Sabtu, 21 Februari 2009

Murid “Sok Iyee…” vs Guru “Sok Galak”

Ini kisah tentang sahabat ku

Namanya F, pemuda berperawakan sedang, tidak terlalu kurus, berpembawaan selalu ceria seolah tidak pernah ada masalah dalam hidupnya.

Kebiasaan unik F ini adalah selalu berbicara dengan logat Betawi, padahal setitik pun tidak ada darah Betawi dalam dirinya. Bahkan tempat tinggalnya -tidak jauh dari ku- yaitu di sekitar pinggiran Bogor yang sehari-hari berbicara dengan Bahasa Sunda yang cenderung kasar.

Logat Betawi yang sangat sering dia gunakan adalah “Iyee…” dengan gaya seperti Mandra atau Si Doel di sinetron. Apapun atau siapa pun yang mengajukan pertaan konfirmatif atau biasa disebut “yes no question” yang diajukan, akan dijawabnya enteng dengan “Iyee…”

Kami –dan juga beberapa guru- sudah terbiasa dengan gaya seperti itu. Kami menikmati gaya itu. Kami merasa terhibur dengan gaya seperti itu.

Suatu hari, datang guru baru di kelas kami. Namanya Pa B

“Siap, beri salam!” Lantang ketua kelas kami, D, memimpin aba-aba salam.

“Slamat siang, Pa!” Serempak pula kami memberikan salam kepada Pa B

“Slamat siang!” Lantang pula Pa B menjawab, tidak hanya lantang, tapi tegas, lugas, dan menggelegar.

Kami cukup kaget mendengarnya, bahkan salah satu teman perempuan, setengah terlonjak dari duduknya mendengar gelegar suara Pa B.

“Di kelas ini saya mau buat aturan main!” gelegar suara itu muncul lagi.

Aturan main? Sibuk dalam hati kami bertanya. Kelas benar-benar hening, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik, tak ada gerutuan, bahkan untuk bernafas pun kalau bisa ditahan dulu.

Berondongan aturan main diluncurkan Pa B terhadap kami. Sebenarnya aturan main yang biasa saja, standar, tidak ada yang istimewa. Misalnya, apabila guru sedang berbicara, tidak ada murid yang berbicara sendiri-sendiri, atau tidak ada yang nyontek ketika ulangan, atau harus aktif ketika sessi diskusi, atau tidak terlambat masuk kelas, dsb, dsb, dsb.

Standar! Itu memang sudah kewajiban murid, bukan?

Kelas masih hening.

Berondongan selanjutnya lebih banyak menceritakan asal muasal Pa B. Ternyata Pa B sebelumnya mengajar di salah satu kota di Provinsi Riau di Pulau Sumatera. Cerita berlanjut, lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi beliau. Misal, bagaimana beliau menghadapi murid sekolah yang mengacungkan golok ketika nilai ulangannya jelek, atau bagaimana beliau menghadapi keroyokan orang tua murid yang anaknya tidak naik kelas, dsb, dsb, dsb.

Cerita-cerita tersebut cenderung menunjukkan keangkeran sekolah tempat beliau mengajar dulu dan menunjukkan heroisme beliau dalam menghadapinya.

Hening kami mendengar. Terpukau? Rasanya tidak juga. Bahkan aku berfikir, untuk apa beliau menceritakan hal itu kepada kami? Untuk menggertak? Rasanya tidak mempan, ya.

“Jadi, semua jelas ya?”

“Semua harus ikuti aturan main yang kita sepakati tadi!”

“Mengerti?” Sebuah pertanyaan konfirmatif diajukan oleh Pa B.

Serempak seluruh murid menjawab,

“Mengerti!”

Namun, setengah detik setelah kata-kata “Mengerti” diluncurkan, muncullah jawaban yang sangat familiar di telinga kami, jawaban yang selama ini kami anggap lucu, jawaban selalu dijawab oleh orang yang sama, yaitu,

“Iyeee….!” Temanku F menjawab!

Keluar dari jalur jawaban teman sekelas, pindah dari keharusan jawaban yang diinginkan Pa B, dan lantang menyaingi kerasnya keserempakan jawaban sekelas!

Cekikikan sekelas menahan tawa, saling berbisik, saling pandang, dan saling bingung.

“Diam!” bentak Pa B

Hening….

“Siapa itu yang jawab!”

“Saya, Pa” F menunjukkan tangan.

Pa B mendekati F yang duduk di bagian belakang di sayap kiri kelas.

“Kenapa kamu menjawab seperti itu!”

F terdiam. Menunduk. Bukan tidak mau menjawab, tapi memang tidak tahu harus menjawab apa.

“Kamu tahu, jawaban seperti itu adalah jawaban tidak sopan!”

“Jawaban kampungan!”

“Tidak pantas dilontarkan seorang yang mengaku berpendidikan!”

Berondongan pernyataan keluar dari mulut Pa B. F hanya tertunduk, tak berani memandang. Sudut hatinya mungkin menyesal.

“Saya minta kamu tidak mengulangi lagi jawaban seperti itu!”

“Mengerti!”

Dan F menjawab.

Sebuah jawaban yang menggoncangkan kelas, yang mengagetkan seluruh isi kelas, yang membuat seisi kelas tak kan pernah melupakan hari itu adalah,

“Iyyeeeee…!”

Gemuruh kelas berdentam, derai tawa mengalir bak air bah, tak tertahankan, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik. Semua lepas, tertawa, tergelak, tak peduli dengan keangkeran Pa B, tak peduli dengan aturan main Pa B!

Sekilas aku melihat Pa B, dia pun ternyata tertawa, setidaknya tersisa sungging senyum di bibirnya. Aku yakin Pa B pun terhibur pada saat itu, terhibur dengan tingkah laku F, terlepas beban angker dari pundaknya, bebas, tak bersisa.

Sejak saat itu, Pa B menjadi guru favorit kami, menjadi guru terdekat kami, bahkan lebih dekat dari wali kelas kami. Saat study tour, alih-alih tidur di kamar para guru, Pa B justru menginap di cottage kami. Berkumpul, tertawa bebas, seperti layaknya seorang teman.

Sampai saat ini Pa B masih menjadi guru di SMU di sekolah kami. Aku yakin beliau makin berpengalaman menghadapi murid-murid seperti kami, makin mengerti mengatasi murid-murid seperti kami, dan makin dihargai oleh para muridnya.

Sahabatku F? Percaya atau tidak, dia sekarang berprofesi sebagai guru!

Ya! Guru!

Jika hukum karma itu memang ada, maka inilah mungkin karma yang menimpa F. Tapi aku yakin, F mampu menghadapi murid-muridnya yang “sok iyee..”, sok slengekan, cuek, lucu dan bandel. Aku yakin itu, karena toh F pun seperti itu dulu.

Sukses Pa B, engkau berjasa besar mencetak manusia-manusia unggul dari SMA kami.

Sukses F, engkau pun berkesempatan menjadi pencetak manusia-manusia unggul dari sekolah mu.


Gorontalo, 27 Januari 09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar