Seperti diceritakan di Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!, aku mengalami trauma mendalam terhadap jarum suntik. Sampai saat ini. Jika ada pilihan lain, sebaiknya tidak ada satu jarum pun yang harus menusuk anggota tubuh ku.
Usia 9 tahun, saatnya dikhitan! Sudah terlalu “tua” untuk ukuran anak di kampung ku. Di kampung ku, usia 4-6, anak-anak sudah dikhitan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Jelas harus dikhitan karena itu kewajiban bagi laki-laki Muslim di manapun.
Cara dikhitan di kampungku masih menggunakan cara-cara tradisional. Tak ada dokter tak ada bius. Semua menggunakan “bacaan” khusus sehingga si anak tidak sama sekali merasakan sakit dan lekas pulih dalam waktu singkat. Pemotongan dilakukan cukup dengan pisau setajam mungkin berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Satu-satunya alat medis adalah cairan penisilin yang akan dioleskan ke luka khitan selama masa luka itu belum kering. Masalah steril, tidak pernah jadi masalah. Bertahun –mungkin berabad- cara itu digunakan, namun belum pernah ada kejadian adanya infeksi atau efek negative apapun. Setidaknya sepanjang yang aku tahu.
Beberapa minggu sebelum dikhitan, perasaanku campur aduk. Takut dan senang campur aduk. Trauma kejepit retsleting masih menghantuiku. Apalagi godaan para sepupu yang sudah lebih dulu dikhitan.Semua membuat ku takut, galau, dan terpikir untuk ditunda saja.
Tapi tak mungkin ditunda. Acara khitanan sudah disetting rapi oleh Bapak. Sudah siap dijalankan.
Di saat hari H.
Pagi hari aku sudah mandi, sudah didandani, sarung lengkap dengan baju koko. Pakai sarung tanpa celana, sehingga ketika dkhitan, “pemotongan” akan relative lebih mudah. Seluruh badan ku terasa lemas. Rasa takut itu makin menjadi. Kehadiran seluruh kerabat kampung membuatku semakin gentar. Suara zikir sebelum mulai dikhitan membuatku semakin merinding.Aku hanya duduk terdiam, tanpa ekspresi dan –katanya- terlihat pucat.
“Ayo, Din, kita ke ruang depan” Ibu memecah lamunanku
Aku terhenyak. Pasrah digiring Ibu ke ruang depan. Di ruangan itu aku melihat puluhan orang bersorban putih duduk bersila. Berzikir dan membaca shalawat nabi. Gumam zikir dan shalawat itu bagiku terdengar seolah genderang perang yang bergemuruh di sebuah ajang peperangan. Bergemuruh saling bersahutan dengan cepatnya degup jantung pada diriku.
Aku melihat di tengah ruangan beberapa eksemplar surat yasin tergeletak, beberapa piring berisikan kue dan rokok. Aku juga melihat di paling tengah, ada sebuah piring yang terlihat berbeda dari piring yang lain. Sekilas piring itu seperti kosong, namun jika diperhatikan sebenarnya ada sebuah suntikan –atau seperti suntikan- tersimpan di atas piring tersebut.
Hah! Suntikan!
Tegang aku dibuatnya! Apa yang akan dilakukan dengan suntikan itu? Sambil duduk bersila, pandangan ku tak lepas dari suntikan itu. Aku berharap pandangan ku salah. Ingatan ku melayang ke beberapa bulan sebelumnya, dimana aku “disiksa” oleh 4 pria perawat kekar, disuntik beberapa kali oleh dokter yang kejam, dan menyisakan trauma sampai saat ini.
Dan pagi itu aku harus berurusan dengan suntikan? Apa kaitannya dengan dikhitan? Selama ini tak ada info apapun mengenai proses suntik dalam khitan ini. Bayangan ku melayang, apakah aku akan disuntik di alat vital ku, di perut ku, atau dimana? Apa pun itu pasti akan sakit.
Entah apa yang aku pikirkan.
Tiba-tiba tanpa diduga siapapun, aku berdiri, dan secepat kilat berlari kencang ke arah kebun pala milik kakek. Aku lari sekencang mungkin. Yang ada di pikiran ku saat itu adalah lari, lari, lari! Menghindar dari jarum suntik, tak mau lagi berurusan dengan jarum suntik, tak peduli meski aku batal dikhitan.
Terus aku berlari, hingga sampai di kebun pala kakek. Aku melihat ke belakang, orang-orang bersorban putih itu mengejar ku. Namun ketika kembali melihat ke depan, orang-orang bersorban putih yang lain juga mengejar ku. Aku terkepung di kebun itu. Berlari kesana kemari, menghindar dari hadangan orang. Mirip pemain American Football yang menghindari hadangan pemain lawan. Atau mungkin lebih mirip seekor ayam yang sedang dikejar dan akan dipotong oleh sekelompok orang lapar.
Terus aku berlari, menghindar, berkelit, sampai akhirnya ada tangan keras dan kasar yang menangkap ku dari belakang, membopongku dengan keras, sehingga tangan dan kaki ku tak sempat lagi meronta. Tak tahu lagi apa yang terjadi, selain karena kondisi ku setengah tak sadar –mungkin karena lelah berlari- juga karena ada tangan besar lain yang menutupi pandanganku. Gelap!
Ketika tangan itu sudah membuka, mata ku bebas memandang, aku mendapati selangkangan ku berdarah, ujung kemaluanku mengalir darah. Ternyata “pemotongan” khitan itu sudah terjadi. Tanpa ada rasa, tanpa ada sakit sedikit pun!
“Kapan dipotongnya?” itu berkecamuk di kepala ku.
Dengan tangis –bukan karena sakit, tapi karena shock- aku dibopong kembali ke ruang tengah, ditidurkan, diberi minum. Berhamburan lah orang-orang menghampiriku. Mungkn pikiran mereka pun campur aduk, sedih, miris, dan pasti tertawa terbahak. Lucu melihat kekonyolan ku di kebun pala tadi.
Semua orang bertanya, semua orang ingin tahu, semua orang penasaran.
“Kenapa Dindin lari?”
Belakangan aku baru tahu, bahwa suntikan di atas piring itu tidaklah benar-benar suntikan. Tidak ada jarumnya, hanya batang suntikan yang berisi air penisilin yang akan disemprotkan sesaat setelah khitan dilakukan.
Memang yang namanya trauma itu begitu dahsyat. Begitu sempurna mengecilkan hati, menggetarkan rasa. Bahkan sampai saat ini pun, masih menyisa. Maka dari itu, sampai saat ini, aku takut disuntik!
Bogor, 14 Februari 09
Sabtu, 21 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar