(Dipersembahkan untuk rekan di SMPN 1 & SMAN 1 Bogor
Dan Jurusan Hubungan Internasional Univ, Padjadjaran)
“Hai, saya Sony…”
Itu kalimat ketika aku pertama berkenalan dengan Sony Gunawan alias Sogun di kelas 1D SMPN 1 Bogor. Kami duduk sebangku, merasa senasib karena sama-sama berasal dari SD di luar Bogor. Sebagian besar teman di kelas sudah mengenal satu sama lain karena berasal dari SD yang sama di sekitar Bogor. Waktu itu aku dari Semarang sementara Sogun dari Padang.
Nama Sogun merupakan kependekan dari Sony Gunawan. Kenapa? Karena di kelas 1D setidaknya ada 2 lagi nama Sony, yaitu Sony (saja) dan M. Sonny. Sehingga untuk membedakan mereka bertiga, kami memanggil Sony untuk Sony (saja), Sogun untuk Sony Gunawan, dan untuk M. Sonny kami akrab memanggilnya : Pa***! (untuk alasan privacy saya tidak tuliskan di sini)
Pertemanan kami berdua berlanjut sampai ke SMA Negeri 1 Bogor, dan semakin dekat ketika kami sama-sama mengambil Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran Bandung. Tidak hanya itu, kami pun tinggal satu atap di tempat kos yang sama dengan hanya perbedaan tembok saja.
Lulus! Dan kami pun berpisah. Kami lulus hampir bersamaan. Kata-kata perpisahan Sogun ketika aku meninggalkan Bandung adalah,
”Din, kita jadi diplomat sama-sama, ya, atau setidaknya kita cari tempat kerja yang sama!”
”Ok, gua tunggu!” Optimis aku menjawab.
Namun niat itu tidak berjalan mulus. Krisis Ekonomi 1998! Dan semua buyar!
Departemen Luar Negeri menutup penerimaan diplomat baru, bahkan memanggil pulang sebagian diplomatnya demi efisiensi. Parahnya lagi, pekerjaan pun sulit aku dapat sehingga aku memutuskan untuk kembali bersekolah.
Sogun? Terdengar kabar bahwa Sogun sakit dan harus dioperasi untuk menghilangkan kanker yang menggerogoti tubuh bagian leher menuju rahangnya. Kabarnya lagi kanker itu sudah mencapai stadium 4. Sama sekali aku tidak pernah membayangkan kanker stadium 4 menyerang Sogun.
Pasca operasi, aku menjenguk Sogun. Aku mendapati Sogun dalam kondisi yang sangat kurus. Bekas luka operasi di sekitar rahang kanan menimbulkan luka besar menganga, sehingga ada semacam daging tumbuh yang membesar dan memanjang di sekitar rahang. Jika dilihat sekilas, seolah Sogun sedang menjepit bola sebesar 2 kepalan tangan antara rahang dan bahu kanannya.
Lebih mengejutkan lagi ketika aku mendapati cara makan Sogun. Tahu, tempe, dan beberapa jenis sayuran dalam kondisi direbus, disatukan dalam blender dan dibuat seperti juice. Diminum dengan cara disedot menggunakan sedotan.
Gila! Aku tahu persis bagaimana ”dahsyat” nya Sogun makan. Tapi saat itu satu gelas juice tahu, tempe dan sayur pun tidak habis setengahnya disedot. Bagaimana mungkin menyedot juice, kalau lidah untuk bicara pun sepertinya sudah tidak mampu lagi digerakkan? Bicara pun lebih dominan menggunakan isyarat yang banyak aku tidak mengerti.
Berbagai cara dilakukan, cara medis, cara alternatif, apapun! Dan akhirnya memang harus berujung di rumah sakit. Tak berapa lama, Sogun kembali masuk rumah sakit.
Jarak dekat antara tempat aku kuliah dengan RSPAD Gatot Subroto tempat Sogun dirawat, memudahkan ku untuk setiap hari berkunjung ke rumah sakit.
Hingga suatu hari di rumah sakit.
”Gun, gua balik dulu, ya. Besok ga kesini, mungkin baru lusa, gua mau ke Bogor, udah lama ga pulang. Lu baek-baek, lusa gua ke sini”
Anggukan Sogun melepas kepulangan ku.
3 jam kemudian, saat baru satu langkah aku keluar dari angkot menuju rumah di Bogor, HP ku berdering.
”Ya, Do!” jawabku atas telepon Edo sahabatku yang lain.
”Din, lu sekarang juga mesti ke sini, mesti ke rumah sakit!”
”Engga, Do, gua lagi di Bogor. Lusa baru ke rumah sakit!”
”Engga, harus sekarang! Sogun koma!”
Astaghfirullah! Koma!
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari, sebentar pamit dengan Ibu, dan kabur kembali ke Jakarta.
Setiba di rumah sakit aku melihat Sogun hanya terpejam, selang oksigen masih terpasang di mulut. Nafasnya naik turun seiring dengan detak jantung yang terpampang di monitor. Menurut keluarga, Sogun sudah hidup dari mesin, jika mesin ini dicabut, berarti selesai sudah. Bacaan Yasin sudah berkumandang di ruangan. Beberapa teman terlihat komat kamit membaca doa masing-masing. Aku hanya diam, berat rasanya aku baca Yasin, karena –menurutku- baca Yasin berarti aku mengakui bahwa Sogun telah tiada.
Di tengah kepasrahan, keluarga memutuskan semua alat dicabut. Dalam hitungan detik, tepat jam 24.00, detak jantung di layar monitor terlihat perlahan berhenti, nafas mulai menghilang, seiring dengan suara syahadat yang dibisikkan di telinga dan takbir yang semakin lantang diteriakkan.
Innalillahi wa Innailaihi Rajiuun.
Sogun tiada! Tepat jam 24.00.
Tak sanggup aku menerima ini. Aku hanya duduk terjajar di tembok selasar rumah sakit. Menelungkupkan kepala di antara kedua lutut. Aku sama sekali tidak bisa berkata apa. Lidah ku kelu, bahkan hati ku pun tak mampu, selain berkata,
”Gun, Gun, lu bilang kita mau sama-sama jadi diplomat! Lu bilang kita mau nyari tempat kerja yang sama! Kenapa jadinya lu sekarang pergi duluan?”
Itu saja yang sanggup aku katakan saat itu, tak ada yang lain, bahkan untuk sekedar sebait doa.
Sogun, saat ini 10 tahun terbaring di alam kubur sana.
”Insyaallah surga bagi mu, Gun! Insyaallah 2 tahun penderitaan mu melawan kanker, meluruhkan dosa-dosa mu!”
”Aku pasti menyusul, entah kapan? Dan aku pun ingin surga seperti ingin mu!”
”Amin!”
Bogor, 2 Januari 2009 - In Memoriam Sony Gunawan (1974 – 1999)
Sabtu, 28 Februari 2009
Kamis, 26 Februari 2009
Anak-Anak Memang Selalu Jujur
Beberapa catatan mengenai kejujuran ini.
Catatan 1
Suatu saat di Botani Square Bogor.
“Pap, aku mau popcorn!” Idan –anak laki-laki ku- merengek minta dibelikan popcorn di lantai Lower Ground di Botani Square. Biasanya memang Idan dibelikan popcorn bermerk Act II yang langsung diolah di microwave dan dalam 3 menit sudah bisa dinikmati.
“Nanti saja belinya, kalau kita mau pulang!” janjiku pada Idan.
Idan manggut, lanjutlah kami berdua berkeliling mal. Sampai masa bosan berkeliling, kami masuk ke Pasar Swalayan Giant untuk membeli beberapa titipan istriku. Di Giant kami melihat satu standing booth yang menjual popcorn yang dikemas kotak kertas dan plastik. Kemasannya menarik dan Idan pun tergiur,
“Pap, beli popcorn itu saja!” Idan mulai meminta
“Jangan yang itu, popcorn yang itu ga enak! Enakan yang di bawah! Yang ini gulanya beracun!” kilahku pada Idan.
Popcorn itu memang kurang enak dibanding yang dijual di bawah, yang biasa kami beli. Idan pun setuju, dan kami meninggalkan standing booth tadi.
Berkeliling kami ke pelosok Giant, membeli berbagai keperluan, dan tibalah kami kembali ke standing booth penjual popcorn tadi. Spontan, tanpa diduga, Idan berteriak dengan lantang tepat di depan SPG penjual popcorn,
“Pap, jangan popcorn ini ya! Popcorn ini ga enak! Enakan yang dibawah! Yang ini gulanya beracun” lantang Idan berteriak, membahana ke seantero lorong standing booth penjual popcorn itu, terdengar sampai ke telinga siapapun di situ termasuk si penjual popcorn.
Mbak si penjual popcorn terlihat cemberut, parahnya lagi beberapa ibu yang berencana beli popcorn mengembalikan popcorn itu dan pergi menjauh. Ada yang tetap membawa popcornnya namun menyimpannya sembarangan di rak yang lain. Teriakan Idan benar-benar menjatuhkan mental si penjual, dan membuat aku salah tingkah. Segera aku menjauh, menggiring Idan ke tempat yang lebih aman.
Anak-anak memang jujur.
Catatan 2
Suatu saat di TK Akbar kelas TK B
Seperti biasa setiap Sabtu, jadwalku mengantar jemput Idan. Biasanya bersama istri, namun saat itu kami berbagi tugas, aku menjemput Idan, istriku menjemput Kekey –anak keduaku.
Saat bengong menunggu di depan pintu masuk kelas, Ibu Kepala Sekolah menghampiri.
“Apa kabar, Pa?” sapa Ibu Kepala Sekolah
“Baik Bu.” jawabku
“Tumben sendirian?” Ibu Kepala Sekolah berkata
“Iya, bagi tugas sama ibunya.” jawab ku basa-basi
Tidak lama Idan muncul,
“Paaappppp!” teriaknya heboh.
“Nah ini Idan!” ujar Ibu Kepala Sekolah.
“Idan mana kacamata Oakley nya, katanya baru dibeliin kacamata Oakley sama Pipap?” ujar Ibu Kepala Sekolah.
Hah! Kacamata Oakley? Tahu darimana Ibu Kepala Sekolah mengenai kacamata Oakley?
Beberapa hari sebelumnya aku memang membeli kacamata Oakley di dekat stadion Sempaja Samarinda. Pada saat itu aku sedang bertugas di PON Kaltim, cuaca panas, sehingga sangat penting jika aku menggunakan kacamata hitam. Kacamata Oakley itu palsu, aku membelinya pun hanya seharga 15ribu rupiah. Bandingkan dengan Oakley asli yang bisa 1 jutaan lebih.
Aku memang berkata kepada Idan,
“Idan ini kacamata Oakley buat Idan, harganya 15ribu!” ujar ku
Mungkin kata-kata itu benar-benar melekat di otaknya dan disampaikan ke seluruh antero sekolah, sampai Ibu Kepala Sekolah pun tahu.
“Iya, Idan kemarin cerita, katanya Pipapnya baru beli kacamata Oakley yang harganya 15ribuan!” begitu Ibu Kepala Sekolah berkata.
Aduh! Kalau kacamata Oakley nya sih ga masalah, tapi kenapa diungkapkan juga harga 15ribuannya?
Anak-anak memang jujur.
Catatan 3
Sejak kecil, sejak usia 1 tahun, Idan telah didoktrin dan dicekoki minuman tertentu tempat di mana aku bekerja. Wajar rasanya jika aku sebagai orang tua, mendoktrin anaknya agar hanya mengkonsumsi produk tempat aku bekerja. Bukannya Idan tidak mau dengan minuman lain, tapi aku selalu –dengan jahatnya- mengatakan bahwa minuman lain itu bahaya, ga boleh diminum. Suatu black campaign dari seorang bapak terhadap anaknya.
Doktrin itu memang cukup berhasil, dimana Idan hanya mau mengkonsumsi minuman tempat aku bekerja saja, dengan dalih yang lain bahaya
Suatu hari di ADA Swalayan Bogor.
Idan aku ajak jalan-jalan. Tidak ada yang dibeli, hanya window shopping di lorong ADA Swalayan Bogor. Mengambil hanya seperlunya, karena memang tidak ada yang diniatkan untuk dibeli. Idan mengambil beberapa makanan ringan, namun diam-diam aku mengembalikannya ke rak semula.
Sampailah kami ke lorong minuman kemasan, diantaranya terpajang minuman tempat aku bekerja. Idan mengambil beberapa botol dan disimpan di keranjang. Kali ini tidak aku kembalikan ke rak, karena aku rela jika Idan mengkonsumsi minuman itu.
“Pap, minuman-minuman yang ini BERBAHAYA, ya!” sontak Idan berteriak sambil menunjuk sederetan minuman kemasan mulai dari yang berbahan teh maupun karbonasi.
Teriakan keras, yang aku yakin seluruh orang di lorong minuman mendengar teriakan itu. Beberapa SPG yang sedang merapikan produk-produk minuman yang dituduh Idan berbahaya tadi, mendelik, cemberut ke arahku, wajahnya menunjukkan protes keras. Beberapa pembeli yang sedang melihat-lihat mendadak ikut menatapku dan mengambil salah satu minuman yang telah masuk keranjangnya dan memeriksa kandungan yang ada dalam kemasan minuman itu.
Sepertinya para pengunjung yang mendengar teriakan Idan, mulai termakan kata-kata Idan, dan mulai tidak percaya terhadap minuman yang mereka beli.
Aduh! Idan! Tanpa banyak bicara aku bawa Idan keluar, membayar dengan cepat dan kabur secepatnya.
Hmm…lagi-lagi, anak-anak memang jujur.
Palangkaraya, 24 Februari 09
Catatan 1
Suatu saat di Botani Square Bogor.
“Pap, aku mau popcorn!” Idan –anak laki-laki ku- merengek minta dibelikan popcorn di lantai Lower Ground di Botani Square. Biasanya memang Idan dibelikan popcorn bermerk Act II yang langsung diolah di microwave dan dalam 3 menit sudah bisa dinikmati.
“Nanti saja belinya, kalau kita mau pulang!” janjiku pada Idan.
Idan manggut, lanjutlah kami berdua berkeliling mal. Sampai masa bosan berkeliling, kami masuk ke Pasar Swalayan Giant untuk membeli beberapa titipan istriku. Di Giant kami melihat satu standing booth yang menjual popcorn yang dikemas kotak kertas dan plastik. Kemasannya menarik dan Idan pun tergiur,
“Pap, beli popcorn itu saja!” Idan mulai meminta
“Jangan yang itu, popcorn yang itu ga enak! Enakan yang di bawah! Yang ini gulanya beracun!” kilahku pada Idan.
Popcorn itu memang kurang enak dibanding yang dijual di bawah, yang biasa kami beli. Idan pun setuju, dan kami meninggalkan standing booth tadi.
Berkeliling kami ke pelosok Giant, membeli berbagai keperluan, dan tibalah kami kembali ke standing booth penjual popcorn tadi. Spontan, tanpa diduga, Idan berteriak dengan lantang tepat di depan SPG penjual popcorn,
“Pap, jangan popcorn ini ya! Popcorn ini ga enak! Enakan yang dibawah! Yang ini gulanya beracun” lantang Idan berteriak, membahana ke seantero lorong standing booth penjual popcorn itu, terdengar sampai ke telinga siapapun di situ termasuk si penjual popcorn.
Mbak si penjual popcorn terlihat cemberut, parahnya lagi beberapa ibu yang berencana beli popcorn mengembalikan popcorn itu dan pergi menjauh. Ada yang tetap membawa popcornnya namun menyimpannya sembarangan di rak yang lain. Teriakan Idan benar-benar menjatuhkan mental si penjual, dan membuat aku salah tingkah. Segera aku menjauh, menggiring Idan ke tempat yang lebih aman.
Anak-anak memang jujur.
Catatan 2
Suatu saat di TK Akbar kelas TK B
Seperti biasa setiap Sabtu, jadwalku mengantar jemput Idan. Biasanya bersama istri, namun saat itu kami berbagi tugas, aku menjemput Idan, istriku menjemput Kekey –anak keduaku.
Saat bengong menunggu di depan pintu masuk kelas, Ibu Kepala Sekolah menghampiri.
“Apa kabar, Pa?” sapa Ibu Kepala Sekolah
“Baik Bu.” jawabku
“Tumben sendirian?” Ibu Kepala Sekolah berkata
“Iya, bagi tugas sama ibunya.” jawab ku basa-basi
Tidak lama Idan muncul,
“Paaappppp!” teriaknya heboh.
“Nah ini Idan!” ujar Ibu Kepala Sekolah.
“Idan mana kacamata Oakley nya, katanya baru dibeliin kacamata Oakley sama Pipap?” ujar Ibu Kepala Sekolah.
Hah! Kacamata Oakley? Tahu darimana Ibu Kepala Sekolah mengenai kacamata Oakley?
Beberapa hari sebelumnya aku memang membeli kacamata Oakley di dekat stadion Sempaja Samarinda. Pada saat itu aku sedang bertugas di PON Kaltim, cuaca panas, sehingga sangat penting jika aku menggunakan kacamata hitam. Kacamata Oakley itu palsu, aku membelinya pun hanya seharga 15ribu rupiah. Bandingkan dengan Oakley asli yang bisa 1 jutaan lebih.
Aku memang berkata kepada Idan,
“Idan ini kacamata Oakley buat Idan, harganya 15ribu!” ujar ku
Mungkin kata-kata itu benar-benar melekat di otaknya dan disampaikan ke seluruh antero sekolah, sampai Ibu Kepala Sekolah pun tahu.
“Iya, Idan kemarin cerita, katanya Pipapnya baru beli kacamata Oakley yang harganya 15ribuan!” begitu Ibu Kepala Sekolah berkata.
Aduh! Kalau kacamata Oakley nya sih ga masalah, tapi kenapa diungkapkan juga harga 15ribuannya?
Anak-anak memang jujur.
Catatan 3
Sejak kecil, sejak usia 1 tahun, Idan telah didoktrin dan dicekoki minuman tertentu tempat di mana aku bekerja. Wajar rasanya jika aku sebagai orang tua, mendoktrin anaknya agar hanya mengkonsumsi produk tempat aku bekerja. Bukannya Idan tidak mau dengan minuman lain, tapi aku selalu –dengan jahatnya- mengatakan bahwa minuman lain itu bahaya, ga boleh diminum. Suatu black campaign dari seorang bapak terhadap anaknya.
Doktrin itu memang cukup berhasil, dimana Idan hanya mau mengkonsumsi minuman tempat aku bekerja saja, dengan dalih yang lain bahaya
Suatu hari di ADA Swalayan Bogor.
Idan aku ajak jalan-jalan. Tidak ada yang dibeli, hanya window shopping di lorong ADA Swalayan Bogor. Mengambil hanya seperlunya, karena memang tidak ada yang diniatkan untuk dibeli. Idan mengambil beberapa makanan ringan, namun diam-diam aku mengembalikannya ke rak semula.
Sampailah kami ke lorong minuman kemasan, diantaranya terpajang minuman tempat aku bekerja. Idan mengambil beberapa botol dan disimpan di keranjang. Kali ini tidak aku kembalikan ke rak, karena aku rela jika Idan mengkonsumsi minuman itu.
“Pap, minuman-minuman yang ini BERBAHAYA, ya!” sontak Idan berteriak sambil menunjuk sederetan minuman kemasan mulai dari yang berbahan teh maupun karbonasi.
Teriakan keras, yang aku yakin seluruh orang di lorong minuman mendengar teriakan itu. Beberapa SPG yang sedang merapikan produk-produk minuman yang dituduh Idan berbahaya tadi, mendelik, cemberut ke arahku, wajahnya menunjukkan protes keras. Beberapa pembeli yang sedang melihat-lihat mendadak ikut menatapku dan mengambil salah satu minuman yang telah masuk keranjangnya dan memeriksa kandungan yang ada dalam kemasan minuman itu.
Sepertinya para pengunjung yang mendengar teriakan Idan, mulai termakan kata-kata Idan, dan mulai tidak percaya terhadap minuman yang mereka beli.
Aduh! Idan! Tanpa banyak bicara aku bawa Idan keluar, membayar dengan cepat dan kabur secepatnya.
Hmm…lagi-lagi, anak-anak memang jujur.
Palangkaraya, 24 Februari 09
Label:
Sebuah Renungan Hati
Rabu, 25 Februari 2009
“Lho, Kok Lu Ada Disini?”
Namanya F, laki-laki muda, cukup mudah bergaul dengan sesama. Selisih setahun dengan ku di SMA. Aku tidak mengenal baik F, hanya sekedar tahu ada orang bernama F, anak SMA angkatan lulus 94.
Setelah lulus 1993, aku kerap bolak balik ke sekolah. Ada undangan memang, dari adik-adik kelasku dalam kelompok Paskibraka. Selain itu kedatanganku juga dalam rangka misi khusus yaitu : cari jodoh!
Adalah N, gadis manis kelahiran Majalengka, merantau ke Bogor untuk melanjutkan sekolah. Gadis ini benar-benar menarik perhatian ku. Sejak pertama bertemu, aku merasa klop, merasa nge-blend, merasa ”masuk” dengan seluruh obrolannya. Aku tipe laki-laki yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Namun terhadap N, aku langsung punya feeling lain.
Pendekatan lancar, dibantu pihak ketiga –D, teman karib N- seluruh informasi tergali dengan baik. Nomor telepon, alamat rumah, dan info terpenting : belum punya pacar!
Berbekal info itu, aku melangkah tegap, percaya diri, dan penuh keyakinan untuk mendekati N. Aku yakin, gadis semanis ini tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja oleh para laki-laki muda yang mencoba mendekati. Langkah strategik ku waktu itu adalah : segera dekati dan miliki dia!
Mantap aku melangkah ke rumah N –di daerah Utara Bogor- untuk pertama kali mengunjungi gadis ini. Tidak ada bunga, tidak ada coklat, tidak ada kado kecil yang aku bawa. Hanya sebersit keberanian untuk menemuinya di rumahnya, dengan konsekuensi bertemu Bapaknya atau Kakaknya atau siapa pun yang mungkin overacting mencoba melindunginya.
Kuketuk pintu rumah, lama aku tunggu, tak ada satupun orang keluar membukakan pintu, 1 menit, 2 menit, 5 menit, aku terpaku di depan pintu. Menunduk! Cemas!
Seketika aku menengadahkan kepala, aku melihat tombol bel menempel di pinggir sisi kanan pintu.
”Sial! Ternyata ada bel!” meracau aku dalam hati memaki kebodohan ku.
Ku tekan bel dan terdengar bunyi,
”Ting Tong!”
Disusul suara, ”Assalamualaikum!” hasil rekaman digital dari bunyi bel.
Tak lama terdengar kunci pintu diputar. Ini dia keluar orangnya. Bersiap aku sejenak, sedikit membetulkan baju dan menyisir rambut dengan tangan, kulakukan dengan cepat dan sekilas, kuyakin yang muncul adalah N.
Pintu terbuka dan...
Keluar seorang laki-laki muda yang selama ini aku kenal sebagai adik kelas ku, F!
Spontan aku menukas,
”Lho, kok lu disini?”
Ada nada cemburu dalam kalimat itu. Ada nada prasangka.
”Jangan-jangan ini cowoknya N!”
Perasaan ku mendadak tidak karuan,
”Sial! Katanya ga punya pacar!”
”Atau mungkin F lagi pendekatan juga?”
”Tapi, kok, F bercelana pendek? Mana mungkin bertamu dengan celana pendek”
Tatap curiga dan kesal keluar dari aura ku. Sekilas pikiran ku campur aduk, ternyata ada yang mendahuluiku, ternyata ada yang menyusul di tikungan, atau ternyata ada yang mencuri start duluan.
Tapi tunggu dulu!
”Siapa tahu mereka hanya berteman, siapa tahu F adalah teman dari kakak N, atau pacar dari kakak N!”
Pro kontra muncul berkelebatan di otak ku.
Akhirnya semua terjawab,
”Ya iya, gua kan tinggal disini, ini rumah gua!” F menjawab pendek
Eh, tunggu...tunggu....
”Rumah Lu?”
”Lu mau ketemu N? N itu sepupu gua, tinggal disini juga!”
”Oh gitu!”
Terpancar kelegaan di wajahku, hilang ketegangan di urat leher ku, terhempas beban mendekam di hatiku.
Ternyata....
Jodoh memang tidak kemana. Dan sampai saat ini N tetap setia selama hampir 7 tahun mendampingiku, menjadi istriku.
Jakarta, 14 Januari 09
Setelah lulus 1993, aku kerap bolak balik ke sekolah. Ada undangan memang, dari adik-adik kelasku dalam kelompok Paskibraka. Selain itu kedatanganku juga dalam rangka misi khusus yaitu : cari jodoh!
Adalah N, gadis manis kelahiran Majalengka, merantau ke Bogor untuk melanjutkan sekolah. Gadis ini benar-benar menarik perhatian ku. Sejak pertama bertemu, aku merasa klop, merasa nge-blend, merasa ”masuk” dengan seluruh obrolannya. Aku tipe laki-laki yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Namun terhadap N, aku langsung punya feeling lain.
Pendekatan lancar, dibantu pihak ketiga –D, teman karib N- seluruh informasi tergali dengan baik. Nomor telepon, alamat rumah, dan info terpenting : belum punya pacar!
Berbekal info itu, aku melangkah tegap, percaya diri, dan penuh keyakinan untuk mendekati N. Aku yakin, gadis semanis ini tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja oleh para laki-laki muda yang mencoba mendekati. Langkah strategik ku waktu itu adalah : segera dekati dan miliki dia!
Mantap aku melangkah ke rumah N –di daerah Utara Bogor- untuk pertama kali mengunjungi gadis ini. Tidak ada bunga, tidak ada coklat, tidak ada kado kecil yang aku bawa. Hanya sebersit keberanian untuk menemuinya di rumahnya, dengan konsekuensi bertemu Bapaknya atau Kakaknya atau siapa pun yang mungkin overacting mencoba melindunginya.
Kuketuk pintu rumah, lama aku tunggu, tak ada satupun orang keluar membukakan pintu, 1 menit, 2 menit, 5 menit, aku terpaku di depan pintu. Menunduk! Cemas!
Seketika aku menengadahkan kepala, aku melihat tombol bel menempel di pinggir sisi kanan pintu.
”Sial! Ternyata ada bel!” meracau aku dalam hati memaki kebodohan ku.
Ku tekan bel dan terdengar bunyi,
”Ting Tong!”
Disusul suara, ”Assalamualaikum!” hasil rekaman digital dari bunyi bel.
Tak lama terdengar kunci pintu diputar. Ini dia keluar orangnya. Bersiap aku sejenak, sedikit membetulkan baju dan menyisir rambut dengan tangan, kulakukan dengan cepat dan sekilas, kuyakin yang muncul adalah N.
Pintu terbuka dan...
Keluar seorang laki-laki muda yang selama ini aku kenal sebagai adik kelas ku, F!
Spontan aku menukas,
”Lho, kok lu disini?”
Ada nada cemburu dalam kalimat itu. Ada nada prasangka.
”Jangan-jangan ini cowoknya N!”
Perasaan ku mendadak tidak karuan,
”Sial! Katanya ga punya pacar!”
”Atau mungkin F lagi pendekatan juga?”
”Tapi, kok, F bercelana pendek? Mana mungkin bertamu dengan celana pendek”
Tatap curiga dan kesal keluar dari aura ku. Sekilas pikiran ku campur aduk, ternyata ada yang mendahuluiku, ternyata ada yang menyusul di tikungan, atau ternyata ada yang mencuri start duluan.
Tapi tunggu dulu!
”Siapa tahu mereka hanya berteman, siapa tahu F adalah teman dari kakak N, atau pacar dari kakak N!”
Pro kontra muncul berkelebatan di otak ku.
Akhirnya semua terjawab,
”Ya iya, gua kan tinggal disini, ini rumah gua!” F menjawab pendek
Eh, tunggu...tunggu....
”Rumah Lu?”
”Lu mau ketemu N? N itu sepupu gua, tinggal disini juga!”
”Oh gitu!”
Terpancar kelegaan di wajahku, hilang ketegangan di urat leher ku, terhempas beban mendekam di hatiku.
Ternyata....
Jodoh memang tidak kemana. Dan sampai saat ini N tetap setia selama hampir 7 tahun mendampingiku, menjadi istriku.
Jakarta, 14 Januari 09
Selasa, 24 Februari 2009
“Hiduplah! Meski Engkau Ingin Mati!”
Beberapa waktu yang lalu, di saat yang hampir bersamaan, datang dua email dari dua rekan berbeda. Keduanya mengeluhkan hal yang sama, tapi dengan latar belakang berbeda.
Email teman pertama, pagi sekitar jam 10an :”Duh! Gua asli bosen! Bosen dengan kerjaan sekarang! Kayaknya kerjaannya cuma segitu aja. Kemampuan gua ga berkembang! Frustrasi gua”
Email teman kedua, malam sekitar jam 10an juga :
“Din, gua jobless nih! Udah lama nganggur! Gua butuh uang buat anak-anak gua! Kalau gini terus, bisa frustrasi gua!”
Kedua teman itu mengeluhkan hal yang sama. Keduanya frustrasi. Keduanya berada pada ambang batas kebosanan. Meskipun keduanya berada pada latar belakang yang berbeda. Yang satu frustrasi karena pekerjaannya membosankan, yang lain frustrasi karena tidak punya pekerjaan.
Apa yang harus aku jawab atas keluhan mereka?
Aku langsung teringat salah satu episode talkshow di sebuah TV swasta ternama. Aku sempat menyaksikan acara itu, tidak sampai selesai, namun aku beruntung karena mendapat sebuah pernyataan berharga dari sang bintang tamu, yaitu :
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Spontan aku balas email mereka dengan kalimat itu. Tidak banyak penjelasan aku berikan, aku hanya meminta untuk dibaca dan dipahami dengan interpretasi masing-masing.
Renungan ku menerawang pada diriku sendiri. Mungkin kah aku mengalami hal seperti yang dialami mereka? Apa yang aku lakukan jika menjadi mereka? Akankah aku bertahan?
Terawang itu mendadak sontak buyar manakala aku menyadari bahwa akupun berhak dan bisa mengambil hikmah dari kalimat itu. Mengulang ku coba memahami lagi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
“Sekarang! Lihat aku!” begitu sisi hati ku berbicara. Bekerja seolah tak berbatas waktu. Seperti mesin yang hanya overhaul 6 bulan sekali. Bekerja 3 shift tanpa henti. Ya itulah aku jika aku boleh menganalogikan. Bekerja Senin – Jumat, diluar kota, jauh dari keluarga, keliling area, menggunakan transportasi udara, dan penuh resiko.
Di suatu malam, sepulang aku dari sebuah kota, jam 23.30.
Aku lihat istri dan anak-anak sudah tidur.
Aku lihat anak pertama ku. Sudah besar dia sekarang. Lebih besar dari usianya. Aku teringat ketika dia bayi, aku berjanji mengajarinya naik sepesa roda dua. Aku ingin dia bisa mengendarai sepeda roda dua atas didikan ku. Namun apa yang terjadi, dia sekarang sudah bisa mengendarai sepeda roda dua tanpa aku mengetahuinya. Dia belajar sendiri. Tanpa bantuan siapa pun, hanya baby sitter nya yang mengawasinya dari jauh. Sesal aku dibuatnya.
Aku lihat anak kedua ku. Cantik sekali. Mirip ibunya. Aku yakin kelak dia dewasa, banyak pria yang datang ke rumah untuk mendekatinya. Dan aku berjanji akan menjaganya agar dia tidak sakit hati seperti halnya sakit hatinya perempuan karena ulahku. Ketika anak kedua ku lahir, aku pun berjanji, kelak aku ingin mengajarinya membaca doa, setidaknya membaca doa untuk ibu dan bapak. Sebuah doa sederhana yang bermakna dalam untuk keselamatan aku dan istriku kelak di akhirat nanti. Namun apa yang terjadi, anak keduaku sudah dengan fasih membaca doa itu. Tanpa aku yang berada di sampingnya. Lagi-lagi sesal aku dibuatnya.
Aku lihat istriku. Di dalam pejamnya kurasakan lelah. Setiap hari selama seminggu –kecuali Sabtu Minggu- istriku seakan single parent, yang membesarkan anak sendirian, memberikan nafkah dengan bekerja, dan mendidik segala sesuatu yang diperlukan anak. Pernyataan cinta via sms rasanya belum cukup untuk mengobati kelelahan itu. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah aku menyakiti hatinya lagi, tidak akan pernah ada khianat yang akan aku lakukan, dan tidak akan pernah hatiku sanggup untuk berpaling.
Melihat ketiga kilau mutiara ku itu , membuatku luluh, membuatku ingin berhenti berjalan, ingin rasanya mematikan mesin ini, shut down, dan kemudian menggantinya dengan romantisme dan sense of art untuk mereka. Mesin ini perlu overhaul atau mungkin sudah tidak ingin lagi beroperasi. Sudah terlalu banyak kehilanganku akan saat-saat bersama mereka. Saat-saat yang tak mungkin kembali dan hanya aku dapatkan dari sekedar cerita bukan pengalaman pribadi. Aku tidak tahu bagaimana sensasi mengajari anakku mengendarai sepeda roda dua, aku tidak tahu bagaimana nikmatnya mendengar anakku lancar membaca doa, dan aku juga tidak tahu bagaimana indahnya lelah ketika sibuk bermain bersama anak-anak.
Apakah aku harus berhenti? Renungan ku kembali ke kalimat tadi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Aku bisa saja berhenti dan mati, namun apakah itu jalan terbaik? Rasanya aku tidak perlu mati, mesin ini tak perlu shut down, harus tetap beroperasi. Karena dengan berjalannya mesin ini, maka akan memberikan kehidupan bagi sekitar. Aku tetap harus hidup, tetap melangkah, tetap berkiprah, dan tetap maju. Aku melakukan itu bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk orang sekitar. Untuk istriku, untuk anak-anakku dan untuk siapa pun yang bisa mengambil makna dari kiprahku.
Banda Aceh, Januari 09
Email teman pertama, pagi sekitar jam 10an :”Duh! Gua asli bosen! Bosen dengan kerjaan sekarang! Kayaknya kerjaannya cuma segitu aja. Kemampuan gua ga berkembang! Frustrasi gua”
Email teman kedua, malam sekitar jam 10an juga :
“Din, gua jobless nih! Udah lama nganggur! Gua butuh uang buat anak-anak gua! Kalau gini terus, bisa frustrasi gua!”
Kedua teman itu mengeluhkan hal yang sama. Keduanya frustrasi. Keduanya berada pada ambang batas kebosanan. Meskipun keduanya berada pada latar belakang yang berbeda. Yang satu frustrasi karena pekerjaannya membosankan, yang lain frustrasi karena tidak punya pekerjaan.
Apa yang harus aku jawab atas keluhan mereka?
Aku langsung teringat salah satu episode talkshow di sebuah TV swasta ternama. Aku sempat menyaksikan acara itu, tidak sampai selesai, namun aku beruntung karena mendapat sebuah pernyataan berharga dari sang bintang tamu, yaitu :
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Spontan aku balas email mereka dengan kalimat itu. Tidak banyak penjelasan aku berikan, aku hanya meminta untuk dibaca dan dipahami dengan interpretasi masing-masing.
Renungan ku menerawang pada diriku sendiri. Mungkin kah aku mengalami hal seperti yang dialami mereka? Apa yang aku lakukan jika menjadi mereka? Akankah aku bertahan?
Terawang itu mendadak sontak buyar manakala aku menyadari bahwa akupun berhak dan bisa mengambil hikmah dari kalimat itu. Mengulang ku coba memahami lagi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
“Sekarang! Lihat aku!” begitu sisi hati ku berbicara. Bekerja seolah tak berbatas waktu. Seperti mesin yang hanya overhaul 6 bulan sekali. Bekerja 3 shift tanpa henti. Ya itulah aku jika aku boleh menganalogikan. Bekerja Senin – Jumat, diluar kota, jauh dari keluarga, keliling area, menggunakan transportasi udara, dan penuh resiko.
Di suatu malam, sepulang aku dari sebuah kota, jam 23.30.
Aku lihat istri dan anak-anak sudah tidur.
Aku lihat anak pertama ku. Sudah besar dia sekarang. Lebih besar dari usianya. Aku teringat ketika dia bayi, aku berjanji mengajarinya naik sepesa roda dua. Aku ingin dia bisa mengendarai sepeda roda dua atas didikan ku. Namun apa yang terjadi, dia sekarang sudah bisa mengendarai sepeda roda dua tanpa aku mengetahuinya. Dia belajar sendiri. Tanpa bantuan siapa pun, hanya baby sitter nya yang mengawasinya dari jauh. Sesal aku dibuatnya.
Aku lihat anak kedua ku. Cantik sekali. Mirip ibunya. Aku yakin kelak dia dewasa, banyak pria yang datang ke rumah untuk mendekatinya. Dan aku berjanji akan menjaganya agar dia tidak sakit hati seperti halnya sakit hatinya perempuan karena ulahku. Ketika anak kedua ku lahir, aku pun berjanji, kelak aku ingin mengajarinya membaca doa, setidaknya membaca doa untuk ibu dan bapak. Sebuah doa sederhana yang bermakna dalam untuk keselamatan aku dan istriku kelak di akhirat nanti. Namun apa yang terjadi, anak keduaku sudah dengan fasih membaca doa itu. Tanpa aku yang berada di sampingnya. Lagi-lagi sesal aku dibuatnya.
Aku lihat istriku. Di dalam pejamnya kurasakan lelah. Setiap hari selama seminggu –kecuali Sabtu Minggu- istriku seakan single parent, yang membesarkan anak sendirian, memberikan nafkah dengan bekerja, dan mendidik segala sesuatu yang diperlukan anak. Pernyataan cinta via sms rasanya belum cukup untuk mengobati kelelahan itu. Aku berjanji dalam hati tidak akan pernah aku menyakiti hatinya lagi, tidak akan pernah ada khianat yang akan aku lakukan, dan tidak akan pernah hatiku sanggup untuk berpaling.
Melihat ketiga kilau mutiara ku itu , membuatku luluh, membuatku ingin berhenti berjalan, ingin rasanya mematikan mesin ini, shut down, dan kemudian menggantinya dengan romantisme dan sense of art untuk mereka. Mesin ini perlu overhaul atau mungkin sudah tidak ingin lagi beroperasi. Sudah terlalu banyak kehilanganku akan saat-saat bersama mereka. Saat-saat yang tak mungkin kembali dan hanya aku dapatkan dari sekedar cerita bukan pengalaman pribadi. Aku tidak tahu bagaimana sensasi mengajari anakku mengendarai sepeda roda dua, aku tidak tahu bagaimana nikmatnya mendengar anakku lancar membaca doa, dan aku juga tidak tahu bagaimana indahnya lelah ketika sibuk bermain bersama anak-anak.
Apakah aku harus berhenti? Renungan ku kembali ke kalimat tadi,
“Hiduplah! Meski engkau ingin mati! Namun jika kau tak ingin, setidaknya hiduplah untuk orang disekitar mu!”
Aku bisa saja berhenti dan mati, namun apakah itu jalan terbaik? Rasanya aku tidak perlu mati, mesin ini tak perlu shut down, harus tetap beroperasi. Karena dengan berjalannya mesin ini, maka akan memberikan kehidupan bagi sekitar. Aku tetap harus hidup, tetap melangkah, tetap berkiprah, dan tetap maju. Aku melakukan itu bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk orang sekitar. Untuk istriku, untuk anak-anakku dan untuk siapa pun yang bisa mengambil makna dari kiprahku.
Banda Aceh, Januari 09
Label:
Sebuah Renungan Hati
Senin, 23 Februari 2009
Toleransi Longgar Sebuah Hati
Manado, kota seribu gereja. Kiri kanan dengan jarak yang hampir berdekatan, aku melihat gereja, mulai dari yang permanent dan mewah hingga gereja yang hanya bertembok kayu dan sederhana. Tidak hanya Manado, namun sepertinya sebagian besar Sulawesi Utara, karena ketika berjalan ke arah Kabupaten Minahasa baik Selatan, Barat, Timur, dan Utara, juga ke arah Tomohon dan Tondano, ribuan gereja bertebaran di wilayah itu. Tidak heran karena umat Kristiani baik Katolik, Kristen, Protestan, dan Advent mendominasi jumlah penduduk di Provinsi itu.
Hal lain yang aku lihat, poster caleg yang bertebaran di berbagai pelosok Sulawesi Utara, menampilkan nama-nama yang unik. Wewengkang, Karamoy, Rotinsulu, Manoppo, dan banyak lagi nama-nama unik khas Sulawesi Utara. Kabarnya nama-nama itu akan berbeda-beda tergantung dari nama khas daerah, seperti nama khas Tomohon, Tondano atau Minahasa.
Di samping itu ternyata ketika aku baca di sebuah harian nasional yang membahas mengenai Sulawesi Utara, provinsi itu terbagi menjadi tiga kultur besar yaitu kultur Minahasa, kultur Bolaang Mongondow, dan kultur Sangihe & Talaud. Ketiga kultur tersebut membentuk karakter Sulawesi Utara yang penuh toleransi, mengakui keberagaman, meski didominasi suatu agama tertentu.
Begitu saja bahasan mengenai kedaerahan Sulawesi Utara. Bukan itu yang aku mau bahas. Tidak mengenai agama, tidak mengenai keragaman kultur, dan tidak mengenai foto-foto caleg.
Suatu hari Jumat di Tomohon.
Pagi-pagi kami –aku, si Bos, pemilik distributor, dan supervisor ku- meluncur menuju Tomohon. Berjarak waktu sekitar 1 jam dari Manado. Sesampainya di Tomohon, kami berkeliling pasar, seperti biasa mengunjungi toko-toko, menanyai pemilik toko, melihat produk kompetitor, dan sedikit membeli makanan-makanan khas Tomohon.
Waktu berlalu, tak terasa waktu shalat Jumat tiba. Shalat Jumat dimana, ya? Di Tomohon sepenglihatan ku tidak ada satupun mesjid berdiri. Pukul 11.30 biasanya aku sudah bersiap-siap, nongkrong di mesjid, walaupun bukan berzikir –mungkin malah tidur- tapi aku sudah bersiap melakukan shalat Jumat.
Resah aku memikirkan saat itu, shalat Jumat dimana?
Detik berlalu, dan memang tidak ada tempat untuk shalat Jumat. Tapi sudut hatiku mencoba menoleransi,
“Ah, kan suasananya lain, di sini tidak ada mesjid, dan aku jauh ratusan kilometer dari tempat domisiliku, jadi nanti saja di Jama’ dengan Ashar!” suara hati toleransi itu muncul begitu saja.
Alhasil memang aku jadi tidak shalat Jumat hari itu.
Sorenya, saat di pesawat, saat merenung, saat menyendiri di Seat 15A Garuda, sambil memandang segerombolan awan, aku berpikir,
“Kenapa aku tidak shalat Jumat hari ini? Ok lah, aku tidak shalat Jumat karena tidak ada mesjid di sekitar situ, karena jarak ratusan kilometer dari tempat domisili, karena bisa saja di Jama’ Takhir dengan Ashar. Tapi kenapa hatiku berkata lain? Kenapa ada yang tidak sreg dihatiku saat itu?” kecamuk pertanyaan di hati.
Dulu aku berpendapat, boleh saja shalat di Jama’ dengan kondisi yang memang diperlukan, misal waktu Ashar di pesawat sehingga tidak memungkinkan untuk shalat secara normal. Jikapun waktu itu aku berada jauh ratusan kilometer dari tempat domisili, jika ketemu mesjid, ketemu ruang untuk shalat sebaiknya shalat, tidak perlu di Jama’. Dan aku resah luar biasa ketika aku tidak menemukan ruang atau mesjid untuk shalat.
Namun kenapa rasa resah itu hilang ketika tadi tidak ada ruang untuk shalat Jumat? Kenapa aku seperti tenang-tenang saja ketika tidak ada satupun mesjid yang bisa aku tempati untuk shalat Jumat? Tidak ada lagi rasa resah yang dulu saat aku begitu bela-belain cari tempat shalat.
Ada apa dengan ku ini? Kemana rasa resah itu? Kemana rasa kosong di hati ketika terlewat waktu shalat? Kenapa aku sekarang tenang-tenang saja ketika kehilangan shalat?
Aku mengakui lemahnya hati ini, aku mengakui lemahnya iman ini. Aku sudah terlalu longgar menoleransi hati. Aku ingin kembali merasakan resah ketika kehilangan shalat, aku ingin kembali merasakan sedih luar biasa ketika waktu shalat terlewat. Semua kembali pada diriku, pada hati ini. Bukan pada siapa-siapa, bukan pada ketiadaan mesjid di suatu daerah, bukan pada ketiadaan waktu untuk shalat, bukan pada kesibukan luar biasa yang menyingkirkan waktu shalat. Tapi ada pada diriku, ada pada hatiku, dan ada pada niatku.
Ya Allah, ampuni kelemahan iman ini, aku ingin tobat, meski seringkali salah itu aku ulangi….
Bogor, 23 Februari 2009
Hal lain yang aku lihat, poster caleg yang bertebaran di berbagai pelosok Sulawesi Utara, menampilkan nama-nama yang unik. Wewengkang, Karamoy, Rotinsulu, Manoppo, dan banyak lagi nama-nama unik khas Sulawesi Utara. Kabarnya nama-nama itu akan berbeda-beda tergantung dari nama khas daerah, seperti nama khas Tomohon, Tondano atau Minahasa.
Di samping itu ternyata ketika aku baca di sebuah harian nasional yang membahas mengenai Sulawesi Utara, provinsi itu terbagi menjadi tiga kultur besar yaitu kultur Minahasa, kultur Bolaang Mongondow, dan kultur Sangihe & Talaud. Ketiga kultur tersebut membentuk karakter Sulawesi Utara yang penuh toleransi, mengakui keberagaman, meski didominasi suatu agama tertentu.
Begitu saja bahasan mengenai kedaerahan Sulawesi Utara. Bukan itu yang aku mau bahas. Tidak mengenai agama, tidak mengenai keragaman kultur, dan tidak mengenai foto-foto caleg.
Suatu hari Jumat di Tomohon.
Pagi-pagi kami –aku, si Bos, pemilik distributor, dan supervisor ku- meluncur menuju Tomohon. Berjarak waktu sekitar 1 jam dari Manado. Sesampainya di Tomohon, kami berkeliling pasar, seperti biasa mengunjungi toko-toko, menanyai pemilik toko, melihat produk kompetitor, dan sedikit membeli makanan-makanan khas Tomohon.
Waktu berlalu, tak terasa waktu shalat Jumat tiba. Shalat Jumat dimana, ya? Di Tomohon sepenglihatan ku tidak ada satupun mesjid berdiri. Pukul 11.30 biasanya aku sudah bersiap-siap, nongkrong di mesjid, walaupun bukan berzikir –mungkin malah tidur- tapi aku sudah bersiap melakukan shalat Jumat.
Resah aku memikirkan saat itu, shalat Jumat dimana?
Detik berlalu, dan memang tidak ada tempat untuk shalat Jumat. Tapi sudut hatiku mencoba menoleransi,
“Ah, kan suasananya lain, di sini tidak ada mesjid, dan aku jauh ratusan kilometer dari tempat domisiliku, jadi nanti saja di Jama’ dengan Ashar!” suara hati toleransi itu muncul begitu saja.
Alhasil memang aku jadi tidak shalat Jumat hari itu.
Sorenya, saat di pesawat, saat merenung, saat menyendiri di Seat 15A Garuda, sambil memandang segerombolan awan, aku berpikir,
“Kenapa aku tidak shalat Jumat hari ini? Ok lah, aku tidak shalat Jumat karena tidak ada mesjid di sekitar situ, karena jarak ratusan kilometer dari tempat domisili, karena bisa saja di Jama’ Takhir dengan Ashar. Tapi kenapa hatiku berkata lain? Kenapa ada yang tidak sreg dihatiku saat itu?” kecamuk pertanyaan di hati.
Dulu aku berpendapat, boleh saja shalat di Jama’ dengan kondisi yang memang diperlukan, misal waktu Ashar di pesawat sehingga tidak memungkinkan untuk shalat secara normal. Jikapun waktu itu aku berada jauh ratusan kilometer dari tempat domisili, jika ketemu mesjid, ketemu ruang untuk shalat sebaiknya shalat, tidak perlu di Jama’. Dan aku resah luar biasa ketika aku tidak menemukan ruang atau mesjid untuk shalat.
Namun kenapa rasa resah itu hilang ketika tadi tidak ada ruang untuk shalat Jumat? Kenapa aku seperti tenang-tenang saja ketika tidak ada satupun mesjid yang bisa aku tempati untuk shalat Jumat? Tidak ada lagi rasa resah yang dulu saat aku begitu bela-belain cari tempat shalat.
Ada apa dengan ku ini? Kemana rasa resah itu? Kemana rasa kosong di hati ketika terlewat waktu shalat? Kenapa aku sekarang tenang-tenang saja ketika kehilangan shalat?
Aku mengakui lemahnya hati ini, aku mengakui lemahnya iman ini. Aku sudah terlalu longgar menoleransi hati. Aku ingin kembali merasakan resah ketika kehilangan shalat, aku ingin kembali merasakan sedih luar biasa ketika waktu shalat terlewat. Semua kembali pada diriku, pada hati ini. Bukan pada siapa-siapa, bukan pada ketiadaan mesjid di suatu daerah, bukan pada ketiadaan waktu untuk shalat, bukan pada kesibukan luar biasa yang menyingkirkan waktu shalat. Tapi ada pada diriku, ada pada hatiku, dan ada pada niatku.
Ya Allah, ampuni kelemahan iman ini, aku ingin tobat, meski seringkali salah itu aku ulangi….
Bogor, 23 Februari 2009
Label:
Sebuah Renungan Hati
Sabtu, 21 Februari 2009
Beda Tipis Antara Halal dan Haram di Negeri Seberang
Aku baru saja pindah dari kantor ku yang lama ke kantor yang sekarang ini. Sebenarnya jenis pekerjaannya sama, hanya produk yang berbeda. Tentu saja kulturnya pun berbeda. Dulu aku bekerja di perusahaan nasional, sekarang di perusahaan multinasional berlatar belakang Jepang.
Aku masuk 16 Agustus 04, sebagai orang baru, tentunya menghadapi budaya baru, budaya perusahaan Jepang.
Belum 3 bulan aku bekerja, tepatnya Oktober 2004, saat nikmat-nikmatnya menjalankan puasa Ramadhan, bos Jepang ku memerintahkan aku menemaninya ke Jepang. Dan kita akan menjamu 3 tamu dari Indonesia yang juga adalah klien ku yang selalu terkait pekerjaan dengan ku.
Ke Jepang? Belum pernah aku menginjakkan kaki di sana, jangankan Jepang, keluar negeri saja aku belum pernah, bahkan passport pun tidak punya.
Singkat cerita, berangkatlah aku ke Jepang, sebuah negeri sempurna jika dilihat dari sisi duniawi, namun jika dari sisi mentalitas religius, belum tentu!
Bos ku benar-benar peduli dengan para tamu termasuk juga peduli pada ku –meski aku bukan tamu- yang sangat concern pada makanan halal ataupun haram. Agak sulit mendapatkan makanan yang murni halal di sana. Apalagi jika dikaitkan dengan makanan halal versi Muslim berdasarkan syariah yang murni dan konsekuen. Dimana halal tersebut tidak hanya makanan mengandung babi atau tidak, tapi lebih dalam lagi, seperti media memasak yang bebas babi, atau ketika menyembelih pun harus sesuai syariah. Dari ketentuan dasar itu saja, aku ragu makanan halal beredar luas di Jepang.
Ok lah, tidak mengandung babi, tapi sendok sayurnya mungkin pernah dipakai untuk menyendok babi, atau ketika menyembelih ayam, dilakukan asal potong dan tanpa baca bismillah. Sulit aku rasa jika kita ingin mencari makanan halal di Jepang.
Suatu waktu, tatkala melepas lelah setelah berkeliling Tokyo, aku, si Bos, dan tiga orang tamu melepas lelah di sebuah kedai makan. Konon kabarnya, kedai itu menyediakan berbagai makanan khas Osaka, sekitar 2 jam perjalanan dari Tokyo. Osaka ini adalah juga kabarnya kampung halaman si Bos. Salah satu makanan khas Osaka yang dihidangkan itu adalah Okonomiyaki.
Memasak Okonomiyaki, menggunakan wajan datar yang unik, wajan datar itu berada di tengah meja tempat kami singgahi. Satu ruangan kedai itu terdiri dari 10 meja, dengan kursi yang terdiri dari 6 kursi di setiap mejanya. Wajan datar tadi berada tepat di tengah meja, sehingga kita menyaksikan langsung proses memasak itu. Okonomiyaki yang dibuat disesuaikan dengan jumlah orang yang duduk, sehingga setiap 1 orang akan mendapat jatah 1 Okonomiyaki.
Cara memasak Okonomiyaki, mirip dengan memasak martabak. Adonan terigu ditebar melingkar di wajan datar, ditunggu hingga setengah matang, kemudian ditaburi topping yang terdiri dari daging, taburan bawang, dan daun-daunan yang aku tidak kenal. Topping itu begitu penuh, sehingga melebihi ketebalan adonan terigu yang mendasari Okonomiyaki.
Bos ku –dalam bahasa Jepang- bebicara ke pramusaji kedai itu, kira-kira artinya adalah,
“Buatkan 6 Okonomiyaki, yang 5 topping babi, yang 1 topping ayam” ujar si Bos.
Satu topping ayam pastinya diperuntukkan bagi ku yang satu-satunya Muslim di meja itu.
“Terima kasih, Bos, dikau begitu perhatian padaku!” batinku.
Tapi…
Tidak semudah itu mendapatkan makanan halal di Jepang, itu yang mesti aku waspadai.
Benar saja, memasak Okonomiyaki tadi tepat dilakukan di depanku. Pertama, satu gelas besar isi adonan terigu, disebar menjadi enam lingkaran berdiameter 15 cm di atas wajan datar berlapis minyak yang panas. Gelas besar tadi diisi oleh daging yang telah dipotong kotak-kotak, diaduk dengan sejenis minyak, dan ditaburkan merata di 5 adonan dasar Okonomiyaki tadi.
Lho kok cuma 5? Seakan mengerti dengan keherananku, si Bos berkata,
“Yang lima ini babi, nanti yang ayam menyusul” ujar si Bos
Tak lama setelah daging babi tadi ditabur, disusul potongan daging ayam dimasukkan ke gelas besar yang sama, diaduk dengan sendok yang sama dan menggunakan minyak yang sama. Setelah diaduk beberapa saat, langsung ditabur ke satu adonan Okonomiyaki yang konon adalah jatahku.
Lengkap sudah 6 Okonomiyaki matang terhidang di atas meja, 5 topping daging babi, 1 topping daging ayam. Menggunakan gelas adonan yang sama, sendok yang sama, wajan datar yang sama, dan dijejerkan berdekatan satu sama lain. Bisakah dikatakan halal? Syariah Islam di belahan bumi manapun akan mengatakan tidak halal. Namun apa yang bisa aku perbuat. Tidak aku makan? Konsekuensinya aku akan membuat tersinggung si Bos dan tentunya jadi lapar. Aku makan? Jelas haram. Berarti ada unsur haram yang aku masukkan ke perut ku.
Akhirnya, dengan banyak pertimbangan, dengan sikap menjaga perasaan si Bos, dan tentunya dengan segala kelemahan iman, aku lahap memakan Okonomiyaki topping ayam jatahku. Lahap sekali, seolah tidak ada beban haram didalamnya. Dalam otakku hanya satu, aku tahu ini haram, ini salah, namun kalau aku tidak menikmatinya, aku rugi dua kali. Rugi karena makan makanan haram dan rugi karena tidak bisa menikmatinya.
Ampuni aku, ya Allah….
Bogor, 22 Februari 09
Aku masuk 16 Agustus 04, sebagai orang baru, tentunya menghadapi budaya baru, budaya perusahaan Jepang.
Belum 3 bulan aku bekerja, tepatnya Oktober 2004, saat nikmat-nikmatnya menjalankan puasa Ramadhan, bos Jepang ku memerintahkan aku menemaninya ke Jepang. Dan kita akan menjamu 3 tamu dari Indonesia yang juga adalah klien ku yang selalu terkait pekerjaan dengan ku.
Ke Jepang? Belum pernah aku menginjakkan kaki di sana, jangankan Jepang, keluar negeri saja aku belum pernah, bahkan passport pun tidak punya.
Singkat cerita, berangkatlah aku ke Jepang, sebuah negeri sempurna jika dilihat dari sisi duniawi, namun jika dari sisi mentalitas religius, belum tentu!
Bos ku benar-benar peduli dengan para tamu termasuk juga peduli pada ku –meski aku bukan tamu- yang sangat concern pada makanan halal ataupun haram. Agak sulit mendapatkan makanan yang murni halal di sana. Apalagi jika dikaitkan dengan makanan halal versi Muslim berdasarkan syariah yang murni dan konsekuen. Dimana halal tersebut tidak hanya makanan mengandung babi atau tidak, tapi lebih dalam lagi, seperti media memasak yang bebas babi, atau ketika menyembelih pun harus sesuai syariah. Dari ketentuan dasar itu saja, aku ragu makanan halal beredar luas di Jepang.
Ok lah, tidak mengandung babi, tapi sendok sayurnya mungkin pernah dipakai untuk menyendok babi, atau ketika menyembelih ayam, dilakukan asal potong dan tanpa baca bismillah. Sulit aku rasa jika kita ingin mencari makanan halal di Jepang.
Suatu waktu, tatkala melepas lelah setelah berkeliling Tokyo, aku, si Bos, dan tiga orang tamu melepas lelah di sebuah kedai makan. Konon kabarnya, kedai itu menyediakan berbagai makanan khas Osaka, sekitar 2 jam perjalanan dari Tokyo. Osaka ini adalah juga kabarnya kampung halaman si Bos. Salah satu makanan khas Osaka yang dihidangkan itu adalah Okonomiyaki.
Memasak Okonomiyaki, menggunakan wajan datar yang unik, wajan datar itu berada di tengah meja tempat kami singgahi. Satu ruangan kedai itu terdiri dari 10 meja, dengan kursi yang terdiri dari 6 kursi di setiap mejanya. Wajan datar tadi berada tepat di tengah meja, sehingga kita menyaksikan langsung proses memasak itu. Okonomiyaki yang dibuat disesuaikan dengan jumlah orang yang duduk, sehingga setiap 1 orang akan mendapat jatah 1 Okonomiyaki.
Cara memasak Okonomiyaki, mirip dengan memasak martabak. Adonan terigu ditebar melingkar di wajan datar, ditunggu hingga setengah matang, kemudian ditaburi topping yang terdiri dari daging, taburan bawang, dan daun-daunan yang aku tidak kenal. Topping itu begitu penuh, sehingga melebihi ketebalan adonan terigu yang mendasari Okonomiyaki.
Bos ku –dalam bahasa Jepang- bebicara ke pramusaji kedai itu, kira-kira artinya adalah,
“Buatkan 6 Okonomiyaki, yang 5 topping babi, yang 1 topping ayam” ujar si Bos.
Satu topping ayam pastinya diperuntukkan bagi ku yang satu-satunya Muslim di meja itu.
“Terima kasih, Bos, dikau begitu perhatian padaku!” batinku.
Tapi…
Tidak semudah itu mendapatkan makanan halal di Jepang, itu yang mesti aku waspadai.
Benar saja, memasak Okonomiyaki tadi tepat dilakukan di depanku. Pertama, satu gelas besar isi adonan terigu, disebar menjadi enam lingkaran berdiameter 15 cm di atas wajan datar berlapis minyak yang panas. Gelas besar tadi diisi oleh daging yang telah dipotong kotak-kotak, diaduk dengan sejenis minyak, dan ditaburkan merata di 5 adonan dasar Okonomiyaki tadi.
Lho kok cuma 5? Seakan mengerti dengan keherananku, si Bos berkata,
“Yang lima ini babi, nanti yang ayam menyusul” ujar si Bos
Tak lama setelah daging babi tadi ditabur, disusul potongan daging ayam dimasukkan ke gelas besar yang sama, diaduk dengan sendok yang sama dan menggunakan minyak yang sama. Setelah diaduk beberapa saat, langsung ditabur ke satu adonan Okonomiyaki yang konon adalah jatahku.
Lengkap sudah 6 Okonomiyaki matang terhidang di atas meja, 5 topping daging babi, 1 topping daging ayam. Menggunakan gelas adonan yang sama, sendok yang sama, wajan datar yang sama, dan dijejerkan berdekatan satu sama lain. Bisakah dikatakan halal? Syariah Islam di belahan bumi manapun akan mengatakan tidak halal. Namun apa yang bisa aku perbuat. Tidak aku makan? Konsekuensinya aku akan membuat tersinggung si Bos dan tentunya jadi lapar. Aku makan? Jelas haram. Berarti ada unsur haram yang aku masukkan ke perut ku.
Akhirnya, dengan banyak pertimbangan, dengan sikap menjaga perasaan si Bos, dan tentunya dengan segala kelemahan iman, aku lahap memakan Okonomiyaki topping ayam jatahku. Lahap sekali, seolah tidak ada beban haram didalamnya. Dalam otakku hanya satu, aku tahu ini haram, ini salah, namun kalau aku tidak menikmatinya, aku rugi dua kali. Rugi karena makan makanan haram dan rugi karena tidak bisa menikmatinya.
Ampuni aku, ya Allah….
Bogor, 22 Februari 09
Label:
Sebuah Renungan Hati
Murid “Sok Iyee…” vs Guru “Sok Galak”
Ini kisah tentang sahabat ku
Namanya F, pemuda berperawakan sedang, tidak terlalu kurus, berpembawaan selalu ceria seolah tidak pernah ada masalah dalam hidupnya.
Kebiasaan unik F ini adalah selalu berbicara dengan logat Betawi, padahal setitik pun tidak ada darah Betawi dalam dirinya. Bahkan tempat tinggalnya -tidak jauh dari ku- yaitu di sekitar pinggiran Bogor yang sehari-hari berbicara dengan Bahasa Sunda yang cenderung kasar.
Logat Betawi yang sangat sering dia gunakan adalah “Iyee…” dengan gaya seperti Mandra atau Si Doel di sinetron. Apapun atau siapa pun yang mengajukan pertaan konfirmatif atau biasa disebut “yes no question” yang diajukan, akan dijawabnya enteng dengan “Iyee…”
Kami –dan juga beberapa guru- sudah terbiasa dengan gaya seperti itu. Kami menikmati gaya itu. Kami merasa terhibur dengan gaya seperti itu.
Suatu hari, datang guru baru di kelas kami. Namanya Pa B
“Siap, beri salam!” Lantang ketua kelas kami, D, memimpin aba-aba salam.
“Slamat siang, Pa!” Serempak pula kami memberikan salam kepada Pa B
“Slamat siang!” Lantang pula Pa B menjawab, tidak hanya lantang, tapi tegas, lugas, dan menggelegar.
Kami cukup kaget mendengarnya, bahkan salah satu teman perempuan, setengah terlonjak dari duduknya mendengar gelegar suara Pa B.
“Di kelas ini saya mau buat aturan main!” gelegar suara itu muncul lagi.
Aturan main? Sibuk dalam hati kami bertanya. Kelas benar-benar hening, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik, tak ada gerutuan, bahkan untuk bernafas pun kalau bisa ditahan dulu.
Berondongan aturan main diluncurkan Pa B terhadap kami. Sebenarnya aturan main yang biasa saja, standar, tidak ada yang istimewa. Misalnya, apabila guru sedang berbicara, tidak ada murid yang berbicara sendiri-sendiri, atau tidak ada yang nyontek ketika ulangan, atau harus aktif ketika sessi diskusi, atau tidak terlambat masuk kelas, dsb, dsb, dsb.
Standar! Itu memang sudah kewajiban murid, bukan?
Kelas masih hening.
Berondongan selanjutnya lebih banyak menceritakan asal muasal Pa B. Ternyata Pa B sebelumnya mengajar di salah satu kota di Provinsi Riau di Pulau Sumatera. Cerita berlanjut, lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi beliau. Misal, bagaimana beliau menghadapi murid sekolah yang mengacungkan golok ketika nilai ulangannya jelek, atau bagaimana beliau menghadapi keroyokan orang tua murid yang anaknya tidak naik kelas, dsb, dsb, dsb.
Cerita-cerita tersebut cenderung menunjukkan keangkeran sekolah tempat beliau mengajar dulu dan menunjukkan heroisme beliau dalam menghadapinya.
Hening kami mendengar. Terpukau? Rasanya tidak juga. Bahkan aku berfikir, untuk apa beliau menceritakan hal itu kepada kami? Untuk menggertak? Rasanya tidak mempan, ya.
“Jadi, semua jelas ya?”
“Semua harus ikuti aturan main yang kita sepakati tadi!”
“Mengerti?” Sebuah pertanyaan konfirmatif diajukan oleh Pa B.
Serempak seluruh murid menjawab,
“Mengerti!”
Namun, setengah detik setelah kata-kata “Mengerti” diluncurkan, muncullah jawaban yang sangat familiar di telinga kami, jawaban yang selama ini kami anggap lucu, jawaban selalu dijawab oleh orang yang sama, yaitu,
“Iyeee….!” Temanku F menjawab!
Keluar dari jalur jawaban teman sekelas, pindah dari keharusan jawaban yang diinginkan Pa B, dan lantang menyaingi kerasnya keserempakan jawaban sekelas!
Cekikikan sekelas menahan tawa, saling berbisik, saling pandang, dan saling bingung.
“Diam!” bentak Pa B
Hening….
“Siapa itu yang jawab!”
“Saya, Pa” F menunjukkan tangan.
Pa B mendekati F yang duduk di bagian belakang di sayap kiri kelas.
“Kenapa kamu menjawab seperti itu!”
F terdiam. Menunduk. Bukan tidak mau menjawab, tapi memang tidak tahu harus menjawab apa.
“Kamu tahu, jawaban seperti itu adalah jawaban tidak sopan!”
“Jawaban kampungan!”
“Tidak pantas dilontarkan seorang yang mengaku berpendidikan!”
Berondongan pernyataan keluar dari mulut Pa B. F hanya tertunduk, tak berani memandang. Sudut hatinya mungkin menyesal.
“Saya minta kamu tidak mengulangi lagi jawaban seperti itu!”
“Mengerti!”
Dan F menjawab.
Sebuah jawaban yang menggoncangkan kelas, yang mengagetkan seluruh isi kelas, yang membuat seisi kelas tak kan pernah melupakan hari itu adalah,
“Iyyeeeee…!”
Gemuruh kelas berdentam, derai tawa mengalir bak air bah, tak tertahankan, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik. Semua lepas, tertawa, tergelak, tak peduli dengan keangkeran Pa B, tak peduli dengan aturan main Pa B!
Sekilas aku melihat Pa B, dia pun ternyata tertawa, setidaknya tersisa sungging senyum di bibirnya. Aku yakin Pa B pun terhibur pada saat itu, terhibur dengan tingkah laku F, terlepas beban angker dari pundaknya, bebas, tak bersisa.
Sejak saat itu, Pa B menjadi guru favorit kami, menjadi guru terdekat kami, bahkan lebih dekat dari wali kelas kami. Saat study tour, alih-alih tidur di kamar para guru, Pa B justru menginap di cottage kami. Berkumpul, tertawa bebas, seperti layaknya seorang teman.
Sampai saat ini Pa B masih menjadi guru di SMU di sekolah kami. Aku yakin beliau makin berpengalaman menghadapi murid-murid seperti kami, makin mengerti mengatasi murid-murid seperti kami, dan makin dihargai oleh para muridnya.
Sahabatku F? Percaya atau tidak, dia sekarang berprofesi sebagai guru!
Ya! Guru!
Jika hukum karma itu memang ada, maka inilah mungkin karma yang menimpa F. Tapi aku yakin, F mampu menghadapi murid-muridnya yang “sok iyee..”, sok slengekan, cuek, lucu dan bandel. Aku yakin itu, karena toh F pun seperti itu dulu.
Sukses Pa B, engkau berjasa besar mencetak manusia-manusia unggul dari SMA kami.
Sukses F, engkau pun berkesempatan menjadi pencetak manusia-manusia unggul dari sekolah mu.
Gorontalo, 27 Januari 09
Namanya F, pemuda berperawakan sedang, tidak terlalu kurus, berpembawaan selalu ceria seolah tidak pernah ada masalah dalam hidupnya.
Kebiasaan unik F ini adalah selalu berbicara dengan logat Betawi, padahal setitik pun tidak ada darah Betawi dalam dirinya. Bahkan tempat tinggalnya -tidak jauh dari ku- yaitu di sekitar pinggiran Bogor yang sehari-hari berbicara dengan Bahasa Sunda yang cenderung kasar.
Logat Betawi yang sangat sering dia gunakan adalah “Iyee…” dengan gaya seperti Mandra atau Si Doel di sinetron. Apapun atau siapa pun yang mengajukan pertaan konfirmatif atau biasa disebut “yes no question” yang diajukan, akan dijawabnya enteng dengan “Iyee…”
Kami –dan juga beberapa guru- sudah terbiasa dengan gaya seperti itu. Kami menikmati gaya itu. Kami merasa terhibur dengan gaya seperti itu.
Suatu hari, datang guru baru di kelas kami. Namanya Pa B
“Siap, beri salam!” Lantang ketua kelas kami, D, memimpin aba-aba salam.
“Slamat siang, Pa!” Serempak pula kami memberikan salam kepada Pa B
“Slamat siang!” Lantang pula Pa B menjawab, tidak hanya lantang, tapi tegas, lugas, dan menggelegar.
Kami cukup kaget mendengarnya, bahkan salah satu teman perempuan, setengah terlonjak dari duduknya mendengar gelegar suara Pa B.
“Di kelas ini saya mau buat aturan main!” gelegar suara itu muncul lagi.
Aturan main? Sibuk dalam hati kami bertanya. Kelas benar-benar hening, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik, tak ada gerutuan, bahkan untuk bernafas pun kalau bisa ditahan dulu.
Berondongan aturan main diluncurkan Pa B terhadap kami. Sebenarnya aturan main yang biasa saja, standar, tidak ada yang istimewa. Misalnya, apabila guru sedang berbicara, tidak ada murid yang berbicara sendiri-sendiri, atau tidak ada yang nyontek ketika ulangan, atau harus aktif ketika sessi diskusi, atau tidak terlambat masuk kelas, dsb, dsb, dsb.
Standar! Itu memang sudah kewajiban murid, bukan?
Kelas masih hening.
Berondongan selanjutnya lebih banyak menceritakan asal muasal Pa B. Ternyata Pa B sebelumnya mengajar di salah satu kota di Provinsi Riau di Pulau Sumatera. Cerita berlanjut, lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi beliau. Misal, bagaimana beliau menghadapi murid sekolah yang mengacungkan golok ketika nilai ulangannya jelek, atau bagaimana beliau menghadapi keroyokan orang tua murid yang anaknya tidak naik kelas, dsb, dsb, dsb.
Cerita-cerita tersebut cenderung menunjukkan keangkeran sekolah tempat beliau mengajar dulu dan menunjukkan heroisme beliau dalam menghadapinya.
Hening kami mendengar. Terpukau? Rasanya tidak juga. Bahkan aku berfikir, untuk apa beliau menceritakan hal itu kepada kami? Untuk menggertak? Rasanya tidak mempan, ya.
“Jadi, semua jelas ya?”
“Semua harus ikuti aturan main yang kita sepakati tadi!”
“Mengerti?” Sebuah pertanyaan konfirmatif diajukan oleh Pa B.
Serempak seluruh murid menjawab,
“Mengerti!”
Namun, setengah detik setelah kata-kata “Mengerti” diluncurkan, muncullah jawaban yang sangat familiar di telinga kami, jawaban yang selama ini kami anggap lucu, jawaban selalu dijawab oleh orang yang sama, yaitu,
“Iyeee….!” Temanku F menjawab!
Keluar dari jalur jawaban teman sekelas, pindah dari keharusan jawaban yang diinginkan Pa B, dan lantang menyaingi kerasnya keserempakan jawaban sekelas!
Cekikikan sekelas menahan tawa, saling berbisik, saling pandang, dan saling bingung.
“Diam!” bentak Pa B
Hening….
“Siapa itu yang jawab!”
“Saya, Pa” F menunjukkan tangan.
Pa B mendekati F yang duduk di bagian belakang di sayap kiri kelas.
“Kenapa kamu menjawab seperti itu!”
F terdiam. Menunduk. Bukan tidak mau menjawab, tapi memang tidak tahu harus menjawab apa.
“Kamu tahu, jawaban seperti itu adalah jawaban tidak sopan!”
“Jawaban kampungan!”
“Tidak pantas dilontarkan seorang yang mengaku berpendidikan!”
Berondongan pernyataan keluar dari mulut Pa B. F hanya tertunduk, tak berani memandang. Sudut hatinya mungkin menyesal.
“Saya minta kamu tidak mengulangi lagi jawaban seperti itu!”
“Mengerti!”
Dan F menjawab.
Sebuah jawaban yang menggoncangkan kelas, yang mengagetkan seluruh isi kelas, yang membuat seisi kelas tak kan pernah melupakan hari itu adalah,
“Iyyeeeee…!”
Gemuruh kelas berdentam, derai tawa mengalir bak air bah, tak tertahankan, tak ada cekikikan, tak ada bisik-bisik. Semua lepas, tertawa, tergelak, tak peduli dengan keangkeran Pa B, tak peduli dengan aturan main Pa B!
Sekilas aku melihat Pa B, dia pun ternyata tertawa, setidaknya tersisa sungging senyum di bibirnya. Aku yakin Pa B pun terhibur pada saat itu, terhibur dengan tingkah laku F, terlepas beban angker dari pundaknya, bebas, tak bersisa.
Sejak saat itu, Pa B menjadi guru favorit kami, menjadi guru terdekat kami, bahkan lebih dekat dari wali kelas kami. Saat study tour, alih-alih tidur di kamar para guru, Pa B justru menginap di cottage kami. Berkumpul, tertawa bebas, seperti layaknya seorang teman.
Sampai saat ini Pa B masih menjadi guru di SMU di sekolah kami. Aku yakin beliau makin berpengalaman menghadapi murid-murid seperti kami, makin mengerti mengatasi murid-murid seperti kami, dan makin dihargai oleh para muridnya.
Sahabatku F? Percaya atau tidak, dia sekarang berprofesi sebagai guru!
Ya! Guru!
Jika hukum karma itu memang ada, maka inilah mungkin karma yang menimpa F. Tapi aku yakin, F mampu menghadapi murid-muridnya yang “sok iyee..”, sok slengekan, cuek, lucu dan bandel. Aku yakin itu, karena toh F pun seperti itu dulu.
Sukses Pa B, engkau berjasa besar mencetak manusia-manusia unggul dari SMA kami.
Sukses F, engkau pun berkesempatan menjadi pencetak manusia-manusia unggul dari sekolah mu.
Gorontalo, 27 Januari 09
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Tragedi 3 : Dikhitan!
Seperti diceritakan di Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!, aku mengalami trauma mendalam terhadap jarum suntik. Sampai saat ini. Jika ada pilihan lain, sebaiknya tidak ada satu jarum pun yang harus menusuk anggota tubuh ku.
Usia 9 tahun, saatnya dikhitan! Sudah terlalu “tua” untuk ukuran anak di kampung ku. Di kampung ku, usia 4-6, anak-anak sudah dikhitan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Jelas harus dikhitan karena itu kewajiban bagi laki-laki Muslim di manapun.
Cara dikhitan di kampungku masih menggunakan cara-cara tradisional. Tak ada dokter tak ada bius. Semua menggunakan “bacaan” khusus sehingga si anak tidak sama sekali merasakan sakit dan lekas pulih dalam waktu singkat. Pemotongan dilakukan cukup dengan pisau setajam mungkin berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Satu-satunya alat medis adalah cairan penisilin yang akan dioleskan ke luka khitan selama masa luka itu belum kering. Masalah steril, tidak pernah jadi masalah. Bertahun –mungkin berabad- cara itu digunakan, namun belum pernah ada kejadian adanya infeksi atau efek negative apapun. Setidaknya sepanjang yang aku tahu.
Beberapa minggu sebelum dikhitan, perasaanku campur aduk. Takut dan senang campur aduk. Trauma kejepit retsleting masih menghantuiku. Apalagi godaan para sepupu yang sudah lebih dulu dikhitan.Semua membuat ku takut, galau, dan terpikir untuk ditunda saja.
Tapi tak mungkin ditunda. Acara khitanan sudah disetting rapi oleh Bapak. Sudah siap dijalankan.
Di saat hari H.
Pagi hari aku sudah mandi, sudah didandani, sarung lengkap dengan baju koko. Pakai sarung tanpa celana, sehingga ketika dkhitan, “pemotongan” akan relative lebih mudah. Seluruh badan ku terasa lemas. Rasa takut itu makin menjadi. Kehadiran seluruh kerabat kampung membuatku semakin gentar. Suara zikir sebelum mulai dikhitan membuatku semakin merinding.Aku hanya duduk terdiam, tanpa ekspresi dan –katanya- terlihat pucat.
“Ayo, Din, kita ke ruang depan” Ibu memecah lamunanku
Aku terhenyak. Pasrah digiring Ibu ke ruang depan. Di ruangan itu aku melihat puluhan orang bersorban putih duduk bersila. Berzikir dan membaca shalawat nabi. Gumam zikir dan shalawat itu bagiku terdengar seolah genderang perang yang bergemuruh di sebuah ajang peperangan. Bergemuruh saling bersahutan dengan cepatnya degup jantung pada diriku.
Aku melihat di tengah ruangan beberapa eksemplar surat yasin tergeletak, beberapa piring berisikan kue dan rokok. Aku juga melihat di paling tengah, ada sebuah piring yang terlihat berbeda dari piring yang lain. Sekilas piring itu seperti kosong, namun jika diperhatikan sebenarnya ada sebuah suntikan –atau seperti suntikan- tersimpan di atas piring tersebut.
Hah! Suntikan!
Tegang aku dibuatnya! Apa yang akan dilakukan dengan suntikan itu? Sambil duduk bersila, pandangan ku tak lepas dari suntikan itu. Aku berharap pandangan ku salah. Ingatan ku melayang ke beberapa bulan sebelumnya, dimana aku “disiksa” oleh 4 pria perawat kekar, disuntik beberapa kali oleh dokter yang kejam, dan menyisakan trauma sampai saat ini.
Dan pagi itu aku harus berurusan dengan suntikan? Apa kaitannya dengan dikhitan? Selama ini tak ada info apapun mengenai proses suntik dalam khitan ini. Bayangan ku melayang, apakah aku akan disuntik di alat vital ku, di perut ku, atau dimana? Apa pun itu pasti akan sakit.
Entah apa yang aku pikirkan.
Tiba-tiba tanpa diduga siapapun, aku berdiri, dan secepat kilat berlari kencang ke arah kebun pala milik kakek. Aku lari sekencang mungkin. Yang ada di pikiran ku saat itu adalah lari, lari, lari! Menghindar dari jarum suntik, tak mau lagi berurusan dengan jarum suntik, tak peduli meski aku batal dikhitan.
Terus aku berlari, hingga sampai di kebun pala kakek. Aku melihat ke belakang, orang-orang bersorban putih itu mengejar ku. Namun ketika kembali melihat ke depan, orang-orang bersorban putih yang lain juga mengejar ku. Aku terkepung di kebun itu. Berlari kesana kemari, menghindar dari hadangan orang. Mirip pemain American Football yang menghindari hadangan pemain lawan. Atau mungkin lebih mirip seekor ayam yang sedang dikejar dan akan dipotong oleh sekelompok orang lapar.
Terus aku berlari, menghindar, berkelit, sampai akhirnya ada tangan keras dan kasar yang menangkap ku dari belakang, membopongku dengan keras, sehingga tangan dan kaki ku tak sempat lagi meronta. Tak tahu lagi apa yang terjadi, selain karena kondisi ku setengah tak sadar –mungkin karena lelah berlari- juga karena ada tangan besar lain yang menutupi pandanganku. Gelap!
Ketika tangan itu sudah membuka, mata ku bebas memandang, aku mendapati selangkangan ku berdarah, ujung kemaluanku mengalir darah. Ternyata “pemotongan” khitan itu sudah terjadi. Tanpa ada rasa, tanpa ada sakit sedikit pun!
“Kapan dipotongnya?” itu berkecamuk di kepala ku.
Dengan tangis –bukan karena sakit, tapi karena shock- aku dibopong kembali ke ruang tengah, ditidurkan, diberi minum. Berhamburan lah orang-orang menghampiriku. Mungkn pikiran mereka pun campur aduk, sedih, miris, dan pasti tertawa terbahak. Lucu melihat kekonyolan ku di kebun pala tadi.
Semua orang bertanya, semua orang ingin tahu, semua orang penasaran.
“Kenapa Dindin lari?”
Belakangan aku baru tahu, bahwa suntikan di atas piring itu tidaklah benar-benar suntikan. Tidak ada jarumnya, hanya batang suntikan yang berisi air penisilin yang akan disemprotkan sesaat setelah khitan dilakukan.
Memang yang namanya trauma itu begitu dahsyat. Begitu sempurna mengecilkan hati, menggetarkan rasa. Bahkan sampai saat ini pun, masih menyisa. Maka dari itu, sampai saat ini, aku takut disuntik!
Bogor, 14 Februari 09
Usia 9 tahun, saatnya dikhitan! Sudah terlalu “tua” untuk ukuran anak di kampung ku. Di kampung ku, usia 4-6, anak-anak sudah dikhitan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Jelas harus dikhitan karena itu kewajiban bagi laki-laki Muslim di manapun.
Cara dikhitan di kampungku masih menggunakan cara-cara tradisional. Tak ada dokter tak ada bius. Semua menggunakan “bacaan” khusus sehingga si anak tidak sama sekali merasakan sakit dan lekas pulih dalam waktu singkat. Pemotongan dilakukan cukup dengan pisau setajam mungkin berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Satu-satunya alat medis adalah cairan penisilin yang akan dioleskan ke luka khitan selama masa luka itu belum kering. Masalah steril, tidak pernah jadi masalah. Bertahun –mungkin berabad- cara itu digunakan, namun belum pernah ada kejadian adanya infeksi atau efek negative apapun. Setidaknya sepanjang yang aku tahu.
Beberapa minggu sebelum dikhitan, perasaanku campur aduk. Takut dan senang campur aduk. Trauma kejepit retsleting masih menghantuiku. Apalagi godaan para sepupu yang sudah lebih dulu dikhitan.Semua membuat ku takut, galau, dan terpikir untuk ditunda saja.
Tapi tak mungkin ditunda. Acara khitanan sudah disetting rapi oleh Bapak. Sudah siap dijalankan.
Di saat hari H.
Pagi hari aku sudah mandi, sudah didandani, sarung lengkap dengan baju koko. Pakai sarung tanpa celana, sehingga ketika dkhitan, “pemotongan” akan relative lebih mudah. Seluruh badan ku terasa lemas. Rasa takut itu makin menjadi. Kehadiran seluruh kerabat kampung membuatku semakin gentar. Suara zikir sebelum mulai dikhitan membuatku semakin merinding.Aku hanya duduk terdiam, tanpa ekspresi dan –katanya- terlihat pucat.
“Ayo, Din, kita ke ruang depan” Ibu memecah lamunanku
Aku terhenyak. Pasrah digiring Ibu ke ruang depan. Di ruangan itu aku melihat puluhan orang bersorban putih duduk bersila. Berzikir dan membaca shalawat nabi. Gumam zikir dan shalawat itu bagiku terdengar seolah genderang perang yang bergemuruh di sebuah ajang peperangan. Bergemuruh saling bersahutan dengan cepatnya degup jantung pada diriku.
Aku melihat di tengah ruangan beberapa eksemplar surat yasin tergeletak, beberapa piring berisikan kue dan rokok. Aku juga melihat di paling tengah, ada sebuah piring yang terlihat berbeda dari piring yang lain. Sekilas piring itu seperti kosong, namun jika diperhatikan sebenarnya ada sebuah suntikan –atau seperti suntikan- tersimpan di atas piring tersebut.
Hah! Suntikan!
Tegang aku dibuatnya! Apa yang akan dilakukan dengan suntikan itu? Sambil duduk bersila, pandangan ku tak lepas dari suntikan itu. Aku berharap pandangan ku salah. Ingatan ku melayang ke beberapa bulan sebelumnya, dimana aku “disiksa” oleh 4 pria perawat kekar, disuntik beberapa kali oleh dokter yang kejam, dan menyisakan trauma sampai saat ini.
Dan pagi itu aku harus berurusan dengan suntikan? Apa kaitannya dengan dikhitan? Selama ini tak ada info apapun mengenai proses suntik dalam khitan ini. Bayangan ku melayang, apakah aku akan disuntik di alat vital ku, di perut ku, atau dimana? Apa pun itu pasti akan sakit.
Entah apa yang aku pikirkan.
Tiba-tiba tanpa diduga siapapun, aku berdiri, dan secepat kilat berlari kencang ke arah kebun pala milik kakek. Aku lari sekencang mungkin. Yang ada di pikiran ku saat itu adalah lari, lari, lari! Menghindar dari jarum suntik, tak mau lagi berurusan dengan jarum suntik, tak peduli meski aku batal dikhitan.
Terus aku berlari, hingga sampai di kebun pala kakek. Aku melihat ke belakang, orang-orang bersorban putih itu mengejar ku. Namun ketika kembali melihat ke depan, orang-orang bersorban putih yang lain juga mengejar ku. Aku terkepung di kebun itu. Berlari kesana kemari, menghindar dari hadangan orang. Mirip pemain American Football yang menghindari hadangan pemain lawan. Atau mungkin lebih mirip seekor ayam yang sedang dikejar dan akan dipotong oleh sekelompok orang lapar.
Terus aku berlari, menghindar, berkelit, sampai akhirnya ada tangan keras dan kasar yang menangkap ku dari belakang, membopongku dengan keras, sehingga tangan dan kaki ku tak sempat lagi meronta. Tak tahu lagi apa yang terjadi, selain karena kondisi ku setengah tak sadar –mungkin karena lelah berlari- juga karena ada tangan besar lain yang menutupi pandanganku. Gelap!
Ketika tangan itu sudah membuka, mata ku bebas memandang, aku mendapati selangkangan ku berdarah, ujung kemaluanku mengalir darah. Ternyata “pemotongan” khitan itu sudah terjadi. Tanpa ada rasa, tanpa ada sakit sedikit pun!
“Kapan dipotongnya?” itu berkecamuk di kepala ku.
Dengan tangis –bukan karena sakit, tapi karena shock- aku dibopong kembali ke ruang tengah, ditidurkan, diberi minum. Berhamburan lah orang-orang menghampiriku. Mungkn pikiran mereka pun campur aduk, sedih, miris, dan pasti tertawa terbahak. Lucu melihat kekonyolan ku di kebun pala tadi.
Semua orang bertanya, semua orang ingin tahu, semua orang penasaran.
“Kenapa Dindin lari?”
Belakangan aku baru tahu, bahwa suntikan di atas piring itu tidaklah benar-benar suntikan. Tidak ada jarumnya, hanya batang suntikan yang berisi air penisilin yang akan disemprotkan sesaat setelah khitan dilakukan.
Memang yang namanya trauma itu begitu dahsyat. Begitu sempurna mengecilkan hati, menggetarkan rasa. Bahkan sampai saat ini pun, masih menyisa. Maka dari itu, sampai saat ini, aku takut disuntik!
Bogor, 14 Februari 09
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Tragedi 2 : Idul Adha Kelabu, Kejepit Retsleting!
Umur 8 tahun aku belum disunat. Sudah cukup terlalu tua untuk ukuran anak-anak kampung ku. Makanya kalau berenang di kali, aku agak malu, soalnya hanya aku yang belum disunat.
Saat itu Idul Adha, tahun 1983, di Palembang.
Shalat Id, menikmati ketupat, sudah, itu saja kegiatan keluarga saat Idul Adha di Palembang, tak ada keluarga lain yang dikunjungi, hanya kami berlima di rumah.
Saat disuapi ketupat, aku kebelet pipis. Tapi alih-alih ke toilet, aku malah ke kebun depan dan pipis di pinggir pohon.
Kubuka retrsleting celana, dan cuurrr pipislah aku. Pada saat itu aku tidak menggunakan celana dalam. Sehingga langsung bisa cuurrr sesaat setelah buka celana. Selesai pipis, celana aku tarik kembali, retsleting aku tutup kembali.
Tapi kok retsletingnya agak seret. Aku paksakan tarik, dan
“Aww…..!” aku menjerit kesakitan.
Aku merasakan ada yang sakit, perih. Kenapa ini?
Ternyata p**** ku kejepit retsleting!
Sontak aku berteriak!
“Whoaaaaa…!”
Seketika seisi rumah heboh.
“Dindin kejepit retsleting!” gempar seisi rumah
Bapak segera bertindak. Diguntingnya celana ku. Sehingga hanya menyisakan kepala retsleting yang menggantung di p**** ku. Layaknya anting-anting yang menggantung di telinga.
Tidak berhasil mencabut, aku dibawa ke rumah sakit. Masuk UGD. Aku berontak, karena takut, karena panic di UGD rumah sakit. Saking berontaknya, aku tidak mau dibaringkan di ranjang, aku ingin lari. Tapi empat orang perawat pria berbadan besar memegangiku. Kedua tanganku ditarik keatas, disatukan dan dipegang oleh satu perawat pria. Kakiku bernasib sama, disatukan dan dipegang erat oleh satu perawat.
Kepalaku bernasib lebih tragis. Sepasang tangan besar menekan kepalaku dengan bertumpu pada kening. Sehingga kepala ku sama sekali bisa bergerak. Siksaan belum selesai, perut dan dadaku ditekan keras oleh satu orang perawat pria lain. Sesak dan tersengal aku berusaha nafas.
Sebegitu berontak nya kah aku, sehingga 4 algojo itu bersamaan mengekangku?
Selanjutnya tak kalah mengerikan. Aku lihat seorang dokter sedang memainkan jarum suntik. Menguji nya dengan cara menjentikkan jarinya ke alat suntik yang dipegangnya. Akan diapakan aku? Aku paling takut disuntik! Dan kenapa pula aku harus disuntik?
Dan jusss, rasa sakit di perut bagian bawah ku. Aku disuntik di perut, tidak tahu berapa kali aku disuntik, karena yang kurasa hanyalah cengkeraman para perawat berbadan kekar, dan tusukan berkali-kali disekitar perut dan pangkal paha.
Takut, panik, sakit.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak bisa lagi merasakan bagian perut ke bawah. Mungkin karena akibat suntikan. Mungkin itu semacam suntik bius lokal di daerah perut.
Beberapa saat kemudian, cengkeraman para perawat berbadan besar itu mengendur, dilepasnya tangan, kaki, tindihan di dada dan kepala. Ada apa ini? Ternyata semua sudah usai. Kepala retsleting itu sudah tidak lagi menjepit. Sudah lepas. Lega.
Plong rasanya aku terbebas dari siksaan tadi. Namun rasa sakit itu masih ada. Sakit secara fisik akibat tindihan, cengkeraman, dan suntikan. Dan juga sakit secara mental, bahkan parahnya lagi meninggalkan trauma mendalam sampai saat ini.
Sampai saat ini aku takut disuntik, jika ada cara lain, lebih baik cara lain saja. Jika ada kegiatan donor darah, aku menghindar, bukan karena sombong, tapi karena takut jarum yang menusuk dan menghisap darah ku.
Seorang teman,menawariku suntik vitamin C, katanya bagus untuk kulit, aku mau saja kulit ku jadi bagus, tapi tidak dengan cara disuntik.
Benar-benar hari kelabu yang membawa trauma seumur hidup.
Bogor, 7 Februari 09
Saat itu Idul Adha, tahun 1983, di Palembang.
Shalat Id, menikmati ketupat, sudah, itu saja kegiatan keluarga saat Idul Adha di Palembang, tak ada keluarga lain yang dikunjungi, hanya kami berlima di rumah.
Saat disuapi ketupat, aku kebelet pipis. Tapi alih-alih ke toilet, aku malah ke kebun depan dan pipis di pinggir pohon.
Kubuka retrsleting celana, dan cuurrr pipislah aku. Pada saat itu aku tidak menggunakan celana dalam. Sehingga langsung bisa cuurrr sesaat setelah buka celana. Selesai pipis, celana aku tarik kembali, retsleting aku tutup kembali.
Tapi kok retsletingnya agak seret. Aku paksakan tarik, dan
“Aww…..!” aku menjerit kesakitan.
Aku merasakan ada yang sakit, perih. Kenapa ini?
Ternyata p**** ku kejepit retsleting!
Sontak aku berteriak!
“Whoaaaaa…!”
Seketika seisi rumah heboh.
“Dindin kejepit retsleting!” gempar seisi rumah
Bapak segera bertindak. Diguntingnya celana ku. Sehingga hanya menyisakan kepala retsleting yang menggantung di p**** ku. Layaknya anting-anting yang menggantung di telinga.
Tidak berhasil mencabut, aku dibawa ke rumah sakit. Masuk UGD. Aku berontak, karena takut, karena panic di UGD rumah sakit. Saking berontaknya, aku tidak mau dibaringkan di ranjang, aku ingin lari. Tapi empat orang perawat pria berbadan besar memegangiku. Kedua tanganku ditarik keatas, disatukan dan dipegang oleh satu perawat pria. Kakiku bernasib sama, disatukan dan dipegang erat oleh satu perawat.
Kepalaku bernasib lebih tragis. Sepasang tangan besar menekan kepalaku dengan bertumpu pada kening. Sehingga kepala ku sama sekali bisa bergerak. Siksaan belum selesai, perut dan dadaku ditekan keras oleh satu orang perawat pria lain. Sesak dan tersengal aku berusaha nafas.
Sebegitu berontak nya kah aku, sehingga 4 algojo itu bersamaan mengekangku?
Selanjutnya tak kalah mengerikan. Aku lihat seorang dokter sedang memainkan jarum suntik. Menguji nya dengan cara menjentikkan jarinya ke alat suntik yang dipegangnya. Akan diapakan aku? Aku paling takut disuntik! Dan kenapa pula aku harus disuntik?
Dan jusss, rasa sakit di perut bagian bawah ku. Aku disuntik di perut, tidak tahu berapa kali aku disuntik, karena yang kurasa hanyalah cengkeraman para perawat berbadan kekar, dan tusukan berkali-kali disekitar perut dan pangkal paha.
Takut, panik, sakit.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku tak bisa lagi merasakan bagian perut ke bawah. Mungkin karena akibat suntikan. Mungkin itu semacam suntik bius lokal di daerah perut.
Beberapa saat kemudian, cengkeraman para perawat berbadan besar itu mengendur, dilepasnya tangan, kaki, tindihan di dada dan kepala. Ada apa ini? Ternyata semua sudah usai. Kepala retsleting itu sudah tidak lagi menjepit. Sudah lepas. Lega.
Plong rasanya aku terbebas dari siksaan tadi. Namun rasa sakit itu masih ada. Sakit secara fisik akibat tindihan, cengkeraman, dan suntikan. Dan juga sakit secara mental, bahkan parahnya lagi meninggalkan trauma mendalam sampai saat ini.
Sampai saat ini aku takut disuntik, jika ada cara lain, lebih baik cara lain saja. Jika ada kegiatan donor darah, aku menghindar, bukan karena sombong, tapi karena takut jarum yang menusuk dan menghisap darah ku.
Seorang teman,menawariku suntik vitamin C, katanya bagus untuk kulit, aku mau saja kulit ku jadi bagus, tapi tidak dengan cara disuntik.
Benar-benar hari kelabu yang membawa trauma seumur hidup.
Bogor, 7 Februari 09
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Tragedi 1 : Tembaga Sebesar Setengah Kuku Kelingking, Tertelan!
Usia 7 tahun, usia penuh keingintahuan. Segala macam dicoba, dieksperimen, berulang-ulang. Usia itu aku berada di Palembang, mengikuti orang tua dalam penempatan dinasnya di sana.
Rumah tempat kami tinggal, sekaligus juga gudang tempat penyimpanan barang berupa retsleting dan komponen-komponennya yang akan dijual di pasar. Bapak bertugas sebagai tenaga penjualan untuk barang-barang tersebut di Sumatera Selatan.
Karena setengah rumah setengah gudang, maka di sekitar rumah kami bertebaran barang-barang jualan Bapak, tercecer, terserak sembarangan, termasuk benda-benda kecil komponen retsleting.
Aku sering iseng ikut bermain di gudang, ikut mengumpulkan limbah retsleting, sebenarnya tujuannya untuk dibersihkan dan dibuang, namun kenyataannya malah tambah ngacak-ngacak. Sering pula benda limbah itu aku bawa dan aku buat mainan.
Salah satu benda yang aku jadikan mainan adalah topstop, suatu istilah di dunia pe-retsleting-an, yaitu berupa tembaga berbentuk U yang besarnya tergantung dari besar retsleting, biasanya sebesar setengah kuku kelingking orang dewasa. Fungsinya adalah untuk menghentikan kepala retrsleting agar tidak bablas ketika kita membuka atau menutup retsleting. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan dibayangkan, kalaupun tidak, ya sudah, toh bukan itu inti masalahnya.
Suatu hari, habis bermain, iseng aku memainkan topstop tadi. Topstop yang aku pegang berukuran sedang, tidak besar, tapi bukan yang terkecil. Aku memainkannya dalam posisi tiduran, mungkin memang akan tertidur, sambil dua jari ku memainkan topstop.
Entah apa yang ada di pikiran ku, topstop itu aku gunakan untuk menggaruk hidung bagian bawah. Mungkin karena berbentuk U, jadi ujung-ujung U itu aku gunakan untuk menggaruk. Tindakan sembrono!
Benar saja, ketika menggaruk, topstop itu terlepas dari tangan ku, dan terasa masuk ke hidung! Gawat!
Sontak aku terduduk! Mata melotot, topstop itu terasa masuk di tenggorokan ku, tersangkut! Aku coba batuk, tapi malah memperburuk keadaan. Topstop itu semakin masuk dan terasa mengalir di tenggorokan, terus terasa seolah aku sedang menelan sesuatu, menelan obat, atau permen, atau apa pun itu. Rasa menelan itu berakhir dan sepertinya benda tadi sudah bersemayam di perut ku, di pencernaan ku.
Aku shock! Tidak menangis, tapi bingung harus berbuat apa. Aku tetap diam, tetap melotot. Ibu ku melihat raut muka itu,
“Ada apa, Din?”
Aku diam. Kali ini aku berpikir, mau jujur atau tidak? Jujur? Tidak?
Kalau jujur, pasti aku dimarahi, kalau tidak jujur, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ku?
Tapi justru diam ku, membuat Ibu makin penasaran bertanya,
“Ada apa!” Keras Ibu bertanya.
“Mmm, ketelen ini….” Ragu aku menjawab sambil menunjukkan sisa topstop lain yang tadi aku mainkan.
“Hah!” Panik Ibu berteriak.
“Bapaaaaakkkkkk! Dindin nelen besi…..!!!!” Makin panik Ibu teriak.
Panik Ibu, sampai-sampai beliau bilang aku menelan besi. Ini kan bukan besi, ini topstop bahannya tembaga. Lain, kan?
Datanglah segerombolan orang dari gudang, tidak hanya Bapak, tapi orang-orang yang bekerja di gudang ikut penasaran akan apa yang terjadi. Tanpa tanya, Bapak memukul-mukul punggung ku, mungkin maksudnya supaya “besi” tadi masih tersangkut di tenggorokan dan keluar lewat mulut.
Tapi itu sia-sia.
Jelas aku rasakan benda itu masuk mengalir ke tenggorokan, sampai ke perut, persis rasanya kalau menelan permen bulat-bulat.
Setelah itu tidak ada tindakan medis bagi ku, meski aku was-was, tapi melihat kedua orang tuaku santai saja, jadi ya ikut santai. Mungkin sampai saat ini benda itu masih bersarang di perut ku, mungkin juga sudah tidak. Tapi setidaknya sampai saat ini tidak ada keluhan apapun pada diriku. Semoga tidak ada keluhan juga untuk masa yang akan datang.
Bogor, 1 Februari 2009
Rumah tempat kami tinggal, sekaligus juga gudang tempat penyimpanan barang berupa retsleting dan komponen-komponennya yang akan dijual di pasar. Bapak bertugas sebagai tenaga penjualan untuk barang-barang tersebut di Sumatera Selatan.
Karena setengah rumah setengah gudang, maka di sekitar rumah kami bertebaran barang-barang jualan Bapak, tercecer, terserak sembarangan, termasuk benda-benda kecil komponen retsleting.
Aku sering iseng ikut bermain di gudang, ikut mengumpulkan limbah retsleting, sebenarnya tujuannya untuk dibersihkan dan dibuang, namun kenyataannya malah tambah ngacak-ngacak. Sering pula benda limbah itu aku bawa dan aku buat mainan.
Salah satu benda yang aku jadikan mainan adalah topstop, suatu istilah di dunia pe-retsleting-an, yaitu berupa tembaga berbentuk U yang besarnya tergantung dari besar retsleting, biasanya sebesar setengah kuku kelingking orang dewasa. Fungsinya adalah untuk menghentikan kepala retrsleting agar tidak bablas ketika kita membuka atau menutup retsleting. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan dibayangkan, kalaupun tidak, ya sudah, toh bukan itu inti masalahnya.
Suatu hari, habis bermain, iseng aku memainkan topstop tadi. Topstop yang aku pegang berukuran sedang, tidak besar, tapi bukan yang terkecil. Aku memainkannya dalam posisi tiduran, mungkin memang akan tertidur, sambil dua jari ku memainkan topstop.
Entah apa yang ada di pikiran ku, topstop itu aku gunakan untuk menggaruk hidung bagian bawah. Mungkin karena berbentuk U, jadi ujung-ujung U itu aku gunakan untuk menggaruk. Tindakan sembrono!
Benar saja, ketika menggaruk, topstop itu terlepas dari tangan ku, dan terasa masuk ke hidung! Gawat!
Sontak aku terduduk! Mata melotot, topstop itu terasa masuk di tenggorokan ku, tersangkut! Aku coba batuk, tapi malah memperburuk keadaan. Topstop itu semakin masuk dan terasa mengalir di tenggorokan, terus terasa seolah aku sedang menelan sesuatu, menelan obat, atau permen, atau apa pun itu. Rasa menelan itu berakhir dan sepertinya benda tadi sudah bersemayam di perut ku, di pencernaan ku.
Aku shock! Tidak menangis, tapi bingung harus berbuat apa. Aku tetap diam, tetap melotot. Ibu ku melihat raut muka itu,
“Ada apa, Din?”
Aku diam. Kali ini aku berpikir, mau jujur atau tidak? Jujur? Tidak?
Kalau jujur, pasti aku dimarahi, kalau tidak jujur, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ku?
Tapi justru diam ku, membuat Ibu makin penasaran bertanya,
“Ada apa!” Keras Ibu bertanya.
“Mmm, ketelen ini….” Ragu aku menjawab sambil menunjukkan sisa topstop lain yang tadi aku mainkan.
“Hah!” Panik Ibu berteriak.
“Bapaaaaakkkkkk! Dindin nelen besi…..!!!!” Makin panik Ibu teriak.
Panik Ibu, sampai-sampai beliau bilang aku menelan besi. Ini kan bukan besi, ini topstop bahannya tembaga. Lain, kan?
Datanglah segerombolan orang dari gudang, tidak hanya Bapak, tapi orang-orang yang bekerja di gudang ikut penasaran akan apa yang terjadi. Tanpa tanya, Bapak memukul-mukul punggung ku, mungkin maksudnya supaya “besi” tadi masih tersangkut di tenggorokan dan keluar lewat mulut.
Tapi itu sia-sia.
Jelas aku rasakan benda itu masuk mengalir ke tenggorokan, sampai ke perut, persis rasanya kalau menelan permen bulat-bulat.
Setelah itu tidak ada tindakan medis bagi ku, meski aku was-was, tapi melihat kedua orang tuaku santai saja, jadi ya ikut santai. Mungkin sampai saat ini benda itu masih bersarang di perut ku, mungkin juga sudah tidak. Tapi setidaknya sampai saat ini tidak ada keluhan apapun pada diriku. Semoga tidak ada keluhan juga untuk masa yang akan datang.
Bogor, 1 Februari 2009
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Kamis, 19 Februari 2009
Apa Bedanya Aku Dengan Dia?
Suatu saat di Kendari.
Pada saat itu aku hendak menunggu boarding pesawat di sebuah lounge bandara. Aku masuk lounge, menunjukkan boarding pass dan tanpa basa-basi dari si penjaga lounge, aku langsung duduk di salah satu sudut sofa. Si penjaga lounge itu benar-benar acuh, tak peduli akan kehadiranku. Sendirian aku membuat teh panas tanpa gula, sendirian aku mencari gelas untuk air putih, dan sendirian aku sibuk mencari colokan untuk listrik laptop ku. Si penjaga lounge? Tetap acuh….!
Beberapa saat kemudian, masuklah 4 orang bule ke lounge itu, mereka berpakaian casual, tidak tampak sebagai seorang pekerja kerah putih seperti yang ditemui di Jakarta. Mereka lebih terlihat seperti sekelompok turis yang hendak kembali ke negaranya seusai menikmati liburan di Kendari.
Yang mengejutkan dan membuat jengkel adalah, ketika para bule itu masuk, si penjaga lounge sontak menyambut, memberikan senyum termanis, dan mempersilakan duduk di sofa terbaik di lounge itu. Tidak hanya itu, bahkan mengantarkan hingga semua bule itu duduk, menawarkan sesuatu,
“Would you like tea or coffee?” ujarnya
dan langsung menyediakan asbak serta merapikan meja dimana sofa mereka duduki.
Dari sudut lain aku hanya memandangi mereka. Memandangi si penjaga lounge, dan miris berkata dalam hati,
“Apa bedanya orang bule itu dengan aku?” bisikku dalam hati.
Aku masuk ke dalam lounge yang sama, aku menaiki pesawat yang sama, kelas tiketnya pun aku lihat sama-sama ekonomi, lantas, kenapa aku mendapat perlakuan berbeda? Si penjaga lounge itu seperti menganggap aku ini hanya bikin penuh lounge dan tidak memberikan keuntungan apapun untuknya. Inikah yang dinamakan keramahtamahan orang Indonesia? Sebuah keramahtamahan salah kaprah yang diterapkan secara naïf oleh seseorang yang mengaku bekerja di bidang customer service.
Di kesempatan lain, di Uluwatu, Bali.
Seperti biasa, jika aku terjun ke lapangan, aku melakukan market survey, suatu prosedur standar di dunia sales yang dilakukan siapapun jika terjun ke lapangan. Apa yang biasanya aku lakukan? Aku datangi toko-toko, melihat keberadaan produk yang aku jual, membandingkannya dengan kompetitor, melihat kecenderungan konsumen, berbicara dengan pemilik toko, dan tentu saja “cuci mata”
Saat itu di Uluwatu, aku melakukan hal yang sama. Bedanya adalah, saat itu atasan ku ikut bersama ku didampingi juga dengan rekan dari distributor. Setelah puas melakukan market survey di Uluwatu, kami bersama menuju sekumpulan karang yang memecah ombak di ujung Uluwatu.
Meski bukan hari libur, namun keramaian Uluwatu tetap luar biasa, tentunya didominasi para turis asing baik dari Asia maupun Eropa & Amerika.
Di suatu sudut Uluwatu, aku melihat sepasang orang bule sedang berfoto. Sepertinya mereka suami istri –setidaknya itu anggapan baik sangka ku- yang sedang berbulan madu di Bali. Mereka saling foto, terkadang sang pria memfoto si wanita, demikian juga sebaliknya. Hingga satu saat, sepertinya mereka ingin berfoto berdua. Tak kurang akal, mereka meletakkan kamera digital mereka di atas sebuah tong sampah, memanfaatkan teknologi automatic photograph, mereka sibuk meletakkan kamera digital nya di atas tong sampah.
Usaha mereka kelihatannya tidak mudah. Permukaan tong sampah tidak rata, sehingga berkali-kali kamera digital itu hampir jatuh. Dan berkali-kali pula mereka gagal berfoto bersama.
Aku dan atasanku melihat peristiwa itu.
“Eh, kita bantuin, yuk!” ajak atasanku
“Boleh, Pa” jawab ku
Serentak kami dan salah satu rekan distributor menghampiri sepasang bule itu.
“Let me take the picture for you!” atasanku mulai menawarkan diri.
Sepasang bule itu terlihat kebingungan. Terdiam. Saling pandang.
“Kenapa mereka terlihat ragu?” pikir ku
“How much?” si bule pria bertanya kepada kami sambil menjentikan telunjuk dan ibu jari sebagai simbol uang.
Oh, ternyata mereka berpikir kita akan meminta uang atas jasanya mengambil foto atas mereka. Benar-benar miris aku atas peristiwa itu.
Sebegitu hinakah bangsa ini sehingga ketika kita akan tulus menolong, dianggap ada pamrih di baliknya.
Benar-benar sebuah paradoks!
Ada seorang anak bangsa yang ramah berlebihan terhadap orang asing dengan berkedok customer service, sehingga rela mendiskriminasi bangsa sendiri pada saat melayani di sebuah lounge.
Ada seorang bule yang menghina anak bangsa yang hendak tulus menolong dengan tuduhan ada pamrih uang di balik ketulusan itu.
Benar-benar sebuah paradoks!
Bagaimana menurut Anda?
Makassar, 18 Februari 2009
Pada saat itu aku hendak menunggu boarding pesawat di sebuah lounge bandara. Aku masuk lounge, menunjukkan boarding pass dan tanpa basa-basi dari si penjaga lounge, aku langsung duduk di salah satu sudut sofa. Si penjaga lounge itu benar-benar acuh, tak peduli akan kehadiranku. Sendirian aku membuat teh panas tanpa gula, sendirian aku mencari gelas untuk air putih, dan sendirian aku sibuk mencari colokan untuk listrik laptop ku. Si penjaga lounge? Tetap acuh….!
Beberapa saat kemudian, masuklah 4 orang bule ke lounge itu, mereka berpakaian casual, tidak tampak sebagai seorang pekerja kerah putih seperti yang ditemui di Jakarta. Mereka lebih terlihat seperti sekelompok turis yang hendak kembali ke negaranya seusai menikmati liburan di Kendari.
Yang mengejutkan dan membuat jengkel adalah, ketika para bule itu masuk, si penjaga lounge sontak menyambut, memberikan senyum termanis, dan mempersilakan duduk di sofa terbaik di lounge itu. Tidak hanya itu, bahkan mengantarkan hingga semua bule itu duduk, menawarkan sesuatu,
“Would you like tea or coffee?” ujarnya
dan langsung menyediakan asbak serta merapikan meja dimana sofa mereka duduki.
Dari sudut lain aku hanya memandangi mereka. Memandangi si penjaga lounge, dan miris berkata dalam hati,
“Apa bedanya orang bule itu dengan aku?” bisikku dalam hati.
Aku masuk ke dalam lounge yang sama, aku menaiki pesawat yang sama, kelas tiketnya pun aku lihat sama-sama ekonomi, lantas, kenapa aku mendapat perlakuan berbeda? Si penjaga lounge itu seperti menganggap aku ini hanya bikin penuh lounge dan tidak memberikan keuntungan apapun untuknya. Inikah yang dinamakan keramahtamahan orang Indonesia? Sebuah keramahtamahan salah kaprah yang diterapkan secara naïf oleh seseorang yang mengaku bekerja di bidang customer service.
Di kesempatan lain, di Uluwatu, Bali.
Seperti biasa, jika aku terjun ke lapangan, aku melakukan market survey, suatu prosedur standar di dunia sales yang dilakukan siapapun jika terjun ke lapangan. Apa yang biasanya aku lakukan? Aku datangi toko-toko, melihat keberadaan produk yang aku jual, membandingkannya dengan kompetitor, melihat kecenderungan konsumen, berbicara dengan pemilik toko, dan tentu saja “cuci mata”
Saat itu di Uluwatu, aku melakukan hal yang sama. Bedanya adalah, saat itu atasan ku ikut bersama ku didampingi juga dengan rekan dari distributor. Setelah puas melakukan market survey di Uluwatu, kami bersama menuju sekumpulan karang yang memecah ombak di ujung Uluwatu.
Meski bukan hari libur, namun keramaian Uluwatu tetap luar biasa, tentunya didominasi para turis asing baik dari Asia maupun Eropa & Amerika.
Di suatu sudut Uluwatu, aku melihat sepasang orang bule sedang berfoto. Sepertinya mereka suami istri –setidaknya itu anggapan baik sangka ku- yang sedang berbulan madu di Bali. Mereka saling foto, terkadang sang pria memfoto si wanita, demikian juga sebaliknya. Hingga satu saat, sepertinya mereka ingin berfoto berdua. Tak kurang akal, mereka meletakkan kamera digital mereka di atas sebuah tong sampah, memanfaatkan teknologi automatic photograph, mereka sibuk meletakkan kamera digital nya di atas tong sampah.
Usaha mereka kelihatannya tidak mudah. Permukaan tong sampah tidak rata, sehingga berkali-kali kamera digital itu hampir jatuh. Dan berkali-kali pula mereka gagal berfoto bersama.
Aku dan atasanku melihat peristiwa itu.
“Eh, kita bantuin, yuk!” ajak atasanku
“Boleh, Pa” jawab ku
Serentak kami dan salah satu rekan distributor menghampiri sepasang bule itu.
“Let me take the picture for you!” atasanku mulai menawarkan diri.
Sepasang bule itu terlihat kebingungan. Terdiam. Saling pandang.
“Kenapa mereka terlihat ragu?” pikir ku
“How much?” si bule pria bertanya kepada kami sambil menjentikan telunjuk dan ibu jari sebagai simbol uang.
Oh, ternyata mereka berpikir kita akan meminta uang atas jasanya mengambil foto atas mereka. Benar-benar miris aku atas peristiwa itu.
Sebegitu hinakah bangsa ini sehingga ketika kita akan tulus menolong, dianggap ada pamrih di baliknya.
Benar-benar sebuah paradoks!
Ada seorang anak bangsa yang ramah berlebihan terhadap orang asing dengan berkedok customer service, sehingga rela mendiskriminasi bangsa sendiri pada saat melayani di sebuah lounge.
Ada seorang bule yang menghina anak bangsa yang hendak tulus menolong dengan tuduhan ada pamrih uang di balik ketulusan itu.
Benar-benar sebuah paradoks!
Bagaimana menurut Anda?
Makassar, 18 Februari 2009
Label:
Motivasi Diri
Selasa, 17 Februari 2009
Ironi Pramusaji di Sebuah Rumah Makan
Di sebuah rumah makan di Gorontalo, suatu siang.
Lelah kami berkeliling, bertugas, berpresentasi di sekolah-sekolah sehingga kami memutuskan untuk berlabuh di sebuah rumah makan dengan spesialisasi ayam goreng mentega.
Setelah memilih tempat duduk kami bertiga didatangi oleh seorang pelayan rumah makan tersebut. Menu kami baca, memilih, mau makan apa siang ini. Sang pelayan berdiri sambil memegang pulpen dan kertas pesanan, menunggu kami selesai memutuskan.
“Apa bedanya paket ayam goreng super dengan ayam goreng besar?” aku membuka pertanyaan untuk sang pelayan
“Mmm, sebentar ya, Pa” berlalu sang pelayan meninggalkan kami.
“Lho, kok kita malah ditinggal?”salah satu rekanku heran.
Ternyata sang pelayan tadi pergi meninggalkan kami untuk menanyakan pertanyaan kami kepada rekan nya yang lain di belakang.
Tak lama dia datang,
“Kalau yang paket super lebih besar dari paket besar, Pa.” jelas sang pelayan.
“Oh gitu. Kalau ini tahu nya satu porsi ada berapa, ya?” aku bertanya lagi
“Mmm, sebentar ya, Pa” lagi-lagi sang pelayan meninggalkan kami.
“Ini gimana, sih?” rekanku mulai emosi, mungkin juga karena dia lapar.
Tak lama datang lah sang pelayan tadi ditemani oleh seorang pelayan lain.
“Pa, tahunya satu porsi isinya 6 potong.” Teman sang pelayan tadi mencoba menjelaskan.
“Kalau gitu, saya pesan paket super plus satu porsi tahu” pesan ku.
“Kalau paket ikan ini, ada yang super juga?” rekan ku juga mulai ingin memesan.
“Mmm sebentar, ya Pa” Keduanya tampak kebingungan. Sesaat mereka memanggil salah satu rekan mereka yang lain. Jadinya ada tiga pelayan melayani pemesanan kami. Pelayan ketiga menghampiri,
“Ada apa?” tanya pelayan ketiga.
“Ini paket ikannya ada yang super juga, nggak?” rekan ku menjelaskan.
“Wah, saya ga tahu, Pa, saya kan bagian juice dan minuman, bukan bagian makanan!” tukas pelayan ketiga.
Naik pitam kami mendengar jawaban itu. Emosi, geregetan.
“Bukan urusan saya, kamu itu bagian apa! Yang jelas kita mau tanya sebelum pesan, supaya jelas!” tak tertahankan emosi ku meledak. Campur aduk, antara cuaca panas, pelayan yang menyebalkan, dan tentunya lapar!
Tak lama datang orang keempat, tampaknya dia pimpinan rumah makan. Semua beres dengan adanya dia, semua jelas, dan pesanan kami datang sesuai permintaan.
Di perjalanan pulang dari Gorontalo, di pesawat, aku membayangkan kejadian di rumah makan itu. Aku membayangkan kejadian itu menimpa suatu perusahaan, atau menimpa perusahaan tempat kita bekerja. Aku membayangkan aku seorang staff back office, misalnya aku ini staff dari divisi keuangan, dan ada yang bertanya padaku,
“Pa, sebenarnya apa target market produk tempat Bapak bekerja?”
“Oh, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang keuangan, bukan orang marketing!”
Aku membayangkan betapa kecewanya orang yang bertanya, sama kecewanya aku terhadap para pelayan rumah makan tadi. Atau kita balik, seandainya aku orang marketing dan ada yang bertanya kepada ku mengenai produksi,
“Pa, sebetulnya berapa botol per menit, mesin produksi nya bisa menghasilkan produk Bapak?”
“Wah, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang marketing, bukan orang produksi!”
Lagi-lagi, pasti orang itu akan kecewa dengan jawaban kita.
Meski masakan tempat aku makan tadi cukup enak, namun rasa kecewa tetap membekas di hati. Jika aku kembali ke kota itu, belum tentu aku akan mampir ke rumah makan yang sama, pasti rasa kecewa akan teringat kembali.
Meski produk kita bagus, unggul, dan bermanfaat tinggi, rasanya akan sia-sia jika konsumen kecewa akibat jawaban-jawaban tidak bertanggung jawab seperti tadi. Dan jika konsumen sudah kecewa, fatal akibatnya.
Pastinya itulah yang dinamakan marketing oriented. Orientasi yang menempatkan seluruh karyawan dari berbagai bidang sebagai marketer. Tidak hanya bisa menjual, tapi juga mampu menjelaskan seluruh aspek perusahaan jika ada yang bertanya. Orang keuangan bisa menjawab aspek marketing, sebaliknya orang marketing bisa menjawab aspek keuangan.
Semoga bisa bermanfaat.
Bogor, 1 Februari 09
Lelah kami berkeliling, bertugas, berpresentasi di sekolah-sekolah sehingga kami memutuskan untuk berlabuh di sebuah rumah makan dengan spesialisasi ayam goreng mentega.
Setelah memilih tempat duduk kami bertiga didatangi oleh seorang pelayan rumah makan tersebut. Menu kami baca, memilih, mau makan apa siang ini. Sang pelayan berdiri sambil memegang pulpen dan kertas pesanan, menunggu kami selesai memutuskan.
“Apa bedanya paket ayam goreng super dengan ayam goreng besar?” aku membuka pertanyaan untuk sang pelayan
“Mmm, sebentar ya, Pa” berlalu sang pelayan meninggalkan kami.
“Lho, kok kita malah ditinggal?”salah satu rekanku heran.
Ternyata sang pelayan tadi pergi meninggalkan kami untuk menanyakan pertanyaan kami kepada rekan nya yang lain di belakang.
Tak lama dia datang,
“Kalau yang paket super lebih besar dari paket besar, Pa.” jelas sang pelayan.
“Oh gitu. Kalau ini tahu nya satu porsi ada berapa, ya?” aku bertanya lagi
“Mmm, sebentar ya, Pa” lagi-lagi sang pelayan meninggalkan kami.
“Ini gimana, sih?” rekanku mulai emosi, mungkin juga karena dia lapar.
Tak lama datang lah sang pelayan tadi ditemani oleh seorang pelayan lain.
“Pa, tahunya satu porsi isinya 6 potong.” Teman sang pelayan tadi mencoba menjelaskan.
“Kalau gitu, saya pesan paket super plus satu porsi tahu” pesan ku.
“Kalau paket ikan ini, ada yang super juga?” rekan ku juga mulai ingin memesan.
“Mmm sebentar, ya Pa” Keduanya tampak kebingungan. Sesaat mereka memanggil salah satu rekan mereka yang lain. Jadinya ada tiga pelayan melayani pemesanan kami. Pelayan ketiga menghampiri,
“Ada apa?” tanya pelayan ketiga.
“Ini paket ikannya ada yang super juga, nggak?” rekan ku menjelaskan.
“Wah, saya ga tahu, Pa, saya kan bagian juice dan minuman, bukan bagian makanan!” tukas pelayan ketiga.
Naik pitam kami mendengar jawaban itu. Emosi, geregetan.
“Bukan urusan saya, kamu itu bagian apa! Yang jelas kita mau tanya sebelum pesan, supaya jelas!” tak tertahankan emosi ku meledak. Campur aduk, antara cuaca panas, pelayan yang menyebalkan, dan tentunya lapar!
Tak lama datang orang keempat, tampaknya dia pimpinan rumah makan. Semua beres dengan adanya dia, semua jelas, dan pesanan kami datang sesuai permintaan.
Di perjalanan pulang dari Gorontalo, di pesawat, aku membayangkan kejadian di rumah makan itu. Aku membayangkan kejadian itu menimpa suatu perusahaan, atau menimpa perusahaan tempat kita bekerja. Aku membayangkan aku seorang staff back office, misalnya aku ini staff dari divisi keuangan, dan ada yang bertanya padaku,
“Pa, sebenarnya apa target market produk tempat Bapak bekerja?”
“Oh, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang keuangan, bukan orang marketing!”
Aku membayangkan betapa kecewanya orang yang bertanya, sama kecewanya aku terhadap para pelayan rumah makan tadi. Atau kita balik, seandainya aku orang marketing dan ada yang bertanya kepada ku mengenai produksi,
“Pa, sebetulnya berapa botol per menit, mesin produksi nya bisa menghasilkan produk Bapak?”
“Wah, maaf ya, saya tidak tahu, saya kan orang marketing, bukan orang produksi!”
Lagi-lagi, pasti orang itu akan kecewa dengan jawaban kita.
Meski masakan tempat aku makan tadi cukup enak, namun rasa kecewa tetap membekas di hati. Jika aku kembali ke kota itu, belum tentu aku akan mampir ke rumah makan yang sama, pasti rasa kecewa akan teringat kembali.
Meski produk kita bagus, unggul, dan bermanfaat tinggi, rasanya akan sia-sia jika konsumen kecewa akibat jawaban-jawaban tidak bertanggung jawab seperti tadi. Dan jika konsumen sudah kecewa, fatal akibatnya.
Pastinya itulah yang dinamakan marketing oriented. Orientasi yang menempatkan seluruh karyawan dari berbagai bidang sebagai marketer. Tidak hanya bisa menjual, tapi juga mampu menjelaskan seluruh aspek perusahaan jika ada yang bertanya. Orang keuangan bisa menjawab aspek marketing, sebaliknya orang marketing bisa menjawab aspek keuangan.
Semoga bisa bermanfaat.
Bogor, 1 Februari 09
Label:
Manajemen
Senin, 16 Februari 2009
Saar Terakhir Kakek
Umur kakek 94 tahun saat dia meninggal. Umur yang sudah sangat tua untuk ukuran manusia saat ini. Jika manusia dijatah berumur 63 tahun –sesuai umur ketika Rasulullah SAW wafat- maka kakek sudah mendapat bonus 31 tahun.
Tiga bulan sebelum Kakek jatuh sakit, beliau masih aktif berjualan kayu. Menjaga kios kayunya, membeli kayu dari pemasok di Ciawi, dan menjual kepada orang-orang yang mungkin sedang membangun rumah.
Sakit yang hanya 3 bulan menjelang wafatnya, menunjukkan betapa sehat Kakek selama ini. Jarang aku mendapati Kakek jatuh sakit berat selama ini, paling hanya sakit flu, atau pusing atau sesak nafas, yang aku kira hanya faktor usia.
Cucu Kakek ada 20 orang. Sembilan dari anak pertamanya, sembilan dari anak ketiganya, dan dua dari anak keduanya. Yang dua dari anak keduanya adalah aku. Aku terhitung bukan cucu kesayangannya, hanya sepertinya Kakek selalu mengingat aku, sekali lagi bukan karena cucu kesayangan, tapi karena aku lah satu-satunya cucu yang jarang muncul di rumahnya.
Sepupu ku menyampaikan pesan agar aku datang ke kampung, sebentar saja. Di saat sebelum Kakek sakit, hampir setiap hari Kakek bertanya pada para sepupu di kampung,
“Dindin mana?”
Sebenarnya berkali-kali Bapak, Ibu, dan semua kerabat menghubungiku untuk menjenguk Kakek. Namun memang aku tidak menganggap serius ajakan itu. Aku pikir saat itu biasa saja, tidak ada yang istimewa, tidak ada yang sakit, apalagi tidak ada tanda-tanda Kakek akan pergi.
Dua minggu sebelum Kakek sakit, tiba-tiba hatiku tergerak, terpanggil untuk pulang kampung sekedar melihat Kakek. Ketika bertemu, aku melihat Kakek begitu berbeda, meski terlihat sehat, namun Kakek mulai ringkih, nafasnya mulai tersengal, jalannya mulai terseok, dan bicaranya mulai tidak jelas. Kenapa Kakek? Apakah ini tanda-tanda Kakek akan pergi?
Kutepis kekhawatiran itu. Kuajak Kakek jalan-jalan, hanya berdua, kubawa dia ke salah satu Mall d Bogor. Lamban kami berjalan, kutuntun Kakek, kugandeng tangannya, dan kudengarkan seluruh pembicaraannya meski seringkali aku tidak mengerti apa yang Kakek katakan. Kubebaskan Kakek membeli apapun yang diinginkannya, bahkan jika pun waktu itu Kakek mengambil barang termahal, sepertinya aku akan sanggup membelinya. Tapi, sukurlah, Kakek mengambil barang-barang yang harganya cukup rasional untuk kantong ku.
Itulah kali terakhir aku jalan dengan Kakek. Karena dua minggu kemudian, kondisi Kakek memburuk, Kakek hanya bisa terbaring, tidak mau makan, tidak mau minum. Tapi yang aku syukuri adalah, lidahnya tak pernah berhenti berzikir.
Sejak sakit, aku intens mengunjungi Kakek, setidaknya seminggu sekali. Kubawakan segala makanan kesukaannya, kubawakan makanan yang tiba-tiba dia inginkan. Sepupuku sering menelpon, menyampaikan permintaan Kakek. Misalnya, tiba-tiba saja Kakek minta buah duku, padahal saat itu sama sekali bukan musim duku.
Terkadang ketika tidur, kupandangi Kakek. Aku teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Aku ingat, kami bertiga –Aku, Bapak, dan Kakek- tiga pria seketurunan, berdiri di pinggir lahan kebun pala milik Kakek. Semasa aku kecil, kebun pala itu menjadi markas bermain aku dan para sepupuku. Kakek dan Bapak berniat membuat rumah kontrakan di kebun pala itu. Penghasilan dari pala sudah sangat tidak memadai, sementara bisnis kos-kosan menjadi sangat menggiurkan. Aku tidak setuju dengan rencana itu, tapi apa daya, ibarat sebuah kerajaan, ucapan Kakek ibarat fatwa seorang raja, dan aku hanya seorang pangeran kecil yang dianggap belum bisa berpikir jernih.
Dan saat ini, kebun pala itu menjadi kebun kos-kosan. Lebih menguntungkan memang, tapi kerugian besar bagi alam.
Tiga hari menjelang wafatnya Kakek.
Siang itu aku datang ke rumah Kakek. Sebenarnya masih jam kerja, namun karena aku sedang berdinas ke Sukabumi, jadi sebentar aku mampir. Seperti biasa, aku bawakan beberapa botol minuman isotonic bermerk Pocari Sweat tempat dimana aku bekerja.
Bicara Kakek semakin tak jelas. Sedikit aku mengerti,
“Aki mah sudah tidak bisa makan dan minum apa-apa!”
“Satu-satunya yang bisa masuk ke Aki cuma ini!” sambil menunjuk minuman isotonic merk Pocari Sweat.
Maaf ini bukan iklan, jikapun aku tidak bekerja di perusahaan ini, aku akan tetap menyebut merk ini, karena kenyataannya memang sejak lama Kakek suka minuman itu.
Dua hari kemudian, kakek meninggal dalam usia 94 tahun. Lelah pasti beliau berkiprah di dunia. Sudah saatnya beliau menjalani kehidupan lain di dunia sana. Semoga kehidupan itu lebih baik untuk nya
Satu hal yang aku banggakan adalah, lidah Kakek tetap dibasahi Pocari Sweat dan zikir hingga akhir hayatnya.
Jakarta, 10 Februari 09
Tiga bulan sebelum Kakek jatuh sakit, beliau masih aktif berjualan kayu. Menjaga kios kayunya, membeli kayu dari pemasok di Ciawi, dan menjual kepada orang-orang yang mungkin sedang membangun rumah.
Sakit yang hanya 3 bulan menjelang wafatnya, menunjukkan betapa sehat Kakek selama ini. Jarang aku mendapati Kakek jatuh sakit berat selama ini, paling hanya sakit flu, atau pusing atau sesak nafas, yang aku kira hanya faktor usia.
Cucu Kakek ada 20 orang. Sembilan dari anak pertamanya, sembilan dari anak ketiganya, dan dua dari anak keduanya. Yang dua dari anak keduanya adalah aku. Aku terhitung bukan cucu kesayangannya, hanya sepertinya Kakek selalu mengingat aku, sekali lagi bukan karena cucu kesayangan, tapi karena aku lah satu-satunya cucu yang jarang muncul di rumahnya.
Sepupu ku menyampaikan pesan agar aku datang ke kampung, sebentar saja. Di saat sebelum Kakek sakit, hampir setiap hari Kakek bertanya pada para sepupu di kampung,
“Dindin mana?”
Sebenarnya berkali-kali Bapak, Ibu, dan semua kerabat menghubungiku untuk menjenguk Kakek. Namun memang aku tidak menganggap serius ajakan itu. Aku pikir saat itu biasa saja, tidak ada yang istimewa, tidak ada yang sakit, apalagi tidak ada tanda-tanda Kakek akan pergi.
Dua minggu sebelum Kakek sakit, tiba-tiba hatiku tergerak, terpanggil untuk pulang kampung sekedar melihat Kakek. Ketika bertemu, aku melihat Kakek begitu berbeda, meski terlihat sehat, namun Kakek mulai ringkih, nafasnya mulai tersengal, jalannya mulai terseok, dan bicaranya mulai tidak jelas. Kenapa Kakek? Apakah ini tanda-tanda Kakek akan pergi?
Kutepis kekhawatiran itu. Kuajak Kakek jalan-jalan, hanya berdua, kubawa dia ke salah satu Mall d Bogor. Lamban kami berjalan, kutuntun Kakek, kugandeng tangannya, dan kudengarkan seluruh pembicaraannya meski seringkali aku tidak mengerti apa yang Kakek katakan. Kubebaskan Kakek membeli apapun yang diinginkannya, bahkan jika pun waktu itu Kakek mengambil barang termahal, sepertinya aku akan sanggup membelinya. Tapi, sukurlah, Kakek mengambil barang-barang yang harganya cukup rasional untuk kantong ku.
Itulah kali terakhir aku jalan dengan Kakek. Karena dua minggu kemudian, kondisi Kakek memburuk, Kakek hanya bisa terbaring, tidak mau makan, tidak mau minum. Tapi yang aku syukuri adalah, lidahnya tak pernah berhenti berzikir.
Sejak sakit, aku intens mengunjungi Kakek, setidaknya seminggu sekali. Kubawakan segala makanan kesukaannya, kubawakan makanan yang tiba-tiba dia inginkan. Sepupuku sering menelpon, menyampaikan permintaan Kakek. Misalnya, tiba-tiba saja Kakek minta buah duku, padahal saat itu sama sekali bukan musim duku.
Terkadang ketika tidur, kupandangi Kakek. Aku teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu. Aku ingat, kami bertiga –Aku, Bapak, dan Kakek- tiga pria seketurunan, berdiri di pinggir lahan kebun pala milik Kakek. Semasa aku kecil, kebun pala itu menjadi markas bermain aku dan para sepupuku. Kakek dan Bapak berniat membuat rumah kontrakan di kebun pala itu. Penghasilan dari pala sudah sangat tidak memadai, sementara bisnis kos-kosan menjadi sangat menggiurkan. Aku tidak setuju dengan rencana itu, tapi apa daya, ibarat sebuah kerajaan, ucapan Kakek ibarat fatwa seorang raja, dan aku hanya seorang pangeran kecil yang dianggap belum bisa berpikir jernih.
Dan saat ini, kebun pala itu menjadi kebun kos-kosan. Lebih menguntungkan memang, tapi kerugian besar bagi alam.
Tiga hari menjelang wafatnya Kakek.
Siang itu aku datang ke rumah Kakek. Sebenarnya masih jam kerja, namun karena aku sedang berdinas ke Sukabumi, jadi sebentar aku mampir. Seperti biasa, aku bawakan beberapa botol minuman isotonic bermerk Pocari Sweat tempat dimana aku bekerja.
Bicara Kakek semakin tak jelas. Sedikit aku mengerti,
“Aki mah sudah tidak bisa makan dan minum apa-apa!”
“Satu-satunya yang bisa masuk ke Aki cuma ini!” sambil menunjuk minuman isotonic merk Pocari Sweat.
Maaf ini bukan iklan, jikapun aku tidak bekerja di perusahaan ini, aku akan tetap menyebut merk ini, karena kenyataannya memang sejak lama Kakek suka minuman itu.
Dua hari kemudian, kakek meninggal dalam usia 94 tahun. Lelah pasti beliau berkiprah di dunia. Sudah saatnya beliau menjalani kehidupan lain di dunia sana. Semoga kehidupan itu lebih baik untuk nya
Satu hal yang aku banggakan adalah, lidah Kakek tetap dibasahi Pocari Sweat dan zikir hingga akhir hayatnya.
Jakarta, 10 Februari 09
Label:
Sebuah Renungan Hati
"Olimpiade Bahasa Inggris? Emang Ada?"
Tahun 1991, di kelas 2 SMA.
Saat itu sedang marak-maraknya penyelenggaraan olimpiade. Bukan olimpiade olahraga seperti yang sebelumnya kita kenal. Tapi Olimpiade Fisika dan Olimpiade Matematika yang diselenggarakan untuk menjaring jenius-jenius dari setiap kelas untuk diorbitkan menjadi fisikawan dan matematikawan handal se-Indonesia bahkan se-dunia.
Biasanya, jenius-jenius terpilih dari tiap kelas akan diberikan pelajaran tambahan di luar jam pelajaran regular. Mereka mengadu argumen, mengasah otak, menjajal soal, dan melakukan eksperimen.
Biasanya, kelas yang digunakan untuk belajar adalah kelas di koridor sekolah. Suatu koridor yang akan dilalui siapapun yang berlalu lalang di sekolah. Siapa pun yang melintasi koridor akan melihat mereka dibekali ilmu-ilmu Fisika dan Matematika
Dari luar kelas, aku melihat mereka belajar.
Terbersit rasa iri,
“Kenapa aku tidak sepintar mereka?”
Sudahlah, lupakan saja, ada yang lebih penting yang akan aku sampaikan.
Adalah S, sahabatku sejak SMP. Di SMA kami sekelas di kelas 2 dan 3. S adalah aktivis sekolah. Berbagai organisasi diikuti, S juga adalah salah satu petinggi OSIS di SMA kami. Semua kenal S, orangnya periang, mudah bergaul, dan “masuk” dengan kelompok mana pun di sekolah.
Namun ada satu hal yang mengganjal tentang diri S, yaitu “gagap” dalam pelajaran bahasa Inggris. Keringat dingin bercucuran ketika diminta maju ke depan untuk berbicara dalam bahasa Inggris bahkan untuk sekedar mengatakan, “My name is S”
Suatu hari, S tidak masuk kelas bahasa Inggris, bukan karena sakit, tapi memang karena tidak mau masuk. Padahal bertepatan hari itu ada kuis dadakan yang harus diikuti dan mempengaruhi nilai akhir.
Berarti S harus ikut kuis susulan! Sendiri! Tanpa bantuan teman!
Singkat cerita, hari kuis susulan dimulai. S tidak belajar, hanya berbekal soal dan jawaban kuis kemarin. Bersamaan dengan S, ada 4 orang teman yang juga ikut kuis susulan. Keempat orang teman itu memang benar-benar tidak ikut kuis karena sakit, bukan karena menghindar. Karena ke empat orang ini adalah para jenius bahasa Inggris di sekolah. Sementara S? Tidak bisa disebut jenius bahasa Inggris, memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris saja, keringat dingin.
Kuis susulan dilakukan di sebuah kelas yang berada di koridor sekolah, persis kelas yang sama dengan tempat para peserta olimpiade fisika dan matematika belajar. Peserta kuis susulan tersebut otomatis terlihat oleh siapa pun yang lewat. Benar-benar mirip saat para peserta olimpiade fisika dan matematika sedang belajar.
“Ada olimpiade apa lagi, nih?” Setengah berbisik, teman-teman kelas lain yang tidak mengerti, mulai bertanya-tanya.
Namun dengan bangga, menunjukkan canda sombongnya, dari dalam kelas, S berbisik keras, “Olimpiade Bahasa Inggris!”
“Olimpiade Bahasa Inggris? Emang ada?”
“Ada kali!”
“Apa sih yang ga bisa di-olimpiade-in?”
“Lagi musim olimpiade , ya?”
Sahut menyahut pembicaraan beredar di sekolah mengenai keberadaan olimpiade bahasa Inggris hari itu.
“Tapi, masak S yang jadi peserta olimpiade, ga mungkin, ah!”
Edaran gossip mulai diragukan kebenarannya. Keraguan itu bukan karena olimpiade bahasa Inggris nya. Olimpiade itu mungkin saja benar-benar diadakan. Tapi keraguan itu disebabkan oleh keikutsertaan S dalam kelas itu.
“Kalau S ikut olimpiade bahasa Inggris, berarti tadi malam ada kucing dimandiin!”
“Dan nanti malam akan ada hujan badai!”
Begitulah kira-kira perwakilan kata-kata keraguan di benak teman-teman dari kelas lain.
Memang bukan olimpiade bahasa Inggris yang diikuti S. Hanya sekedar kuis susulan yang kebetulan bergabung dengan para jenius bahasa Inggris dari kelas lain.
Sejak saat itu, S tetap dikenal sebagai peserta olimpiade bahasa Inggris. Istilah itu menjadi idiom tetap yang melekat pada diri S sampai jauh waktu berjalan. Canda sombong itu tetap melekat,
“Gini-gini, gw pernah menjadi peserta olimpiade bahasa Inggris!”
Atau
“Sini…sini, gua terjemahin! Masak mantan peserta olimpiade bahasa Inggris ga bisa terjemahin!”
Atau
“Tenang…tenang…kalau debatnya harus pake bahasa Inggris, biar gua yang maju!”
Begitulah kira-kira pernyataan canda sombong yang keluar dari mulut S. Semuanya memang kental nuansa sombong, namun tetap dalam koridor canda. Kami tertawa, kami terhibur, dan kami enjoy dengan kehadiran S.
Jauh terus kami bahagia akan kehadiran S, jauh sampai saat kami bersama dalam satu kos di Jatinangor, jauh sampai saat kami berada dalam satu fakultas di Universitas Padjadjaran.
Dan sekarang, saat ini.
S menjadi salah satu petinggi di sebuah perusahaan retail asing terkemuka di Indonesia. Tentunya komunikasi bahasa Inggris menjadi keharusan ketika harus bertemu dengan para atasan perusahaan tersebut yang dominan bule.
Sudah canggihkah bahasa Inggris S saat ini?
Entahlah! Aku harus mengkonfirmasi ulang mengenai hal ini. Kapan-kapan aku akan menemuinya dan aku kabari melalui tulisan-tulisan ku selanjutnya.
Gorontalo, 30 Januari 09
Saat itu sedang marak-maraknya penyelenggaraan olimpiade. Bukan olimpiade olahraga seperti yang sebelumnya kita kenal. Tapi Olimpiade Fisika dan Olimpiade Matematika yang diselenggarakan untuk menjaring jenius-jenius dari setiap kelas untuk diorbitkan menjadi fisikawan dan matematikawan handal se-Indonesia bahkan se-dunia.
Biasanya, jenius-jenius terpilih dari tiap kelas akan diberikan pelajaran tambahan di luar jam pelajaran regular. Mereka mengadu argumen, mengasah otak, menjajal soal, dan melakukan eksperimen.
Biasanya, kelas yang digunakan untuk belajar adalah kelas di koridor sekolah. Suatu koridor yang akan dilalui siapapun yang berlalu lalang di sekolah. Siapa pun yang melintasi koridor akan melihat mereka dibekali ilmu-ilmu Fisika dan Matematika
Dari luar kelas, aku melihat mereka belajar.
Terbersit rasa iri,
“Kenapa aku tidak sepintar mereka?”
Sudahlah, lupakan saja, ada yang lebih penting yang akan aku sampaikan.
Adalah S, sahabatku sejak SMP. Di SMA kami sekelas di kelas 2 dan 3. S adalah aktivis sekolah. Berbagai organisasi diikuti, S juga adalah salah satu petinggi OSIS di SMA kami. Semua kenal S, orangnya periang, mudah bergaul, dan “masuk” dengan kelompok mana pun di sekolah.
Namun ada satu hal yang mengganjal tentang diri S, yaitu “gagap” dalam pelajaran bahasa Inggris. Keringat dingin bercucuran ketika diminta maju ke depan untuk berbicara dalam bahasa Inggris bahkan untuk sekedar mengatakan, “My name is S”
Suatu hari, S tidak masuk kelas bahasa Inggris, bukan karena sakit, tapi memang karena tidak mau masuk. Padahal bertepatan hari itu ada kuis dadakan yang harus diikuti dan mempengaruhi nilai akhir.
Berarti S harus ikut kuis susulan! Sendiri! Tanpa bantuan teman!
Singkat cerita, hari kuis susulan dimulai. S tidak belajar, hanya berbekal soal dan jawaban kuis kemarin. Bersamaan dengan S, ada 4 orang teman yang juga ikut kuis susulan. Keempat orang teman itu memang benar-benar tidak ikut kuis karena sakit, bukan karena menghindar. Karena ke empat orang ini adalah para jenius bahasa Inggris di sekolah. Sementara S? Tidak bisa disebut jenius bahasa Inggris, memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris saja, keringat dingin.
Kuis susulan dilakukan di sebuah kelas yang berada di koridor sekolah, persis kelas yang sama dengan tempat para peserta olimpiade fisika dan matematika belajar. Peserta kuis susulan tersebut otomatis terlihat oleh siapa pun yang lewat. Benar-benar mirip saat para peserta olimpiade fisika dan matematika sedang belajar.
“Ada olimpiade apa lagi, nih?” Setengah berbisik, teman-teman kelas lain yang tidak mengerti, mulai bertanya-tanya.
Namun dengan bangga, menunjukkan canda sombongnya, dari dalam kelas, S berbisik keras, “Olimpiade Bahasa Inggris!”
“Olimpiade Bahasa Inggris? Emang ada?”
“Ada kali!”
“Apa sih yang ga bisa di-olimpiade-in?”
“Lagi musim olimpiade , ya?”
Sahut menyahut pembicaraan beredar di sekolah mengenai keberadaan olimpiade bahasa Inggris hari itu.
“Tapi, masak S yang jadi peserta olimpiade, ga mungkin, ah!”
Edaran gossip mulai diragukan kebenarannya. Keraguan itu bukan karena olimpiade bahasa Inggris nya. Olimpiade itu mungkin saja benar-benar diadakan. Tapi keraguan itu disebabkan oleh keikutsertaan S dalam kelas itu.
“Kalau S ikut olimpiade bahasa Inggris, berarti tadi malam ada kucing dimandiin!”
“Dan nanti malam akan ada hujan badai!”
Begitulah kira-kira perwakilan kata-kata keraguan di benak teman-teman dari kelas lain.
Memang bukan olimpiade bahasa Inggris yang diikuti S. Hanya sekedar kuis susulan yang kebetulan bergabung dengan para jenius bahasa Inggris dari kelas lain.
Sejak saat itu, S tetap dikenal sebagai peserta olimpiade bahasa Inggris. Istilah itu menjadi idiom tetap yang melekat pada diri S sampai jauh waktu berjalan. Canda sombong itu tetap melekat,
“Gini-gini, gw pernah menjadi peserta olimpiade bahasa Inggris!”
Atau
“Sini…sini, gua terjemahin! Masak mantan peserta olimpiade bahasa Inggris ga bisa terjemahin!”
Atau
“Tenang…tenang…kalau debatnya harus pake bahasa Inggris, biar gua yang maju!”
Begitulah kira-kira pernyataan canda sombong yang keluar dari mulut S. Semuanya memang kental nuansa sombong, namun tetap dalam koridor canda. Kami tertawa, kami terhibur, dan kami enjoy dengan kehadiran S.
Jauh terus kami bahagia akan kehadiran S, jauh sampai saat kami bersama dalam satu kos di Jatinangor, jauh sampai saat kami berada dalam satu fakultas di Universitas Padjadjaran.
Dan sekarang, saat ini.
S menjadi salah satu petinggi di sebuah perusahaan retail asing terkemuka di Indonesia. Tentunya komunikasi bahasa Inggris menjadi keharusan ketika harus bertemu dengan para atasan perusahaan tersebut yang dominan bule.
Sudah canggihkah bahasa Inggris S saat ini?
Entahlah! Aku harus mengkonfirmasi ulang mengenai hal ini. Kapan-kapan aku akan menemuinya dan aku kabari melalui tulisan-tulisan ku selanjutnya.
Gorontalo, 30 Januari 09
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Anak Kelas Fisika Yang Ga Suka Fisika
Sejak SMP, sejak ada pemisahan bidang Ilmu Pengetahuan Alam, menjadi Fisika, Kimia, dan Biologi, tidak satupun ketiga sub bidang Ilmu Pengetahuan Alam itu yang aku suka. Belum apa-apa aku merasa sama sekali tidak mengerti apa yang diterangkan guru di kelas.
Di kelas Biologi, alih-alih memahami apa yang diterangkan, aku malah berpikir dan ngomel dalam hati,
”Siapa sih yang iseng kasih nama tumbuhan-tumbuhan ini dengan nama aneh?”
”Kenapa sih kita mesti menghafal istilah-istilah itu, toh nanti pun kita bisa lihat buku kalau kita lupa?”
Di kelas Kimia, sama saja,
”Siapa yang iseng memberi nama bahan-bahan itu dengan Fe, Cu, Li?”
”Siapa yang kurang kerjaan memisahkan unsur-unsur sehingga muncul simbol H, O, dan C yang kalau disambung-sambung menjadi rantai yang membingungkan?”
Di kelas Fisika, agak mendingan, tapi setali tiga uang,
”Kenapa sih, iseng amat hitung-hitung gerakan bandul?”
”Kenapa, sih, urusan air tumpah dari bak mandi aja langsung heboh dan bilang : Eureka?”
Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu terus menggelayuti dan meracuni fikiran ku. Makin menjauhkan aku dari ilmu-ilmu itu.
Anehnya, meski begitu aku tetap memilih Jurusan Fisika sebagai kelas ku di kelas 2 dan 3. Entahlah, meski aku tidak nyaman, namun aku memaksakan diri untuk masuk kelas Fisika. Iming-iming masa depan cerah, UMPTN bisa kemana aja, dan gengsi, membuat aku memutuskan memilih Fisika sebagai kelas ku.
Hingga suatu saat di awal kelas 2,
”Minggu depan kita ulangan untuk Bab 2 dan 3.” Pak N, guru Fisika kami, berteriak lantang.
Pak N memang aku rasakan berbeda dengan guru Fisika lainnya, baru kali ini aku mengerti akan Fisika setelah diajari oleh Pak N. Baru kali ini logika-logika dasar Fisika aku pahami. Ya, baru kali ini! Setelah sekian tahun!
Semangat membara menjelang ulangan. Kepercayaan diriku akan pelajaran Fisika mencapai tingkat tertinggi. Suatu puncak pencapaian sempurna bagi orang ”gagap” Fisika seperti aku.
Saking semangatnya, setiap hari aku bawa buku pelajaran Fisika, ketika ada waktu luang aku belajar Fisika, waktu istirahat dan menjelang mulai pelajaran aku belajar Fisika. Sampai-sampai ada satu teman yang panik melihat aku belajar Fisika, karena mengira ulangan Fisika nya hari ini.
Hari H ulangan Fisika, aku merasa sangat siap, sangat PD, dan yakin akan hasil terbaik yang akan aku dapat. Duduk pun nomor dua dari depan –biasanya waktu ulangan aku menyingkir ke belakang.
Soal demi soal aku kerjakan dengan penuh percaya diri. Ada soal pilihan ganda dan juga essay. Semua aku kerjakan tanpa lirik kiri kanan mengharap bantuan teman. Seluruh soal pernah aku coba semua, hanya berbeda angka nya saja.
Kepercayaan diri tertinggi. Lagi-lagi itu istilah yang sangat tepat menggambarkan diriku saat itu.
Seminggu kemudian.
Saatnya pengumuman!
Pak N dengan penuh senyum melangkah masuk kelas, aku pun demikian, ibarat hari itu adalah hari gajian, maka aku yakin akan mendapat upah tertinggi saat itu.
Satu per satu anak-anak dipanggil untuk menerima kertas ulangan.
Ada yang bergumam, ”Yes!”
Ada yang mengepalkan tangan seraya berkata, ”Mantap!”
Ada juga yang tertunduk lesu tanpa ekspresi.
”Kok aku belum dipanggil?” gumamku
Aku lihat sekeliling, nilai temanku bervariatif, ada yang 7,2 atau 6,5 atau ada juga yang 10. Nilai 10 ini memang mutlak milik beberapa jenius kelas yang tanpa belajar pun mereka sudah sangat memahami Fisika. Satu-satunya pelajaran yang mereka sulit berprestasi hanya olahraga!
”Dindin Suzaridian!”
Namaku dipanggil.
Mantap aku melangkah, setengah deg-degan, namun yakin akan mendapatkan nilai yang tidak mengecewakan.
Kertas ulangan aku ambil.
Mataku terbelalak!
Tertera nilai 2,8!
Setengah tidak percaya aku pandangi Pak N.
Pa N mengingatkan,
”Belajar lagi, Din! Nilai mu terendah di kelas!”
”Gila! Belajar lagi?”
”Tidak cukupkah aku seminggu ini belajar?”
”Inikah hasil kerja keras ku seminggu ini? Terendah di kelas?”
Kertas itu aku lipat dan aku taruh di saku baju. Tidak aku remas-remas dan aku buang. Aku tidak seekspresif itu. Beberapa teman ku bertanya, namun tidak satu pun aku dengar dengan jelas pertanyaan mereka. Atau mungkin aku sudah tidak peduli.
Lemas aku melangkah pulang.
Seandainya Fisika itu sesosok gadis, aku mungkin berkata,
”Inikah balas jasa engkau kepada ku setelah aku memelihara cinta ku untuk mu?”
Sejak itu, semangat ku pudar. Cinta ku untuk Fisika luntur. Habis sudah terkikis kekecewaan mendalam.
Sejak itu, aku tak mau lagi memelihara cinta untuk Fisika, cukup sekedar kenal dan bebas dari ulangan. Biarpun Fisika semakin cantik dan menarik untuk dipacari, tapi maaf, aku telah patah hati.
Aku sudah punya pacar baru.
Ilmu Sejarah!
Ya, Ilmu Sejarah!
Dia menghargai ku tinggi sekali meski aku tidak mencintainya.
Dia memberikan apresiasi tertinggi, meski aku tidak bekerja keras mengejarnya.
Dan akhirnya, inilah aku, tetap membenci Kimia, tetap menjauhi Biologi, dan tetap skeptis dengan Fisika, meski aku sadar bahwa selama ini aku memanfaatkan nya setiap hari.
Di kelas Biologi, alih-alih memahami apa yang diterangkan, aku malah berpikir dan ngomel dalam hati,
”Siapa sih yang iseng kasih nama tumbuhan-tumbuhan ini dengan nama aneh?”
”Kenapa sih kita mesti menghafal istilah-istilah itu, toh nanti pun kita bisa lihat buku kalau kita lupa?”
Di kelas Kimia, sama saja,
”Siapa yang iseng memberi nama bahan-bahan itu dengan Fe, Cu, Li?”
”Siapa yang kurang kerjaan memisahkan unsur-unsur sehingga muncul simbol H, O, dan C yang kalau disambung-sambung menjadi rantai yang membingungkan?”
Di kelas Fisika, agak mendingan, tapi setali tiga uang,
”Kenapa sih, iseng amat hitung-hitung gerakan bandul?”
”Kenapa, sih, urusan air tumpah dari bak mandi aja langsung heboh dan bilang : Eureka?”
Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu terus menggelayuti dan meracuni fikiran ku. Makin menjauhkan aku dari ilmu-ilmu itu.
Anehnya, meski begitu aku tetap memilih Jurusan Fisika sebagai kelas ku di kelas 2 dan 3. Entahlah, meski aku tidak nyaman, namun aku memaksakan diri untuk masuk kelas Fisika. Iming-iming masa depan cerah, UMPTN bisa kemana aja, dan gengsi, membuat aku memutuskan memilih Fisika sebagai kelas ku.
Hingga suatu saat di awal kelas 2,
”Minggu depan kita ulangan untuk Bab 2 dan 3.” Pak N, guru Fisika kami, berteriak lantang.
Pak N memang aku rasakan berbeda dengan guru Fisika lainnya, baru kali ini aku mengerti akan Fisika setelah diajari oleh Pak N. Baru kali ini logika-logika dasar Fisika aku pahami. Ya, baru kali ini! Setelah sekian tahun!
Semangat membara menjelang ulangan. Kepercayaan diriku akan pelajaran Fisika mencapai tingkat tertinggi. Suatu puncak pencapaian sempurna bagi orang ”gagap” Fisika seperti aku.
Saking semangatnya, setiap hari aku bawa buku pelajaran Fisika, ketika ada waktu luang aku belajar Fisika, waktu istirahat dan menjelang mulai pelajaran aku belajar Fisika. Sampai-sampai ada satu teman yang panik melihat aku belajar Fisika, karena mengira ulangan Fisika nya hari ini.
Hari H ulangan Fisika, aku merasa sangat siap, sangat PD, dan yakin akan hasil terbaik yang akan aku dapat. Duduk pun nomor dua dari depan –biasanya waktu ulangan aku menyingkir ke belakang.
Soal demi soal aku kerjakan dengan penuh percaya diri. Ada soal pilihan ganda dan juga essay. Semua aku kerjakan tanpa lirik kiri kanan mengharap bantuan teman. Seluruh soal pernah aku coba semua, hanya berbeda angka nya saja.
Kepercayaan diri tertinggi. Lagi-lagi itu istilah yang sangat tepat menggambarkan diriku saat itu.
Seminggu kemudian.
Saatnya pengumuman!
Pak N dengan penuh senyum melangkah masuk kelas, aku pun demikian, ibarat hari itu adalah hari gajian, maka aku yakin akan mendapat upah tertinggi saat itu.
Satu per satu anak-anak dipanggil untuk menerima kertas ulangan.
Ada yang bergumam, ”Yes!”
Ada yang mengepalkan tangan seraya berkata, ”Mantap!”
Ada juga yang tertunduk lesu tanpa ekspresi.
”Kok aku belum dipanggil?” gumamku
Aku lihat sekeliling, nilai temanku bervariatif, ada yang 7,2 atau 6,5 atau ada juga yang 10. Nilai 10 ini memang mutlak milik beberapa jenius kelas yang tanpa belajar pun mereka sudah sangat memahami Fisika. Satu-satunya pelajaran yang mereka sulit berprestasi hanya olahraga!
”Dindin Suzaridian!”
Namaku dipanggil.
Mantap aku melangkah, setengah deg-degan, namun yakin akan mendapatkan nilai yang tidak mengecewakan.
Kertas ulangan aku ambil.
Mataku terbelalak!
Tertera nilai 2,8!
Setengah tidak percaya aku pandangi Pak N.
Pa N mengingatkan,
”Belajar lagi, Din! Nilai mu terendah di kelas!”
”Gila! Belajar lagi?”
”Tidak cukupkah aku seminggu ini belajar?”
”Inikah hasil kerja keras ku seminggu ini? Terendah di kelas?”
Kertas itu aku lipat dan aku taruh di saku baju. Tidak aku remas-remas dan aku buang. Aku tidak seekspresif itu. Beberapa teman ku bertanya, namun tidak satu pun aku dengar dengan jelas pertanyaan mereka. Atau mungkin aku sudah tidak peduli.
Lemas aku melangkah pulang.
Seandainya Fisika itu sesosok gadis, aku mungkin berkata,
”Inikah balas jasa engkau kepada ku setelah aku memelihara cinta ku untuk mu?”
Sejak itu, semangat ku pudar. Cinta ku untuk Fisika luntur. Habis sudah terkikis kekecewaan mendalam.
Sejak itu, aku tak mau lagi memelihara cinta untuk Fisika, cukup sekedar kenal dan bebas dari ulangan. Biarpun Fisika semakin cantik dan menarik untuk dipacari, tapi maaf, aku telah patah hati.
Aku sudah punya pacar baru.
Ilmu Sejarah!
Ya, Ilmu Sejarah!
Dia menghargai ku tinggi sekali meski aku tidak mencintainya.
Dia memberikan apresiasi tertinggi, meski aku tidak bekerja keras mengejarnya.
Dan akhirnya, inilah aku, tetap membenci Kimia, tetap menjauhi Biologi, dan tetap skeptis dengan Fisika, meski aku sadar bahwa selama ini aku memanfaatkan nya setiap hari.
Label:
Begitu Saja Bandelku...
“Dindin yang mana, ya? Ada dua tuh!”
Ada dua Dindin di Jurusan Hubungan Internasional Angkatan 93 Universitas Padjadjaran. Yang pertama aku, Dindin Suzaridian, yang kedua Dindin Adiwardana Natasukarya. Banyak kesamaan antara kami berdua. Diantaranya, kami berasal dari kota yang sama –Bogor- dan SMA yang sama, SMAN 1 Bogor.
Meski tidak berada dalam satu kos yang sama, kedua Dindin ini berada dalam “gank” yang sama (kalau boleh meminjam kata-kata “gank”), sama-sama berada di kawasan Jatinangor, dan sering main sepakbola dalam satu tim.
Suatu hari, saat dosen tidak hadir, saat-saat nongkrong di koridor kampus, datang menghampiri kami seorang mahasiswi dari jurusan lain.
Celingak celinguk.
Dan menyapa lah dia,
“Hei, hallo!”
“Hallo juga” hampir serempak, aku, Sogun, Edo, Sohen, Dindin AN dan teman-teman lain balas menyapa.
“Gua lagi mau nyari Dindin, ada ga ya?”
“Ada titipan dari saudaranya di Bogor.” Mahasiswi itu mulai bicara.
“Dindin mana?” timpal Sogun
Aku dan Dindin AN sama-sama terdiam. Sengaja tidak bereaksi ketika orang yang dicari adalah Dindin.
“Dindin, yang anak HI 93?” timpal si mahasiswi.
“Dindin yang HI 93, ada dua!” Sohen ikut nimbrung.
“Dindin HI 93 yang anak Bogor!” mahasiswi itu lagi.
“Iya, Dindin HI 93 yang anak Bogor ada dua!” Sogun ikut-ikutan.
“Dindin HI 93, anak Bogor, dari SMA N 1 Bogor!” mulai frustasi mahasiswi itu.
“Iya, Dindin HI 93, anak Bogor dari SMAN 1 Bogor, ada dua!” Edo mulai jahil.
“Ih, ini serius, ada titipan, jangan bercanda!” emosi mulai mendera sang mahasiswi.
“Lho siapa yang bercanda? Emang ada dua!” Sogun bertindak sebagai kompor.
Berlalu lah sang mahasiswi itu. Kesal! Dongkol! Aku dan Dindin tetap tidak bereaksi. Ikut cekikikan. Ikut menikmati adegan itu.
Beberapa hari kemudian, si mahasiswi itu datang menghampiri ku. Wuih, mungkin dia marah, mungkin dia ingin melampiaskan kemarahannya pada ku. Atau mungkin dia sudah tahu yang mana Dindin yang dia maksud.
Benar saja,
“Rese, lu! Yang gua maksud Dindin waktu itu tuh, elu!” marah mahasiswi itu.
“Nih, ada titipan dari Bogor, dari Tante N, buat lu!”
“Yakin yang dimaksud, Dindin gua?” Aku pun jadi ragu, jangan-jangan bukan Dindin aku. Tapi demi mendengar nama Tante N, aku langsung yakin, itu aku. Karena Tante N adalah sepupu dari Ibu ku.
“Iya bener! Masak lu ga kenal Tante N?”
“Kok lu tau Dindin yang dimaksud itu gua?”
“Tahu lah, tadi malem gua telepon Tante N, mastiin nama panjang lu siapa!”
“Ok, deh, thanks ya! Dan sorry atas kejadian waktu itu!”
“Iya nih! Padahal lu waktu itu ada, kan? Rese….!” Melengos mahasiswi itu meninggalkan ku.
“Eh sekali lagi, thanks ya!”
“Iya..iya!” sambil bergegas dan tanpa melihat mahasiswi itu menjawab.
Peristiwa itu menjadi tonggak awal pembedaan penyebutan nama bagi kami berdua. Aku dipanggil Dindin S (mesti lengkap dengan S nya) sementara Dindin yang satu lagi dipanggil Dindin AN (mesti lengkap juga dengan AN nya).
Sampai saat ini pun ketika kami sudah sama-sama menikah, dan sama-sama tinggal di Bogor, tetap ada kemiripan, yaitu anak laki-laki pertama kami bersekolah dan sekelas di TK yang sama. Demikian pula anak perempuan kami, sekolah dan sekelas di playgroup yang sama.
Bahkan anak pertama ku sering saling bercanda dengan anak pertama Dindin AN, ”Hei, kamu anaknya Bapak Dindin, ya!” serempak mereka berteriak satu sama lain.
Istri ku dan istri nya Dindin AN pun berasal dari daerah yang sama, yaitu Majalengka. Untung saja, nama istri kami tidak sama, walaupun ternyata mirip dan hanya membolak balikkan huruf nya saja, istriku bernama Nia, sementara istri Dindin AN namanya Ina.
Mirip, kan?
Lhoksemawe, 21 Januari 2009.
Meski tidak berada dalam satu kos yang sama, kedua Dindin ini berada dalam “gank” yang sama (kalau boleh meminjam kata-kata “gank”), sama-sama berada di kawasan Jatinangor, dan sering main sepakbola dalam satu tim.
Suatu hari, saat dosen tidak hadir, saat-saat nongkrong di koridor kampus, datang menghampiri kami seorang mahasiswi dari jurusan lain.
Celingak celinguk.
Dan menyapa lah dia,
“Hei, hallo!”
“Hallo juga” hampir serempak, aku, Sogun, Edo, Sohen, Dindin AN dan teman-teman lain balas menyapa.
“Gua lagi mau nyari Dindin, ada ga ya?”
“Ada titipan dari saudaranya di Bogor.” Mahasiswi itu mulai bicara.
“Dindin mana?” timpal Sogun
Aku dan Dindin AN sama-sama terdiam. Sengaja tidak bereaksi ketika orang yang dicari adalah Dindin.
“Dindin, yang anak HI 93?” timpal si mahasiswi.
“Dindin yang HI 93, ada dua!” Sohen ikut nimbrung.
“Dindin HI 93 yang anak Bogor!” mahasiswi itu lagi.
“Iya, Dindin HI 93 yang anak Bogor ada dua!” Sogun ikut-ikutan.
“Dindin HI 93, anak Bogor, dari SMA N 1 Bogor!” mulai frustasi mahasiswi itu.
“Iya, Dindin HI 93, anak Bogor dari SMAN 1 Bogor, ada dua!” Edo mulai jahil.
“Ih, ini serius, ada titipan, jangan bercanda!” emosi mulai mendera sang mahasiswi.
“Lho siapa yang bercanda? Emang ada dua!” Sogun bertindak sebagai kompor.
Berlalu lah sang mahasiswi itu. Kesal! Dongkol! Aku dan Dindin tetap tidak bereaksi. Ikut cekikikan. Ikut menikmati adegan itu.
Beberapa hari kemudian, si mahasiswi itu datang menghampiri ku. Wuih, mungkin dia marah, mungkin dia ingin melampiaskan kemarahannya pada ku. Atau mungkin dia sudah tahu yang mana Dindin yang dia maksud.
Benar saja,
“Rese, lu! Yang gua maksud Dindin waktu itu tuh, elu!” marah mahasiswi itu.
“Nih, ada titipan dari Bogor, dari Tante N, buat lu!”
“Yakin yang dimaksud, Dindin gua?” Aku pun jadi ragu, jangan-jangan bukan Dindin aku. Tapi demi mendengar nama Tante N, aku langsung yakin, itu aku. Karena Tante N adalah sepupu dari Ibu ku.
“Iya bener! Masak lu ga kenal Tante N?”
“Kok lu tau Dindin yang dimaksud itu gua?”
“Tahu lah, tadi malem gua telepon Tante N, mastiin nama panjang lu siapa!”
“Ok, deh, thanks ya! Dan sorry atas kejadian waktu itu!”
“Iya nih! Padahal lu waktu itu ada, kan? Rese….!” Melengos mahasiswi itu meninggalkan ku.
“Eh sekali lagi, thanks ya!”
“Iya..iya!” sambil bergegas dan tanpa melihat mahasiswi itu menjawab.
Peristiwa itu menjadi tonggak awal pembedaan penyebutan nama bagi kami berdua. Aku dipanggil Dindin S (mesti lengkap dengan S nya) sementara Dindin yang satu lagi dipanggil Dindin AN (mesti lengkap juga dengan AN nya).
Sampai saat ini pun ketika kami sudah sama-sama menikah, dan sama-sama tinggal di Bogor, tetap ada kemiripan, yaitu anak laki-laki pertama kami bersekolah dan sekelas di TK yang sama. Demikian pula anak perempuan kami, sekolah dan sekelas di playgroup yang sama.
Bahkan anak pertama ku sering saling bercanda dengan anak pertama Dindin AN, ”Hei, kamu anaknya Bapak Dindin, ya!” serempak mereka berteriak satu sama lain.
Istri ku dan istri nya Dindin AN pun berasal dari daerah yang sama, yaitu Majalengka. Untung saja, nama istri kami tidak sama, walaupun ternyata mirip dan hanya membolak balikkan huruf nya saja, istriku bernama Nia, sementara istri Dindin AN namanya Ina.
Mirip, kan?
Lhoksemawe, 21 Januari 2009.
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Kamis, 12 Februari 2009
Ulang Tahun - Sebuah Renungan dari Tahun ke Tahun
Ini bisa saja terjadi pada siapapun, laki-laki maupun perempuan. Tidak hanya aku. Tapi untuk sekedar berbagi, ini kisah dari tahun ke tahun.
Ulang tahun usia 1
Pada usia ini, pesta ulang tahun dilakukan atas inisiatif orang tua. Tidak mungkin anak umur 1 tahun minta ulang tahunnya di pestakan. Pada usia ini jalanpun masih tertatih-tatih. Jauh-jauh hari sudah belajar cara meniup lilin. Fuh..fuh..fuh.. biasanya lilinnya sulit mati, kalaupun lilinnya mati, lebih disebabkan karena muncratan ludah yang menimpa api di lilin.
Ulang tahun usia 2
Hampir sama dengan ulang tahun usia 2, namun dengan cara jalan yang tidak lagi tertatih-tatih. Sayangnya pada saat akan tiup lilin, justru tertidur dan terpaksa para tamu pesta yang didominasi orang dewasa menunggu, dan makan siang terlebih dahulu. Acara tiup lilin baru akan dilakukan setelah bangun kurang lebih 2 jam kemudian.
Ulang tahun usia 3
Mulai mengerti apa artinya pesta ulang tahun. Diadakan pesta di rumah, biasanya –setelah tiup lilin- lebih fokus membongkar kado pemberian dan memainkannya jika ada kado mainan yang menarik perhatiannya. Ucapan selamat para tamu? Biasanya tidak lagi dihiraukannya
Ulang tahun usia 4 - 5
Masalah tiup lilin sudah tidak lagi menjadi masalah. Tidak perlu air ludah muncrat untuk mematikannya. Sudah pula fasih menyanyikan lagu ulang tahun. Para tamu pun sudah didominasi anak-anak seusianya. Di masa kini, bagi orang tua yang mampu, akan mengadakan acara ulang tahun anaknya di sebuah restoran siap saji
Ulang tahun usia 6 – 12
Pada usia Sekolah Dasar ini, acara ulang tahun tidak lagi di sekolah. Belum pernah aku menemukan acara ulang tahun yang diadakan di kelas SD. Kalaupun ada, itupun spontanitas yang datangnya dari sang guru. Cukup menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama dan mengucapkan selamat. Di rumah? Biasanya tetap ada undangan pesta, dengan para tamu teman-teman sekolah. Undangan nya tertulis
“Datang ya ke pesta ku!”
Ulang tahun usia 13
Usia ABG, masa SMP, ulang tahun biasanya dilakukan dengan mentraktir teman-teman sekolah. Tidak semua teman, tapi hanya teman dekat saja. Si anak berpikir bahwa daripada uangnya buat pesta lebih baik buat beli sesuatu yang jadi hobinya misal beli kaset. Di usia ini mulai menyukai seorang perempuan, naksir, ngeceng. Dan akan sangat surprise sekali ketika si gadis yang disukai mengirimkan kartu ucapan kecil yang bertuliskan,
”Selamat ulang tahun, ya”
Ulang tahun usia 14
Inilah ulang tahun yang untuk pertama kalinya mendapat kado dari pacar. Bisa saja kan usia 14 sudah punya pacar? Kado itu mungil berpita warna merah muda. Isinya mungkin tidak seberapa, namun yang berarti adalah kata pengantar kado itu,
“Selamat ulang tahun, ya, semoga kamu makin sayang sama aku”
Ulang tahun usia 15
Di usia ini pacarnya sudah berbeda. Karena satu dan lain hal, pacar pertama tadi putus dan berganti ke pacar yang lain. Mirip dengan ulang tahun usia 14 tadi, kado dari pacar menjadi hal terpenting di usia ini. Oh ya, selain itu, diadakan acara makan-makan bersama teman-teman dekat. Sementara ada pertemuan khusus dengan sang pacar di suatu tempat dengan ritual menyerahkan kado mungil –yang tetap berpita. Tak penting apa isi kado, yang penting adalah kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 16
Masa SMA seperti ini, ulang tahun diritualkan dengan mentraktir teman-teman. Makin banyak teman, makin banyak pula uang yang dikeluarkan. Namun ada lagi ritual konyol yang seolah menjadi tradisi, yaitu diguyur dengan campuran berbagai minuman, plus air cucian penjual mie ayam, plus telor busuk. Sadis! Persiapan jangka panjang sudah dilakukan teman-teman, dan dirahasiakan sampai hari H. Biasanya akan terjadi balas dendam, karena hal yang sama akan dilakukan pada siapapun yang ulang tahun. Di tahun ini, tetap pacar yang sama memberikan kado khusus, tetap bukan kado mewah, tetap dengan kata-kata pengantar,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 17
Katanya ini masa spesial. Beberapa teman lain yang ulang tahun, khusus mengundang teman lain untuk ke rumah, ada pesta khusus, ruangan disetting seperti diskotik, mulai ada acara dance, dan potong kue dengan potongan pertama diserahkan kepada yang tersayang. Aku? Alhamdulillah tidak melakukan itu. Ritualnya sama dengan usia 16, hanya saja melibatkan teman yang lebih banyak. Dan tetap dengan pacar yang sama, dan tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 18
Mirip usia 17, namun tidak lagi ada traktir berlebihan. Kembali ke teman-teman dekat dan yang pasti tetap dengan pacar yang sama dengan kado istimewa, namun ditambah kata-kata,
“Kalau nanti kamu kuliah, masih kah kamu sayang sama aku?”
Ulang tahun usia 19
Masa kuliah di Bandung, teman-teman baru, ritual utama : traktir teman dekat. Ulang tahun pertama jauh dari pacar, di hari ulang tahun ucapan selamat hanya dilakukan via telepon. Dengan ucapan,
“Selamat ulang tahun, ya. Aku kangen!”
Kado dari sang pacar baru diserahkan beberapa minggu kemudian. Di tahun ini pula mulai ada beberapa secret admirer, yang tiba-tiba memberikan kado khusus di hari itu. Ucapannya sederhana, tak ada yang berlebihan, hanya,
“Selamat ulang tahun, ya”
Ibu datang di hari ulang tahun itu, dan aku pun berkata,
“Mama, minta uang tambahan dong, buat traktir teman?”
Ulang tahun usia 20
Ritual standar, makan-makan dengan teman dekat. Sang pacar telah pergi, tak tahan karena jauh ditinggal. Pacar baru menjelang dan kadopun datang. Kado nya pun tetap sederhana, tak ada yang mewah, namun dengan tulisan,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 21
Teman-teman semakin sedikit yang menyadari hari ulang tahun itu. Kalau bukan kita yang traktir makan, mereka tidak tahu kalau kita ulang tahun. Pacar di usia 20 tidak bertahan lama. Kembali datang pacar baru. Kali ini pacaran yang lebih serius, mungkin pengalaman kegagalan sebelumnya. Kado pun datang dari sang pacar. Tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 22 – 24
Hampir mirip, tetap dengan teman-teman kuliah, di Universitas maupun di Magister, kita yang traktir barulah mereka tahu kita ulang tahun. Pacar tetap sama, karena mulai serius menjalin hubungan ke taraf yang lebih tinggi. Tetap dengan ungkapan,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 25 - 27
Ulang tahun pertama di saat kerja. Tidak ada traktir mentraktir. Ucapan selamat hanya datang dari Ibu, dan –tentunya pacar. Sementara di kantor, cukup bagi-bagi 2 kotak kue tart, yang dipotong-potong dan cukup untuk 48 orang. Kado dari pacar? Tetap ada. Dan tetap,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun 28
Ulang tahun pertama setelah menikah. Ucapan selamat pertama datang dari istri (yang pacaran sejak usia 22 tadi), di saat bangun tidur di pagi hari, dilengkapi dengan kecupan mesra di pipi dan –tentunya- bibir. Kadot etap ada. Namun ucapan sayang langsung diucapkan lisan,
“I love you”
Dan tetap juga bagi-bagi kue untuk teman-teman di kantor
Ulang tahun 29-33
Di usia ini hampir sama kejadiannya. Tetap istri yang pertama kali mengucapkan selamat, tetap dengan kecupan di pipi dan bibir, dan tentunya ditambah dengan ciuman dari kedua mutiara kecil yang berlari memeluk saat pulang kantor. Ucapan dari Ibu dilakukan lewat telepon, dan terkadang mengirimkan kue tart hasil buatan sendiri. Beberapa teman dekat mengirimkan selamat melalu SMS. Kado biasanya datang dari istri. Itupun sudah mulai jarang. Kado pun diberikan sesuai permintaan. Ketika jalan-jalan di mal, terkadang tercetus lah kata-kata,
“Kamu mau kado apa, nanti aku belikan” tanya sang istri
Tetap dengan pernyataan indah,
“I love you”
Ulang tahun usia 34
Secara ritual dan pelaksanaan, sebenarnya tetap sama dengan usia 29-33. Tetap istri yang pertama kali mengucap selamat, tetap dengan kecupan, pelukan, dan “i love you” nya. Tetap Ibu yang menelepon melalui HP. Tetap SMS dari teman. Namun yang membedakan adalah tanggal ulang tahun relatif terpublikasi, karena sudah tercantum di facebook, milis, atau media maya lain, dan jauh-jauh hari sudah diingatkan di sudut media tersebut. Sejak jauh-jauh hari pula beberapa teman kuliah mengkoordinasi kumpul-kumpul dengan dalih reuni.
“But anyway, thank you my friends!”
Ulang tahun usia 35, 36, dst, dst, dst?
Entahlah! Belum bisa diceritakan disini, karena belum pernah. Hanya bisa berdoa, semoga usia-usia ke depan, tetap akan mengalami masa ulang tahun hingga Allah SWT mengizinkan. Tetap bersyukur akan usia yang diberikan. Tetap berdoa semoga diberikan usia yang bermanfaat. Tetap istighfar karena yang pasti jatah usia kita akan berkurang.
Bogor, 13 Februari 2009 – Di Saat Usia 34…
Ulang tahun usia 1
Pada usia ini, pesta ulang tahun dilakukan atas inisiatif orang tua. Tidak mungkin anak umur 1 tahun minta ulang tahunnya di pestakan. Pada usia ini jalanpun masih tertatih-tatih. Jauh-jauh hari sudah belajar cara meniup lilin. Fuh..fuh..fuh.. biasanya lilinnya sulit mati, kalaupun lilinnya mati, lebih disebabkan karena muncratan ludah yang menimpa api di lilin.
Ulang tahun usia 2
Hampir sama dengan ulang tahun usia 2, namun dengan cara jalan yang tidak lagi tertatih-tatih. Sayangnya pada saat akan tiup lilin, justru tertidur dan terpaksa para tamu pesta yang didominasi orang dewasa menunggu, dan makan siang terlebih dahulu. Acara tiup lilin baru akan dilakukan setelah bangun kurang lebih 2 jam kemudian.
Ulang tahun usia 3
Mulai mengerti apa artinya pesta ulang tahun. Diadakan pesta di rumah, biasanya –setelah tiup lilin- lebih fokus membongkar kado pemberian dan memainkannya jika ada kado mainan yang menarik perhatiannya. Ucapan selamat para tamu? Biasanya tidak lagi dihiraukannya
Ulang tahun usia 4 - 5
Masalah tiup lilin sudah tidak lagi menjadi masalah. Tidak perlu air ludah muncrat untuk mematikannya. Sudah pula fasih menyanyikan lagu ulang tahun. Para tamu pun sudah didominasi anak-anak seusianya. Di masa kini, bagi orang tua yang mampu, akan mengadakan acara ulang tahun anaknya di sebuah restoran siap saji
Ulang tahun usia 6 – 12
Pada usia Sekolah Dasar ini, acara ulang tahun tidak lagi di sekolah. Belum pernah aku menemukan acara ulang tahun yang diadakan di kelas SD. Kalaupun ada, itupun spontanitas yang datangnya dari sang guru. Cukup menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama dan mengucapkan selamat. Di rumah? Biasanya tetap ada undangan pesta, dengan para tamu teman-teman sekolah. Undangan nya tertulis
“Datang ya ke pesta ku!”
Ulang tahun usia 13
Usia ABG, masa SMP, ulang tahun biasanya dilakukan dengan mentraktir teman-teman sekolah. Tidak semua teman, tapi hanya teman dekat saja. Si anak berpikir bahwa daripada uangnya buat pesta lebih baik buat beli sesuatu yang jadi hobinya misal beli kaset. Di usia ini mulai menyukai seorang perempuan, naksir, ngeceng. Dan akan sangat surprise sekali ketika si gadis yang disukai mengirimkan kartu ucapan kecil yang bertuliskan,
”Selamat ulang tahun, ya”
Ulang tahun usia 14
Inilah ulang tahun yang untuk pertama kalinya mendapat kado dari pacar. Bisa saja kan usia 14 sudah punya pacar? Kado itu mungil berpita warna merah muda. Isinya mungkin tidak seberapa, namun yang berarti adalah kata pengantar kado itu,
“Selamat ulang tahun, ya, semoga kamu makin sayang sama aku”
Ulang tahun usia 15
Di usia ini pacarnya sudah berbeda. Karena satu dan lain hal, pacar pertama tadi putus dan berganti ke pacar yang lain. Mirip dengan ulang tahun usia 14 tadi, kado dari pacar menjadi hal terpenting di usia ini. Oh ya, selain itu, diadakan acara makan-makan bersama teman-teman dekat. Sementara ada pertemuan khusus dengan sang pacar di suatu tempat dengan ritual menyerahkan kado mungil –yang tetap berpita. Tak penting apa isi kado, yang penting adalah kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 16
Masa SMA seperti ini, ulang tahun diritualkan dengan mentraktir teman-teman. Makin banyak teman, makin banyak pula uang yang dikeluarkan. Namun ada lagi ritual konyol yang seolah menjadi tradisi, yaitu diguyur dengan campuran berbagai minuman, plus air cucian penjual mie ayam, plus telor busuk. Sadis! Persiapan jangka panjang sudah dilakukan teman-teman, dan dirahasiakan sampai hari H. Biasanya akan terjadi balas dendam, karena hal yang sama akan dilakukan pada siapapun yang ulang tahun. Di tahun ini, tetap pacar yang sama memberikan kado khusus, tetap bukan kado mewah, tetap dengan kata-kata pengantar,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 17
Katanya ini masa spesial. Beberapa teman lain yang ulang tahun, khusus mengundang teman lain untuk ke rumah, ada pesta khusus, ruangan disetting seperti diskotik, mulai ada acara dance, dan potong kue dengan potongan pertama diserahkan kepada yang tersayang. Aku? Alhamdulillah tidak melakukan itu. Ritualnya sama dengan usia 16, hanya saja melibatkan teman yang lebih banyak. Dan tetap dengan pacar yang sama, dan tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 18
Mirip usia 17, namun tidak lagi ada traktir berlebihan. Kembali ke teman-teman dekat dan yang pasti tetap dengan pacar yang sama dengan kado istimewa, namun ditambah kata-kata,
“Kalau nanti kamu kuliah, masih kah kamu sayang sama aku?”
Ulang tahun usia 19
Masa kuliah di Bandung, teman-teman baru, ritual utama : traktir teman dekat. Ulang tahun pertama jauh dari pacar, di hari ulang tahun ucapan selamat hanya dilakukan via telepon. Dengan ucapan,
“Selamat ulang tahun, ya. Aku kangen!”
Kado dari sang pacar baru diserahkan beberapa minggu kemudian. Di tahun ini pula mulai ada beberapa secret admirer, yang tiba-tiba memberikan kado khusus di hari itu. Ucapannya sederhana, tak ada yang berlebihan, hanya,
“Selamat ulang tahun, ya”
Ibu datang di hari ulang tahun itu, dan aku pun berkata,
“Mama, minta uang tambahan dong, buat traktir teman?”
Ulang tahun usia 20
Ritual standar, makan-makan dengan teman dekat. Sang pacar telah pergi, tak tahan karena jauh ditinggal. Pacar baru menjelang dan kadopun datang. Kado nya pun tetap sederhana, tak ada yang mewah, namun dengan tulisan,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 21
Teman-teman semakin sedikit yang menyadari hari ulang tahun itu. Kalau bukan kita yang traktir makan, mereka tidak tahu kalau kita ulang tahun. Pacar di usia 20 tidak bertahan lama. Kembali datang pacar baru. Kali ini pacaran yang lebih serius, mungkin pengalaman kegagalan sebelumnya. Kado pun datang dari sang pacar. Tetap dengan kata-kata,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 22 – 24
Hampir mirip, tetap dengan teman-teman kuliah, di Universitas maupun di Magister, kita yang traktir barulah mereka tahu kita ulang tahun. Pacar tetap sama, karena mulai serius menjalin hubungan ke taraf yang lebih tinggi. Tetap dengan ungkapan,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun usia 25 - 27
Ulang tahun pertama di saat kerja. Tidak ada traktir mentraktir. Ucapan selamat hanya datang dari Ibu, dan –tentunya pacar. Sementara di kantor, cukup bagi-bagi 2 kotak kue tart, yang dipotong-potong dan cukup untuk 48 orang. Kado dari pacar? Tetap ada. Dan tetap,
“Aku sayang kamu”
Ulang tahun 28
Ulang tahun pertama setelah menikah. Ucapan selamat pertama datang dari istri (yang pacaran sejak usia 22 tadi), di saat bangun tidur di pagi hari, dilengkapi dengan kecupan mesra di pipi dan –tentunya- bibir. Kadot etap ada. Namun ucapan sayang langsung diucapkan lisan,
“I love you”
Dan tetap juga bagi-bagi kue untuk teman-teman di kantor
Ulang tahun 29-33
Di usia ini hampir sama kejadiannya. Tetap istri yang pertama kali mengucapkan selamat, tetap dengan kecupan di pipi dan bibir, dan tentunya ditambah dengan ciuman dari kedua mutiara kecil yang berlari memeluk saat pulang kantor. Ucapan dari Ibu dilakukan lewat telepon, dan terkadang mengirimkan kue tart hasil buatan sendiri. Beberapa teman dekat mengirimkan selamat melalu SMS. Kado biasanya datang dari istri. Itupun sudah mulai jarang. Kado pun diberikan sesuai permintaan. Ketika jalan-jalan di mal, terkadang tercetus lah kata-kata,
“Kamu mau kado apa, nanti aku belikan” tanya sang istri
Tetap dengan pernyataan indah,
“I love you”
Ulang tahun usia 34
Secara ritual dan pelaksanaan, sebenarnya tetap sama dengan usia 29-33. Tetap istri yang pertama kali mengucap selamat, tetap dengan kecupan, pelukan, dan “i love you” nya. Tetap Ibu yang menelepon melalui HP. Tetap SMS dari teman. Namun yang membedakan adalah tanggal ulang tahun relatif terpublikasi, karena sudah tercantum di facebook, milis, atau media maya lain, dan jauh-jauh hari sudah diingatkan di sudut media tersebut. Sejak jauh-jauh hari pula beberapa teman kuliah mengkoordinasi kumpul-kumpul dengan dalih reuni.
“But anyway, thank you my friends!”
Ulang tahun usia 35, 36, dst, dst, dst?
Entahlah! Belum bisa diceritakan disini, karena belum pernah. Hanya bisa berdoa, semoga usia-usia ke depan, tetap akan mengalami masa ulang tahun hingga Allah SWT mengizinkan. Tetap bersyukur akan usia yang diberikan. Tetap berdoa semoga diberikan usia yang bermanfaat. Tetap istighfar karena yang pasti jatah usia kita akan berkurang.
Bogor, 13 Februari 2009 – Di Saat Usia 34…
Label:
Sebuah Renungan Hati
Woooiiii! Awaaaassss Ada ***!!! Minggiiiiiiirrrrr!!!
BegituMaafkan atas judul yang mungkin tidak senonoh di atas. Maafkan atas penggunaan tiga bintang sebagai alat sensor penulisan. Tapi masalahnya, tidak ada kata-kata lain untuk menggantikan kata-kata tersebut. Sekali lagi : maaf!
Aku keturunan anak kampung di sebuah desa di pinggiran Bogor. Nama desa itu Desa Katulampa, suatu desa yang membuat was-was orang Jakarta, karena di situ terdapat sebuah bendungan yang menjadi indikator banjir di Jakarta. Jika kedalaman di Bendungan Katulampa mulai mengkhawatirkan, maka akan khawatir juga seluruh penduduk Jakarta.
Meski aku berdarah orang Katulampa, namun jarang sekali aku tinggal di desa itu. Sesekali jika liburan, aku bermain dan bermalam di sana.
Pada saat usia 9-11 tahun, merupakan masa-masa bermain mengasyikan bagi ku, bersama para sepupu, keluar masuk hutan desa, mandi di kali, bermain lumpur di sawah, bermain bola di lapangan lumpur, memanjat pohon, dan semua kenakalan anak kampung.
Di antara semua kenakalan itu, ada satu yang paling menyenangkan, yang paling ditunggu-tunggu, dan yang paling sering kami lakukan yaitu :mandi di kali.
Sungai atau kali itu bernama Citonggoh. Jika diartikan secara harfiah adalah air yang berada di atas atau di Utara (Ci = air, tonggoh = atas/utara). Citonggoh pada dasarnya adalah sebuah anak sungai Ciliwung, yang sebelum mengalir ke Jakarta, terpecah menjadi beberapa bagian dan salah satu alirannya mengalir ke desa kami.
Citonggoh menjadi semacam sumber air bagi desa kami. Bukan untuk minum, namun untuk mandi, cuci dan juga kakus. Ketiga kegiatan itu sekaligus bisa dilakukan di sungai yang sama. Jika di satu sisi ada yang mandi, maka bisa jadi di sisi lain ada yang mencuci, atau bahkan di sisi lainnya ada yang –maaf- sedang buang air besar.
Kebiasaan itu sudah menjadi turun temurun di desa kami. Air Citonggoh sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan jernih. Airnya sudah coklat. Tidak ada sampah, namun tetap tidak layak minum.
Bagian air yang mengaliri desa kami merupakan aliran air yang cukup deras, kedalamannya hanya kurang dari 1,5 meter dengan lebar sungai sekitar 5 meter. Namun bagian aliran ini merupakan tempat yang paling strategis untuk berenang. Tidak terlalu banyak batu, tapi juga tidak terlalu dalam.
Kebiasaan di desa kami adalah setiap akan shalat, terutama Zuhur dan Ashar, pasti harus mandi. Sehingga pada waktu shalat tersebut, sungai Citonggoh cenderung ramai. Jadi ada istilah di kalangan penduduk desa, yaitu mandi lohor (zuhur) dan mandi ashar.
Suatu hari pada saat mandi lohor (zuhur).
Setelah puas bermain di hutan dari pagi, terdengar suara azan zuhur dari kejauhan. Bergegas kami –aku dan 4 orang sepupuku- berlari menuju Citonggoh. Bukan untuk berwudhu untuk kemudian shalat Zuhur, tapi hanya untuk sekedar memenuhi tradisi mandi lohor (zuhur). Masalah apakah kita akan shalat ke mesjid, itu soal nanti, tergantung dari ada atau tidaknya Pa Haji. Kalau Pa Haji ada, pasti kami akan dikejar-kejar sambil bawa rotan untuk disuruh shalat, kalau Pa Haji tidak ada, ya lanjut terus main di hutan.
Tak sabar kami berlari. Masih 10 meter dari sungai, kami sudah melucuti pakaian kami. Melucuti semua, telanjang bulat. Dan setiba di pinggir sungai, langsung meloncat dan byurr…
Makin tinggi loncatan, makin keras kami terhempas ke sungai. Bisa jadi akibat loncatan kami tenggelam di satu sudut sungai dan baru muncul beberapa detik kemudian di sudut lainnya. Tidak peduli kami dengan kebersihan air. Yang kami lakukan cuma sekedar untuk bersenang-senang.
Beberapa saat kami asyik berenang, salah satu sepupu ku berada di kawasan sungai tertinggi, maksudnya adalah dia ingin meloncat dari tempat tertinggi tersebut. Namun justru karena dia berada di tempat tertinggi itu lah, makanya dia bisa melihat ada apa saja kegiatan di sungai bagian atas.
Dan tiba-tiba dia berteriak, “
“Wooooiiiii, awaaaaasssss, ada ***! Mingggiiiiiiiiir!”
Sontak kami berempat yang berada di bawah, segera berenang ke tepi, dan segera naik.
Benar saja, tidak berapa lama kemudian, saat kami menunggu di pinggir sungai –dalam keadaan telanjang bulat tentu saja- mengalirlah segerombolan –maaf- kotoran manusia di depan kami. Kami berempat hanya nyengir menyaksikan pemandangan itu. Sama sekali tidak merasa jijik, biasa saja, karena itu pemandangan sehari-hari kami saat berenang di Citonggoh.
Setelah segerombolan –maaf, sekali lagi maaf- kotoran manusia tadi lewat dan dirasa sudah cukup jauh dari pandangan, maka serempak kami kembali meloncat ke sungai, kembali berenang bebas, seolah tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Padahal jika ditimbang-timbang, betapa joroknya sungai Citonggoh. Jijik. Karena air yang sama digunakan untuk mandi –juga sikat gigi-, mencuci, dan sebagai kakus. Jika ditimbang-timbang lagi, bisa saja aku terkena penyakit kulit, bisa saja aku terkena penyakit perut, karena pada saat meloncat, terkadang ada seteguk dua teguk air Citonggoh terminum oleh ku.
Tapi ternyata semua baik-baik saja. Tidak sekalipun aku sakit karena Citonggoh. Satu-satunya sakit ku adalah ketika tumitku belah dua karena menginjak beling di dasar Citonggoh. Sampai kini cacat karena beling itu masih ada, seolah-olah tumitku jadi punya lesung pipit.
Citonggoh saat ini, 23 tahun kemudian.
Sudah tidak ada lagi yang mandi di Citonggoh, ada 2 kemungkinan, pertama, masyarakat desa sudah sadar kesehatan dan mandi dari PAM atau air sumur, kedua, Citonggoh memang sudah tidak layak lagi disebut sungai.
Aku lihat Citonggoh sudah menyusut drastis, lebarnya hanya tinggal 1 meter, kedalaman tak lebih dari 80cm. Memang tidak pantas disebut sungai, lebih pantas jika disebut selokan.
Pembangunan pemukiman yang pesat, turut andil dalam mempersempit ruang gerak air Citonggoh. Tidak hanya itu, hutan, kebun, dan sawah tempat kami bermain dulu pun, sekarang sudah menjadi tempat hunian. Hutan, kebun dan sawah itu sekarang ditanami beton, dipupuki semen, dan dihiasi genteng. Tidak lagi nyaman untuk sekedar menghirup udara segar dari hutan.
Kondisi itu merupakan representasi dari kondisi alam Indonesia pada umumnya. Desa kami seperti menjadi miniatur Indonesia dimana sungai, hutan, kebun, dan sawah tergerus oleh kepentingan manusia.
Kasihan anak2 ku kelak, tidak sempat merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon. Bahkan katanya, kalau anak kita ingin merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon, ada wahana yang dibangun untuk itu, dan itu harus bayar!
Gorontalo, 29 Januari 09
Aku keturunan anak kampung di sebuah desa di pinggiran Bogor. Nama desa itu Desa Katulampa, suatu desa yang membuat was-was orang Jakarta, karena di situ terdapat sebuah bendungan yang menjadi indikator banjir di Jakarta. Jika kedalaman di Bendungan Katulampa mulai mengkhawatirkan, maka akan khawatir juga seluruh penduduk Jakarta.
Meski aku berdarah orang Katulampa, namun jarang sekali aku tinggal di desa itu. Sesekali jika liburan, aku bermain dan bermalam di sana.
Pada saat usia 9-11 tahun, merupakan masa-masa bermain mengasyikan bagi ku, bersama para sepupu, keluar masuk hutan desa, mandi di kali, bermain lumpur di sawah, bermain bola di lapangan lumpur, memanjat pohon, dan semua kenakalan anak kampung.
Di antara semua kenakalan itu, ada satu yang paling menyenangkan, yang paling ditunggu-tunggu, dan yang paling sering kami lakukan yaitu :mandi di kali.
Sungai atau kali itu bernama Citonggoh. Jika diartikan secara harfiah adalah air yang berada di atas atau di Utara (Ci = air, tonggoh = atas/utara). Citonggoh pada dasarnya adalah sebuah anak sungai Ciliwung, yang sebelum mengalir ke Jakarta, terpecah menjadi beberapa bagian dan salah satu alirannya mengalir ke desa kami.
Citonggoh menjadi semacam sumber air bagi desa kami. Bukan untuk minum, namun untuk mandi, cuci dan juga kakus. Ketiga kegiatan itu sekaligus bisa dilakukan di sungai yang sama. Jika di satu sisi ada yang mandi, maka bisa jadi di sisi lain ada yang mencuci, atau bahkan di sisi lainnya ada yang –maaf- sedang buang air besar.
Kebiasaan itu sudah menjadi turun temurun di desa kami. Air Citonggoh sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan jernih. Airnya sudah coklat. Tidak ada sampah, namun tetap tidak layak minum.
Bagian air yang mengaliri desa kami merupakan aliran air yang cukup deras, kedalamannya hanya kurang dari 1,5 meter dengan lebar sungai sekitar 5 meter. Namun bagian aliran ini merupakan tempat yang paling strategis untuk berenang. Tidak terlalu banyak batu, tapi juga tidak terlalu dalam.
Kebiasaan di desa kami adalah setiap akan shalat, terutama Zuhur dan Ashar, pasti harus mandi. Sehingga pada waktu shalat tersebut, sungai Citonggoh cenderung ramai. Jadi ada istilah di kalangan penduduk desa, yaitu mandi lohor (zuhur) dan mandi ashar.
Suatu hari pada saat mandi lohor (zuhur).
Setelah puas bermain di hutan dari pagi, terdengar suara azan zuhur dari kejauhan. Bergegas kami –aku dan 4 orang sepupuku- berlari menuju Citonggoh. Bukan untuk berwudhu untuk kemudian shalat Zuhur, tapi hanya untuk sekedar memenuhi tradisi mandi lohor (zuhur). Masalah apakah kita akan shalat ke mesjid, itu soal nanti, tergantung dari ada atau tidaknya Pa Haji. Kalau Pa Haji ada, pasti kami akan dikejar-kejar sambil bawa rotan untuk disuruh shalat, kalau Pa Haji tidak ada, ya lanjut terus main di hutan.
Tak sabar kami berlari. Masih 10 meter dari sungai, kami sudah melucuti pakaian kami. Melucuti semua, telanjang bulat. Dan setiba di pinggir sungai, langsung meloncat dan byurr…
Makin tinggi loncatan, makin keras kami terhempas ke sungai. Bisa jadi akibat loncatan kami tenggelam di satu sudut sungai dan baru muncul beberapa detik kemudian di sudut lainnya. Tidak peduli kami dengan kebersihan air. Yang kami lakukan cuma sekedar untuk bersenang-senang.
Beberapa saat kami asyik berenang, salah satu sepupu ku berada di kawasan sungai tertinggi, maksudnya adalah dia ingin meloncat dari tempat tertinggi tersebut. Namun justru karena dia berada di tempat tertinggi itu lah, makanya dia bisa melihat ada apa saja kegiatan di sungai bagian atas.
Dan tiba-tiba dia berteriak, “
“Wooooiiiii, awaaaaasssss, ada ***! Mingggiiiiiiiiir!”
Sontak kami berempat yang berada di bawah, segera berenang ke tepi, dan segera naik.
Benar saja, tidak berapa lama kemudian, saat kami menunggu di pinggir sungai –dalam keadaan telanjang bulat tentu saja- mengalirlah segerombolan –maaf- kotoran manusia di depan kami. Kami berempat hanya nyengir menyaksikan pemandangan itu. Sama sekali tidak merasa jijik, biasa saja, karena itu pemandangan sehari-hari kami saat berenang di Citonggoh.
Setelah segerombolan –maaf, sekali lagi maaf- kotoran manusia tadi lewat dan dirasa sudah cukup jauh dari pandangan, maka serempak kami kembali meloncat ke sungai, kembali berenang bebas, seolah tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Padahal jika ditimbang-timbang, betapa joroknya sungai Citonggoh. Jijik. Karena air yang sama digunakan untuk mandi –juga sikat gigi-, mencuci, dan sebagai kakus. Jika ditimbang-timbang lagi, bisa saja aku terkena penyakit kulit, bisa saja aku terkena penyakit perut, karena pada saat meloncat, terkadang ada seteguk dua teguk air Citonggoh terminum oleh ku.
Tapi ternyata semua baik-baik saja. Tidak sekalipun aku sakit karena Citonggoh. Satu-satunya sakit ku adalah ketika tumitku belah dua karena menginjak beling di dasar Citonggoh. Sampai kini cacat karena beling itu masih ada, seolah-olah tumitku jadi punya lesung pipit.
Citonggoh saat ini, 23 tahun kemudian.
Sudah tidak ada lagi yang mandi di Citonggoh, ada 2 kemungkinan, pertama, masyarakat desa sudah sadar kesehatan dan mandi dari PAM atau air sumur, kedua, Citonggoh memang sudah tidak layak lagi disebut sungai.
Aku lihat Citonggoh sudah menyusut drastis, lebarnya hanya tinggal 1 meter, kedalaman tak lebih dari 80cm. Memang tidak pantas disebut sungai, lebih pantas jika disebut selokan.
Pembangunan pemukiman yang pesat, turut andil dalam mempersempit ruang gerak air Citonggoh. Tidak hanya itu, hutan, kebun, dan sawah tempat kami bermain dulu pun, sekarang sudah menjadi tempat hunian. Hutan, kebun dan sawah itu sekarang ditanami beton, dipupuki semen, dan dihiasi genteng. Tidak lagi nyaman untuk sekedar menghirup udara segar dari hutan.
Kondisi itu merupakan representasi dari kondisi alam Indonesia pada umumnya. Desa kami seperti menjadi miniatur Indonesia dimana sungai, hutan, kebun, dan sawah tergerus oleh kepentingan manusia.
Kasihan anak2 ku kelak, tidak sempat merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon. Bahkan katanya, kalau anak kita ingin merasakan mandi di sungai, main di hutan, berlari di lumpur, berkubang di sawah, dan memanjat pohon, ada wahana yang dibangun untuk itu, dan itu harus bayar!
Gorontalo, 29 Januari 09
Label:
Begitu Saja Bandelku...
Langganan:
Postingan (Atom)