Senin, 16 Februari 2009

“Dindin yang mana, ya? Ada dua tuh!”

Ada dua Dindin di Jurusan Hubungan Internasional Angkatan 93 Universitas Padjadjaran. Yang pertama aku, Dindin Suzaridian, yang kedua Dindin Adiwardana Natasukarya. Banyak kesamaan antara kami berdua. Diantaranya, kami berasal dari kota yang sama –Bogor- dan SMA yang sama, SMAN 1 Bogor.

Meski tidak berada dalam satu kos yang sama, kedua Dindin ini berada dalam “gank” yang sama (kalau boleh meminjam kata-kata “gank”), sama-sama berada di kawasan Jatinangor, dan sering main sepakbola dalam satu tim.

Suatu hari, saat dosen tidak hadir, saat-saat nongkrong di koridor kampus, datang menghampiri kami seorang mahasiswi dari jurusan lain.

Celingak celinguk.

Dan menyapa lah dia,

“Hei, hallo!”

“Hallo juga” hampir serempak, aku, Sogun, Edo, Sohen, Dindin AN dan teman-teman lain balas menyapa.

“Gua lagi mau nyari Dindin, ada ga ya?”

“Ada titipan dari saudaranya di Bogor.” Mahasiswi itu mulai bicara.

“Dindin mana?” timpal Sogun

Aku dan Dindin AN sama-sama terdiam. Sengaja tidak bereaksi ketika orang yang dicari adalah Dindin.

“Dindin, yang anak HI 93?” timpal si mahasiswi.

“Dindin yang HI 93, ada dua!” Sohen ikut nimbrung.

“Dindin HI 93 yang anak Bogor!” mahasiswi itu lagi.

“Iya, Dindin HI 93 yang anak Bogor ada dua!” Sogun ikut-ikutan.

“Dindin HI 93, anak Bogor, dari SMA N 1 Bogor!” mulai frustasi mahasiswi itu.

“Iya, Dindin HI 93, anak Bogor dari SMAN 1 Bogor, ada dua!” Edo mulai jahil.

“Ih, ini serius, ada titipan, jangan bercanda!” emosi mulai mendera sang mahasiswi.

“Lho siapa yang bercanda? Emang ada dua!” Sogun bertindak sebagai kompor.

Berlalu lah sang mahasiswi itu. Kesal! Dongkol! Aku dan Dindin tetap tidak bereaksi. Ikut cekikikan. Ikut menikmati adegan itu.

Beberapa hari kemudian, si mahasiswi itu datang menghampiri ku. Wuih, mungkin dia marah, mungkin dia ingin melampiaskan kemarahannya pada ku. Atau mungkin dia sudah tahu yang mana Dindin yang dia maksud.

Benar saja,

“Rese, lu! Yang gua maksud Dindin waktu itu tuh, elu!” marah mahasiswi itu.

“Nih, ada titipan dari Bogor, dari Tante N, buat lu!”

“Yakin yang dimaksud, Dindin gua?” Aku pun jadi ragu, jangan-jangan bukan Dindin aku. Tapi demi mendengar nama Tante N, aku langsung yakin, itu aku. Karena Tante N adalah sepupu dari Ibu ku.

“Iya bener! Masak lu ga kenal Tante N?”

“Kok lu tau Dindin yang dimaksud itu gua?”

“Tahu lah, tadi malem gua telepon Tante N, mastiin nama panjang lu siapa!”

“Ok, deh, thanks ya! Dan sorry atas kejadian waktu itu!”

“Iya nih! Padahal lu waktu itu ada, kan? Rese….!” Melengos mahasiswi itu meninggalkan ku.

“Eh sekali lagi, thanks ya!”

“Iya..iya!” sambil bergegas dan tanpa melihat mahasiswi itu menjawab.

Peristiwa itu menjadi tonggak awal pembedaan penyebutan nama bagi kami berdua. Aku dipanggil Dindin S (mesti lengkap dengan S nya) sementara Dindin yang satu lagi dipanggil Dindin AN (mesti lengkap juga dengan AN nya).

Sampai saat ini pun ketika kami sudah sama-sama menikah, dan sama-sama tinggal di Bogor, tetap ada kemiripan, yaitu anak laki-laki pertama kami bersekolah dan sekelas di TK yang sama. Demikian pula anak perempuan kami, sekolah dan sekelas di playgroup yang sama.

Bahkan anak pertama ku sering saling bercanda dengan anak pertama Dindin AN, ”Hei, kamu anaknya Bapak Dindin, ya!” serempak mereka berteriak satu sama lain.

Istri ku dan istri nya Dindin AN pun berasal dari daerah yang sama, yaitu Majalengka. Untung saja, nama istri kami tidak sama, walaupun ternyata mirip dan hanya membolak balikkan huruf nya saja, istriku bernama Nia, sementara istri Dindin AN namanya Ina.

Mirip, kan?


Lhoksemawe, 21 Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar