Usia 7 tahun, usia penuh keingintahuan. Segala macam dicoba, dieksperimen, berulang-ulang. Usia itu aku berada di Palembang, mengikuti orang tua dalam penempatan dinasnya di sana.
Rumah tempat kami tinggal, sekaligus juga gudang tempat penyimpanan barang berupa retsleting dan komponen-komponennya yang akan dijual di pasar. Bapak bertugas sebagai tenaga penjualan untuk barang-barang tersebut di Sumatera Selatan.
Karena setengah rumah setengah gudang, maka di sekitar rumah kami bertebaran barang-barang jualan Bapak, tercecer, terserak sembarangan, termasuk benda-benda kecil komponen retsleting.
Aku sering iseng ikut bermain di gudang, ikut mengumpulkan limbah retsleting, sebenarnya tujuannya untuk dibersihkan dan dibuang, namun kenyataannya malah tambah ngacak-ngacak. Sering pula benda limbah itu aku bawa dan aku buat mainan.
Salah satu benda yang aku jadikan mainan adalah topstop, suatu istilah di dunia pe-retsleting-an, yaitu berupa tembaga berbentuk U yang besarnya tergantung dari besar retsleting, biasanya sebesar setengah kuku kelingking orang dewasa. Fungsinya adalah untuk menghentikan kepala retrsleting agar tidak bablas ketika kita membuka atau menutup retsleting. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan dibayangkan, kalaupun tidak, ya sudah, toh bukan itu inti masalahnya.
Suatu hari, habis bermain, iseng aku memainkan topstop tadi. Topstop yang aku pegang berukuran sedang, tidak besar, tapi bukan yang terkecil. Aku memainkannya dalam posisi tiduran, mungkin memang akan tertidur, sambil dua jari ku memainkan topstop.
Entah apa yang ada di pikiran ku, topstop itu aku gunakan untuk menggaruk hidung bagian bawah. Mungkin karena berbentuk U, jadi ujung-ujung U itu aku gunakan untuk menggaruk. Tindakan sembrono!
Benar saja, ketika menggaruk, topstop itu terlepas dari tangan ku, dan terasa masuk ke hidung! Gawat!
Sontak aku terduduk! Mata melotot, topstop itu terasa masuk di tenggorokan ku, tersangkut! Aku coba batuk, tapi malah memperburuk keadaan. Topstop itu semakin masuk dan terasa mengalir di tenggorokan, terus terasa seolah aku sedang menelan sesuatu, menelan obat, atau permen, atau apa pun itu. Rasa menelan itu berakhir dan sepertinya benda tadi sudah bersemayam di perut ku, di pencernaan ku.
Aku shock! Tidak menangis, tapi bingung harus berbuat apa. Aku tetap diam, tetap melotot. Ibu ku melihat raut muka itu,
“Ada apa, Din?”
Aku diam. Kali ini aku berpikir, mau jujur atau tidak? Jujur? Tidak?
Kalau jujur, pasti aku dimarahi, kalau tidak jujur, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ku?
Tapi justru diam ku, membuat Ibu makin penasaran bertanya,
“Ada apa!” Keras Ibu bertanya.
“Mmm, ketelen ini….” Ragu aku menjawab sambil menunjukkan sisa topstop lain yang tadi aku mainkan.
“Hah!” Panik Ibu berteriak.
“Bapaaaaakkkkkk! Dindin nelen besi…..!!!!” Makin panik Ibu teriak.
Panik Ibu, sampai-sampai beliau bilang aku menelan besi. Ini kan bukan besi, ini topstop bahannya tembaga. Lain, kan?
Datanglah segerombolan orang dari gudang, tidak hanya Bapak, tapi orang-orang yang bekerja di gudang ikut penasaran akan apa yang terjadi. Tanpa tanya, Bapak memukul-mukul punggung ku, mungkin maksudnya supaya “besi” tadi masih tersangkut di tenggorokan dan keluar lewat mulut.
Tapi itu sia-sia.
Jelas aku rasakan benda itu masuk mengalir ke tenggorokan, sampai ke perut, persis rasanya kalau menelan permen bulat-bulat.
Setelah itu tidak ada tindakan medis bagi ku, meski aku was-was, tapi melihat kedua orang tuaku santai saja, jadi ya ikut santai. Mungkin sampai saat ini benda itu masih bersarang di perut ku, mungkin juga sudah tidak. Tapi setidaknya sampai saat ini tidak ada keluhan apapun pada diriku. Semoga tidak ada keluhan juga untuk masa yang akan datang.
Bogor, 1 Februari 2009
Sabtu, 21 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar