Sabtu, 25 April 2009

Happening Art Di Gerbong Kereta : Sebuah Karya Seni Unik, Sebuah Kritik Sosial, Atau Sekedar Mencari Nafkah?

Tahun 1998, menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa ini, gelombang reformasi, kerusuhan Mei, hingga peralihan kekuasaan mewarnai perjalanan bangsa. Namun bukan itu yang aku ceritakan, ini hanya sebuah kisah sederhana di atas gerbong kereta.

Sekitar pertengahan Juli 1998.

Saat itu awal aku kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen PPM di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sebenarnya aku mengambil kost di daerah Cikini, namun seminggu sekali aku pulang ke Bogor. Biasanya aku pulang Jumat malam atau Sabtu pagi.

Sabtu pagi, jam 8an, seperti biasa, pulang ke Bogor menggunakan kereta api Jakarta – Bogor kelas ekonomi, naik dari Stasiun Gondangdia. Suasana di stasiun relatif sepi, kereta api yang aku tumpangi pun juga sepi. Selain karena arus balik Jakarta-Bogor, juga karena hari Sabtu memang bukan jam sibuk. Kereta berjalan normal, terkadang sangat cepat, namun otomatis melambat saat berhenti di sebuah stasiun.

Setiba di Stasiun Depok, seluruh kursi terisi penuh, segelintir penumpang hanya berdiri, namun tidak sesak seperti ketika jam sibuk. Masih ada ruang berjalan di tengah gerbong, baik bagi para penjual, pengemis, maupun pengamen. Seiring dengan masuknya beberapa penumpang di gerbong yang kutumpangi, masuklah seorang pemuda berperawakan tinggi, kurus, berambut gondrong, dan bersorot mata tajam. Sorot mata tajam itu didukung pula oleh celak mata yang menghias mata bagian bawahnya.

Kereta kembali berjalan.

Tiba-tiba pemuda tadi berdiri di tengah-tengah gerbong,

“Reformasi!”

Mimik mukanya terlihat serius, dibarengi kepalan kedua tangan, tangan kanan terkepal keatas, tangan kiri mengepal erat dibawah. Ternyata pemuda itu sedang membaca puisi atau mungkin maksudnya melakukan happening art di atas kereta. Teriakan demi teriakan dilakukan pemuda itu. Dengan gaya mirip pembacaan puisi atau deklamasi di acara 17an. Aku tidak ingat, apa saja kata-kata yang diteriakkan dalam puisi itu. Yang jelas temanya mengenai perjuangan mahasiswa, kesengsaraan rakyat, dan cercaan terhadap koruptor.

Sesekali tangannya bergerak-gerak mirip sang maestro Rendra membaca puisi, mata tajam melotot menatap para penumpang, rambut panjangnya dibiarkan berantakan menutupi wajahnya tatkala kepalanya bergerak kencang menoleh dari satu mata penumpang ke mata penumpang yang lain.

Hingga suatu saat, pemuda itu berlutut. Berteriak setengah merintih, seolah merasakan penderitaan rakyat. Berlutut itu sepertinya menjadi akhir dari pembacaan puisi pemuda itu, karena nada pembacaan puisi semakin lama semakin rendah seiring tertunduknya kepala pemuda itu saat berlutut.

Namun pertunjukan tidak hanya sampai disitu. Saat berlutut dan menunduk, ternyata pemuda itu melanjutkan pertunjukannya dengan bersujud. Apa yang dilakukannya? Diluar dugaan, diluar logika berpikir orang, dan diluar segala kewajaran pertunjukan di kereta api, ternyata pemuda tadi tidak sekedar bersujud. Pemuda itu sedang menjilati lantai kereta api!

Lantai kereta api yang penuh debu, bekas injakan orang, bahkan mungkin juga najis senajis-najisnya itu dijilatinya. Sepertinya jilatan lidah di lantai gerbong itu membentuk sebuah lukisan. Ya benar, beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit, kembali berdiri tegak mengepal, sambil berteriak,

”Reformasi!”

Bisa dibayangkan betapa kotornya lidah si pemuda itu. Aku lihat hasil lukisannya. Ternyata semacam lukisan wajah seorang pria berpeci. Entah wajah siapa yang dimaksud, namun aku berasumsi, wajah itu adalah wajah mantan Presiden Suharto (alm).

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemuda itu berbuat nekat seperti ini, yang pertama, dia melakukannya benar-benar mengatasnamakan seni yang unik, kedua, dia melakukannya karena ingin mengungkapkan kritik sosial atas kesengsaraan rakyat, ketiga, dia melakukannya karena memang ingin mencari uang alias mengamen dalam bentuk yang lain.

Aku –lagi-lagi- berasumsi bahwa pemuda itu melakukan aksinya karena gabungan ketiga hal tadi, yaitu menyampaikan kritik sosial dengan menunjukkan seni yang unik demi mencari uang. Mengapa begitu? Karena setelah pertunjukan, pemuda itu mengeluarkan sekantong plastik bekas bungkus permen dan mengedarkannya ke penumpang untuk diisi uang.

Setelah semua penumpang diedari kantong plastik, pemuda itu berpindah gerbong dan sayup-sayup aku mendengar suara teriakan dari gerbong sebelah,

“Reformasi!”

Dan aku hanya bisa tersenyum membayangkan pemuda itu harus menjilati seluruh 8 gerbong demi sebuah kritik sosial melalui seni yang unik demi mencari uang.

Bogor, 18 April 09 – untuk para pejuang nafkah di gerbong kereta

1 komentar:

  1. Wah...tulisan ini mengingatkan memori masa itu saat msh kuliah di Depok. Saya sempat melihat "happening art" ini. Bukan hanya sekali, bahkan berkali2. Sampai2 saya saat itu hapal betul setelah dia selesai dengan puisinya, dia akan melakukan 'itu'. Dan saya selalu memejamkan mata walaupun tidak bisa tdk membayangkan hal tsb. Jijik, miris....how could he do that...?!!

    BalasHapus