Senin, 16 Februari 2009

"Olimpiade Bahasa Inggris? Emang Ada?"

Tahun 1991, di kelas 2 SMA.

Saat itu sedang marak-maraknya penyelenggaraan olimpiade. Bukan olimpiade olahraga seperti yang sebelumnya kita kenal. Tapi Olimpiade Fisika dan Olimpiade Matematika yang diselenggarakan untuk menjaring jenius-jenius dari setiap kelas untuk diorbitkan menjadi fisikawan dan matematikawan handal se-Indonesia bahkan se-dunia.

Biasanya, jenius-jenius terpilih dari tiap kelas akan diberikan pelajaran tambahan di luar jam pelajaran regular. Mereka mengadu argumen, mengasah otak, menjajal soal, dan melakukan eksperimen.

Biasanya, kelas yang digunakan untuk belajar adalah kelas di koridor sekolah. Suatu koridor yang akan dilalui siapapun yang berlalu lalang di sekolah. Siapa pun yang melintasi koridor akan melihat mereka dibekali ilmu-ilmu Fisika dan Matematika

Dari luar kelas, aku melihat mereka belajar.

Terbersit rasa iri,

“Kenapa aku tidak sepintar mereka?”

Sudahlah, lupakan saja, ada yang lebih penting yang akan aku sampaikan.

Adalah S, sahabatku sejak SMP. Di SMA kami sekelas di kelas 2 dan 3. S adalah aktivis sekolah. Berbagai organisasi diikuti, S juga adalah salah satu petinggi OSIS di SMA kami. Semua kenal S, orangnya periang, mudah bergaul, dan “masuk” dengan kelompok mana pun di sekolah.

Namun ada satu hal yang mengganjal tentang diri S, yaitu “gagap” dalam pelajaran bahasa Inggris. Keringat dingin bercucuran ketika diminta maju ke depan untuk berbicara dalam bahasa Inggris bahkan untuk sekedar mengatakan, “My name is S”

Suatu hari, S tidak masuk kelas bahasa Inggris, bukan karena sakit, tapi memang karena tidak mau masuk. Padahal bertepatan hari itu ada kuis dadakan yang harus diikuti dan mempengaruhi nilai akhir.

Berarti S harus ikut kuis susulan! Sendiri! Tanpa bantuan teman!

Singkat cerita, hari kuis susulan dimulai. S tidak belajar, hanya berbekal soal dan jawaban kuis kemarin. Bersamaan dengan S, ada 4 orang teman yang juga ikut kuis susulan. Keempat orang teman itu memang benar-benar tidak ikut kuis karena sakit, bukan karena menghindar. Karena ke empat orang ini adalah para jenius bahasa Inggris di sekolah. Sementara S? Tidak bisa disebut jenius bahasa Inggris, memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris saja, keringat dingin.

Kuis susulan dilakukan di sebuah kelas yang berada di koridor sekolah, persis kelas yang sama dengan tempat para peserta olimpiade fisika dan matematika belajar. Peserta kuis susulan tersebut otomatis terlihat oleh siapa pun yang lewat. Benar-benar mirip saat para peserta olimpiade fisika dan matematika sedang belajar.

“Ada olimpiade apa lagi, nih?” Setengah berbisik, teman-teman kelas lain yang tidak mengerti, mulai bertanya-tanya.

Namun dengan bangga, menunjukkan canda sombongnya, dari dalam kelas, S berbisik keras, “Olimpiade Bahasa Inggris!”

“Olimpiade Bahasa Inggris? Emang ada?”

“Ada kali!”

“Apa sih yang ga bisa di-olimpiade-in?”

“Lagi musim olimpiade , ya?”

Sahut menyahut pembicaraan beredar di sekolah mengenai keberadaan olimpiade bahasa Inggris hari itu.

“Tapi, masak S yang jadi peserta olimpiade, ga mungkin, ah!”

Edaran gossip mulai diragukan kebenarannya. Keraguan itu bukan karena olimpiade bahasa Inggris nya. Olimpiade itu mungkin saja benar-benar diadakan. Tapi keraguan itu disebabkan oleh keikutsertaan S dalam kelas itu.

“Kalau S ikut olimpiade bahasa Inggris, berarti tadi malam ada kucing dimandiin!”

“Dan nanti malam akan ada hujan badai!”

Begitulah kira-kira perwakilan kata-kata keraguan di benak teman-teman dari kelas lain.

Memang bukan olimpiade bahasa Inggris yang diikuti S. Hanya sekedar kuis susulan yang kebetulan bergabung dengan para jenius bahasa Inggris dari kelas lain.

Sejak saat itu, S tetap dikenal sebagai peserta olimpiade bahasa Inggris. Istilah itu menjadi idiom tetap yang melekat pada diri S sampai jauh waktu berjalan. Canda sombong itu tetap melekat,

“Gini-gini, gw pernah menjadi peserta olimpiade bahasa Inggris!”

Atau

“Sini…sini, gua terjemahin! Masak mantan peserta olimpiade bahasa Inggris ga bisa terjemahin!”

Atau

“Tenang…tenang…kalau debatnya harus pake bahasa Inggris, biar gua yang maju!”

Begitulah kira-kira pernyataan canda sombong yang keluar dari mulut S. Semuanya memang kental nuansa sombong, namun tetap dalam koridor canda. Kami tertawa, kami terhibur, dan kami enjoy dengan kehadiran S.

Jauh terus kami bahagia akan kehadiran S, jauh sampai saat kami bersama dalam satu kos di Jatinangor, jauh sampai saat kami berada dalam satu fakultas di Universitas Padjadjaran.

Dan sekarang, saat ini.

S menjadi salah satu petinggi di sebuah perusahaan retail asing terkemuka di Indonesia. Tentunya komunikasi bahasa Inggris menjadi keharusan ketika harus bertemu dengan para atasan perusahaan tersebut yang dominan bule.

Sudah canggihkah bahasa Inggris S saat ini?

Entahlah! Aku harus mengkonfirmasi ulang mengenai hal ini. Kapan-kapan aku akan menemuinya dan aku kabari melalui tulisan-tulisan ku selanjutnya.


Gorontalo, 30 Januari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar