Selasa, 28 April 2009

Ajaibnya Persahabatan : Antara Garut - Jogja Dan Air Mata Berpisah

Awal pertemuan kami -tim KKN Desa Ciburial Kecamatan Leles Kabupaten Garut, 10 orang mahasiswa berbagai jurusan di Universitas Padjadjaran- terjadi saat kami dikumpulkan di Lapangan Kecamatan Leles. Sebenarnya pada saat pembekalan beberapa hari sebelumnya, kami diwajibkan berkumpul, namun sepertinya tidak seluruh anggota tim hadir disana. Sehingga, 10 orang hadir lengkap justru pada saat hari pertama kami di desa. Terus terang awalnya aku pesimis bisa akrab dengan rekan-rekan baru di tim KKN. Perkenalan pun hanya dingin-dingin saja, dan tidak ada satupun diantara mereka yang aku kenal dengan baik. Anggota tim kami adalah
1. Yana Haryana alias Ohim, mahasiswa Jurusan Ilmu Penerangan FIKOM, bergaya preman –mungkin memang preman, karena akrab dengan daerah Cicadas dan geng Brigez di Bandung- orang yang super cuek, easy going, dan bersikap dingin. Gawatnya lagi, orang super cuek inilah yang menjadi Ketua Kelompok KKN ini. Aku sempat ragu. Namun keraguan itu terjawab selama dua bulan KKN, karena justru Ohim menjadi Ketua Kelompok yang paling bertanggung jawab bagi tim.
2. Lenny Setyawati, dari Jurusan Antropologi FISIP, perempuan berjilbab yang keras, bergaya militer, berani melawan sesuatu yang tidak sesuai prinsipnya, namun selama 2 bulan KKN, Lenny bisa berperan menjadi ibu bagi semua anggota tim.
3. Eni atau Enyim, mahasiswi Hukum, perempuan berjilbab, pendiam, dingin, bermata tajam, dan selalu berpakaian hitam. Selama dua bulan itu, sikap misterius nya sirna dan justru muncul kecerewetannya, dari dialah muncul istilah “cuni” yang merupakan kependekan dari cunihin (bahasa Sunda kira-kira artinya :genit).
4. Yuyus, perempuan berjilbab, dari Jurusan Biologi FMIPA, dari cara bicaranya yang lamban ala putri Solo (tapi tetep Sunda), dan mendayu-dayu, Yuyus sering menjadi bahan tertawaan, namun ide briliannya seringkali menjadi inspirasi bagi tim.
5. Eva, perempuan berjilbab, mahasiswi Peternakan, sering memberi masukan pada teman, sikapnya yang berprinsip memberikan warna tersendiri bagi tim.
6. Profiawati, anak Sekda Sumedang, dari Jurusan Farmasi, cenderung pendiam, namun tetap baik hati. Bantuan logistik dari orang tuanya sangat membantu tim dalam menjalankan operasional. Thanks, Profi.
7. Sonja Hakim atau Nyonyo, mahasiswi Sastra Jerman, gadis pendiam tapi gaul, selalu tertempel earphone dari walkmannya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik, agak kesulitan menyesuaikan diri di desa itu terutama karena tidak ada TV. Namun lama-lama suasana heboh dari personil tim mampu membuatnya lupa akan TV.
8. Hadian Gumilang atau Dian, mahasiswa Pertanian, bergaya pria metropolis berkultur Sunda, modis, dan penuh celetukan canda tak terduga, dan bilamana mendengar celetukan itu, maka tak habis tawa berderai. Di tasnya selalu tersimpan berbagai perlengkapan kosmetik ala pria metropolis. Jika akan tidur dan bangun pagi, walkman selalu tertempel di telinganya.
9. M. Ridwan alias Iwan, mahasiswa Ekonomi Studi Pembangunan, tipikal pria perkotaan, seringkali terlambat nyambung jika kita mentertawakan suatu hal, namun luar biasa baik hati terutama pada perempuan yang ingin didekatinya.
10. Terakhir, aku, Dindin Suzaridian, mahasiswa Hubungan Internasional, jadi tangan kanan Ohim selaku Wakil Ketua Tim, jadi sansak omelan Lenny jika dia marah, paling banyak dibilang cuni alias cunihin oleh Enyim, paling banyak dibilang “Iiihhhh, Dindin maaahhhh….!” oleh Yuyus dengan gaya putri Solo ala Sunda, paling banyak dikritik oleh Eva dan dibilang, “Dindin, norak ah, kalau gitu caranya!”, paling sering didiamkan oleh Profi, paling sering diajak konsultasi oleh Nyonyo mengenai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia saat itu, paling sering meminta lotion nya Hadian dan mencoba-coba gaya pria metropolisnya, dan paling susah nyambung kalau ngomong dengan Iwan.

Itulah anggota tim KKN saat itu. Dihadapkan pada kesederhanaan desa, minimnya fasilitas informasi, dan karakter yang belum pernah berpadu sebelumnya, menambah pesimismeku akan kompaknya tim ini. Tak ada TV, tak ada kasur empuk, atau kamar mandi permanen. Bagi kami –terutama tim laki-laki- hanya ada tikar di lantai dalam ruangan 1,8 x 3 meter untuk berempat plus tembok yang penuh lumut, kamar mandi yang harus nimba jika ingin mandi, dan jika kami tidur, ujung kepala dengan ujung kaki kami akan saling menempel di tembok berlumut itu. Bagi sebagian orang itu mungkin penderitaan, tapi bagi kami, itu jadi pengalaman meski aawalnya terpaksa.

Tak diduga sebelumnya, di tengah kondisi seperti itu, justru kami menjadi tim yang luar biasa padu, tak pernah berhenti tawa, dan kompak melakukan bedol desa diam-diam untuk pergi ke Jogja! Ya, Jogja, ratusan kilometer dari Garut, tanpa ada warga desa yang tahu, kami menghilang sekitar 5 hari.

Semua berawal dari pembicaraan mengenai rumah dinas orang tua Nyonyo di Banjarnegara. Banjarnegara tidak terlalu jauh ke Jogja, mungkin sekitar 4 jam perjalanan darat. Nyonyo menjanjikan kita bisa menggunakan kendaraan orangtuanya menuju Jogja. Kami nekat pergi meninggalkan desa di tengah malam. Ibu kost keheranan, mengapa pergi semalam ini? Kami katakan bahwa, kami harus mengerjakan tugas besok pagi di Bandung dan membutuhkan waktu 1 minggu untuk menyelesaikannya. Duh! Maafkan kami Ibu, kami telah berbohong.

Total kami menghabiskan 5 hari, termasuk didalamnya perjalanan 8 jam dari Bandung ke Purwokerto. Melelahkan! 8 jam duduk berdesakan di kereta kelas ekonomi, namun menyenangkan. Pagi sekitar jam 9, setiba di Purwokerto, kami melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara menggunakan angkutan umum. Banjarnegara merupakan salah satu area pembangkit listrik tenaga air terbesar di Jawa Tengah, yang memasok listrik di sekitar Jawa Tengah. Ayah dari Nyonyo merupakan petinggi di PLTA tersebut. Jam 12 siang kami tiba di kediaman orang tua Nyonyo, langsung makan, istirahat untuk bersiap menuju petualangan esok hari. Siang hingga malam hari, tak ada yang kami lakukan kecuali bersantai, makan, menonton TV, dan tertawa.

Esok harinya, dengan menggunakan kendaraan keluarga Nyonyo, kami menuju Jogja, berkeliling, menginap di hotel dalam gang seharga 25 ribu per malam. Kami menyewa 2 kamar, untuk laki-laki dan untuk perempuan, berdesakan dalam 1 kamar. Tidak penting hotel mewah, yang penting cukup untuk tidur beberapa jam. Di Jogja kami menikmati hari, seolah turis, kami berkeliling ke pelosok Jogja, dan lupa bahwa kami ini adalah pelarian mahasiswa KKN dari Garut.
Dua hari satu malam kami habiskan di Jogja, tak banyak kami belanja, lagian uang kami pun terbatas, cukup untuk makan dan sedikit oleh-oleh. Namun yang penting kebersamaan luar biasa yang kami dapatkan di sepanjang perjalanan. Kepulangan kami ke tanah Jawa Barat, relative sama, menggunakan kendaraan yang sama, kereta api yang sama, dan kembali ke Garut dengan bis yang sama.

Di Garut kami kembali ke rutinitas biasa, mengikuti ritme kehidupan Desa Ciburial, tanpa ada warga yang tahu jika kami baru saja selesai bertualang ratusan kilometer dari Garut. Petualangan di Jogja itulah menjadi puncak keakraban kami. Momen penting persahabatan seumur jagung 10 orang dari latar belakang berbeda dan belum pernah kenal satu sama lain sebelumnya.

Tak terasa KKN berakhir, ada rasa bahagia karena tugas kami selesai, ada rasa haru tatkala meninggalkan desa terutama ibu kost, ada rasa “hilang” saat kami bersepuluh harus berpisah. Ternyata 60 hari cukup bagi kami untuk saling dekat, cukup bagi kami untuk merasa sama, sama-sama menderita, sama-sama bahagia, dan sama-sama haru. Tak terasa pula air mata menggenang, bahkan jatuh menetes, mengalir hangat memanjakan pipi.

Bogor, 25 April 09 – untuk 10 orang itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar