Sabtu, 21 Februari 2009

Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!

Umur 8 tahun aku belum disunat. Sudah cukup terlalu tua untuk ukuran anak-anak kampung ku. Makanya kalau berenang di kali, aku agak malu, soalnya hanya aku yang belum disunat.

Saat itu Idul Adha, tahun 1983, di Palembang.

Shalat Id, menikmati ketupat, sudah, itu saja kegiatan keluarga saat Idul Adha di Palembang, tak ada keluarga lain yang dikunjungi, hanya kami berlima di rumah.

Saat disuapi ketupat, aku kebelet pipis. Tapi alih-alih ke toilet, aku malah ke kebun depan dan pipis di pinggir pohon.

Kubuka retrsleting celana, dan cuurrr pipislah aku. Pada saat itu aku tidak menggunakan celana dalam. Sehingga langsung bisa cuurrr sesaat setelah buka celana. Selesai pipis, celana aku tarik kembali, retsleting aku tutup kembali.

Tapi kok retsletingnya agak seret. Aku paksakan tarik, dan

“Aww…..!” aku menjerit kesakitan.

Aku merasakan ada yang sakit, perih. Kenapa ini?

Ternyata p**** ku kejepit retsleting!

Sontak aku berteriak!

“Whoaaaaa…!”

Seketika seisi rumah heboh.

“Dindin kejepit retsleting!” gempar seisi rumah

Bapak segera bertindak. Diguntingnya celana ku. Sehingga hanya menyisakan kepala retsleting yang menggantung di p**** ku. Layaknya anting-anting yang menggantung di telinga.

Tidak berhasil mencabut, aku dibawa ke rumah sakit. Masuk UGD. Aku berontak, karena takut, karena panic di UGD rumah sakit. Saking berontaknya, aku tidak mau dibaringkan di ranjang, aku ingin lari. Tapi empat orang perawat pria berbadan besar memegangiku. Kedua tanganku ditarik keatas, disatukan dan dipegang oleh satu perawat pria. Kakiku bernasib sama, disatukan dan dipegang erat oleh satu perawat.

Kepalaku bernasib lebih tragis. Sepasang tangan besar menekan kepalaku dengan bertumpu pada kening. Sehingga kepala ku sama sekali bisa bergerak. Siksaan belum selesai, perut dan dadaku ditekan keras oleh satu orang perawat pria lain. Sesak dan tersengal aku berusaha nafas.

Sebegitu berontak nya kah aku, sehingga 4 algojo itu bersamaan mengekangku?

Selanjutnya tak kalah mengerikan. Aku lihat seorang dokter sedang memainkan jarum suntik. Menguji nya dengan cara menjentikkan jarinya ke alat suntik yang dipegangnya. Akan diapakan aku? Aku paling takut disuntik! Dan kenapa pula aku harus disuntik?

Dan jusss, rasa sakit di perut bagian bawah ku. Aku disuntik di perut, tidak tahu berapa kali aku disuntik, karena yang kurasa hanyalah cengkeraman para perawat berbadan kekar, dan tusukan berkali-kali disekitar perut dan pangkal paha.

Takut, panik, sakit.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak bisa lagi merasakan bagian perut ke bawah. Mungkin karena akibat suntikan. Mungkin itu semacam suntik bius lokal di daerah perut.

Beberapa saat kemudian, cengkeraman para perawat berbadan besar itu mengendur, dilepasnya tangan, kaki, tindihan di dada dan kepala. Ada apa ini? Ternyata semua sudah usai. Kepala retsleting itu sudah tidak lagi menjepit. Sudah lepas. Lega.

Plong rasanya aku terbebas dari siksaan tadi. Namun rasa sakit itu masih ada. Sakit secara fisik akibat tindihan, cengkeraman, dan suntikan. Dan juga sakit secara mental, bahkan parahnya lagi meninggalkan trauma mendalam sampai saat ini.

Sampai saat ini aku takut disuntik, jika ada cara lain, lebih baik cara lain saja. Jika ada kegiatan donor darah, aku menghindar, bukan karena sombong, tapi karena takut jarum yang menusuk dan menghisap darah ku.

Seorang teman,menawariku suntik vitamin C, katanya bagus untuk kulit, aku mau saja kulit ku jadi bagus, tapi tidak dengan cara disuntik.

Benar-benar hari kelabu yang membawa trauma seumur hidup.

Bogor, 7 Februari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar