Senin, 16 Februari 2009

Saar Terakhir Kakek

Umur kakek 94 tahun saat dia meninggal. Umur yang sudah sangat tua untuk ukuran manusia saat ini. Jika manusia dijatah berumur 63 tahun –sesuai umur ketika Rasulullah SAW wafat- maka kakek sudah mendapat bonus 31 tahun.

Tiga bulan sebelum Kakek jatuh sakit, beliau masih aktif berjualan kayu. Menjaga kios kayunya, membeli kayu dari pemasok di Ciawi, dan menjual kepada orang-orang yang mungkin sedang membangun rumah.

Sakit yang hanya 3 bulan menjelang wafatnya, menunjukkan betapa sehat Kakek selama ini. Jarang aku mendapati Kakek jatuh sakit berat selama ini, paling hanya sakit flu, atau pusing atau sesak nafas, yang aku kira hanya faktor usia.

Cucu Kakek ada 20 orang. Sembilan dari anak pertamanya, sembilan dari anak ketiganya, dan dua dari anak keduanya. Yang dua dari anak keduanya adalah aku. Aku terhitung bukan cucu kesayangannya, hanya sepertinya Kakek selalu mengingat aku, sekali lagi bukan karena cucu kesayangan, tapi karena aku lah satu-satunya cucu yang jarang muncul di rumahnya.

Sepupu ku menyampaikan pesan agar aku datang ke kampung, sebentar saja. Di saat sebelum Kakek sakit, hampir setiap hari Kakek bertanya pada para sepupu di kampung,

“Dindin mana?”

Sebenarnya berkali-kali Bapak, Ibu, dan semua kerabat menghubungiku untuk menjenguk Kakek. Namun memang aku tidak menganggap serius ajakan itu. Aku pikir saat itu biasa saja, tidak ada yang istimewa, tidak ada yang sakit, apalagi tidak ada tanda-tanda Kakek akan pergi.

Dua minggu sebelum Kakek sakit, tiba-tiba hatiku tergerak, terpanggil untuk pulang kampung sekedar melihat Kakek. Ketika bertemu, aku melihat Kakek begitu berbeda, meski terlihat sehat, namun Kakek mulai ringkih, nafasnya mulai tersengal, jalannya mulai terseok, dan bicaranya mulai tidak jelas. Kenapa Kakek? Apakah ini tanda-tanda Kakek akan pergi?

Kutepis kekhawatiran itu. Kuajak Kakek jalan-jalan, hanya berdua, kubawa dia ke salah satu Mall d Bogor. Lamban kami berjalan, kutuntun Kakek, kugandeng tangannya, dan kudengarkan seluruh pembicaraannya meski seringkali aku tidak mengerti apa yang Kakek katakan. Kubebaskan Kakek membeli apapun yang diinginkannya, bahkan jika pun waktu itu Kakek mengambil barang termahal, sepertinya aku akan sanggup membelinya. Tapi, sukurlah, Kakek mengambil barang-barang yang harganya cukup rasional untuk kantong ku.

Itulah kali terakhir aku jalan dengan Kakek. Karena dua minggu kemudian, kondisi Kakek memburuk, Kakek hanya bisa terbaring, tidak mau makan, tidak mau minum. Tapi yang aku syukuri adalah, lidahnya tak pernah berhenti berzikir.

Sejak sakit, aku intens mengunjungi Kakek, setidaknya seminggu sekali. Kubawakan segala makanan kesukaannya, kubawakan makanan yang tiba-tiba dia inginkan. Sepupuku sering menelpon, menyampaikan permintaan Kakek. Misalnya, tiba-tiba saja Kakek minta buah duku, padahal saat itu sama sekali bukan musim duku.

Terkadang ketika tidur, kupandangi Kakek. Aku teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Aku ingat, kami bertiga –Aku, Bapak, dan Kakek- tiga pria seketurunan, berdiri di pinggir lahan kebun pala milik Kakek. Semasa aku kecil, kebun pala itu menjadi markas bermain aku dan para sepupuku. Kakek dan Bapak berniat membuat rumah kontrakan di kebun pala itu. Penghasilan dari pala sudah sangat tidak memadai, sementara bisnis kos-kosan menjadi sangat menggiurkan. Aku tidak setuju dengan rencana itu, tapi apa daya, ibarat sebuah kerajaan, ucapan Kakek ibarat fatwa seorang raja, dan aku hanya seorang pangeran kecil yang dianggap belum bisa berpikir jernih.

Dan saat ini, kebun pala itu menjadi kebun kos-kosan. Lebih menguntungkan memang, tapi kerugian besar bagi alam.

Tiga hari menjelang wafatnya Kakek.

Siang itu aku datang ke rumah Kakek. Sebenarnya masih jam kerja, namun karena aku sedang berdinas ke Sukabumi, jadi sebentar aku mampir. Seperti biasa, aku bawakan beberapa botol minuman isotonic bermerk Pocari Sweat tempat dimana aku bekerja.

Bicara Kakek semakin tak jelas. Sedikit aku mengerti,

“Aki mah sudah tidak bisa makan dan minum apa-apa!”

“Satu-satunya yang bisa masuk ke Aki cuma ini!” sambil menunjuk minuman isotonic merk Pocari Sweat.

Maaf ini bukan iklan, jikapun aku tidak bekerja di perusahaan ini, aku akan tetap menyebut merk ini, karena kenyataannya memang sejak lama Kakek suka minuman itu.

Dua hari kemudian, kakek meninggal dalam usia 94 tahun. Lelah pasti beliau berkiprah di dunia. Sudah saatnya beliau menjalani kehidupan lain di dunia sana. Semoga kehidupan itu lebih baik untuk nya

Satu hal yang aku banggakan adalah, lidah Kakek tetap dibasahi Pocari Sweat dan zikir hingga akhir hayatnya.

Jakarta, 10 Februari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar