Rabu, 30 Desember 2009

Jadi Salesman? Ga Mau!

”Mas, cariin saya kerjaan, dong!” seorang adik sepupu yang baru saja lulus S1 dari sebuah universitas di Bandung suatu saat menelepon saya.
”Boleh! Kamu kirim CV kamu aja!” jawab saya, ”ada banyak lowongan di perusahaan saya, divisi sales lagi banyak butuh karyawan, tuh!” lanjut saya lagi.
”Hah! Sales! Jadi Salesman, dong! Ga mau, ah!” ujarnya lagi di ujung telepon sana.

Usai pembicaraan, saya termenung. Membayangkan mengapa begitu terperanjatnya sepupu saya itu ketika ditawari untuk bekerja jadi salesman. Seakan salesman itu pekerjaan kelas rendah, pekerjaan bagi orang yang ga ada kerjaan, bahkan dihindari karena dianggap mengganggu ketenangan orang. Memang diakui, profesi salesman bukan menjadi profesi yang dicita-citakan oleh seseorang. Belum pernah saya menemukan seorang anak yang menjawab “Mau Jadi Salesman” ketika ditanya cita-citanya. Kebanyakan anak-anak, menjawab jadi dokter, insinyur, atau profesi lain yang jauh mentereng.

Saya pun mencoba introspeksi diri. Lamunan saya terlempar ke tahun 2000 dimana karena kesulitan memperoleh pekerjaan, saya akhirnya menerima pekerjaan sebagai salesman. Ada keterpaksaan dalam keputusan itu. Ada sesuatu keengganan menjalankannya. Bahkan dari awal sudah ada niat untuk pindah kerja dan mencari profesi yang lebih mentereng. Namun seiring berjalannya waktu, saya seakan terbius, jatuh cinta, dan enggan berpisah dari profesi ini.

Apa yang menyebabkan saya menekuni profesi salesman? Ada beberapa faktor yang saya yakini merubah pola pikir saya. Pertama, profesi salesman merupakan ujung tombak perusahaan, divisi sales lah satu-satunya divisi yang menghasilkan uang bagi perusahaan. Sebagus apapun produk, sehebat apapun strategi marketing, seunik apapun iklan, akan sia-sia jika tidak ada divisi sales yang mendistribusikan produk tersebut ke berbagai saluran distribusi. Bisa dibayangkan betapa vitalnya divisi sales dan tim yang terlibat didalamnya, tanpa adanya mereka, bisa dikatakan perusahaan itu lumpuh. Divisi ini ibarat kaki-kaki perusahaan yang bisa membuat perusahaan berlari. Kedua, profesi salesman ternyata mempunyai masa depan yang cerah bagi yang tekun menjalaninya. Banyak contoh para pimpinan perusahaan, presdir, CEO mengawali karirnya dari salesman, banyak contoh pengusaha papan atas juga berawal dari seorang salesman. Hal ini bisa dimengerti karena profesi salesman memungkinkan seseorang menguasai lapangan, mengerti permintaan pasar, dan terlatih oleh tempaan mental yang kuat di pasar. Ketiga, profesi salesman ternyata menjanjikan income yang lebih besar dibandingkan divisi lain dengan level yang sama. Income salesman berasal dari tidak hanya gaji pokok bulanan, namun juga dari insentif yang didapat dari hasil penjualan. Keempat, tidak hanya income bisa didapat lebih banyak, namun juga pengalaman, pengetahuan, relasi dan jaringan sosial, dan info lain yang akan bermanfaat bagi pengembangan diri kita. Semua itu akan sangat bermanfaat kelak dalam penentuan karir, baik karir profesional di sebuah perusahaan maupun karir jika kita ingin berwirausaha.

Itulah sedikit alasan yang membuat saya bertahan di profesi ini hingga saat ini. Saya meyakini bahwa keputusan saya untuk tetap terjun di dunia sales tidak salah, saya meyakini bahwa apa yang terjadi selama saya di divisi sales akan sangat bermanfaat bagi saya kelak. Buat saya, profesi salesman bukan lagi profesi kepepet, bukan lagi profesi obralan karena mudah diterima di perusahaan, bukan lagi profesi yang tidak membanggakan, tapi justru bisa menjadi salah satu anak tangga menuju kesuksesan.

Dan yang pasti, justru akan muncul kalimat, "Jadi salesman? Mau!"

Denpasar, 30 Desember 2009

Rabu, 09 Desember 2009

Bernyanyi Cicak di Kandang Buaya

Tulisan ini tidak bermaksud terlibat dalam polemik tingkat tinggi antara Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tulisan ini jauh dari keinginan untuk berpihak dalam polemik tersebut.

Di suatu hari Minggu, saya mengantar Idan –putra pertama saya- ke sebuah acara ulang tahun teman sekelasnya di SD. Hanya saya yang mengantar, karena pada saat yang bersamaan, istri saya harus menjaga putri kedua saya yang sedang sakit. Sejak awal saya diberi tahu bahwa yang berulang tahun adalah putri seorang pejabat tinggi kepolisian di kota Bogor. Tidak terbayang di benak saya, bagaimana jika seorang putri pejabat tinggi polisi merayakan ulang tahunnya. Tidak ada persiapan pakaian rapi yang saya kenakan, hanya kaos, celana jeans dengan sendal selop berbahan karet saja.

Ketika tiba di acara ulang tahun, nuansa kemeriahan ulang tahun memang sudah tampak. Di depan rumah menjelang pintu masuk, sudah berjaga-jaga belasan polisi berseragam lengkap dengan motor patrolinya yang berjejer rapi. Parkir mobil pun diarahkan ke tempat tertentu oleh seorang polisi khusus yang –mungkin- ditugasi mengelola ketertiban parkir. Memasuki halaman rumah, telah siap sederet polisi wanita (polwan) berseragam batik dan safari menjaga buku tamu, sembari mempersilakan para tamu ke tempat yang telah ditentukan. Anak-anak memasuki wilayah arena bermain, sementara para orang tua pengantar duduk di deretan kursi menghadap panggung acara.

Rumah dinas yang berhalaman cukup luas telah disulap menjadi arena bermain lengkap, mulai dari kolam bola besar berbahan balon tiup, mini golf, wahana ketangkasan menembak, dan kolam pancing. Hidangan yang tersaji pun cukup lengkap, ada hidangan prasmanan khusus para tamu dewasa, juga nasi ayam goreng tepung dalam kotak bermerk ternama, serta minuman berbahan susu fermentasi bermerk terkenal. Selain itu, sepertinya orang tua si anak yang berulang tahun ini ingin pula mengajarkan putrinya untuk berbagi, karena di bagian belakang tampak puluhan anak berpakaian muslim dan muslimah dari sebuah –sepertinya- panti asuhan muslim tertentu.

Saya duduk mengawasi Idan bermain, tampak gembira karena bertemu dengan banyak teman sekolahnya. Sesekali saya ngobrol dengan orang di sisi kiri dan kanan saya yang juga orang tua yang mengantar. Sesekali para polwan muda tersenyum pada saya sembari mempersilakan saya untuk mencicipi hidangan pembuka yang telah disediakan. Saya melihat sebagian besar tamu adalah juga para pejabat kepolisian di kota Bogor. Itu terlihat dengan sikap hormat khas kepolisian dari para polisi dan polwan tadi ketika para tamu tersebut memasuki halaman rumah.

“Hayo, adik-adik, kita mulai acaranya, kita kumpul, yuk, disini!” teriak sang MC memanggil anak-anak yang masih sibuk bermain. MC itu memang pintar menarik perhatian anak-anak, selain karena memang lucu, juga ngocol, atraktif dan tentunya interaktif. MC itu mampu membius penonton untuk sama-sama tertawa, bernyanyi dan terlibat dalam acara itu. Tak terkecuali para orang tua yang menyaksikan dari belakang.
“Hayo, siapa yang mau nyanyi…?” tanyanya dengan hebohnya
“Saya…!!!” berlomba-lomba anak-anak itu menunjukkan tangan mereka. Apalagi dengan iming-iming hadiah bagi siapa yang berani maju untuk bernyanyi. Satu per satu anak bernyanyi ke depan, setiap anak yang maju pasti di”goda” oleh sang MC, mengomentari setiap lagu yang mereka bawakan. Komentar-komentar yang lucu itulah yang mengundang gelak tawa penonton termasuk para orang tua. Saya akui, MC ini pintar membawakan acara.

“Hayo..siapa lagi, nih, yang mau nyanyi….?” untuk ketiga kalinya sang MC menantang keberanian bernyanyi.
“Saya..!”lagi-lagi puluhan tangan mengacung tinggi minta ditunjuk bernyanyi. Dan terpilihlah Idan untuk maju bernyanyi.
“Ya, kamu maju!” ujar sang MC
“Nama kamu siapa?” tanyanya lagi
“Idan!”
Berbagai komentar dilontarkan sang MC pada Idan, apalagi badan Idan yang relatif besar dibanding yang lain dikomentari lucu oleh sang MC
“Ok, Idan, kamu mau nyanyi apa?”
“Mau nyanyi Cicak Di Dinding!” lantang Idan menjawab.

Namun jawaban Idan itu memang mengagetkan, seketika penonton dewasa terdiam mendengarnya, hanya bisik-bisik kasak kusuk sambil tersenyum simpul. Sang MC pun seolah kaget dan tak mampu mencairkan suasana akibat jawaban Idan. Sang MC seperti gelagapan tak tahu harus mengomentari apa agar suasana lucu tetap terjalin.
“Oh...OK..ya udah..kamu mulai nyanyi...!” ujarnya datar
Bernyanyilah Idan dengan lantang, menggunakan mikrofon sehingga suaranya terdengar di seantero ruangan acara ulang tahun. Anak-anak lain seakan tidak peduli –karena memang tidak mengerti- malah ikut bernyanyi, tetap ceria, tetap tertawa. Lain halnya dengan para orang tua, para tamu undangan –yang notabene adalah para pejabat polisi- yang terlihat terdiam, tak bisa berkomentar selain kasak kusuk bisik-bisik antar mereka.

Saya sendiri terdiam di deretan penonton dewasa. Saya mencoba melihat raut muka para tamu, celingukan melirik sana sini. Dan memang tetap nuansanya berbeda ketika Idan bernyanyi dibanding anak-anak yang lain. Sang MC pun yang sebelumnya ikut bertepuk tangan, ikut bernyanyi, dan mengajak anak-anak lain bernyanyi, tampak terdiam. Sementara tuan rumah, sang bapak pejabat polisi beserta istri, tampak tersenyum tipis melihat Idan bernyanyi.
“Hap…lalu ditangkap!” berakhirlah Idan bernyanyi. Sang MC pun tidak berani berkomentar, segera mengambil kado kecil, menyerahkan pada Idan, dan berkata,
“Ya, terimakasih, ya, sekarang kamu boleh duduk!” tak ada komentar lain

Acara demi acara berlanjut, kembali heboh, kembali ceria. Hingga saatnya kami pulang, saya gandeng tangan Idan keluar menuju tempat parkir. Terlihat bapak tuan rumah pejabat polisi ramah menyalami para tamu yang pamit. Saya dan Idan pun menghampiri beliau, bersalaman dan berpamitan.
“Pak, terima kasih, kami pulang dulu.” ujar saya ramah
“Oh iya, terima kasih ya.” balas bapak pejabat polisi itu tak kalah ramah
Idan pun spontan mengulurkan tangan bersalaman
“Oh...ini yang tadi nyanyi Cicak, ya...wah..suaranya bagus, ya...hebat!” puji bapak pejabat polisi itu. Namun pujian itu di telinga saya terdengar getir.Di satu sisi memang memuji suara bernyanyi Idan, di sisi lain memuji keberanian Idan bernyanyi “Cicak”. Insyaallah bapak pejabat polisi itu memang memuji tulus pada Idan. Toh namanya juga anak-anak.

Peristiwa Minggu siang itu memang membuat senyum siapapun yang mendengar kisahnya. Idan –dan puluhan anak lain- pastinya tidak mengerti makna cicak yang dinyanyikan Idan. Namun memang istilah “cicak” bisa membuat gatal di telinga ketika kita dihadapkan pada peristiwa perseteruan antara KPK vs Polri yang diibaratkan Cicak vs Buaya.

Itulah Idan, bernyanyi cicak di kandang buaya.


Di atas langit Sumatera – 5 Desember 2009

Senin, 26 Oktober 2009

Janji Firdaus Oil dan Kebodohan Dua Sahabat

Pengalaman ini terjadi di Bandung ketika kami sama-sama kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung. Saat itu masih semester 1, masih mahasiswa baru, masih dalam suasana Ospek..

Saat itu kami berdua iseng membicarakan seorang kakak kelas pria yang terlihat macho dalam kesehariannya. Sang kakak kelas, sebut saja Kang Asep, berperawakan sedang, dengan tubuh tinggi, berambut lurus, dan selalu berkacamata hitam. Yang menjadi pusat perhatian kami adalah kumis dan janggut yang menghiasi wajahnya, berjajar rapi di atas bibir dan dagu, dan disambungkan oleh jajaran rambut halus di sekitar kiri dan kanan bibir.

Jika Kang Asep melintas di koridor kampus, kami serempak diam dan memperhatikan wajah terutama bagian janggut dan kumis yang tersambung itu. He he he, mirip seorang gadis yang sedang mengagumi seorang laki-laki idaman. Tapi sumpah, kami hanya mengagumi kumis dan janggut tersambung itu saja, tiada yang lain. Kami masih laki-laki biasa yang tetap mengagumi perempuan, dan saat itu pun pacar-pacar kami masih perempuan.

“Kita bisa gak ya kayak gitu?” Sogun mulai berbisik sambil menerawang menghayal.
“Bisa kali!” jawab saya singkat, sambil juga tetap menerawang, ikut mengkhayal.
“Ke Bandung, yuk!” ajak Sogun tiba-tiba
“Ngapain?” ragu-ragu saya terima ajakan itu
“Udah, ikut aja, jalan-jalan aja!”
“Ok, deh! Berangkat!”

Kami berdua berangkat menuju Bandung. Kampus kami yang berlokasi di Jatinangor memang jauh dari jangkauan hiburan. Saat itu, tahun 1993, hanya ada sawah sebagai hiburan pemandangan bagi kami. Jika ingin hiburan lebih modern, pergilah ke Bandung, sekitar 2 jam jika kami menggunakan Bis Damri Jatinangor – Dipati Ukur, plus macet tentunya. Entah apa yang direncanakan Sogun, saya ikut saja kemana dia pergi. Rute jalan-jalannya adalah BIP di Jl. Merdeka, terus memutar ke Jalan Sunda, hingga ke sekitar Asia Afrika. Kami berhenti di sekitar alun alun dekat Mesjid Raya.

Kami menghampiri semua pedagang kaki lima di sekitar alun alun. Tak ada yang kami beli, hanya melihat-lihat. Hingga suatu titik, kami melihat kerumunan yang tidak terlalu banyak. Kami hampiri kerumunan itu. Ternyata titik kerumunan itu adalah tempat penjual Firdaus Oil. Sejenis minyak yang diduga punya khasiat menumbuhkan rambut di bagian tubuh yang kita inginkan. Dari jauh terlihat berbagai poster laki-laki yang ditumbuhi kumis dan janggut yang tersambung. Saya dan Sogun langsung spontan saling pandang. Saling tersenyum penuh bangga.

“Ini, yang kita cari!” ujar Sogun
“Yup, bener!”
“Kita beli satu aja, nanti di rumah kita bagi dua.”
“Oke..oke!”

Singkat kata kami patungan membeli satu botol Firdaus Oil berukuran sekitar 30ml, dalam botol bening kecil. Warna minyaknya kehijauan pekat. Cara pemakaian minyak itu adalah oleskan ke bagian tubuh yang ingin ditumbuhi rambut, oleskan sebelum tidur, selama 2 minggu berturut-turut. Dan upayakan jangan dioleskan ke bagian tubuh lain yang tidak diinginkan. Nah lho! Bagaimana jika kami tak sengaja mengoleskannya ke bagian tubuh lain seperti hidung? Bagaimana jika tiba-tiba hidung kami ketika pagi ditumbuhi rambut?

Sesampai di kos di malam hari, kami langsung menuju kamar Sogun. Sogun punya botol kecil bekas minyak tawon yang telah dicuci bersih. Kami membagi dua sama rata Firdaus Oil itu. Kami saling pandang, saling cekikikan. Dalam bayangan kami saat itu, dalam waktu 1 atau 2 minggu, jika rutin memakai Firdaus Oil ini maka kami akan menjadi laki-laki macho dengan kumis dan janggut tersambung. Benar-benar impian yang bisa menjadi kenyataan.

Seusai shalat Isya, dimulailah aksi itu. Sambil berkaca, saya pandangi Firdaus Oil itu. Saya ambil beberapa tetes di ujung jemari telunjuk. dioleskan perlahan di sekitar bibir kiri dan kanan. Menyambungkan kumis dan janggut. Dioleskan berkali-kali berharap akan segera tumbuh rambut disitu. Setelah itu, saya bersegera ke kamar mandi, mencuci jari telunjuk karena takut jika di jari itu juga akan tumbuh bulu. Tidur pun saya berusaha telentang, karena takut jika berubah posisi, maka cairan Firdaus Oil itu akan membasahi bagian wajah yang lain.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan berlalu, tak ada perubahan di wajah kami. Padahal setiap malam, tidak lupa mengolesi pinggir bibir kami dengan Firdaus Oil. Kumis dan janggut kami memang tumbuh, tumbuh tidak beraturan. Namun tidak sehelai pun tumbuh rambut di tempat diolesinya Firdaus Oil itu. Duh, kami mulai ragu! Mulai sangsi dengan khasiat minyak itu. Benarkah seperti yang diiklankan di poster? Hmm..rasanya tidak, karena sampai saat ini tidak ada sehelai pun rambut tumbuh di tempat kami mengoleskan minyak itu.

Di suatu siang sepulang kuliah, kami duduk berdua. Terdiam. Namun tak lama secara serempak, kami berteriak dan tertawa,

“Ha ha ha ha…bodo banget sih lu!” teriak Sogun
“Ha ha ha ha..lu tuh yang bodo!” balasku

Kami tertawa. Mentertawakan kebodohan kami. Kami terjebak oleh iklan tidak jelas itu. Dan tepatnya, kami terjebak oleh kebodohan kami sendiri. Dan kami tertawa karenanya

Parepare, 11 Agustus 2009

Senin, 01 Juni 2009

Nasionalisme Sederhana Seorang Anak Bangsa

“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…”

Bait pertama lagu Indonesia Pusaka itu begitu sarat makna. Ismail Marzuki merangkai lirik dan nadanya dengan penuh penghayatan.. Sejak SD aku kenal lagu itu, namun baru kali ini lagu itu berkesan khusus.

Adalah Agnes Monica yang menyanyikan lagu itu dengan indah dalam sebuah acara di bertajuk Festival of Life di Garuda Wisnu Kencana di Bali. Acara itu merupakan acara memperingati tahun pertama di 50 tahun kedua persahabatan Indonesia – Jepang. Acara disusun dengan sangat megah dengan mengedepankan seni kontemporer.

“Indonesia sejak dulu kala, slalu dipuja-puja bangsa..” lantang Agnes Monica melanjutkan suaranya. Disini aku mulai merasakan getaran aneh. Mendengar bait demi bait yang Agnes Monica nyanyikan membuatku merinding. Rasa merinding itu semakin kentara ketika bait reffrein dinyanyikan. “Di sana, tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata..”

Sempurnalah rasa merinding itu. Sebenarnya lagu ini sudah sering aku dengar, sejak SD ratusan kali lagu ini diperdengarkan. Namun kenapa kali ini berbeda? Kenapa kali ini menimbulkan rasa merinding luar biasa? Kenapa kali ini seolah nasionalismeku bangkit? Pikiranku menerawang ke beberapa jam sebelumnya, tatkala aku dan tim berlari pontang panting mempertahankan kejayaan produk yang kami usung. Sore itu memang luar biasa bagi aku dan tim. Luar biasa lelah baik fisik maupun mental.

Berawal dari sebuah kesalahan yang –kami akui- kami lakukan. Aku sebagai salah satu pimpinan tim memang yang paling bertanggung jawab untuk kesalahan itu. Sebenarnya ada contingency plan yang kami lakukan, namun memang tidak banyak menolong. Gawatnya lagi pimpinan tertinggi perusahaan –berkewarganegaraan Jepang- ikut hadir di sana dan memeriksa kerja kami. Mengetahui adanya kesalahan, spontan sang pimpinan marah, sifatnya yang relative temperamen memang sudah biasa aku hadapi. Termasuk murkanya yang dilampiaskan di hadapan ratusan orang di sekitar.

Seperti yang aku tulis di atas, kelelahan kami adalah kelelahan ganda. Kelelahan fisik, yaitu kami bersembilan (aku, Suhendar, Budi, Sigit, M. Noor, Asari, Andin, Merry dan Dikky) dibantu oleh tim lokal Bali berjumlah sekitar 14 orang harus mengangkut 230 karton Pocari Sweat (berat per karton nya sekitar 9kg) dengan menaiki 75 anak tangga, dilanjutkan dengan berjalan mengangkutnya sekitar 100 meter menuju venue dan membagikannya ke 3000 kursi yang mirip kursi stadion sepakbola, berundak tinggi ke atas. Semua itu harus dikerjakan dalam waktu 45 menit, karena sebanyak itulah waktu disediakan oleh panitia.

Kemudian kelelahan mental karena kami melakukan itu semua dibawah tekanan dan murka sang pimpinan. Jika kita mengenang masa awal kita kuliah, dimana kakak kelas kita meng-ospek kita dengan teriakan-teriakan, maka itulah yang kami alami sore itu. Bedanya adalah, kami diperlakukan seperti itu dibawah pandangan miris ratusan orang di sekitar.

Benak kami memang jadi bertanya-tanya, kenapa seperti ini perlakuan pada kami. Kami mengerti bahwa kami melakukan kesalahan fatal, kami menyadari itu sesadar-sadarnya. Namun, apakah ini solusi instant saat itu? Akibatnya memang semua konsep yang kami rencanakan buyar, semua rencana dan ide mandek. Semua bermuara pada ketakutan akan murka lebih lanjut jika kami menjalankan ide kami dan dianggap salah oleh pimpinan.

Namun –seperti orang bijak berkata- segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Hikmah yang kami dapat adalah
1. Kontrol berganda harus terus dilakukan
Ketika sebuah konsep dan rencana kerja tiba pada sebuah implementasi lapangan, maka tidak ada pilihan bagi sebuah tim agar mengecek berulang-ulang kinerja lapangan sehingga semua berjalan sesuai rencana
2. Berpikir tenang dan jernih bukan berarti bertindak santai
Ketika menemukan adanya suatu masalah mendesak, memang diperlukan pemikiran jernih. Namun bukan berarti pemikiran jernih dilakukan dengan santai, sikap panik tetap diperlukan, sikap panik membuat kita bertindak cepat, bertindak sigap untuk menyelesaikan masalah, tapi tetap berpikir jernih.
3. Pentingnya mengalami kerja di bawah tekanan
Seringkali kita dihadapkan pada persyaratan ketika melamar kerja, yaitu :mampu bekerja di bawah tekanan. Mungkin inilah makna sebenarnya persyaratan itu. Kami sudah melewati fase bekerja di bawah tekanan tersebut. Luluskah kami? Belum tentu, karena mungkin kami akan tetap menghadapi hal yang sama di kemudian hari.
4. Pentingnya kejernihan hati dan pikiran di bawah tekanan
Dengan tekanan yang begitu keras, kami harus bisa berpikir jernih, harus bisa bertindak menggunakan hati. Hal ini diperlukan tatkala kita harus berargumen menjelaskan logika berpikir kita dibawah tekanan. Meski akhirnya konsep yang ditawarkan ditolak karena murkanya, namun setidaknya tawaran konsep kita tidak buyar begitu saja hanya karena rasa takut.

Kira-kira itulah hikmah yang bisa aku renungkan. Aku tetap berkomitmen untuk memajukan perusahaan, karena walau bagaimanapun juga di perusahaan inilah aku bernaung dan mencari nafkah. Segala yang aku alami tidak akan menumbuhkan sikap negative, namun justru memunculkan selaksa hikmah di dada, setidaknya untuk saat ini.

Selain itu, tidak saja hikmah yang aku rasakan. Ada yang lain yang tiba-tiba muncul seketika. Apa itu? Entah kenapa, di malam ketika Agnes Monica melantunkan lagu “Indonesia Pusaka” seolah muncul nasionalismeku, muncul rasa merinding, bahkan salah seorang rekan mengaku matanya berkaca-kaca tatkala mendengarkan lagu itu. Apakah karena aku dan tim mengalami tekanan luar biasa dari pimpinan yang notabene adalah orang asing? Ataukah karena lirik dan lagu luar biasa karya Ismail Marzuki dan dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Agnes Monica. Entahlah. Mungkin ini hanya sebuah nasionalisme sederhana yang muncul di hati seorang anak bangsa.

Denpasar, 24 Mei 09 – demi sebuah nasionalisme sederhana.

Rabu, 20 Mei 2009

Wajah Lempeng Penyelamat Nasib Kami

Contek mencontek menjadi kebiasaan yang dianggap wajar bagi para siswa. Salah memang, namun bagaimana lagi, dikala godaan nilai bagus, kesempatan yang ada, dan tentunya kelengahan guru, menjadikan mencontek menjadi kebiasaan dan “keharusan” di kala ulangan. Modus operandi? Tak perlulah aku ceritakan, karena semua pasti sudah tahu akan hal itu.

Suatu hari, dikala ulangan matematika di kelas 2 Physic 3.

Siang itu begitu panas. Waktu menunjukkan jam 1 siang. Sudah terbayang, betapa menyiksanya pelajaran yang diadakan di siang hari, panas, haus dan tentunya mengantuk. Jam pertama, ulangan matematika. Pelajaran matematika saat itu dibimbing oleh Ibu Yuli –rasa hormat kami yang paling tinggi bagi Ibu Yuli. Lain dari ulangan biasa, ulangan matematika ini terdapat dua jenis soal, soal A dan soal B. Soal A khusus untuk murid yang sebelah kanan, soal B khusus untuk murid sebelah kiri di bangku yang sama. Strategi ini bagus untuk menghindari saling contek antar murid di bangku yang sama.

Saat itu aku duduk dengan AS, pemuda berbadan tinggi langsing, berambut modis gaya jamur alias gondrong di atas. Sejak awal, AS sudah merencanakan akan menukar soal B yang dia pegang, dengan soal A dari teman di seberang bangkunya, sehingga, aku dan dia akan sama-sama memegang soal A. Maksudnya tentu saja supaya kami bisa bekerjasama mengerjakan soal A itu. Nanti jika akan dikumpulkan, tinggal ditukar dengan teman dari bangku sebelah itu. Teman di bangku sebelah yang menjadi sasaran penukaran yaitu Riri alias Joely Gloriana, Riri pun sepakat untuk itu.

Singkat kata, soal pun dibagikan.
“Soal A untuk murid di sisi kanan, soal B untuk murid di sisi kiri! Jangan ada yang berani menukar!” lantang Bu Yuli sambil membagi soal. Soal dibagikan dalam kondisi tertutup, satu per satu Bu Yuli membagikan ke setiap anak. Benar-benar guru yang telaten untuk mencegah kecurangan di pihak murid. Semua soal terbagi dalam waktu yang cukup lama. Namun tetap saja ada kelengahan Bu Yuli, yaitu AS ternyata berhasil menukar soal B dengan soal A dari Riri, sehingga aku dan AS di bangku yang sama, memegang soal yang sama, dan akan mempermudah bekerjasama.

Pengerjaan soal berjalan lancar. Belum ada saling contek antara aku dan AS. Soal-soal awal relative bisa diselesaikan. Sebenarnya jikapun sendiri, seluruh soal pasti akan bisa dikerjakan. Namun tetap saja godaan saling lirik tetap ada di akhir ulangan. Bu Yuli berkeliling kelas mengawasi satu per satu para siswa. Semua tertib, hening, dan khusyuk dengan soal masing-masing. Hingga suatu saat, Bu Yuli menghampiri meja kami

Aku tegang melihat Bu Yuli menghampiri kami. Bagaimana jika soal ulangan AS terlihat? Bagaimana jika kami ketahuan? Bagaimana jika…? Entahlah, konsentrasiku langsung buyar, keringat dingin mulai muncul, remang bulu kuduk mulai timbul. Jantungku berdetak keras, sangat keras hingga aku khawatir terdengar oleh Bu Yuli. Kulirik Riri, wajahnya pun terlihat tegang. Kulirik AS. Aku berpikir, apakah AS merasakan yang sama? Namun aku melihat raut muka AS tak berubah sedikitpun, tetap tenang, seolah semuanya biasa. Posisi tangan AS memang tidak lazim, tangannya seolah menyembunyikan sesuatu, bukan contekan, namun menyembunyikan kode soal yang ditukar tadi.

Bu Yuli semakin mendekat, perasaanku semakin tak karuan. Benar saja, Bu Yuli memperhatikan pekerjaan AS. Meski kode soal ditutupi tangan, aku yakin Bu Yuli tahu mengenai soal yang tertukar –atau tepatnya ditukar- itu. Pastinya Bu Yuli hafal dengan seluruh soal yang dia buat.
“Lho, kamu tukar soalnya, ya!”
Akhirnya gelegar bentakan itu muncul dari mulut Bu Yuli. Seluruh siswa spontan bereaksi atas suara gelegar itu dan memandang ke arah kami.
“Engga Bu! Ini soal yang saya dapat.” AS berusaha membela diri
“Ga mungkin, saya sudah bagi soal sesuai meja!”
“Engga Bu, saya dapatnya soal ini.” AS masih keukeuh meyakinkan Bu Yuli.
“Ga mungkin!” bentak Bu Yuli

Seluruh kelas diam. Aku mulai panik. Aku lirik Riri, wajahnya pun terlihat panik. Tak berani kutatap wajah Bu Yuli, aku khawatir wajah panikku akan membongkar penyamaran AS. Aku tertunduk memandangi soal, padahal sama sekali soal itu tidak kubaca, malah semakin lama semakin terlihat buram di mataku.

“Ga mungkin, saya salah meletakkan soal ini!” tetap lantang Bu Yuli membentak AS, atau mungkin tepatnya membentak aku, AS dan Riri.
“Engga Bu, suer…!” AS tetap berkelit.
“Ga mungkin!”
Dan dengan spontan AS mengacungkan dua jarinya tangan kanannya sehingga membentuk huruf V pertanda bahwa “sumpah” dia tidak menukar soal. Yang membuat aku berdecak adalah wajah AS ketika mengacungkan tanda V itu sangat dingin, tanpa ekspresi panik, tenang, penuh keyakinan. Seandainya saat itu AS dites menggunakan lie detector aku yakin dia akan lolos dari intrograsi.

Sejenak kulihat mulai ada keraguan di wajah Bu Yuli tatkala melihat ekspresi lempeng AS.
“Kamu pindah duduknya, tuker dengan dia!” Bu Yuli memerintahkan AS bertukar duduk dengan Riri.
“Saya ga mau toleransi lagi kalau ada yang berani berbuat curang!” lantang Bu Yuli berbicara ditujukan ke seluruh kelas.

AS bertukar duduk dengan Riri, sehingga aku sekarang duduk bersebelahan dengan Riri dengan soal yang berbeda. Bu Yuli berlalu kembali ke mejanya dengan wajah kesal. Kesal karena tidak berhasil membongkar penyamaran AS juga kesal karena ada siswa yang mencoba berbuat curang meski beliau tak bisa membuktikannya.

Sejenak aku lirik AS, AS pun demikian. Melirikku dengan tatapan plong. Fiuh…lega. Wajah lempeng itu memang menyelamatkan nasib kami.

Banjarmasin, 15 Mei 09 – jika ingin nyontek, latihlah wajah lempeng Anda…

Sabtu, 16 Mei 2009

Nuansa Gang Selot di Resepsi Pernikahan Yolla dan Hans.

“Din, datang ya ke resepsi pernikahanku, tgl 16 Mei 09 nanti!” sebuah offline message Yahoo! Messenger masuk sekitar akhir April 2009.
“Tuh, aku tag juga undangannya di facebook!” lanjutnya lagi.

Yup! Yolla Chintya, teman lama, di SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor, mengundangku di acara pernikahannya. Lama aku tidak berjumpa Yolla sejak kami lulus 1993. Yolla melanjutkan karir menjadi pramugari dan saat ini bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di Dubai. Alhamdulillah, ternyata jodohnya pun –meski berasal dari Indonesia- juga bekerja di perusahaan yang sama. Aku menduga, pernikahan itu akan dilaksanakan di Dubai, tempat dimana dia bekerja sekarang.

Mengundang ke Dubai? Tidak mungkin lah aku bisa hadir!

Segera aku lihat undangan yang di-tag itu. Ternyata resepsi diadakan di Bogor, tepatnya di Sport Club Taman Padjadjaran. Segera aku tandai tanggal itu. Alhamdulillah, tanggal tersebut aku belum ada acara, meski sebelumnya ada jadwal pelatihan supervisor namun acara itu batal, sehingga insyaallah aku hadir.

16 Mei 2009

Sebenarnya ada 2 undangan untukku hari itu. Yang pertama, undangan informal jam 10.00 pagi di Gang Selot, acara ngumpul-ngumpul yang diprakarsai oleh Colino dan Erlan. Ingin rasanya aku datang ke acara itu. Maklum acara ngumpul-ngumpul seperti itu pasti akan selalu menyenangkan. Namun karena pagi itu aku ada sesuatu yang harus dilakukan bersama keluarga, maka aku batal hadir. Yang kedua, tentunya undangan formal resepsi pernikahan Yolla dan Hans. Untuk acara undangan resepsi ini aku sudah berjanji untuk hadir.

Malam itu aku dan keluarga bersiap-siap. Standar pakaian kondangan, batik dan celana warna gelap. Tak lupa aku menghubungi Ntik (Paramashanti) yang kebetulan sedang berada di Indonesia. Jauh-jauh hari memang kami sudah janjian akan datang bersamaan ke resepsi pernikahan Yolla. Jam 19.30 aku dan keluarga menjemput Ntik. Karena jarak yang sangat dekat, tidak sampai 5 menit, kami sudah tiba di tempat resepsi pernikahan itu.

Aku mengira, resepsi ini akan diadakan di sebuah gedung pertemuan. Namun dugaanku meleset. Ternyata wahana Sport Club disulap menjadi sebuah konsep resepsi pernikahan. Kolam renang menjadi pusat area resepsi, dihiasi bunga yang mengambang di atasnya, sementara lilin-lilin kecil berjejer melingkari pinggir kolam renang. Singgasana mempelai terdapat di ujung kanan, hiburan musik organ dan gitar terdapat di pojok dekat pintu masuk resepsi. Para tamu dipersilakan mengitari kolam sambil menikmati hidangan dan musik yang ditayangkan.

Aku dan keluarga, juga Ntik dan putrinya (Aya) segera menghampiri mempelai untuk memberikan selamat. Kedua mempelai tampak bahagia, senyum terus, dan tak berhenti mematut gaya untuk berfoto. Kamipun berfoto sebentar, kemudian –tentunya- makan.
“Ayo, ke sebelah sana makannya!” ujar Yolla. “Ada makanan Gang Selot, lho!”
Makanan Gang Selot? Oh, mungkin makanan sejenis yang ada di Gang Selot, bukan pedagang Gang Selot yang dibawa kesini, pikirku.

Namun dugaanku meleset. Aku kaget ketika pertama kulihat Mamang Doclang yang biasa mangkal di Gang Selot.
“Lho, Mang, kok disini?” tanyaku dalam bahasa Sunda.
“Iya, Neng, banyak kok yang lain, tuh ada siomay, toge goreng, es doger, es kelapa jeruk juga.” Jawab si Mamang Doclang.
Benar saja, aku melihat Abang Siomay, Mamang Toge Goreng, Bapak Tua Es Kelapa Jeruk, Mamang Es Doger, dan beberapa pedagang informal lain yang mangkal di Gang Selot. Yang tidak ada di resepsi itu adalah Warung si Joni! He..he..tentu saja tidak ada. Ngapain di resepsi pernikahan ada warung kelontong!

Satu per satu aku nikmati hidangan Gang Selot itu. Tak biasanya aku makan sebanyak itu di malam hari. Namun ini hidangan Gang Selot, tak mungkin aku lewatkan. Seolah balas dendam karena siang harinya aku batal menghadiri undangan ngumpul dari Erlan dan Colino di Gang Selot. Kucicipi doclang, siomay, toge goreng, es jeruk kelapa dan es doger. Tak peduli lagi aku dengan janji diet di malam hari. Hidangan Gang Selot membuatku luluh. Terima kasih Yolla dan Hans karena menghadirkan konsep unik di resepsi pernikahannya berupa hidangan Gang Selot.

Beberapa teman pada saat itu aku temui, selain Ntik, ada Assa Juliati Fumike, Linda, dan Tia. Sebelumnya beberapa teman juga hadir, namun segera undur diri karena ada keperluan lain. Sekilas reuni kami lakukan di sana, berfoto, ngobrol, dan tentu saja reuni dengan hidangan Gang Selot. Aku bersyukur, meski batal menghadiri acara ngumpul di Gang Selot, namun malam ini hidangan Gang Selot aku nikmati juga.

Untuk Yolla dan Hans, selain ucapan terima kasih atas konsep Gang Selotnya, aku dan keluarga mengucapkan selamat menempuh hidup baru, insyaallah sakinah, mawaddah, warahmah, dan “cetaklah” putra putri saleh dan salehah penerus agama dan bangsa. Amin.

Bogor, 16 Mei 2009 – sakinah, mawaddah, warahmah untuk Yolla dan Hans.

Minggu, 10 Mei 2009

Ikatan Erat Itu Bernama Phy3 1993

Pertengahan tahun 1991, kenaikan kelas dari kelas 1 ke kelas 2. Ada yang masuk kelas Fisika, Biologi, dan Sosial. Semua tergantung minat dan tentunya kecocokan nilai di rapot. Setelah melalui pemikiran panjang, batinku mengatakan Sosial, tapi akhirnya karena satu dan lain hal, aku memilih Fisika.

Di hari pertama sekolah, langsung diumumkan nama-nama di setiap kelas. Aku terdaftar di Physic3. Banyak nama yang aku sudah kenal namun juga tidak sedikit yang belum. Sempat beredar kabar, kalau beberapa teman dari berbagai kelas hendak mengajukan proposal ke dewan guru untuk pindah kelas. Motivasi mereka pindah kelas disebabkan kesamaan hobi yang mereka miliki. Misal beberapa teman yang jago basket, ingin berada dalam satu kelas, sehingga akan terbentuk tim basket yang kuat dan akan menjadi jawara di class meeting. Aku heran dengan ide itu, kalau para jagoan basket bergabung di satu kelas, dimana semangat kompetisinya, karena pastinya nanti akan terus menang.

Selanjutnya memang tidak ada yang pindah kelas dan inilah, Physic3 dengan keberagaman siswa siswi dari berbagai latar belakang. Awal-awal di kelas memang menjadi serba canggung, komunikasi hanya terjadi antara yang sudah kenal. Aku lupa awalnya, namun tiba-tiba aku sebangku dengan seorang siswa berkacamata, selalu terlihat serius, dan dia seperti siswa pintar yang kutu buku dan hobinya belajar. Dia adalah Dwi Trisno Susanto. Aku tidak kenal sebelumnya, namun dengan duduk sebangku malah persahabatan kami berdua berlanjut hingga saat ini.

Meski aku di kelas Fisika, namun aku gagap Fisika, juga Biologi apalagi Kimia. Agak lumayan di Matematika, namun istimewa di Sejarah. Terbayang, kan, betapa salah jurusannya aku saat itu. Tapi, Dwi lah penolongku, bukan…bukan…, aku bukan diajari Fisika oleh Dwi, tapi saat ulangan Dwi rela memberikan contekannya padaku, sehingga aku bisa lolos di berbagai ujian. Thanks, Dwi…

Sepanjang perjalanan, kelas memang mengalami berbagai dinamika. Ketua kelas pertama adalah Didit Heryadi, anak band, gondrong tanggung, meski berusaha berwibawa, tapi tetap “ga ja’im”. Ketua kelas kedua (di kelas 3) adalah Ahmad Yunianto, pemuda berkacamata, pendiam, tidak terlihat adanya wibawa, malah mungkin dia merasa terjebak untuk jadi ketua kelas. Sebagai suatu dinamika, kelas terbagi menjadi tiga bagian, sayap kiri, dimotori oleh beberapa siswa seperti Colino, Parto, Donny, Ferry, juga sang ketua kelas Ahmad. Ada sayap tengah, seperti Azwar, Anang, Didit, Wowo, Yadi, I’I dan beberapa anak lain. Juga pastinya ada sayap kanan, dengan salah satu anggotanya adalah Andi, Ican, Sidik, Dwi, dan aku.

Siswi perempuan? Rata-rata mereka duduk di depan sampai tengah, kecuali satu perempuan yang selalu di belakang, berpindah-pindah tiap sayap, kadang di kiri, tengah, bisa juga di kanan, yaitu Memes. Sebenarnya ada juga kelompok-kelompok kecil terbentuk, seperti kelompok Keluarga Van Danoe yang terdiri dari Ican, Dwi, aku, Fitri, Wieta, dan Kenny. Namun pengelompokan itu tidak serta merta menjadikan kelas terbagi menjadi beberapa strata, semua sama, semua bercanda, semua saling melindungi, tidak hanya sekedar sahabat, tapi layak disebut saudara.

Kelas Physic3 ini juga dihuni oleh banyak pengurus OSIS, dan beberapa pengurus organisasi intra sekolah lain. Sehingga pernah suatu waktu, ketika ada suatu kegiatan yang melibatkan banyak organisasi intra sekolah, kelas Physic3 benar-benar sepi dan hanya dihuni kurang dari sepuluh siswa. Kebandelan masing-masing anak di Physic3 ini pun memiliki kesan tersendiri, ada Ferry Cugito, anak sok iye (lihat catatan di Facebook, Murid Sok Iye vs Guru Sok Galak), ada tukang menyembunyikan tas (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 1), ada juga peristiwa menyembunyikan motor (lihat catatan Serius Amat Becandanya bagian 2) dan juga kisah sekelompok anak band (lihat catatan Jadi Anak Band di Tahun 90an).

Soal prestasi akademis? Ada beberapa orang peserta olimpiade Fisika dan Matematika yang dimotori oleh si jenius Lukman Azis sampai kepada peserta olimpiade bahasa Inggris (bo’ongan) yang dimotori oleh Sidiq Rizaldi (lihat catatan Olimpiade Bahasa Inggris, Emang Ada?). Memang siswa terbaik di akhir masa sekolah tidak direbut oleh anggota kelas ini, namun nama-nama jenius kelas cukup menggetarkan dunia pendidikan di SMAN 1 saat itu.

Aku? Alhamdulillah, aku yang benci Fisika, Kimia, dan Biologi, cukup bisa bertahan di kelas itu, tentunya dengan bala bantuan contekan jika ulangan. Puncak prestasiku di kelas adalah menduduki ranking 47 dari 48 siswa! Luar biasa! Yang aku tak tahu sampai saat ini adalah siapa yang menduduki rangking 48, karena aku akan menyalaminya dan mengajaknya foto bersama.

Di akhir kelas tiga, kami harus mulai menentukan arah hidup kami, kemana kami akan melanjutkan kuliah. Setiap orang punya pilihan dan itu berarti saatnya berpisah. Hari-hari terakhir menjadi hari yang mengesankan bagi kami. Pasca Ebtanas, meski tak ada pelajaran apapun, kami tetap berkumpul, tertawa, bercanda. Seolah enggan kami melepaskan waktu sedetik saja untuk jauh satu sama lain, enggan beranjak sekejap saja dari ruang kelas, dan enggan memalingkan muka dari bangunan kuno yang ikut mendidik kami.

Seperti lazimnya sebuah komunitas yang akan berpisah, kami sepakat untuk mengadakan perpisahan kelas. Bertempat di salah satu villa di Puncak, kami berkumpul di sana. Tidak semua 48 siswa hadir, namun tidak mengurangi kebersamaan kami. Acara puncaknya adalah ketika kami menyalakan api unggun, berdiri melingkar, dan saling mengungkapkan rasa haru akan kehilangan. Hati kami seolah sepakat bahwa meski kami berpisah, namun tidak akan pernah benar-benar berpisah. Karena persahabatan itu ada di hati yang tak mungkin sirna hanya karena jarak.

Acara api unggun diawali dengan pidato dari Didit Heryadi selaku ketua kelas pertama, sepertinya agak enggan Didit bicara. Tak biasanya memang. Biasanya Didit akan sigap jika diminta bicara, namun saat itu Didit terlihat gagap, tercekat, kelu, dan hanya mengucapkan beberapa patah kata tersendat,
“Wa..walau..pun kita ber…jauhan…, tapi kita sepakat…untuk tidak saling melupakan…!”terlihat jelas air mata mengalir di pipinya, seiring itu, air mata kelas pun menggenang dan mengalir membasahi pipi. Tak ada yang mampu menahan genangan air mata itu.

Selanjutnya Ahmad Yunianto selaku ketua kelas terakhir, didaulat untuk bicara. Dalam senggukannya, sebenarnya Ahmad menolak, namun tuntutan jabatan memaksa dia bicara. Setali tiga uang dengan Didit, lidahnya pun kelu, tak mampu bicara selain,
“Se..moga sukses…buat teman-teman semua…, insyaallah kita tetap dipertemukan!” begitu kira-kira ucapan Ahmad. Ucapan itu semakin menenggelamkan suasana malam itu, angin Puncak yang dingin menambah kebekuan hati dan tak mampu dihangatkan oleh genangan air mata yang membasahi pipi.

Acara api unggun ditutup dengan saling bersalaman, saling berkeliling menyalami satu per satu di antara kami. Pelukan erat saling ditautkan, sangat erat, menyesakkan dada, seolah enggan terlepas. Aku benar-benar tak mampu menguasai hati, air mata seolah tak habis mengalir saat kupeluk teman-teman laki-laki dan kusalami erat teman-teman perempuan. Saking terharunya aku, aku salah ucap ketika menyalami seseorang. Diawali dengan keliling bersalaman, aku tiba di barisan perempuan, di mataku kulihat Rina menjulurkan tangan menerima jabatku. Dalam senggukan, aku berkata,
“Rina, maafin gua ya, kita akan ketemu lagi, kan?” ujarku lirih
Namun apa yang aku dengar benar-benar di luar dugaan,
“Heh, ini bukan Rina, ini Kenny, gimana sih, lu!” ujar Kenny sedikit membentak.
Ternyata aku salah orang, namun kejadiannya menjadi lucu karena aku dan Kenny tertawa sambil tetap menangis mengalirkan air mata.

Saat itu, kami sepakat untuk tetap menjaga silaturahmi, tetap akan terus menjaga ikatan ini. Di tahun-tahun selanjutnya kami tetap sepakat bertemu, berkumpul. Ajang buka puasa bersama menjadi momen tahunan yang wajib kami hadiri. Selanjutnya karena sebagian besar diantara kami sudah memiliki keluarga, maka ajang buka puasa bersama diganti menjadi halal bil halal, namun dengan tetap dalam koridor reuni. Istimewanya, sejak kami lulus tahun 1993 sampai saat kami masih bernafas saat ini, kami tetap saling berkumpul dalam ajang satu tahun sekali tersebut., Tidak pernah satu kalipun acara itu absen dari jadwal kami. Memang tidak semua 48 siswa bisa berkumpul, namun tetap tidak mengurangi kebersamaan kami. Jika dihitung-hitung berarti kami telah bereuni sebanyak 16 kali sejak 16 tahun lalu kami berpisah.

Insyaallah, kami tak bisa dipisahkan.

Palembang, 4 Mei 09 : demi sebuah ikatan bernama Phy3 1993

Sabtu, 09 Mei 2009

Ada Senyum Di Tengah Rasa Sakit

Seperti diceritakan oleh Paramashanti Oktarianto

Mama : Ntik, Papa sakit, diabetesnya kambuh lagi, mesti masuk rumah sakit!

Pesan singkat di offline message Yahoo Messenger itu mengagetkanku. Duh, Papa masuk rumah sakit. Ingin rasanya aku terbang ke Bogor saat itu juga, menemui Papa dan ikut merawat. Tapi aku di Nagoya, ribuan kilometer jauhnya dari Bogor. Seandainya ini Jakarta, cukup dengan taksi, dalam 1 jam aku sudah sampai di Bogor. Seandainya ini Bandung, cukup dengan travel, dalam 3 jam aku sudah sampai di Bogor. Offline Message itu terkirim 5 menit yang lalu, berarti belum lama, segera aku meraih telepon untuk melakukan sambungan internasional ke Mama. Belum sempat aku memencet nomor, telepon itu sudah berbunyi. Mama! Tertulis di layer telepon.

“Halo, Mama, Assalamualaikum! Papa gimana? Sekarang udah masuk rumah sakit? Kadar gulanya berapa? Rumah sakit mana?” setengah panik aku bertanya semua hal pada Mama, seolah aku ingin mendapatkan semua jawaban pertanyaan itu dalam satu kalimat dari Mama.

“Walaikumsalam, hei..hei… kamu nanya kok ga berhenti-berhenti! Papa udah masuk PMI Bogor, udah di VVIP, udah dirawat sama dokter ahlinya. Kamu ga usah panik, insyaallah Papa ga apa-apa.” tenang Mama menjelaskan semua.
“Ntik, mau pulang Ma!” setengah menangis aku merajuk pada Mama
“Engga…engga, ga usah. Ga apa-apa kok, kamu di sana aja.” ujar Mama
“Sekarang gimana keadaan Papa?” lanjut ku
“Udah dikontrol sama dokter, luka gangren nya agak parah, udah pendarahan dan ada nanah, jadi mesti di operasi.” Mama menjelaskan detil di telepon.

“Aku pulang, ya Ma!” tetap saja aku merajuk. Aku tak lagi mampu berpikir, yang ada di pikiranku hanya pulang.Tak peduli dengan kerjaan di lab, tak peduli dengan janji bimbingan dengan sensei, tak peduli! Aku ingin pulang! Titik!
“Engga usah, Sayang! Papa ga apa-apa, udah kamu ga usah khawatir, berdoa aja, nanti Mama kabarin setiap dua kali sehari, lewat chatt aja ya!” lagi-lagi Mama mencoba menghibur

Pembicaraan berakhir, aku sedikit tenang setelah Mama telepon, namun tetap tidak bisa lagi konsentrasi dengan pekerjaanku. Untungnya bagian penting telah aku selesaikan kemarin, untungnya tadi malam aku begadang sampai subuh untuk menyelesaikannya. Hari itu aku tak tahu mesti mengerjakan apa, laptop aku nyalakan terus, YM aku aktifkan terus, sesekali ada sapaan dari beberapa teman, sedikit aku chatt dengan mereka sekedar untuk melupakan kekhawatiran. Tiba-tiba masuk chatt dari Mama, segera ku buka dan membaca.

Chatt ku dengan Mama lebih banyak diisi mengenai kondisi Papa. Secara umum kondisinya stabil, diabetes memang sulit diobati, semua akan tergantung pengawasan terhadap makanan dan kondisi psikologis. Alhamdulillah, Papa seorang dokter sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Namun ada cerita unik yang diceritakan Mama mengenai sakitnya Papa. Kira-kira begini ceritanya.

Masuk rumah sakit PMI, ternyata kamarnya penuh, terutama kamar VVIP yang memang diinginkan oleh keluarga. Namun tidak bisa ditawar lagi, Papa harus masuk rumah sakit. Rumah sakit lain? Tidak! Karena dokter yang menangani Papa berpraktek di PMI. Untuk sementara –sambil menunggu kamar kosong- Papa ditempatkan di ICU selama kurang lebih 2 jam. Beruntung karena 2 jam kemudian, ada kamar VVIP kosong, ditinggalkan oleh pasien sebelumnya yang telah sembuh. Setelah menunggu proses sterilisasi ruangan, Papa masuk dan istirahat sambil menunggu pemeriksaan lanjutan.

Pada saat di ruangan, ditunggui oleh Mama dan Kakak-kakak, tiba-tiba datang seseorang ke ruangan itu, mengetuk pintu,
“Assalamualaikum.” ujarnya
“Waalaikumsalam” serempak keluarga menjawab.

Ternyata ada seseorang yang didampingi ajudannya, menjenguk Papa. Mama mengenal orang itu yang tak lain adalah Bapak Diani Budiarto, Walikota Bogor. Mama heran,
“Lho, kok Pa Walikota datang menjenguk?” batinnya.
“Eh, maaf, kok yang sakit bukan Bapak A, ya?” bertanya Pak Walikota.
“Oh mungkin sudah pulang, Pa, tadi sebelum kami masuk.” Mama mencoba menjelaskan.
“Wah iya ya, terlambat saya, tapi tidak apa-apa, saya jenguk Bapak aja, Bapak sakit apa?” lanjut Pa Walikota. Dan akhirnya pembicaraan berlanjut, agak lama Pa Walikota “menjenguk” dan ngobrol dengan Papa. Alhamdulillah, di hari pertama Papa masuk rumah sakit sudah dijenguk oleh orang nomor satu di Kota Bogor.

Diakhir “kunjungan” Pa Walikota,
“Baik, saya pamit dulu Pa Bambang, insyaallah Bapak cepat sembuh, jangan lama-lama di sini.” ujarnya
“Terima kasih, Pa” jawab Papa
“Ini ada sekedarnya dari saya” Pa Walikota menyelipkan amplop saat bersalaman dengan Papa.
“Eh ga usah, Pa, kok jadi ngerepotin!” ujar Papa
“Ga apa-apa Pa, insyaallah berkah!” ujar Pa Walikota sambil meninggalkan ruangan.
“Terima kasih, Pa” serempak keluarga menjawab

Sekeluarga tersenyum mengingat peristiwa tadi. Diawali ketidaksengajaan, Pa Walikota “menjenguk” Papa, mengobrol cukup lama, dan terakhir menyelipkan amplop. Luar biasa hari ini, Allah SWT mengirimkan hiburan bermakna sehingga ada senyum di tengah rasa sakit Papa.

Bogor, 26 April 09 – Papa harus sembuh…

Sabtu, 02 Mei 2009

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit!

Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Mungkin jika kita mendengar ungkapan itu pada saat ini, komentar yang muncul adalah, “Kayak guru SD aja, nih!” atau “Kayak Ibu atau Bapak gua aja!” atau banyak komentar lain sejenis yang bernada sama. Tapi jika kita renungkan, sebenarnya makna ungkapan tadi teramat dalam. Ada juga yang menyebut cita-cita itu suatu mimpi. Banyak penulis membuat buku mengenai mimpi. Tak perlu disebutkan siapa, pastinya pembaca tahu siapa saja penulis ternama itu.

Berikut beberapa tulisan ringan mengenai cita-cita atau –sebut saja- mimpi.

Renungan 1
Suatu hari seorang kerabat keluargaku membutuhkan seorang supir untuk keluarga mereka. Keluarga ini baru saja membeli mobil –bekas memang- untuk kepentingan antar jemput putra putri mereka sekolah, kursus, dan keperluan lain. Kebetulan suami istri dari keluarga ini sama-sama bekerja, sehingga kedua putra putri mereka diasuh oleh babysitter dan membutuhkan supir untuk mengantar mereka beraktivitas. Kebetulan aku punya kenalan seorang supir, aku coba tawarkan kenalanku tersebut ke keluarga kerabatku tadi.

Namun sebelumnya, aku tidak mau gegabah, tidak mau sembarangan menawarkan orang. Aku perlu menginterview calon supir ini. Aku merasa bertanggung jawab akan apa yang dilakukan orang ini jika diterima menjadi supir pribadi di sana. Syukur-syukur jika kinerjanya bagus, jika tidak, tentunya aku yang menanggung malu. Singkat kata, aku panggil calon supir pribadi tadi, sebut saja namanya S. Pertanyaan standar interview kerja aku berikan padanya, mulai dari profil pribadi, kelengkapan SIM dan KTP, hingga pengalaman kerja. Ternyata selama ini, dia berpengalaman cukup lama jadi supir angkot dan supir toko bangunan. Mobil yang selama ini dibawa tentunya tidak se”mewah” mobil pribadi yang akan dibawanya nanti, demikian pula dengan cara mengendarainya.

Aku mulai ragu, cukup telatenkah dia membawa mobil pribadi? Ya sudahlah, dicoba saja. Semoga cocok. Namun bukan itu yang membuatku tersenyum, justru pernyataan terakhirnya padaku sebelum dia pergi, yaitu,
“Semoga saya diberi kesempatan, Pa, karena cita-cita saya dari dulu adalah menjadi supir pribadi!” ujarnya mantap penuh harap.
Aku tersenyum mendengarnya. ”Segitu sajakah cita-citanya?” batinku. Memang benar, pendidikannya tidak cukup memadai untuk menjadi seorang yang memiliki profesi mapan lainnya. Namun tentunya ada cita-cita lain yang jauh lebih tinggi, lebih memotivasi, dan lebih ambisius dibanding supir pribadi. Ataukah itu cita-cita ambisius yang boleh diimpikan oleh seseorang berpendidikan SMP seperti dia?

Renungan 2
Aku punya adik sepupu, perempuan, usianya saat itu 15 tahun, kelas 3 SMP. Dia –bersama seluruh kerabat keluargaku yang lain- tinggal di salah satu desa di daerah Katulampa Bogor. Suatu hari, disela-sela kesibukanku bekerja, aku mendatangi desaku itu. Sekedar untuk bersilaturahmi sambil menikmati kembali masa kecilku di desa. Secara kebetulan adik sepupuku ada disana, kami saling bicara, menanyakan kabar masing-masing. Nama adik sepupuku itu Y.
“Aa sehat?” ujar Y
“Alhamdulillah!” ujarku singkat
Beberapa dialog basa-basi terjadi antara kami. Hingga sampailah pada suatu pembicaraan mengenai pendidikan terakhir Y.
“Kelas berapa sekarang” tanyaku
“Kelas 3 SMP”jawabnya
“Wah, sebentar lagi SMA, dong!”
“Engga ah, ga mau nerusin ke SMA!”
“Lho, kenapa?” kaget aku mendengar keengganannya masuk SMA.
Di desa itu memang warganya tidak terlalu mementingkan pendidikan, apalagi perempuan. Jika diukur demografi, sedikit sekali warga desa itu berpendidikan SMA, selebihnya SMP, bahkan SD pun tak lulus.
“Soalnya, Y pengen jadi penjaga toko di Pasar Bogor, katanya cukup sampai SMP aja!” polos Y menjawab pertanyaanku.

Duh, penjaga toko? Pola pikir “penjaga toko cukup sampai SMP” itu menyebabkan Y hanya mau bersekolah sampai SMP? Berkali-kali aku coba meyakinkan agar dia melanjutkan ke SMA, toh soal biaya, bisa ada banyak yang akan membantu. Namun “mimpi” menjadi penjaga toko itulah menghancurkan segalanya, menghancurkan kelanjutan sekolahnya, bahkan mengubur kesempatan dirinya untuk menikmati jenjang pendidikan lebih tinggi.

Renungan 3
Anaku –Aidan- punya banyak cita-cita. Cita-cita yang dia punya pun berganti-ganti. Tergantung dari mainan apa yang saat itu dia sukai. Namun semua cita-cita yang diungkapkan membuatku berdoa, “Duh, semoga cita-cita itu hanya sekedar omongan anak balita!” Cita-cita yang dia ungkapkan memang “aneh-aneh” setidaknya menurutku.

Aidan sangat menyukai kereta api, sudah “belasan gerbong” kereta api mainan dibeli, dirangkai satu per satu sehingga berjalan memanjang di atas rel. Seringkali aku mengajaknya naik KRL Bogor – Jakarta –tentunya di hari Sabtu- sekedar untuk memberikan pengalaman padanya naik kereta. Sepanjang jalan, matanya tidak terpejam sedikitpun karena begitu menikmati naik kereta api. Suatu hari, di tangah perjalanan KRL, Aidan berdialog denganku.
“Pap, kereta paling depan itu apa namanya?” tanyanya
“Itu namanya lokomotif, yang menarik kereta, disitu ada masinisnya.” jawabku lengkap, dengan maksud agar Aidan tidak lagi bertanya, karena saat itu aku mengantuk dan ingin tidur.
“Masinis itu apa?” tanyanya lagi, memang anak kecil selalu ingin bertanya.
“Masinis itu supir kereta api!”jawabku sekenanya.
Beberapa saat Aidan terdiam, sambil terus matanya memperhatikan jalan, sampai tiba-tiba dia berkata,
“Pap, nanti kalau aku sudah besar, aku mau jadi masinis kereta api, ya!” lugas Aidan berkata.
Hah! Masinis kereta api? Duh, dengan segala hormat pada profesi masinis, aku berharap Aidan jangan jadi masinis kereta api. “Pilihlah cita-cita yang lain, Idan!” batinku.

Namanya juga anak kecil, aku anggap cita-cita itu sekedar khayalan dia akan mainan yang dimilikinya. Terbukti beberapa waktu kemudian, cita-cita itu berubah. Saat itu, mainan kesukaannya memang berganti, dari kereta api ke truk container. Sehingga dengan lugas pula Aidan berkata,
“Pap, kalau aku besar, aku mau jadi supir truk container, ya!” ujarnya

Hah! Duh…Idan..Idan…

Bogor, 2 Mei 2009 – sebuah mimpi di Hari Pendidikan Nasional.

Selasa, 28 April 2009

Ajaibnya Persahabatan : Antara Garut - Jogja Dan Air Mata Berpisah

Awal pertemuan kami -tim KKN Desa Ciburial Kecamatan Leles Kabupaten Garut, 10 orang mahasiswa berbagai jurusan di Universitas Padjadjaran- terjadi saat kami dikumpulkan di Lapangan Kecamatan Leles. Sebenarnya pada saat pembekalan beberapa hari sebelumnya, kami diwajibkan berkumpul, namun sepertinya tidak seluruh anggota tim hadir disana. Sehingga, 10 orang hadir lengkap justru pada saat hari pertama kami di desa. Terus terang awalnya aku pesimis bisa akrab dengan rekan-rekan baru di tim KKN. Perkenalan pun hanya dingin-dingin saja, dan tidak ada satupun diantara mereka yang aku kenal dengan baik. Anggota tim kami adalah
1. Yana Haryana alias Ohim, mahasiswa Jurusan Ilmu Penerangan FIKOM, bergaya preman –mungkin memang preman, karena akrab dengan daerah Cicadas dan geng Brigez di Bandung- orang yang super cuek, easy going, dan bersikap dingin. Gawatnya lagi, orang super cuek inilah yang menjadi Ketua Kelompok KKN ini. Aku sempat ragu. Namun keraguan itu terjawab selama dua bulan KKN, karena justru Ohim menjadi Ketua Kelompok yang paling bertanggung jawab bagi tim.
2. Lenny Setyawati, dari Jurusan Antropologi FISIP, perempuan berjilbab yang keras, bergaya militer, berani melawan sesuatu yang tidak sesuai prinsipnya, namun selama 2 bulan KKN, Lenny bisa berperan menjadi ibu bagi semua anggota tim.
3. Eni atau Enyim, mahasiswi Hukum, perempuan berjilbab, pendiam, dingin, bermata tajam, dan selalu berpakaian hitam. Selama dua bulan itu, sikap misterius nya sirna dan justru muncul kecerewetannya, dari dialah muncul istilah “cuni” yang merupakan kependekan dari cunihin (bahasa Sunda kira-kira artinya :genit).
4. Yuyus, perempuan berjilbab, dari Jurusan Biologi FMIPA, dari cara bicaranya yang lamban ala putri Solo (tapi tetep Sunda), dan mendayu-dayu, Yuyus sering menjadi bahan tertawaan, namun ide briliannya seringkali menjadi inspirasi bagi tim.
5. Eva, perempuan berjilbab, mahasiswi Peternakan, sering memberi masukan pada teman, sikapnya yang berprinsip memberikan warna tersendiri bagi tim.
6. Profiawati, anak Sekda Sumedang, dari Jurusan Farmasi, cenderung pendiam, namun tetap baik hati. Bantuan logistik dari orang tuanya sangat membantu tim dalam menjalankan operasional. Thanks, Profi.
7. Sonja Hakim atau Nyonyo, mahasiswi Sastra Jerman, gadis pendiam tapi gaul, selalu tertempel earphone dari walkmannya sambil menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik, agak kesulitan menyesuaikan diri di desa itu terutama karena tidak ada TV. Namun lama-lama suasana heboh dari personil tim mampu membuatnya lupa akan TV.
8. Hadian Gumilang atau Dian, mahasiswa Pertanian, bergaya pria metropolis berkultur Sunda, modis, dan penuh celetukan canda tak terduga, dan bilamana mendengar celetukan itu, maka tak habis tawa berderai. Di tasnya selalu tersimpan berbagai perlengkapan kosmetik ala pria metropolis. Jika akan tidur dan bangun pagi, walkman selalu tertempel di telinganya.
9. M. Ridwan alias Iwan, mahasiswa Ekonomi Studi Pembangunan, tipikal pria perkotaan, seringkali terlambat nyambung jika kita mentertawakan suatu hal, namun luar biasa baik hati terutama pada perempuan yang ingin didekatinya.
10. Terakhir, aku, Dindin Suzaridian, mahasiswa Hubungan Internasional, jadi tangan kanan Ohim selaku Wakil Ketua Tim, jadi sansak omelan Lenny jika dia marah, paling banyak dibilang cuni alias cunihin oleh Enyim, paling banyak dibilang “Iiihhhh, Dindin maaahhhh….!” oleh Yuyus dengan gaya putri Solo ala Sunda, paling banyak dikritik oleh Eva dan dibilang, “Dindin, norak ah, kalau gitu caranya!”, paling sering didiamkan oleh Profi, paling sering diajak konsultasi oleh Nyonyo mengenai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia saat itu, paling sering meminta lotion nya Hadian dan mencoba-coba gaya pria metropolisnya, dan paling susah nyambung kalau ngomong dengan Iwan.

Itulah anggota tim KKN saat itu. Dihadapkan pada kesederhanaan desa, minimnya fasilitas informasi, dan karakter yang belum pernah berpadu sebelumnya, menambah pesimismeku akan kompaknya tim ini. Tak ada TV, tak ada kasur empuk, atau kamar mandi permanen. Bagi kami –terutama tim laki-laki- hanya ada tikar di lantai dalam ruangan 1,8 x 3 meter untuk berempat plus tembok yang penuh lumut, kamar mandi yang harus nimba jika ingin mandi, dan jika kami tidur, ujung kepala dengan ujung kaki kami akan saling menempel di tembok berlumut itu. Bagi sebagian orang itu mungkin penderitaan, tapi bagi kami, itu jadi pengalaman meski aawalnya terpaksa.

Tak diduga sebelumnya, di tengah kondisi seperti itu, justru kami menjadi tim yang luar biasa padu, tak pernah berhenti tawa, dan kompak melakukan bedol desa diam-diam untuk pergi ke Jogja! Ya, Jogja, ratusan kilometer dari Garut, tanpa ada warga desa yang tahu, kami menghilang sekitar 5 hari.

Semua berawal dari pembicaraan mengenai rumah dinas orang tua Nyonyo di Banjarnegara. Banjarnegara tidak terlalu jauh ke Jogja, mungkin sekitar 4 jam perjalanan darat. Nyonyo menjanjikan kita bisa menggunakan kendaraan orangtuanya menuju Jogja. Kami nekat pergi meninggalkan desa di tengah malam. Ibu kost keheranan, mengapa pergi semalam ini? Kami katakan bahwa, kami harus mengerjakan tugas besok pagi di Bandung dan membutuhkan waktu 1 minggu untuk menyelesaikannya. Duh! Maafkan kami Ibu, kami telah berbohong.

Total kami menghabiskan 5 hari, termasuk didalamnya perjalanan 8 jam dari Bandung ke Purwokerto. Melelahkan! 8 jam duduk berdesakan di kereta kelas ekonomi, namun menyenangkan. Pagi sekitar jam 9, setiba di Purwokerto, kami melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara menggunakan angkutan umum. Banjarnegara merupakan salah satu area pembangkit listrik tenaga air terbesar di Jawa Tengah, yang memasok listrik di sekitar Jawa Tengah. Ayah dari Nyonyo merupakan petinggi di PLTA tersebut. Jam 12 siang kami tiba di kediaman orang tua Nyonyo, langsung makan, istirahat untuk bersiap menuju petualangan esok hari. Siang hingga malam hari, tak ada yang kami lakukan kecuali bersantai, makan, menonton TV, dan tertawa.

Esok harinya, dengan menggunakan kendaraan keluarga Nyonyo, kami menuju Jogja, berkeliling, menginap di hotel dalam gang seharga 25 ribu per malam. Kami menyewa 2 kamar, untuk laki-laki dan untuk perempuan, berdesakan dalam 1 kamar. Tidak penting hotel mewah, yang penting cukup untuk tidur beberapa jam. Di Jogja kami menikmati hari, seolah turis, kami berkeliling ke pelosok Jogja, dan lupa bahwa kami ini adalah pelarian mahasiswa KKN dari Garut.
Dua hari satu malam kami habiskan di Jogja, tak banyak kami belanja, lagian uang kami pun terbatas, cukup untuk makan dan sedikit oleh-oleh. Namun yang penting kebersamaan luar biasa yang kami dapatkan di sepanjang perjalanan. Kepulangan kami ke tanah Jawa Barat, relative sama, menggunakan kendaraan yang sama, kereta api yang sama, dan kembali ke Garut dengan bis yang sama.

Di Garut kami kembali ke rutinitas biasa, mengikuti ritme kehidupan Desa Ciburial, tanpa ada warga yang tahu jika kami baru saja selesai bertualang ratusan kilometer dari Garut. Petualangan di Jogja itulah menjadi puncak keakraban kami. Momen penting persahabatan seumur jagung 10 orang dari latar belakang berbeda dan belum pernah kenal satu sama lain sebelumnya.

Tak terasa KKN berakhir, ada rasa bahagia karena tugas kami selesai, ada rasa haru tatkala meninggalkan desa terutama ibu kost, ada rasa “hilang” saat kami bersepuluh harus berpisah. Ternyata 60 hari cukup bagi kami untuk saling dekat, cukup bagi kami untuk merasa sama, sama-sama menderita, sama-sama bahagia, dan sama-sama haru. Tak terasa pula air mata menggenang, bahkan jatuh menetes, mengalir hangat memanjakan pipi.

Bogor, 25 April 09 – untuk 10 orang itu...

Senin, 27 April 2009

Pengamen Cantik Idola Para Penumpang

Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta – Bogor banyak menyimpan cerita. Berbagai kisah kehidupan terjadi di sana. Selain warna warni penumpang, KRL juga dipenuhi serba serbi pencari nafkah, mulai dari pedagang asongan, pengemis, dan –tentu saja- pengamen. Khusus pengamen, memang dimaksudkan menjual jasa menghibur penumpang demi beberapa gelintir uang logam yang dimasukan ke dalam kantong permen.

Pengamen juga sangat beragam, mulai dari anak kecil bermodalkan kecrekan tutup botol yang dirangkai di kayu kecil, atau pemuda bermodalkan gitar lusuh penuh stiker Iwan Fals, atau seorang ibu yang bermodalkan sound system gendong dan bernyanyi seolah-olah berada di karaoke, atau juga sekelompok pemuda yang membawa peralatan band lengkap meski tetap sederhana.

Biasanya, pengamen yang lumayan menghibur adalah sekelompok anak muda dengan peralatan band lengkap, karena selain cara bermusik yang relatif serius, mereka juga memainkan lagu-lagu terupdate yang dikenal luas saat itu. Pengamen kecrekan? Mohon maaf, seringkali malah mereka bernyanyi tidak karuan. Pengamen gitar tunggal? Maaf juga, main gitarnya seringkali asal-asalan dan fals, mungkin disesuaikan dengan stiker Iwan FALS yang tertempel di gitar mereka. Pengamen karaoke? Selain terkadang fals, juga suara sound system nya yang tidak bisa balance dan berisik luar biasa.

Di semester akhir aku kuliah, aku tidak lagi kost di Cikini. Aku lebih memilih pergi pulang, Bogor –Jakarta menggunakan –tentunya- KRL Kelas Ekonomi. Pada saat itu, sudah tidak ada lagi kuliah kelas dari jam 8.00 pagi hingga 17.00 sore. Ke kampus bisa lebih santai, setiap hari berangkat jam 9.00 pulang jam 15.00, sehingga terhindar dari berjubelnya penumpang KRL yang mewarnai setiap hari.

Setiap pagi di KRL, tak sadar aku selalu menunggu-nunggu hadirnya sekelompok pengamen dengan alat musik lengkap di KRL. Sekelompok pengamen itu terdiri dari dua orang pemain gitar, satu orang pemain bas betot, dan satu orang pemain drum kecil yang hanya terdiri dari dua buah sner dan satu simbal. Vokalisnya biasanya merangkap bermain gitar. Mereka bermain dengan apik, sound yang rapi, dan lagu-lagu hits saat itu. Satu hal yang menjadi istimewa adalah salah satu pemain gitarnya adalah seorang perempuan cantik, berkulit putih, berperawakan relatif tinggi, dengan lesung pipit yang muncul tatkala perempuan itu tersenyum.

Mereka selalu muncul di sekitar Stasiun Citayam, mereka muncul saat penumpang tidak terlalu sesak, sehingga peralatan band mereka bisa masuk dengan leluasa. Ketika mereka masuk gerbong, aku melihat penumpang lain pun seolah menyambut gembira kedatangan mereka, tak jarang ada penumpang –biasanya laki-laki- yang bertepuk tangan dan bersiul menggoda atas kehadiran mereka.

Ketika bernyanyi, penumpang pun terdiam menikmati penampilan mereka. Yang tadinya ngobrol, rela menghentikan obrolannya untuk sejenak melihat mereka bernyanyi. Khusus para penumpang laki-laki, tentunya mereka menikmati kecantikan sang perempuan pemain gitar. Lagu demi lagu hits mereka bawakan seolah tak terasa. Tak jarang penumpang meminta tambahan lagu di luar lagu yang mereka bawakan. Meski tidak setiap hari aku melihat mereka bermain, namun setidaknya 3 kali dalam seminggu aku bisa melihat mereka bernyanyi.

Satu hal yang cukup cerdas mereka lakukan adalah dengan mengutus si perempuan cantik pemain gitar untuk mengedarkan kantong permen ke penumpang. Dan akibatnya memang bertumpuklah uang seribuan –bahkan limaribuan- di kantong permen yang diedarkan. Godaan dan colekan menjadi hal biasa baginya. Namun aku melihat perempuan itu tetap bisa menjaga dirinya dengan tidak menanggapi godaan-godaan itu.

“Neng, namanya siapa?”

Atau

“Neng, rumahnya dimana?”

Atau

“Neng, ntar Abang anter pulang ya?”

Begitu sapaan-sapaan nakal dari para penumpang pria mencoba menggoda. Tak jarang juga aku melihat tangan jahil penumpang yang mencoba memegang tangan si perempuan cantik pemain gitar itu ketika mengedarkan kantong perman. Namun teman-teman band nya yang lain pun terlihat melindunginya.

“Maaf, Bang, kita cuma mau nyari nafkah halal. Maaf, ya Bang.” dengan sopan teman-teman pemain band lain melindunginya. Penumpang pun segan dibuatnya.

Akupun spontan menyediakan uang seribu rupiah –kalau limaribu, duh waktu itu masih terlalu besar bagiku untuk diberikan kepada pengamen- untuk ikut berpartisipasi menghargai jerih payah mereka. Selain karena penghargaan atas keindahan musik mereka, juga karena aku menghargai upaya mereka untuk tidak hanya berdiam diri dan menganggur di rumah. Dan tentunya juga karena perempuan cantik pemain gitar itu. He..he..

Aku juga melihat keseriusan mereka dalam mencari nafkah, mereka bernyanyi sungguh-sungguh, tidak asal bunyi, tidak sekedar bernyanyi asal-asalan untuk kemudian minta uang. Rasanya itu perlu penghargaan lebih layak dibanding pengamen lain yang terlihat beda tipis antara benar-benar mengamen, mengemis, atau bahkan memalak.

Semoga saja hasil jerih payah mereka bisa bermanfaat dan tentunya digunakan untuk kebaikan. Amin

Bogor, 19April 2009 – untuk para seniman di KRL Jakarta – Bogor.

Minggu, 26 April 2009

Bapak Tua Itu Tiada Henti Mencari Nafkah

Suatu hari, 10 tahun yang lalu di Kereta Api Kelas Ekonomi Bogor – Jakarta

Hari itu aku berangkat kuliah agak siang. Di akhir masa kuliah ini, ke kampus hanya untuk bimbingan atau mencari bahan untuk thesis. Jadi tidak terikat waktu dan hanya tergantung dari jadwal dosen pembimbing.

Aku naik kereta yang jam 9an –waktu tepatnya aku lupa-, beli karcis dan ambil gerbong paling belakang. Aku ambil tempat duduk yang dekat pintu dengan maksud, jika penumpang penuh, maka aku akan dengan mudah keluar jika telah sampai tujuan.

Tak lama, datang seorang bapak tua, usia sekitar 70an (bapak tua itu sendiri lupa akan usianya), membawa karung besar yang digendong di punggungnya. Tertatih bapak tua itu menaiki kereta, yang tangga masuknya cukup tinggi, dengan reflek aku mengulurkan tangan untuk menarik bapak tua itu masuk ke kereta. Bapak tua itu tersenyum,

“Terima kasih, Dik” ujarnya.

Note : semua dialog dengan bapak tua itu dilakukan dalam bahasa Sunda, untuk kepentingan umum, aku terjemahkan ke bahasa Indonesia

Bapak tua itu mengambil tempat di sebelahku. Penumpang saat itu masih sepi, hanya beberapa gelintir saja di gerbong itu, sehingga penumpang masih bebas memilih duduk, selain itu juga jam itu bukanlah jam sibuk untuk jalur Bogor – Jakarta.

Karung yang digotong tadi dimasukannya ke kolong kursi kereta. Saking besarnya karung itu, kolong kursi kereta tidak mampu menutupinya, sehingga karung tersebut agak menonjol keluar kursi dan menyebabkan kaki kami –aku dan bapak tua itu- agak diselonjorkan ke depan.

“Mau kemana, Dik?” bapak tua itu memulai pembicaraan.
“Mau ke Gondangdia, Pa?” ujarku pendek. Sebenarnya aku tipe orang yang enggan berbicara dengan orang yang belum aku kenal, jadi ketika bapak tua itu mengajak bicara, aku sekenanya saja menanggapi.
“Kerja atau kuliah?” tanyanya lagi
“Kuliah, Pa” jawabku.
“Oh begitu” pendek bapak tua itu menanggapi.
Untungnya, bapak tua itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan “kuliah dimana?”, “jurusan apa?”, aku akan sangat kerepotan menjelaskannya, karena tempat kuliah ku memang relatif jarang diketahui orang.

Kereta berjalan, sesuai jadwal.

Tak lama, aku merasakan ada yang aneh di bawah kakiku. Aku lihat ke kolong kursi, dan ternyata keanehan berasal dari karung yang dibawa si bapak tua. Karung itu bergerak-gerak. Seperti ada sesuatu yang meloncat-loncat di dalamnya. Ular, kah itu? Entah kenapa pikiran ku langsung mengarah ke adanya ular. Ku beranikan diri bertanya ke bapak tua itu, padahal sejak dari awal kereta berjalan aku tidak berbicara apapun dengannya selain dialog awal tadi.

“Apa ini, Pa?” tanyaku sambil menunjuk karung yang “meloncat-loncat” tadi.
“Oh, ini isinya kodok! Masih hidup, kok, makanya mereka meloncat-loncat” ringan saja si bapak tua itu menjawab.
“Kodok? Buat apa, Pa?” tanyaku heran

Bercerita lah si bapak tua. Ternyata di dalam karung itu, setidaknya ada 20 ekor kodok seukuran telapak tangan orang dewasa. Kodok-kodok itu akan dijual ke rumah makan khusus masakan China yang menjual menu swikee. Kodok-kodok itu ditangkap 2 atau 3 hari sebelumnya, oleh si bapak tua itu sendiri di area persawahan di sekitar kampungnya.

Bapak tua itu seminggu sekali ke Jakarta, tepatnya daerah Kota, untuk menjual kodok-kodok itu. Rata-rata dia membawa 15-25 kodok di karungnya. Dijual seharga –harga dulu- Rp. 3000,- per ekor. Aku tidak tahu pasti kebenaran harga ini, si bapak tua itu menjawabnya pun juga tidak dengan jelas dan meyakinkan. Jika pun benar, maka seminggu rata-rata bapak tua itu mendapatkan antara 45 – 75 ribu rupiah.

Bapak tua itu juga bercerita, kalau sehari-hari bekerja serabutan, selain mencari kodok, bapak tua itu berkeliling bermodalkan arit, menawarkan diri untuk memotong rumput di halaman rumah tetangga sekitar. Apa saja dia lakukan untuk mencari uang. Anak dan istri? Anaknya yang laki-laki juga bekerja, menjadi kuli bangunan, yang mesti menunggu adanya proyek pembangunan, baru bisa mendapat uang. Anak yang perempuan, menjadi ibu rumah tangga, sesekali menjadi buruh cuci, sementara suaminya juga menjadi kuli bangunan. Sang istri, tetap menjadi ibu rumah tangga. Mereka semua tinggal dalam satu rumah petak di salah satu daerah di pinggiran Bogor.

“Bapak, kok, masih saja bekerja seperti ini?” tanyaku.

Cerita bapak tua itu kembali mengalir. Bapak tua itu tidak mau menyusahkan anak-anaknya yang kondisi ekonominya pun belum mapan. Dia harus bekerja jika ingin uang. Apapun dia lakukan untuk menghidupi –setidaknya- dia dan istrinya.

Tanpa terasa, mendengar cerita si bapak tua, aku terlewat turun di Stasiun Gondangdia. Karena kepalang tanggung, aku putuskan untuk mengikuti si bapak tua ke Stasiun Kota. Beruntung saat itu tidak ada pemeriksaan karcis, karena karcisku hanya sampai Gondangdia.

Sesampai di Stasiun Kota, aku berpamitan dengan si bapak tua. Beliau melanjutkan menggendong karung berisi kodok ke sebuah restoran di daerah Kota. Tetap dengan tertatih-tatih, si bapak tua menggendong karung itu, terus berjalan di tengah terik matahari. Aku hanya memperhatikan dari jauh. Pikiran ku melayang, sekelebatan muncul berbagai sosok bapak tua lain, yang hanya menadahkan tangan di lampu merah untuk mengemis atau yang hanya meminta-minta dari pintu ke pintu rumah. Bukankah lebih baik tangan di atas daripada di bawah? Bukankah ikhtiar sesungguhnya akan lebih mulia jika dilakukan dengan bekerja? Entahlah, aku tidak ahli dalam hal ini. Yang jelas, rasa hormatku setinggi-tingginya bagi bapak tua penjual kodok itu. Bukan menjual kodok yang aku bahas, tapi perjuangan bapak tua itu yang mampu menggetarkan hatiku, dimana meski usia renta sekalipun, bapak tua itu tidak mau tinggal diam dan menyerah pada nasib.

Jakarta, 17 April 2009 – untuk sebuah perjuangan tiada akhir

Sabtu, 25 April 2009

Emansipasi Di Gerbong KRL

Hari Jumat itu betul-betul sengsara bagiku. Kuliah dari jam 8.00 sampai jam 17.00 dibarengi dengan flu berat yang aku alami, ditambah dengan sedikit demam, hidung mampet, kepala pusing, dan yang pasti ngantuk berat karena obat flu yang aku telan.

Jam 17.00 kuliah berakhir. Tanpa basa basi aku langsung kabur. Aku ingin pulang. Sebenarnya bisa saja aku kembali ke tempat kost dan beristirahat di sana, tidur sepuasnya. Namun entah kenapa, aku ingin pulang, ingin tidur di kasur empuk rumah, ingin makan masakan Ibu, dan –untuk menghilangkan flu- minta dikeroki Ibu.

Biasanya jika dalam keadaan sehat, aku ke Stasiun Gondangdia untuk menumpang KRL kelas ekonomi. Namun saat itu aku ingin tidur, ingin istirahat sejenak, suatu hal yang tak mungkin aku lakukan di KRL kelas ekonomi pada jam sibuk itu. Maka dari itu aku bersegera ke Stasiun Gambir untuk menumpang Kereta Pakuan, kelas bisnis, agak mahal memang, tapi tak mengapa, yang penting bisa tidur.

Di Gambir, ngantri tiket, menunggu Kereta Pakuan. Tidak lama Kereta Pakuan datang. Untuk masuk gerbong ternyata agak berdesakan. Harapan untuk bisa duduk dan tidur sepertinya mulai menipis. Namun perjuangan ku yang ngotot dan merangsek masuk gerbong, ternyata berbuah hasil. Aku langsung menemukan kursi kosong. Kursi satu-satunya yang kosong di gerbong itu. Aku langsung duduk dan mengambil posisi tidur.

Ternyata memang Kereta Pakuan itu menjadi penuh. Selain karena penumpang dari Stasiun Kota, juga karena membludaknya penumpang dari Stasiun Gambir. Banyak penumpang terpaksa berdiri, sebagian menggelar koran sebagai alas duduk di lantai gerbong. Posisi kursi di Kereta Pakuan Kelas Bisnis berbeda dengan KRL Kelas Ekonomi. JIka posisi kursi KRL Kelas Ekonomi, memanjang dari ujung gerbong satu ke ujung gerbong lainnya, sehingga posisi duduk penumpang berada pada masing-masing sisi gerbong, sementara itu Kereta Pakuan posisi kursinya menghadap ke depan, dengan jok empuk dan setiap kursi dihuni oleh 2 orang penumpang, mirip kursi di kereta mewah Argo jurusan Bandung, Jogja, atau Surabaya. Posisi duduk ku berada di sisi lorong, sehingga para penumpang yang berdiri akan bersender di kursiku dengan memandang iri kepada para penumpang yang duduk termasuk aku.

Secara kebetulan, para penumpang yang bersandar dan berdiri dekat kursi dudukku adalah para pekerja perempuan muda. Mereka saling berbicara dan becanda dengan keras di sisiku. Aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan tidur. Namun suara canda mereka semakin keras, semakin mengganggu. Yang membuat aku sangat terganggu adalah ketika mereka berbicara,

“Nih cowok egois banget sih, malah tidur, bukannya ngasih tempat buat cewek!” ketus mereka berbicara antar sesama.

Aku membuka mata, aku yakin yang dimaksud mereka adalah aku. Aku lihat mereka satu persatu. Mereka balas menatap, mungkin mereka menyangka aku akan bereaksi dengan memberikan tempat bagi mereka. Tapi, maaf ya, tidak ada tempat untuk kalian. Aku lelah, aku flu, aku ingin tidur! Aku lanjutkan tidurku, semakin lelap semakin tak peduli.

“Maaf, aku tak bisa memberikan tempat ku untuk kalian!” demikian batinku sebelum tidur.

“Kalian adalah perempuan-perempuan muda yang sehat tak kurang suatu apa. Kalian yang berteriak emansipasi demi kesetaraan derajat dengan laki-laki, namun mengapa kalian ingin diistimewakan ketika kalian tidak memperoleh duduk di kereta?”

Mungkin itu yang berkecamuk di pikiran ku saat itu. Mohon maaf bagi para kaum feminis, bagi para kaum perempuan, mohon maaf sekali atas sikap ku itu. Mungkin lain soal jika aku sedang dalam kondisi sehat, lain soal jika yang berdiri itu adalah perempuan hamil, lain soal jika yang berdiri itu laki-laki atau perempuan jompo, atau lain soal jika yang berdiri itu seseorang dengan kondisi khusus yang butuh kursi untuk duduk. Tapi aku melihat dengan jelas bahwa para perempuan itu dalam keadaan tidak kurang suatu apa.

Sepanjang perjalanan 45 menit Stasiun Gambir ke Bogor memang cukup lumayan untuk menikmati tidur di saat flu seperti itu. Setiba di Bogor, aku tidak langsung turun. Aku biarkan seluruh penumpang di gerbong untuk turun lebih dulu. Para perempuan yang bersender di kursi ku pun turun terlebih dulu. Sebelum turun kami saling menatap. Tatapan mereka sepertinya penuh kebencian. Seolah-olah ingin berkata keras padaku,

“Huh! Dasar cowok egois!”

Bogor, 19 April 2009

Happening Art Di Gerbong Kereta : Sebuah Karya Seni Unik, Sebuah Kritik Sosial, Atau Sekedar Mencari Nafkah?

Tahun 1998, menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa ini, gelombang reformasi, kerusuhan Mei, hingga peralihan kekuasaan mewarnai perjalanan bangsa. Namun bukan itu yang aku ceritakan, ini hanya sebuah kisah sederhana di atas gerbong kereta.

Sekitar pertengahan Juli 1998.

Saat itu awal aku kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen PPM di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sebenarnya aku mengambil kost di daerah Cikini, namun seminggu sekali aku pulang ke Bogor. Biasanya aku pulang Jumat malam atau Sabtu pagi.

Sabtu pagi, jam 8an, seperti biasa, pulang ke Bogor menggunakan kereta api Jakarta – Bogor kelas ekonomi, naik dari Stasiun Gondangdia. Suasana di stasiun relatif sepi, kereta api yang aku tumpangi pun juga sepi. Selain karena arus balik Jakarta-Bogor, juga karena hari Sabtu memang bukan jam sibuk. Kereta berjalan normal, terkadang sangat cepat, namun otomatis melambat saat berhenti di sebuah stasiun.

Setiba di Stasiun Depok, seluruh kursi terisi penuh, segelintir penumpang hanya berdiri, namun tidak sesak seperti ketika jam sibuk. Masih ada ruang berjalan di tengah gerbong, baik bagi para penjual, pengemis, maupun pengamen. Seiring dengan masuknya beberapa penumpang di gerbong yang kutumpangi, masuklah seorang pemuda berperawakan tinggi, kurus, berambut gondrong, dan bersorot mata tajam. Sorot mata tajam itu didukung pula oleh celak mata yang menghias mata bagian bawahnya.

Kereta kembali berjalan.

Tiba-tiba pemuda tadi berdiri di tengah-tengah gerbong,

“Reformasi!”

Mimik mukanya terlihat serius, dibarengi kepalan kedua tangan, tangan kanan terkepal keatas, tangan kiri mengepal erat dibawah. Ternyata pemuda itu sedang membaca puisi atau mungkin maksudnya melakukan happening art di atas kereta. Teriakan demi teriakan dilakukan pemuda itu. Dengan gaya mirip pembacaan puisi atau deklamasi di acara 17an. Aku tidak ingat, apa saja kata-kata yang diteriakkan dalam puisi itu. Yang jelas temanya mengenai perjuangan mahasiswa, kesengsaraan rakyat, dan cercaan terhadap koruptor.

Sesekali tangannya bergerak-gerak mirip sang maestro Rendra membaca puisi, mata tajam melotot menatap para penumpang, rambut panjangnya dibiarkan berantakan menutupi wajahnya tatkala kepalanya bergerak kencang menoleh dari satu mata penumpang ke mata penumpang yang lain.

Hingga suatu saat, pemuda itu berlutut. Berteriak setengah merintih, seolah merasakan penderitaan rakyat. Berlutut itu sepertinya menjadi akhir dari pembacaan puisi pemuda itu, karena nada pembacaan puisi semakin lama semakin rendah seiring tertunduknya kepala pemuda itu saat berlutut.

Namun pertunjukan tidak hanya sampai disitu. Saat berlutut dan menunduk, ternyata pemuda itu melanjutkan pertunjukannya dengan bersujud. Apa yang dilakukannya? Diluar dugaan, diluar logika berpikir orang, dan diluar segala kewajaran pertunjukan di kereta api, ternyata pemuda tadi tidak sekedar bersujud. Pemuda itu sedang menjilati lantai kereta api!

Lantai kereta api yang penuh debu, bekas injakan orang, bahkan mungkin juga najis senajis-najisnya itu dijilatinya. Sepertinya jilatan lidah di lantai gerbong itu membentuk sebuah lukisan. Ya benar, beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit, kembali berdiri tegak mengepal, sambil berteriak,

”Reformasi!”

Bisa dibayangkan betapa kotornya lidah si pemuda itu. Aku lihat hasil lukisannya. Ternyata semacam lukisan wajah seorang pria berpeci. Entah wajah siapa yang dimaksud, namun aku berasumsi, wajah itu adalah wajah mantan Presiden Suharto (alm).

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemuda itu berbuat nekat seperti ini, yang pertama, dia melakukannya benar-benar mengatasnamakan seni yang unik, kedua, dia melakukannya karena ingin mengungkapkan kritik sosial atas kesengsaraan rakyat, ketiga, dia melakukannya karena memang ingin mencari uang alias mengamen dalam bentuk yang lain.

Aku –lagi-lagi- berasumsi bahwa pemuda itu melakukan aksinya karena gabungan ketiga hal tadi, yaitu menyampaikan kritik sosial dengan menunjukkan seni yang unik demi mencari uang. Mengapa begitu? Karena setelah pertunjukan, pemuda itu mengeluarkan sekantong plastik bekas bungkus permen dan mengedarkannya ke penumpang untuk diisi uang.

Setelah semua penumpang diedari kantong plastik, pemuda itu berpindah gerbong dan sayup-sayup aku mendengar suara teriakan dari gerbong sebelah,

“Reformasi!”

Dan aku hanya bisa tersenyum membayangkan pemuda itu harus menjilati seluruh 8 gerbong demi sebuah kritik sosial melalui seni yang unik demi mencari uang.

Bogor, 18 April 09 – untuk para pejuang nafkah di gerbong kereta

Jumat, 24 April 2009

Keramahan Datang Dari Ketulusan Hati

Pekerjaanku yang menuntut untuk selalu keluar kota, membuat frekuensi naik pesawat menjadi relatif tinggi. Hampir semua maskapai skala nasional pernah aku tumpangi, membuat aku bisa membandingkan pelayanan setiap maskapai. Selain faktor keselamatan, masalah keramahan para kru pesawat menjadi daya tarik tersendiri.

Suatu pagi, saat menaiki pesawat dari Maskapai A dari Jakarta menuju Jogjakarta.

Aku menaiki pesawat dari Maskapai A, aku selalu mendapati keramahan dari para pramugari, pramugara, serta para kru dari maskapai ini. Aku perhatikan mereka adalah para kru senior baik dari sisi pengalaman maupun dari sisi usia. Jika melihat para pramugarinya, mereka terlihat sangat menarik dengan senyum mengembang tatkala menyambut penumpang. Mereka tidak lagi muda, namun tetap terlihat menarik dengan pakaian seragam yang cukup elegan yang mereka kenakan.

Ketika memasuki pesawat, selalu ada sapaan,

“Selamat pagi, Pa, selamat datang.” ramah menyapa seluruh penumpang satu per satu tentunya tidak lepas dengan senyum mengembang yang tulus dari hati.

Ketika menuju kursi duduk pun, sudah siap para pramugari lain yang menyambut dengan perkataan,

“Nomor berapa kursinya, Pa?” tetap dengan keramahannya.

“Oh nomor itu masih di belakang, Pa, silakan, nanti dibantu oleh rekan saya di sana.” Keramahan berlanjut hingga kita duduk.

Belum lagi kesigapan para pramugari itu membantu penumpang menempatkan barang bawaannya di luggage bin di atas kursi penumpang. Jika luggage bin di atasnya sudah penuh, mereka pun sigap mencarikan tempat lain sebagai alternatif menyimpan barang. Kenyamanan pun menjadi nilai tambah bagi maskapai ini bagi para penumpang. Memang agak mahal dibanding maskapai lain, namun faktor keselamatan dan kenyamanan, ternyata tetap menjadi pilihan.

Di hari yang lain, saat menaiki pesawat dari Maskapai B dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Pagi-pagi sekali –jam 5 subuh- aku sudah berada di bandara untuk menuju suatu kota. Kali ini aku menaiki pesawat Maskapai B untuk menuju kota tersebut. Tak ada pilihan lain, hanya maskapai itu yang melayani jalur tersebut..

Jam 5.45 pagi, penumpang sudah dipanggil untuk boarding, alhamdulillah tepat waktu. Namun ternyata ketepatan waktu boarding itu bukan awal yang baik. Saat memasuki pesawat, aku mendapati 2 orang pramugari berdiri di dalam pesawat dekat pintu masuk. Pramugari satu sedang sibuk membenahi rambutnya sambil matanya melihat sebuah catatan –mungkin manifest penumpang- di meja kecil di depannya, pramugari satu lagi berdiri mematung di dekat pintu, dengan maksud menyambut penumpang, namun dengan wajah kaku, cemberut, dan tanpa senyum. Alih-alih mengucapkan selamat pagi, para pramugari itu malah sibuk sendiri atau berdiri mematung tanpa ekspresi. Di dalam pesawat setidaknya ada 2 lagi pramugari, namun setali tiga uang, mereka pun nyaris tanpa senyum.

Peristiwa berikutnya makin mengenaskan, aku melihat seorang bapak yang kerepotan membawa 2 tas, yang satu koper yang satu kresek besar, kesulitan mencari luggage bin yang kosong. Dan yang membuat kaget adalah ketika salah satu pramugari menyuruh bapak itu untuk ke belakang untuk mencari luggage bin kosong, dengan cara yang ketus dan setengah membentak,

“Bapak bawa aja barang-barangnya ke belakang sana, masih ada yang kosong!” ketus dia berkata, tanpa ada upaya mengantar si bapak.

Sebenarnya secara fisik, tidak ada yang salah dengan para pramugari itu. Mereka cantik, muda, dan berpenampilan menarik. Setiap laki-laki pasti tidak akan bosan melihat penampilan mereka. Hanya saja, kecantikan, usia muda, dan penampilan menarik itu menjadi tidak ada artinya ketika mereka tidak bisa menunjukan keramahan setidaknya melalui senyum yang tulus dan sikap yang hangat bagi penumpang.

Jika dibandingkan, Maskapai A dengan Maskapai B, memang orang lebih akan memilih Maskapai A. Kecuali masalah harga tiket yang mahal –harga tiket Maskapai A bisa 2 atau 3 kali lipat Maskapai B- maka penumpang lebih baik memilih Maskapai A. Sebenarnya bagi Maskapai B, tidak akan sulit menjaring penumpang. Justru seharusnya para kru udara bisa menjadi nilai tambah bagi mereka, asalkan mereka menambahkan satu hal yaitu keramahan yang datang dari ketulusan hati.

Menurutku, keramahan dari ketulusan hati, tidak memerlukan biaya besar bagi perusahaan. Dengan harga lebih murah yang ditetapkan Maskapai B saja sudah cukup bagi mereka untuk menampilkan keramahan. Tidak perlu biaya khusus. Tidak perlu menaikkan harga. Karena senyum keramahan yang tulus dari hati merupakan investasi sangat murah bagi Maskapai B sebagai cara untuk menjaring penumpang.

Bogor, 19 April 09

Rabu, 22 April 2009

Sekejap Bendera Itu Terbalik, Berbulan Rasa Malu Tak Hilang

Saat itu baru saja terjadi euphoria kemenangan SMAN 1 Bogor khususnya Pandawa 16 sebagai juara 2 di Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (lihat tulisan “Kami Bangga Meski Hanya Juara Dua”). Meski tidak terlalu menjadi pembicaraan di sekolah, namun kemenangan itu membentuk kebanggaan bagi kami sebagai anggota Pandawa 16.

Selanjutnya rutinitas sebagai Pandawa 16, tetap dijalankan, latihan rutin sebagai persiapan bagi seleksi Paskibraka Kodya Bogor dan –tentunya- bertugas sebagai penyelenggara upacara bendera tiap Senin di sekolah. Sebenarnya petugas dalam upacara bendera itu dilakukan bergiliran tiap kelas, biasanya tugas itu dibebankan ke kelas 1, misal minggu ini kelas 1-1, minggu depannya 1-2, begitu seterusnya hingga 1-8, kemudian diputar lagi ke 1-1. Namun ada juga satu waktu, tugas itu diberikan kepada Pandawa 16.

Senin pagi ini, giliran Pandawa 16 bertugas, inilah saatnya kami berperan. Kemenangan juara 2 itu masih membayangi kami, di satu sisi, kami sudah saling memahami setiap pergerakan upacara, di sisi lain, ada beban tersendiri jika upacara tidak berjalan lancar. Seperti biasa masing-masing pos petugas telah ditentukan, Ario sebagai komandan, aku, Dika, dan Eri pengibar bendera, Wita dirigen, Trisnawita pembaca protokoler, Ratri pembaca UUD 45, Indri pembaca doa dan Dony menjadi ajudan pembina upacara. Sebenarnya nama petugas secara pasti, aku tidak terlalu ingat, namun yang pasti aku berperan sebagai pengibar bendera khusus yang membentangkan bendera untuk dikibarkan.

Tiga hari berturut-turut kami melakukan latihan, kesulitan klasik muncul, karena kami berselisih waktu masuk sekolah, sebagian masuk pagi sebagian masuk siang. Akhirnya waktu latihan antara jam 12.00 – 13.00 siang. Jam 12.00, anak pagi pulang, sementara jam 13.00 anak siang masuk kelas. Satu jam selama tiga hari kami latihan, rasanya cukup. Karena secara teknis, tidak masalah, hanya tinggal melatih kekompakan. Latihan pun relatif ringan, meski tetap diawasi oleh Agung, Kardinal, Margareth, Ike dan Tuti.

Di Senin pagi itu…

Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di markas Pandawa 16 di sebuah ruang di belakang sekolah. Sesekali aku dan Dika ke lapangan, memastikan tali bendera tidak kusut dan terikat dengan baik. Setelah semua beres, kami melengkapi seragam kami dengan rapi. Celana tetap abu-abu, baju OSIS putih harus lengan panjang, dasi dan topi yang wajib melekat. Jam 7 kurang 15, seluruh siswa dipanggil ke lapangan, Pa Bahrum dan Pa Memen sibuk mengejar-ngejar siswa yang kabur ke Gang Selot menuju warung Pa Ujang dekat SD Polisi.

Jam 7 tepat, upacara dimulai. Kami para petugas siap di pos masing-masing. Ario selaku komandan upacara, sigap berjalan langkah tegap ke tengah-tengah peserta upacara.
“Siaaaapppp…Grakkk…” lantang Ario memberi komando.

Acara demi acara protokoler dilakukan. Hingga sampailah pada pengibaran bendera merah putih. Aku, Dika dan Eri sigap melangkah dibawah komando ku. Dika, pengerek bendera berada di sisi paling kiri, Eri, pembawa bendera berada di tengah, sementara aku, pembentang bendera berada paling kanan sekaligus pemberi komando. Komando kuucapkan pelan, cukup didengar oleh 2 orang rekan pengibar yang lain.

Tibalah kami di depan tiang bendera, aku dan Dika, saling membantu melepas ikatan tali bendera di tiang. Dika sesekali mendongak melihat kerapian tali di tiang. Setelah dirasa rapi, Dika menyerahkan tali itu kepadaku dengan sigap. Tali kuambil, dan kurangkaikan satu per satu dengan ikatan di bendera yang dibawa Eri. Aku sempat ragu-ragu dengan tali yang diikatkan ke bendera,
“Benarkah tali ini sesuai dengan ujung bendera yang seharusnya?” batinku ragu.
Aku heran sendiri, kenapa aku ragu? Inikan sudah biasa, sudah beberapa kali aku lakukan, baik di upacara sesungguhnya maupun di latihan. Entahlah, pagi itu konsentrasi ku buyar, aku jadi ragu-ragu akan ikatan itu. Sepertinya Eri menyadari ini, dengan berbisik Eri berkata,
“Din, ga salah tuh!” bisik Eri
“Bener, ah!” jawabku, juga dengan berbisik.

Dika terdiam memperhatikan perdebatan kecil kami, Dika memang berada di sisi yang lain, yang tak bisa secara langsung melihat ikatan tali itu.
“Din, salah! Copot lagi, ulangi!” Eri makin keras berbisik, terlihat dia agak kesal karena aku tidak menuruti perkataannya.
Aku benar-benar ragu-ragu. Namun saat terakhir, aku meyakinkan diri. Aku tidak pedulikan bisikan Eri, aku mengikuti perkataan para instruktur,
“Pokoknya kamu harus yakin!” begitu biasanya para instruktur mengajari kami.

Eri tampak kesal, sepertinya dia yakin aku salah.
“Udah, kita tarik aja, udah kelamaan nih!” mataku kuarahkan ke Eri dan Dika. Dika mengangguk, Eri juga, namun dengan anggukan yang ragu-ragu.
Kutarik bendera seiring langkah mundur sekitar tiga langkah ke belakang. Ada teknik khusus dalam membentangkan bendera, seperti jepitan jari yang khas, langkah mundur yang terukur, dan jarak bentangan yang pas agar bendera tidak lepas. Bersamaan dengan langkah mundur itu kubentangkan tangan untuk menarik bendera, dan ternyata…

Bendera tidak terbentang! Malah jadi terbelit dan membentuk huruf X. Terdengar beberapa jeritan kecil dari arah peserta upacara. Mungkin mereka pun kaget dengan terbelitnya bendera. Melihat itu, sigap Ario memberi komando,
“Balik kanaaaannnnn…grakkk…”teriak Ario, komando itu merupakan perintah standar jika terjadi sesuatu pada saat pengibaran.

Setelah peserta upacara balik kanan, aku sibuk membetulkan bendera, namun sepertinya agak rumit, karena belitan itu sangat parah akibat salah ikat ujung tali dengan ujung bendera yang aku lakukan. Betul bisikan Eri tadi, tapi memang aku tidak mau mendengarkan, sehingga fatal akibatnya.

Sesaat setelah peserta balik kanan, sekonyong-konyong muncul dari barisan dengan berlari kencang ke arah kami, seorang perempuan, kakak kelas dari angkatan 91, bermaksud memperbaiki belitan bendera. Si kakak sigap memperbaiki, aku hanya bengong menyaksikan si kakak sedang merapikan bendera.
“Masih salah aja, malu-maluin!” begitu bisiknya kepadaku. Aku terhenyak sesaat.
“Udah, nih, ayo kibarkan!” sambil kembali ke barisan, si kakak kelas sempat berbisik keras ke arahku.

Karena bantuan si kakak, aku telah membentangkan bendera dengan benar. Aku berteriak,
“Bendera siap!” teriak ku ke arah Ario.
“Balik kanaaaannnn…grakkk…”Ario memberi komando.

Selanjutnya pengibaran berjalan lancar. Bendera tepat sampai di ujung tiang pada saat lagu Indonesia Raya berakhir. Dika memang piawai memadukan gerakan pengibaran dengan lagu Indonesia Raya. Upacara selesai sekitar 40 menit kemudian. Namun bagi ku tidak sampai disitu. Aku malu. Aku penyebab terbelitnya bendera. Pandangan orang seolah mencibir,
“Katanya jagoan baris berbaris, ngibarin bendera aja kebelit!” sepertinya itu yang berkecamuk di kepalaku. Berhari-hari rasa malu itu tak kunjung sirna. Bahkan berminggu dan bulan berikutnya, peristiwa itu terbayang terus.

Namun itulah dinamika, tidak selamanya kemenangan akan diraih. Mungkin aku saat itu sombong, takabur, merasa bahwa segalanya akan mudah dan tidak perlu konsentrasi. Dan ternyata akibatnya sangat fatal!

Kupang, 21 April 09 – untuk sahabatku para petugas upacara bendera…

Minggu, 19 April 2009

Gadis Desa Itu Memang Pintar Menyanyi

Tahun 1996, masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Garut.

Menurut dosen, KKN sebenarnya bertujuan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah untuk masyarakat dan juga mendekatkan mahasiswa kepada masyarakat. Jika diterapkan secara murni dan konsekuen memang tujuan itu akan sangat mulia. Apapun jurusan si mahasiswa, penerapan ilmu kepada masyarakat, memang bisa dilakukan melalui KKN ini.

Aku sendiri pada awalnya bingung bidang ilmu apa yang akan aku terapkan di tempat KKN, tidak mungkin rasanya memberikan materi ilmu Hubungan Internasional kepada para penduduk desa. Namun akhirnya aku putuskan untuk mengajar Bahasa Inggris ke anak-anak SD di desa itu.

Desa tempat KKN ku bernama Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.sekitar 90 menit perjalanan dari Bandung jika menggunakan bis umum. Aku beruntung karena desa itu tidak terlalu jauh ke pedalaman. Desa itu benar-benar di pinggir jalan raya Bandung – Garut. Cukup berjalan kaki sekitar 150 meter, sudah sampailah kita di tugu pusat desa.

Kami sekelompok KKN berjumlah 10 orang, yaitu aku, Nana (alias Ohim), Iwan, Hadian, Lenny, Yuyus, Enyim, Sonya, dan Profi, dan Eva. Kami semua berasal dari latar belakang jurusan berbeda. Selama 2 bulan aku di Desa Ciburial, pekerjaan ku jadi guru Bahasa Inggris. Jam 7 pagi aku berangkat mengajar, pulang jam 10, selanjutnya luntang lantung teu puguh (luntang lantung ga jelas). Terkadang aku ikut ke ladang tembakau, ke sawah, main bola, main voli, sampai ikut latihan menyanyi dangdut. Kesibukan bertambah menjelang tujuh belasan dan Maulid Nabi Muhammad SAW, karena pada dua acara itu, dirayakan lebih besar dari biasanya.

Suatu hari di perayaan Maulid Nabi.

Perayaan Maulid Nabi dilaksanakan berbagai acara, berbagai perlombaan, baik yang melibatkan anak-anak sampai orang dewasa. Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah lomba menyanyi untuk kategori dewasa, baik pria maupun wanita. Pemuda dan pemudi desa berbondong-bondong mengikuti lomba ini, dari yang memang berbakat menyanyi maupun yang berada pada level asal bunyi. Tugasku saat itu adalah –bersama 2 rekan KKN yang lain- menjadi juri lomba menyanyi kategori dewasa tersebut.

Adalah Eneng –sebut saja begitu, karena memang begitu dia dipanggil dan aku sama sekali lupa nama aslinya- biduan desa itu. Usianya masih 15 tahun, cantik, dengan jilbab dan busana muslim yang selalu melekat di tubuhnya. Eneng adalah putri pertama Pak Adad Musyadad, seorang petinggi desa dan orang yang dianggap paling berpengaruh se-Ciburial. Eneng dikenal sebagai biduan desa bersuara emas. Eneng lah langganan juara setiap acara Maulid Nabi ataupun tujuhbelasan.

Singkat kata, tibalah saat Eneng tampil. Suara sorak menyambut Eneng. Dengan percaya diri Eneng menyanyikan bait demi bait lagu, lancar, tanpa cela. Suara lengking tinggi begitu jernih terdengar. Sound system desa yang kurang optimal, tidak mengurangi kejernihan suara Eneng. Berturut-turut dua lagu dibawakan, sorak penonton tak henti bergemuruh, juri pun –termasuk aku- terpesona karenanya. Aku memberikan nilai nyaris sempurna untuk Eneng. Aku lihat dua juri yang lain pun demikian. Hasil penilaian kami diserahkan kepada panitia untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan. Aku yakin dari sudut manapun, Eneng akan menjadi juara.

Setelah semua peserta tampil, tibalah saat pengumuman, saat yang ditunggu-tunggu para peserta. Aku sendiri mendengarkan pengumuman dari warung minum beberapa puluh meter dari panggung. Aku pikir, untuk apa aku dengarkan pengumuman, toh yang akan menang pastinya Eneng. Dan lagi, pengumuman pemenang itu akan pasti terdengar dari warung tempat ku minum.

“Dan juara 1 untuk kategori wanita dewasa adalah….Ucu….!” begitu teriak MC mengumumkan pemenang.

“Hah, Ucu! Kok bukan Eneng…?” batinku

Bergegas aku meninggalkan warung.

“Teh, nanti saya bayar, ya, ada yang penting nih!” ucapku ke si Teteh penjual minuman.

Setiba di dekat panggung, aku melihat Eneng sedang menangis sesenggukan di salah satu rumah di sekitar situ. Aku menemui dua rekan juriku. Kelihatannya mereka kebingungan juga, karena mereka pun memberikan nilai nyaris sempurna. Kedua juri rekanku mengira aku memberikan nilai buruk untuk Eneng, sehingga secara rata-rata nilai Eneng berada di luar 10 besar sekalipun. Aku mencoba konsolidasi dengan para juri. Aku panggil panitia penghitung nilai.

Dan ternyata, ada kesalahan penghitungan oleh panitia. Nilai Eneng yang dijumlah hanya dari dua juri, sementara secara rata-rata dibagi tiga. Jelaslah nilai Eneng menjadi sangat kecil. Pontang panting aku merekap ulang nilai, aku panggil seluruh panitia, aku minta mereka merekap ulang, dan membatalkan kemenangan Ucu dan menggantinya dengan kemenangan Eneng. Dari sudut mata kulihat Eneng memperhatikan “perjuangan” ku. Eneng ikut berharap cemas akan apa yang aku sedang usahakan. Walau bagaimana pun, pastinya malu jika mengetahui bahwa dirinya kalah setelah sekian lama terus juara.

Benarlah adanya, nilai Eneng –setelah dihitung ulang- menempati posisi teratas. Bahkan jarak nilainya sangat jauh dibandingkan juara 2 –yaitu Ucu. Pengumuman ulang dilakukan, dan pemenangnya memang Eneng. Alhamdulillah, memang keadilan itu tetap ada, kesalahan diperbaiki, dan yang berhaklah yang menang.

Saat ini, 13 tahun kemudian.

Sering aku melintas Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, saat aku bertugas ke wilayah Garut dan Tasikmalaya. Namun tak ada keberanian aku mendatangi desa itu. Entahlah, hanya tak ada keberanian. Rasanya tak enak, ketika mendapati kita datang ke sana setelah 13 tahun melupakannya. Tentunya Eneng, dan banyak gadis muda lainnya, saat ini sudah mendapati kebahagiaan bersama keluarga mereka, atau para pemuda desa itu sudah berkiprah dan berperan banyak bagi keluarga. Insyaallah.

Jakarta, 23 Maret 09 – untuk para pejuang desa

Minggu, 12 April 2009

Gang Selot : dari Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Hingga Bakso Si Black

Sebuah Sabtu pagi di penghujung Maret 2009

Seperti biasa, rutinitas hari Sabtu, aku mengantarkan kedua anakku ke sekolah, satu di TK, satu di playgroup. Aku dan istriku, kami berdua secara rutin setiap Sabtu menjalani ritual antar mengantar ini. Dua jam kemudian mereka kembali kami jemput. Sambil menunggu dua jam itu berakhir, biasanya kami berdua mencari tempat-tempat makan pinggir jalan untuk memenuhi sarapan pagi. Bisa ke Taman Kencana, Lapangan Parkir Bogor Permai, atau di mana saja tempat yang biasa menjual makanan di sector informal ini.

“Kemana kita?” ujarku pagi itu. Memang agak membingungkan tatkala harus menentukan pilihan tak terencana.
“Gang Selot, yuk!” tiba-tiba istriku melontarkan ide yang tak biasa. Memang sejak ritual antar mengantar terjadi, kami tidak pernah makan di Gang Selot. Tak pernah terpikir ide itu sebelumnya.

Meluncurlah kami ke Gang Selot. Sedikit kesulitan mencari parkir, karena ternyata sekarang mobil dilarang parkir di depan SMPN dan SMAN 1 Bogor. Akhirnya kami parkir di kompleks perbankan di sebelah Balaikota Bogor. Cukup berjalan sekitar 100m maka sampailah kami di Gang Selot.

“Hmmm, Gang Selot!” batinku. Aku berada di sini antara 1987-1993, dari SMPN 1 sampai SMAN 1. Gang Selot menjadi saksi mata bagi berbagai peristiwa di kedua sekolah itu.

Aku berjalan perlahan, melihat di barisan depan ada Warung Joni. Warung segala ada, dari mulai alat tulis, alat jahit, sampai ke peniti. Aku ingat ketika SMP, bajuku robek tepat di bagian ketiak, sementara saat itu aku bertugas menjadi pengerek bendera. Mana mungkin aku mengerek bendera jika ketiak ku terlihat kemana-mana. Akhirnya aku menghampiri Warung Joni dan ternyata ada peniti, sehingga untuk sementara ketiak ku aman dari penglihatan orang.

Di sebelahnya ada Bapak Penjual Gorengan. Yang menjadi ciri khas dari gorengan ini adalah Tahu Slawi. Gorengan yang hanya terdiri dari setengah potong tahu kuning yang diisi gumpalan sagu. Makan Tahu Slawi ini akan lebih enak jika dicocol dengan saus sambal. Tahu Slawi ini sebenarnya relatif alot dan kenyal jika dikunyah. Butuh kunyahan hingga 32 kali jika ingin menelannya dengan sempurna. Jadi manfaat Tahu Slawi ini –selain rasanya enak- juga bisa digunakan untuk senam muka.

Di sebelahnya lagi ada Bapak dan Ibu (atau tepatnya Kakek dan Nenek) penjual es campur. Ciri khasnya adalah Es Kelapa Jeruk (atau Es Jeruk Kelapa?), berupa Es Jeruk yang ditambahi kelapa muda atau Es Kelapa Muda yang dicampur jeruk? Entahlah. Sama saja, kan rasanya? Ada juga penjual Es Doger. Es krim ala Sunda, berisi kelapa parut, alpukat diiris, dengan es yang sudah bergula kemudian diguyur saus warna merah manis.

Kemudian ada penjual Doclang, sejenis makanan yang terdiri dari ketupat, tahu, kentang rebus, diguyur bumbu kacang dan ditaburi kerupuk. Diantara semua, Doclang ini adalah favoritku. Sayang sekali, pagi itu Doclang belum buka. Katanya agak siang. Namun sampai saat ini Bapak Penjual Doclang masih sama dengan Bapak Penjual Doclang 16 tahun yang lalu. Ada juga Bakso Si Black. Aku tak tahu kenapa dipanggil si Black. Apakah yang menjual berkulit hitam? Pagi itu istriku membeli bakso ini. Dan rasanya masih sama dengan rasa bakso 16 tahun yang lalu.

Bergerak kemudian ada penjual mie ayam, somay, dan es campur yang dijual si Ibu. Semua yang aku sebut diatas, masih dihuni oleh para penjual yang sama. Mereka masih bertahan. Mereka menyaksikan para siswa datang dan pergi. Meski tak hafal nama, namun mereka mengenal wajah para siswa sejak belasan –bahkan puluhan- tahun lalu sampai saat ini.

Kini Gang Selot secara fisik tampak berbeda. Terlihat lebih permanen dengan bangunan sederhana beratap seng. Namun terlihat lebih gelap karena dibangun juga tembok tinggi untuk memisahkan antara SMPN 1 dengan Gang Selot. Selain itu ada beberapa tambahan penjual seperti menjual Soto Mie, Ice Blender, Bubur Ayam, dan Penjual Majalah & Koran.

Satu per satu aku datangi para penjual makanan yang kukenal tadi. Kusapa mereka. Alhamdulillah mereka masih kenal aku. Meski tak hafal nama, namun mereka sepertinya cukup familiar dengan wajahku. Setiap ketemu mereka selalu berkata,
“Eh, Neng, kumaha? Damang? Tos gaduh putra sabaraha?”
Yang artinya kira-kira,
“Eh, Dik, gimana? Sehat? Sudah punya anak berapa?”
Sebutan “Neng” memang menjadi ciri khas Sunda Bogor yaitu penyebutan orang yang lebih tua kepada anak muda baik laki-laki maupun perempuan. Sebutan itu hanya ada di Bogor. Di daerah Sunda yang lain, “Neng” hanya untuk perempuan.

Gang Selot memang menjadi saksi bisu kelakuan para siswa siswi SMPN dan SMAN 1 Bogor. Saksi bisu itu dilengkapi saksi hidup para penjual makanan minuman yang sekarang masih ada. Gang Selot bisa tahu si A jadian dengan si B, atau si C lagi marahan dengan si D, atau si E yang sudah putus dengan si F. Gang Selot juga tahu siapa yang sedang ulang tahun, karena rata-rata acara traktir mentraktir kala ulang tahun dilakukan di Gang Selot. Selain itu acara guyur mengguyur saat ultah juga melibatkan Gang Selot, karena air untuk mengguyur biasanya diambil dari air bekas cucian piring dari Gang Selot.

Gang Selot juga menjadi pelindung bagi siswa yang kabur dari kelas atau siswa yang kabur saat upacara bendera. Meski Pak Bahrum dan tim guru SMAN 1 atau Pak Bejo (Alm) dan tim guru SMPN 1 seringkali mengejar para siswa yang kabur itu, namun Gang Selot hingga terus jalan ke SD Polisi, menjadi jalur aman untuk kabur. Gang Selot pula menjadi tempat nongkrong para siswa hingga berlama-lama. Sejak pulang sekolah hingga sore menjelang. Atau sejak pagi hingga masuk sekolah di siangnya.

Gang Selot seperti menjadi ruang kelas kedua bagi para siswa. Sebuah ruang kelas yang justru sangat lengkap, karena selain tersedianya makanan dan minuman, Gang Selot menyediakan para “guru” yang bisa menjadi teman sangat akrab, para “guru” yang sampai saat ini aku lihat masih berjuang menyediakan makanan dan minuman bagi para siswa.

Sedikit aku berbicara dengan mereka. Ternyata didapat info bahwa, anak-anak zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Dulu, sangat banyak siswa yang nongkrong di Gang Selot, sehingga mereka mengenal satu persatu para siswa. Namun saat ini, berlama-lama nongkrong jarang dilakukan. Mereka hanya makan dan minum, kemudian sudah. Tak ada dialog, tak ada kedekatan, tak ada kesaksian kisah cinta dan tak ada “chemistry” yang terjadi.

Hal ini aku bisa pahami, mungkin memang karena kesibukan belajar para siswa saat ini yang berbeda dengan masa lalu, atau mungkin para siswa itu lebih suka nongkrong di mal yang bertebaran luas di Bogor. Entahlah, benar atau tidak, aku hanya menduga.

Gang Selot riwayat mu kini. Entah sampai kapan akan bertahan. Pengelolaan tempatnya memang lebih professional. Ada manajemen dari pihak kelurahan yang mengatur. Ada upaya untuk melanjutkan usaha sector informal ini.

Semoga Gang Selot tetap memberi penghidupan layak bagi para penjualnya dan tetap menjadi saksi bisu berbagai kisah di lingkungan para siswanya. Warung Joni, Tahu Slawi, Es Kelapa Jeruk, Es Doger, Doclang, Mie Ayam, Bakso si Black dan Somay, siapapun yang pernah menjadi siswa siswi SMPN 1 dan SMAN 1 Bogor, akan selalu mengenang dan membayangkan rasa makanan dan minuman itu di lidah.

Bogor, 28 Maret 09 – untuk para alumnus SMPN dan SMAN 1 Bogor
Bisa juga dilihat di suzaridian.blogspot.com