Senin, 27 April 2009

Pengamen Cantik Idola Para Penumpang

Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta – Bogor banyak menyimpan cerita. Berbagai kisah kehidupan terjadi di sana. Selain warna warni penumpang, KRL juga dipenuhi serba serbi pencari nafkah, mulai dari pedagang asongan, pengemis, dan –tentu saja- pengamen. Khusus pengamen, memang dimaksudkan menjual jasa menghibur penumpang demi beberapa gelintir uang logam yang dimasukan ke dalam kantong permen.

Pengamen juga sangat beragam, mulai dari anak kecil bermodalkan kecrekan tutup botol yang dirangkai di kayu kecil, atau pemuda bermodalkan gitar lusuh penuh stiker Iwan Fals, atau seorang ibu yang bermodalkan sound system gendong dan bernyanyi seolah-olah berada di karaoke, atau juga sekelompok pemuda yang membawa peralatan band lengkap meski tetap sederhana.

Biasanya, pengamen yang lumayan menghibur adalah sekelompok anak muda dengan peralatan band lengkap, karena selain cara bermusik yang relatif serius, mereka juga memainkan lagu-lagu terupdate yang dikenal luas saat itu. Pengamen kecrekan? Mohon maaf, seringkali malah mereka bernyanyi tidak karuan. Pengamen gitar tunggal? Maaf juga, main gitarnya seringkali asal-asalan dan fals, mungkin disesuaikan dengan stiker Iwan FALS yang tertempel di gitar mereka. Pengamen karaoke? Selain terkadang fals, juga suara sound system nya yang tidak bisa balance dan berisik luar biasa.

Di semester akhir aku kuliah, aku tidak lagi kost di Cikini. Aku lebih memilih pergi pulang, Bogor –Jakarta menggunakan –tentunya- KRL Kelas Ekonomi. Pada saat itu, sudah tidak ada lagi kuliah kelas dari jam 8.00 pagi hingga 17.00 sore. Ke kampus bisa lebih santai, setiap hari berangkat jam 9.00 pulang jam 15.00, sehingga terhindar dari berjubelnya penumpang KRL yang mewarnai setiap hari.

Setiap pagi di KRL, tak sadar aku selalu menunggu-nunggu hadirnya sekelompok pengamen dengan alat musik lengkap di KRL. Sekelompok pengamen itu terdiri dari dua orang pemain gitar, satu orang pemain bas betot, dan satu orang pemain drum kecil yang hanya terdiri dari dua buah sner dan satu simbal. Vokalisnya biasanya merangkap bermain gitar. Mereka bermain dengan apik, sound yang rapi, dan lagu-lagu hits saat itu. Satu hal yang menjadi istimewa adalah salah satu pemain gitarnya adalah seorang perempuan cantik, berkulit putih, berperawakan relatif tinggi, dengan lesung pipit yang muncul tatkala perempuan itu tersenyum.

Mereka selalu muncul di sekitar Stasiun Citayam, mereka muncul saat penumpang tidak terlalu sesak, sehingga peralatan band mereka bisa masuk dengan leluasa. Ketika mereka masuk gerbong, aku melihat penumpang lain pun seolah menyambut gembira kedatangan mereka, tak jarang ada penumpang –biasanya laki-laki- yang bertepuk tangan dan bersiul menggoda atas kehadiran mereka.

Ketika bernyanyi, penumpang pun terdiam menikmati penampilan mereka. Yang tadinya ngobrol, rela menghentikan obrolannya untuk sejenak melihat mereka bernyanyi. Khusus para penumpang laki-laki, tentunya mereka menikmati kecantikan sang perempuan pemain gitar. Lagu demi lagu hits mereka bawakan seolah tak terasa. Tak jarang penumpang meminta tambahan lagu di luar lagu yang mereka bawakan. Meski tidak setiap hari aku melihat mereka bermain, namun setidaknya 3 kali dalam seminggu aku bisa melihat mereka bernyanyi.

Satu hal yang cukup cerdas mereka lakukan adalah dengan mengutus si perempuan cantik pemain gitar untuk mengedarkan kantong permen ke penumpang. Dan akibatnya memang bertumpuklah uang seribuan –bahkan limaribuan- di kantong permen yang diedarkan. Godaan dan colekan menjadi hal biasa baginya. Namun aku melihat perempuan itu tetap bisa menjaga dirinya dengan tidak menanggapi godaan-godaan itu.

“Neng, namanya siapa?”

Atau

“Neng, rumahnya dimana?”

Atau

“Neng, ntar Abang anter pulang ya?”

Begitu sapaan-sapaan nakal dari para penumpang pria mencoba menggoda. Tak jarang juga aku melihat tangan jahil penumpang yang mencoba memegang tangan si perempuan cantik pemain gitar itu ketika mengedarkan kantong perman. Namun teman-teman band nya yang lain pun terlihat melindunginya.

“Maaf, Bang, kita cuma mau nyari nafkah halal. Maaf, ya Bang.” dengan sopan teman-teman pemain band lain melindunginya. Penumpang pun segan dibuatnya.

Akupun spontan menyediakan uang seribu rupiah –kalau limaribu, duh waktu itu masih terlalu besar bagiku untuk diberikan kepada pengamen- untuk ikut berpartisipasi menghargai jerih payah mereka. Selain karena penghargaan atas keindahan musik mereka, juga karena aku menghargai upaya mereka untuk tidak hanya berdiam diri dan menganggur di rumah. Dan tentunya juga karena perempuan cantik pemain gitar itu. He..he..

Aku juga melihat keseriusan mereka dalam mencari nafkah, mereka bernyanyi sungguh-sungguh, tidak asal bunyi, tidak sekedar bernyanyi asal-asalan untuk kemudian minta uang. Rasanya itu perlu penghargaan lebih layak dibanding pengamen lain yang terlihat beda tipis antara benar-benar mengamen, mengemis, atau bahkan memalak.

Semoga saja hasil jerih payah mereka bisa bermanfaat dan tentunya digunakan untuk kebaikan. Amin

Bogor, 19April 2009 – untuk para seniman di KRL Jakarta – Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar