Sabtu, 21 Februari 2009

Beda Tipis Antara Halal dan Haram di Negeri Seberang

Aku baru saja pindah dari kantor ku yang lama ke kantor yang sekarang ini. Sebenarnya jenis pekerjaannya sama, hanya produk yang berbeda. Tentu saja kulturnya pun berbeda. Dulu aku bekerja di perusahaan nasional, sekarang di perusahaan multinasional berlatar belakang Jepang.

Aku masuk 16 Agustus 04, sebagai orang baru, tentunya menghadapi budaya baru, budaya perusahaan Jepang.

Belum 3 bulan aku bekerja, tepatnya Oktober 2004, saat nikmat-nikmatnya menjalankan puasa Ramadhan, bos Jepang ku memerintahkan aku menemaninya ke Jepang. Dan kita akan menjamu 3 tamu dari Indonesia yang juga adalah klien ku yang selalu terkait pekerjaan dengan ku.

Ke Jepang? Belum pernah aku menginjakkan kaki di sana, jangankan Jepang, keluar negeri saja aku belum pernah, bahkan passport pun tidak punya.

Singkat cerita, berangkatlah aku ke Jepang, sebuah negeri sempurna jika dilihat dari sisi duniawi, namun jika dari sisi mentalitas religius, belum tentu!

Bos ku benar-benar peduli dengan para tamu termasuk juga peduli pada ku –meski aku bukan tamu- yang sangat concern pada makanan halal ataupun haram. Agak sulit mendapatkan makanan yang murni halal di sana. Apalagi jika dikaitkan dengan makanan halal versi Muslim berdasarkan syariah yang murni dan konsekuen. Dimana halal tersebut tidak hanya makanan mengandung babi atau tidak, tapi lebih dalam lagi, seperti media memasak yang bebas babi, atau ketika menyembelih pun harus sesuai syariah. Dari ketentuan dasar itu saja, aku ragu makanan halal beredar luas di Jepang.

Ok lah, tidak mengandung babi, tapi sendok sayurnya mungkin pernah dipakai untuk menyendok babi, atau ketika menyembelih ayam, dilakukan asal potong dan tanpa baca bismillah. Sulit aku rasa jika kita ingin mencari makanan halal di Jepang.

Suatu waktu, tatkala melepas lelah setelah berkeliling Tokyo, aku, si Bos, dan tiga orang tamu melepas lelah di sebuah kedai makan. Konon kabarnya, kedai itu menyediakan berbagai makanan khas Osaka, sekitar 2 jam perjalanan dari Tokyo. Osaka ini adalah juga kabarnya kampung halaman si Bos. Salah satu makanan khas Osaka yang dihidangkan itu adalah Okonomiyaki.

Memasak Okonomiyaki, menggunakan wajan datar yang unik, wajan datar itu berada di tengah meja tempat kami singgahi. Satu ruangan kedai itu terdiri dari 10 meja, dengan kursi yang terdiri dari 6 kursi di setiap mejanya. Wajan datar tadi berada tepat di tengah meja, sehingga kita menyaksikan langsung proses memasak itu. Okonomiyaki yang dibuat disesuaikan dengan jumlah orang yang duduk, sehingga setiap 1 orang akan mendapat jatah 1 Okonomiyaki.

Cara memasak Okonomiyaki, mirip dengan memasak martabak. Adonan terigu ditebar melingkar di wajan datar, ditunggu hingga setengah matang, kemudian ditaburi topping yang terdiri dari daging, taburan bawang, dan daun-daunan yang aku tidak kenal. Topping itu begitu penuh, sehingga melebihi ketebalan adonan terigu yang mendasari Okonomiyaki.

Bos ku –dalam bahasa Jepang- bebicara ke pramusaji kedai itu, kira-kira artinya adalah,

“Buatkan 6 Okonomiyaki, yang 5 topping babi, yang 1 topping ayam” ujar si Bos.

Satu topping ayam pastinya diperuntukkan bagi ku yang satu-satunya Muslim di meja itu.

“Terima kasih, Bos, dikau begitu perhatian padaku!” batinku.

Tapi…

Tidak semudah itu mendapatkan makanan halal di Jepang, itu yang mesti aku waspadai.

Benar saja, memasak Okonomiyaki tadi tepat dilakukan di depanku. Pertama, satu gelas besar isi adonan terigu, disebar menjadi enam lingkaran berdiameter 15 cm di atas wajan datar berlapis minyak yang panas. Gelas besar tadi diisi oleh daging yang telah dipotong kotak-kotak, diaduk dengan sejenis minyak, dan ditaburkan merata di 5 adonan dasar Okonomiyaki tadi.

Lho kok cuma 5? Seakan mengerti dengan keherananku, si Bos berkata,

“Yang lima ini babi, nanti yang ayam menyusul” ujar si Bos

Tak lama setelah daging babi tadi ditabur, disusul potongan daging ayam dimasukkan ke gelas besar yang sama, diaduk dengan sendok yang sama dan menggunakan minyak yang sama. Setelah diaduk beberapa saat, langsung ditabur ke satu adonan Okonomiyaki yang konon adalah jatahku.

Lengkap sudah 6 Okonomiyaki matang terhidang di atas meja, 5 topping daging babi, 1 topping daging ayam. Menggunakan gelas adonan yang sama, sendok yang sama, wajan datar yang sama, dan dijejerkan berdekatan satu sama lain. Bisakah dikatakan halal? Syariah Islam di belahan bumi manapun akan mengatakan tidak halal. Namun apa yang bisa aku perbuat. Tidak aku makan? Konsekuensinya aku akan membuat tersinggung si Bos dan tentunya jadi lapar. Aku makan? Jelas haram. Berarti ada unsur haram yang aku masukkan ke perut ku.

Akhirnya, dengan banyak pertimbangan, dengan sikap menjaga perasaan si Bos, dan tentunya dengan segala kelemahan iman, aku lahap memakan Okonomiyaki topping ayam jatahku. Lahap sekali, seolah tidak ada beban haram didalamnya. Dalam otakku hanya satu, aku tahu ini haram, ini salah, namun kalau aku tidak menikmatinya, aku rugi dua kali. Rugi karena makan makanan haram dan rugi karena tidak bisa menikmatinya.

Ampuni aku, ya Allah….


Bogor, 22 Februari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar