rata-rata nilai Eneng berada di luar 10 besar sekalipun. Aku mencoba konsolidasi dengan para juri. Aku panggil panitia penghitung nilai.

Dan ternyata, ada kesalahan penghitungan oleh panitia. Nilai Eneng yang dijumlah hanya dari dua juri, sementara secara rata-rata dibagi tiga. Jelaslah nilai Eneng menjadi sangat kecil. Pontang panting aku merekap ulang nilai, aku panggil seluruh panitia, aku minta mereka merekap ulang, dan membatalkan kemenangan Ucu dan menggantinya dengan kemenangan Eneng. Dari sudut mata kulihat Eneng memperhatikan “perjuangan” ku. Eneng ikut berharap cemas akan apa yang aku sedang usahakan. Walau bagaimana pun, pastinya malu jika mengetahui bahwa dirinya kalah setelah sekian lama terus juara.

Benarlah adanya, nilai Eneng –setelah dihitung ulang- menempati posisi teratas. Bahkan jarak nilainya sangat jauh dibandingkan juara 2 –yaitu Ucu. Pengumuman ulang dilakukan, dan pemenangnya memang Eneng. Alhamdulillah, memang keadilan itu tetap ada, kesalahan diperbaiki, dan yang berhaklah yang menang.

Saat ini, 13 tahun kemudian.

Sering aku melintas Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, saat aku bertugas ke wilayah Garut dan Tasikmalaya. Namun tak ada keberanian aku mendatangi desa itu. Entahlah, hanya tak ada keberanian. Rasanya tak enak, ketika mendapati kita datang ke sana setelah 13 tahun melupakannya. Tentunya Eneng, dan banyak gadis muda lainnya, saat ini sudah mendapati kebahagiaan bersama keluarga mereka, atau para pemuda desa itu sudah berkiprah dan berperan banyak bagi keluarga. Insyaallah.

Jakarta, 23 Maret 09 – untuk para pejuang desa

3 komentar:

  1. Segitu besarnya perjuanganmu...

    BalasHapus
  2. semoga bukan karena kecantikan atau suara indahnya, timbul rasa ingin memperjuangkan.

    BalasHapus