Senin, 16 Februari 2009

Anak Kelas Fisika Yang Ga Suka Fisika

Sejak SMP, sejak ada pemisahan bidang Ilmu Pengetahuan Alam, menjadi Fisika, Kimia, dan Biologi, tidak satupun ketiga sub bidang Ilmu Pengetahuan Alam itu yang aku suka. Belum apa-apa aku merasa sama sekali tidak mengerti apa yang diterangkan guru di kelas.

Di kelas Biologi, alih-alih memahami apa yang diterangkan, aku malah berpikir dan ngomel dalam hati,

”Siapa sih yang iseng kasih nama tumbuhan-tumbuhan ini dengan nama aneh?”

”Kenapa sih kita mesti menghafal istilah-istilah itu, toh nanti pun kita bisa lihat buku kalau kita lupa?”

Di kelas Kimia, sama saja,

”Siapa yang iseng memberi nama bahan-bahan itu dengan Fe, Cu, Li?”

”Siapa yang kurang kerjaan memisahkan unsur-unsur sehingga muncul simbol H, O, dan C yang kalau disambung-sambung menjadi rantai yang membingungkan?”

Di kelas Fisika, agak mendingan, tapi setali tiga uang,

”Kenapa sih, iseng amat hitung-hitung gerakan bandul?”

”Kenapa, sih, urusan air tumpah dari bak mandi aja langsung heboh dan bilang : Eureka?”

Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu terus menggelayuti dan meracuni fikiran ku. Makin menjauhkan aku dari ilmu-ilmu itu.

Anehnya, meski begitu aku tetap memilih Jurusan Fisika sebagai kelas ku di kelas 2 dan 3. Entahlah, meski aku tidak nyaman, namun aku memaksakan diri untuk masuk kelas Fisika. Iming-iming masa depan cerah, UMPTN bisa kemana aja, dan gengsi, membuat aku memutuskan memilih Fisika sebagai kelas ku.

Hingga suatu saat di awal kelas 2,

”Minggu depan kita ulangan untuk Bab 2 dan 3.” Pak N, guru Fisika kami, berteriak lantang.

Pak N memang aku rasakan berbeda dengan guru Fisika lainnya, baru kali ini aku mengerti akan Fisika setelah diajari oleh Pak N. Baru kali ini logika-logika dasar Fisika aku pahami. Ya, baru kali ini! Setelah sekian tahun!
Semangat membara menjelang ulangan. Kepercayaan diriku akan pelajaran Fisika mencapai tingkat tertinggi. Suatu puncak pencapaian sempurna bagi orang ”gagap” Fisika seperti aku.

Saking semangatnya, setiap hari aku bawa buku pelajaran Fisika, ketika ada waktu luang aku belajar Fisika, waktu istirahat dan menjelang mulai pelajaran aku belajar Fisika. Sampai-sampai ada satu teman yang panik melihat aku belajar Fisika, karena mengira ulangan Fisika nya hari ini.

Hari H ulangan Fisika, aku merasa sangat siap, sangat PD, dan yakin akan hasil terbaik yang akan aku dapat. Duduk pun nomor dua dari depan –biasanya waktu ulangan aku menyingkir ke belakang.

Soal demi soal aku kerjakan dengan penuh percaya diri. Ada soal pilihan ganda dan juga essay. Semua aku kerjakan tanpa lirik kiri kanan mengharap bantuan teman. Seluruh soal pernah aku coba semua, hanya berbeda angka nya saja.

Kepercayaan diri tertinggi. Lagi-lagi itu istilah yang sangat tepat menggambarkan diriku saat itu.

Seminggu kemudian.

Saatnya pengumuman!

Pak N dengan penuh senyum melangkah masuk kelas, aku pun demikian, ibarat hari itu adalah hari gajian, maka aku yakin akan mendapat upah tertinggi saat itu.

Satu per satu anak-anak dipanggil untuk menerima kertas ulangan.

Ada yang bergumam, ”Yes!”

Ada yang mengepalkan tangan seraya berkata, ”Mantap!”

Ada juga yang tertunduk lesu tanpa ekspresi.

”Kok aku belum dipanggil?” gumamku

Aku lihat sekeliling, nilai temanku bervariatif, ada yang 7,2 atau 6,5 atau ada juga yang 10. Nilai 10 ini memang mutlak milik beberapa jenius kelas yang tanpa belajar pun mereka sudah sangat memahami Fisika. Satu-satunya pelajaran yang mereka sulit berprestasi hanya olahraga!

”Dindin Suzaridian!”

Namaku dipanggil.

Mantap aku melangkah, setengah deg-degan, namun yakin akan mendapatkan nilai yang tidak mengecewakan.

Kertas ulangan aku ambil.

Mataku terbelalak!

Tertera nilai 2,8!

Setengah tidak percaya aku pandangi Pak N.

Pa N mengingatkan,

”Belajar lagi, Din! Nilai mu terendah di kelas!”

”Gila! Belajar lagi?”

”Tidak cukupkah aku seminggu ini belajar?”

”Inikah hasil kerja keras ku seminggu ini? Terendah di kelas?”

Kertas itu aku lipat dan aku taruh di saku baju. Tidak aku remas-remas dan aku buang. Aku tidak seekspresif itu. Beberapa teman ku bertanya, namun tidak satu pun aku dengar dengan jelas pertanyaan mereka. Atau mungkin aku sudah tidak peduli.

Lemas aku melangkah pulang.

Seandainya Fisika itu sesosok gadis, aku mungkin berkata,

”Inikah balas jasa engkau kepada ku setelah aku memelihara cinta ku untuk mu?”

Sejak itu, semangat ku pudar. Cinta ku untuk Fisika luntur. Habis sudah terkikis kekecewaan mendalam.

Sejak itu, aku tak mau lagi memelihara cinta untuk Fisika, cukup sekedar kenal dan bebas dari ulangan. Biarpun Fisika semakin cantik dan menarik untuk dipacari, tapi maaf, aku telah patah hati.

Aku sudah punya pacar baru.

Ilmu Sejarah!

Ya, Ilmu Sejarah!

Dia menghargai ku tinggi sekali meski aku tidak mencintainya.

Dia memberikan apresiasi tertinggi, meski aku tidak bekerja keras mengejarnya.

Dan akhirnya, inilah aku, tetap membenci Kimia, tetap menjauhi Biologi, dan tetap skeptis dengan Fisika, meski aku sadar bahwa selama ini aku memanfaatkan nya setiap hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar